Sabtu, 16 September 2017

Candi Trisobo, Meteseh Boja

Candi Trisobo, Meteseh Boja
          Sabtu, 16 September 2017, lanjutan dari blusukan Lumpang Mijen dan Lapik Trisobo.  Dari Lapik Trisobo, melanjutkan penelusuran kami kemudian mengikuti arahan dari ibu yang ada di warung yang didepannya lapik berada. Sesuai petunjuknya, kami kemudian mencari Masjid Nurul Falah Trisobo, selanjutnya masuk ikuti jalan paving di samping masjid.
Sajen awal masa panen
      Di rumah terakhir, kami mohon ijin parkir dan bertanya arah menuju gumuk yang terdapat 'ceceran' tinggalan purbakala Trisobo. Dari beliau kami mendapat pencerahan arah, layaknya energizer bagi kami, walau saya belum makan siang tapi seperti di charge ulang. Semangat tumbuh lagi, walau kelaparan melanda.
      Melewati tegalan, rimbunan bambu, kemudian menyebrangi sungai, dari posisi sungai ini, gumuk candi terlihat, setelah itu menyusuri pematang sawah. 
     Kearifan lokal turun temurun, adat istiadat yang diwariskan masih dijunjung tinggi. Ritual sajen awal masa tanam terlihat ...
     Kemudian sampailah kami, (dari posisi terakhir kami parkir sampai lokasi dengan berjalan kaki butuh 10 menit saja).
: Gumuk Candi Trisobo, Meteseh Boja
       Yang terlihat benar-benar gumuk candi / bukit kecil tumpukan batu. Runtuhan candi yang terlihat seperti 'gumuk' dari berbagai macam struktur batuan penyusun candi.
     Saat langkah kami ayunkan menuju gumuk candi, bertebaran pula banon (batu bata berukuran jumbo) dibeberapa titik di sekitar areal kebun Singkong campur Sengon.
Candi Trisobo
     Berbagai bentuk batuan struktur bangunan suci masa lalu bergelimpangan.
       Bagian tangga masuk yang berelief,


Candi Trisobo : Ujung bagian tangga
       Kemuncak / Ratna/ hiasan di atap candi,




     Yang paling spesial : Arca Dewa Wisnu (dengan cirikhas nya Gada)... tapi itu baru dugaan saya....
Arca Dewa Wisnu Candi Trisobo


Arca Dewa Wisnu Candi Trisobo


Arca Dewa Wisnu Candi Trisobo

       Arca Dewa Wisnu dari Samping

Arca Dewa Wisnu Candi Trisobo


      Dasaran candi yang membentuk kotak persegi


Batu dengan pola, 



     Saat kami beristirahat, berimajinasi membayangkan bagaimanakah kira kira kemegahan bangunan ini 1500 tahun yang lalu.
    Entah ada apa, sesaat sebelum pulang saya tertarik mencoba menelusuri area barat dari gumuk candi Trisobo ini,  kira-kira 100m perimeter pandangan saya menangkap pemandangan yang menarik perhatian. Saat saya datangi, benar saja semacam umpak:      
      Umpak, alas tiang bangunan biasanya lebih dari satu, sehingga menjadikan kami mencoba meneliti lebih seksama, benar saja tak jauh dari umpak tadi ada 1 lagi umpak yang berbentuk sama. Kami tak berani mencari yang lain karena ada rekan komunitas yang memperingatkan kawasan ini banyak "saw3r"-nya, karena itulah kami urungkan, karena rumput didepan kami setinggi pinggang, tepatnya di area sengon di petak yang berbeda.
Candi Trisobo : Umpak 1

Candi Trisobo : Umpak 2
     Keberadaan umpak menambah dugaan sebuah bangunan lain selain bangunan suci (pemujaan/perabuan/percandian/dll) ada di sini, semua serba mungkin. Pemukiman pemimpin ritual = pendeta atau rumah singgah bagi Raja saat beribadah di Candi Trisobo ini.
Karena waktu sudah mulai beranjak petang, rasa lapar sudah tak bisa kompromi akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi blusukan candi Trisobo ini.
Candi Trisobo

     Saat kembali ke posisi motor parkir, kami dapat informasi keberadaan waktu dakon di Sebuah makam keramat, makam kuno yang di percaya warga sebagai sesepuh alias yang bubakyoso Trisobo. Tak mau menunggu lama, kami mencoba mampir, makam berada di area perkebunan karet, melewati pos keamanan, gang pertama kiri melewati jembatan besi. Sayangnya pintu makam terkunci. Makam inilah yang dikenal sebagai Den Ayu Putri, konon berasal dari serang banten. Entah pada masa kerajaan kuno Tarumanegara atau lebih kuno atau malah masa majapahit dan atau sesudahnya.
Candi trisobo : Tumpukan Banon
      Beberapa kali penelusuran area Mijen ini informasi yang kami dapatkan, samar-samar bermuara pada informasi tentang: area ini adalah gerbang perbatasan terdepan dengan kerajaan Padjadjaran sebut saja : situs Lingga patok perbatasan  tugu Semarang, Lumpang beranda bali BSB, Lingga ki Demang Jatibarang, situs Duduhan, situs Cangkiran dan banyak lagi (beberapa ada di blog ini). 
      Walaupun tentu saja masih bisa diperdebatkan mengenai masa bangunan ini berdiri, bisa pula masa Kalingga atau permulaan dinasti Syailendra dengan tinggalan yang berdekatan seperti situs di Batang dan Pekalongan.
Candi Trisobo : Diantara Sengon

     Bagi kami ini adalah pengalaman berharga, semoga segenap kawula Trisobo, Meteseh menyadari potensi wisata religi dan wisata sejarah yang menjanjikan, belum lagi alam serta suasana masyarakat pedesaan menjadi aset...  
Semoga Candi Trisobo mulia!




Video Amatir :

The Partner, Lek Sur:
Suryo Wibowo : Candi Trisobo















Salam pecinta situs dan waktu candi
ssdrmk : Candi Trisobo





















(Penelusuran Yang kedua saya, 26 Desember 2017. Surprisenya adalah ketika ada umpak yang nampaknya baru saja digali wrga saat akan mengolah lahan)
Video Amatir : 


#takperlutenar

Situs Lapik Trisobo, Meteseh Boja

Situs Lapik Trisobo, Meteseh Boja
           Sabtu, 16 September 2017. Lanjutan dari Situs Lumpang Mijen Semarang,  penelusuran hari ini destinasi utama kami desa Trisobo Meteseh Boja. 
Pertigaan menuju Trisobo : ambil kana
      Dari Mijen, kami kemudian menuju arah Boja, setelah Kantor kecamatan Mijen tepat di pertigaan depan kelurahan Bubakan, ambil kanan. Tak berapa lama melewati jembatan yang cukup besar, konon informasi yang diterima oleh LekSur, dibawah jembatan ini ada petirtaan kuno dan pecahan baru bata kuno (banon) yang berukuran besar, sementara tak jauh di gumuk ada makam yang masih ada beberapa banon.
Di Pinggir Jalan Trisobo
     "Informasi itu dari Imam, dia mendapatkan  dari tangan ke dua, kang mas Roso. Kalau waktu masih cukup, nanti saja saat pulang", jelas lekSur, aslinya dengan bahasa jawa Semarangan. Dengan pertimbangan tertentu saya translate saja. Hahaha.  Saya idem saja tentang destinasi.
       Dari jembatan, terus menuju Desa Trisobo. Kira-kira 2 km kemudian dari kejauhan terlihat tujuan pertama kami, dipinggir jalan kampung.
     Berada didepan warung milik warga, tepatnya di Jl. Den Ayu Putri RT 07 RW II Trisobo. Sambil beli teh kami minta ijin si empunya rumah.
     Lapik, (mohon pencerahan bila tidak tepat) bisa sajen bisa pula arca.  
      Kondisi sudah tidak 100% dimana di salah satu sisinya sudah rompal. Di hampir semua bagian lapuk ditumbuhi lumut.
Situs Lapik Trisobo, Meteseh Boja
     Info terakhir yang kami peroleh, lapik ini didapat dari lokasi yang menjadi tujuan akhir penelusuran hari ini ; di sebuah gumuk yang konon ada reruntuhan bangunan suci masa lalu, masih di Trisobo.
Situs Lapik Trisobo, Meteseh Boja
        Sayangnya tuan rumah tak tau ini apa, fungsinya apa dan kenapa diambil tak ada jawaban pasti. Kemungkinan yang membawa ke lokasi ini pun ta mewariskan tujuan serta usaha nya, yang mungkin dulu bertujuan positif menyelamatkan (mencoba positif), walau kemungkinan yang lain adalah rasa memiliki nya ditonjolkan. 
Situs Lapik Trisobo, Meteseh Boja
      Maaf... bukan bermaksud negatif, semoga direspon (para pemuda di,Trisobo) dengan usaha nyata lebih memuliakan batu peninggalan ini, jangan abai agar tak hilang benang sejarah desa mu : potensi wisata alam dan sejarah budaya Trisobo cukup menjanjikan.

Video Amatir : 


The Partner : Lek SUR
Suryo Wibowo : di Lapik Trisobo





















Mari Kita Lestarikan , 
Salam pecinta situs dan waktu candi.
 #takperlutenar

Rabu, 13 September 2017

Lingga di Situs makam Ki Demang Jatibarang Mijen Semarang

Lingga di Situs makam Ki Demang Jatibarang Mijen Semarang
      Rabu, 13 September 2017. Seperti tak ada petir namun hujan, itu juga perumpamaan penelusuran jejak purbakala ini. Bagaimana tidak, pulang dari kegiatan perpuseru di Muncul Banyubiru, sampai perpustakaan pusat jam 4-an. Dari kejauhan nampak sesosok orang yang familiar di mata saya. Hehehe... lek Suryo Wibowo. 
      Ternyata koordinasi alias nawarin blusukan kemisan luar kota. Sayangnya saya tak bisa.... sambil ngobrol ngalor ngidul & ngopi... tiba-tiba  terlintas dalam pikiran saya ide lain. "Karo ngrasakke motor anyar, aku diterno ning Lingga Ki Demang Jatibarang ra sah selamatan wis... Wkwkkwkw".
    Alhasil jadilah, walapun alarm durasi mepet, tapi pantang mundur. Singkat cerita jam 5 start dari Ungaran menuju Mijen Jatibarang, Lewat Gunungpati, kemudian polaman ambil kiri lewat kaligetas tembus langsung Jatibarang. 
Situs Makam Ki Demang Jatibarang : Lingga dan Kemuncak
    Lokasi sangat mudah, dekat dengan SMK Palapa dan di sebelah Masjid. Makam Ki Demang berada di tengah area makam umum.
Lingga Jatibarang Mijen


         Tak menunggu lama, saya segera mendokumentasikan jejak peradaban masa lalu di area ini karena matahari sudah mulai tenggelam alias diburu gelap.
      Lingga merupakan manifestasi dari Dewa Siwa, penyatuan dengan Yoni sebagai bhumi pertiwi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Informasi yang didapat rekan lain : Mas Imam (Apa Kabar di sana mas? dah dapat perawan Kalimantan belum? wkwkwk) mendapatkan informasi tentang keberadan Yoni di belakang makam ini. 
      Konon dulu ada Yoni yang diduga adalah pasangan dari Lingga, dimana ukuran lingga dikatakan sama dengan bagian bawah lingga, yang saat ini jadi nisan makam Ki Demang ini. 
     Saat ini Yoni tersebut sudah hilang, raib tak ada yang tahu rimbanya. 
    Secara umum, kondisi Lingga masih baik. Sebagai bahan bacaan untuk mengenali dan memahami Lingga ini, saya ambilkan dari web Site BPCB:

      Selain digambarkan dalam berbagai wujud antropomorfik, Siwa juga digambarkan dalam wujud an-iconic sebagai lingga. Pada dasarnya lingga adalah pilar cahaya (the column of light), yang merupakan simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal. 
Lingga semacam ini disebut Joytirlinga. Siwa sendiri merepresentasikan dirinya ke dalam wujud pilar api pada mitologi Linggotbhawa murti.
    Selain Joytirlinga, terdapat juga manusa lingga, yaitu lingga yang merupakan simbol dari organ maskulin. Cirinya adalah mempunyai tiga bagian, terdiri atas bagian yang paling bawah, berbentuk persegi, disebut brahmabhaga; bagian tengah yang berbentuk segi enam yang disebut wisnubhaga; dan bagian yang paling atas, berbentuk silendris, disebut rudrabhaga. Pada bagian rudrabghaga-nya terdapat hiasan garis melengkung yang disebut brahmasutra.
    Sebagai simbol organ maskulin, lingga mengandung energi penciptaan. Akan tetapi energi tersebut akan berfungsi apabila disatukan dengan energi shakti, yang disimbolkan dalam wujud yoni, untuk memberikan kekuatan bagi energi penciptaan tersebut. Dengan demikian, penyatuan antara lingga sebagai organ maskulin dengan yoni yang merupakan simbol organ feminin akan menghasilkan energi penciptaan, yang merupakan dasar dari semua penciptaan. 
(Sumber :http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/2016/02/15/lingga-yoni/)
     Terlihat jelas bagian segi empat paling bawah yang tertanam semen lantai makam, hanya bagian atas yang sedikit aus dimana lambang guratan Bhrahmasutra hanya terlihat disisi yang menghadap tembok saja (dengan sedikit usaha mengambil gambar dengan HP, terlihat relief melengkung tersebut). (Nunggu sebentar saya uplod ya....)
       Disisi lain nisan, ditanam kemuncak,
Kemuncak Makam Jatibarang
     Keberadaan Lingga, Yoni yang telah hilang dan bukti kemuncak ini tak bisa dibantah. Menjadi bukti keberadaan sebuah bangunan suci masa lalu (=yang sekarang dikenal dengan candi)
Kemuncak Jatibarang Mijen
     Karena hari sudah mulai petang, suasana komplek makam umum ini mulai syahdu. Kami memutuskan untuk mengakhiri penelusuran mendadak dangdut ini. Semoga informasi yang saya nantikan lebih lengkap mengenai legenda atau mitos bisa di-japri lewat akun medsos saya. 
     "Konon niku demang era majapahit yg bertugas di situ tetua kampung yg meng ilhami jati barang/arti seniman dlm mengapai kehalusan budi", cerita dari kang mas Roso
    Aktor intelektual penelusuran kali ini : Tanpa beliau naskah ini hanya mimpi saja ; Lek SUR
Lek Sur : Suryo Wibowo di Makam Ki Demang Jatibarang Mijen Semarang
    Salam Pecinta Situs dan Watu Candi.
SSDRMK : situs Ki Demang Jatibarang
#Takperluterkenal

Jumat, 08 September 2017

Jejak Peradaban di makam Karangwetan Sumowono : relief di nisan

Makam Watugandu Sumowono
              Jumat, 8 September 2017. Sebenarnya saya sudah pasrah lama tak 'blusukan', banyak kendala yang saya hadapi. Selain saya nihil informasi keberadaan situs waru candi; rekan juga menghilang semua dengan berbagai aktivitasnya masing, tapi faktor utama tentu saja saya terkendala transportasi.
      Beberapa kali merancang blusukan dengan rekan, ada saja alasan pembatalan, ritual kemisan sampai terlupa roh-nya.
Nisan kekunoan di Watu Gandu
      Sampai kesempatan ini datang juga, memanfaatkan jadwal perpusling yang sehari sebelumnya tidak cukup waktu untuk mampir di Watu Gandu, Sumowono, saya punya banyak alasan serta penguat alibi... 50:50 perbandingan antara tugas kerjaan layanan perpustakaan keliling dengan penelusuran situs.
        Cerita dimulai, setelah Jumatan terlihat sekelebatan sesosok yang sangat mudah teridentidikasi... : Eka W Prasetya kutawari ikut perpusling sambil penelusuran situs di sekitar waktu gandu. "Daripada suntuk di kantor, ayok", saut Eka WP.
Jadilah, jam 1 lebih sedikit, membawa armada mobil perpusling Hilux meluncurkah kami. 
       Kira - kira 30 menit kemudian kami hadir di rumah Bapak Mustain Marzuki. Ngobrol ngalor ngidul sambil menggugurkan kewajiban (layanan perpusling = lukiran peminjaman buku). Setelah selesai, tanpa kami berdua duga kami ditawari untuk dianter ke lokasi yang kami berdua belum menengok situs. Padahal saya yakin kami berdua dalam hati kompak mengharapkan itu.
Relief di Nisan Makam Watugandu Sumowono
    Singkat cerita, dari rumah Bapak Mustain kami berjalan kami menyusuri jalan perkampungan, melewati batu megalitikum "Watu Gandu", yang dikeramatkan oleh warga, berbelok ke kiri kemudian membelah teriknya siang ditengah lapangan. Perjalanan ini sebenarnya mengulang jalur menuju situs http://sasadaramk.blogspot.co.id/2017/02/wisata-cagar-budaya-jubelan-sumowono.html?q=sumowono setahun yang lalu.  Saat di lapangan inilah kami sekali lagi mendapatkan cerita ;
"Dulu di pojokan lapangan dibelakang Gawang ada Watu Lumpang. Ceritanya air di lumpang itu dipercaya warga berkhasiat menyembuhkan sakit gigi. Suatu saat, ada seorang warga yang sakit gigi, kemudian mencoba ditetesi air dari watu lumpang tersebut. Bukanya sembuh malah tambah sakit. Sehingga orang tersebut 'ngamuk' dan menghancurkan lumpang tersebut sampai remuk redam tak tersisa"
      Waktu itupun kami sempat menengok makam ini dengan menyibak alang-alang yang tingginya sepaha oang dewasa. Karena kesulitan itu pula mungkin yang menjadikan kami terlewat, di Makam ini juga ada watu candi berelief
Watu Gandu Sumowono
      Makam yang lumayan lama, dan merupakan makam keluarga ini, warga sekitar menyebut dengan Daerah Simpar, makam keluarga Mbah Mutaat Karang Wetan Semowono. Di beberapa nisan, "pathokan' menggunakan watu berelief yang kami duga adalah  bagian struktur sebuah bangunan
      Apalagi tak jauh dari lokasi makam ini, ada juga situs.... yang nampak berupa makam kuno dengan struktur bentuk bangunan yang lebih jelas, walaupun telah ditata sedemikian rupa.
      Relief yang kami temui nampak khas dan unik. Masing masing nisan dengan ukuran yang berbeda namun pola nya tetap sama.
    Saya pribadi sempat mengusulkan kepada Bapak Mustain, "Buat batik khas sumowono saja pak motif ini", usul saya. Namun hanya senyum penuh arti yang keluar merespon usul saya, nampaknya beliau sudah kadung cinta dengan sawah. hehehe..




    Dari makam, terlihat pemandangan Gunung Ungaran yang mempesona, dimana konon adalah gunung suci dimana Candi Gedong Songo berada.


Ketahui dan lestarikan


Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
EKA WP dan Bapak Mustain Marzuki

Terispirasi tulisan rekan di akun medsos nya, Kayaknya memulai taggar #takperlutenar dengan foto balik badan seru juga.