Jumat, 26 Mei 2017

Menelusuri Jejak Peradaban di Area PTPN Jatirunggo Pringapus : Makam Mbah Cogeh

Situs Makam Mbah Cogeh : Jatirunggo Pringapus
          Jumat, 26 Mei 2017. Berawal dari postingan foto hasil Blusukan rekan yang sangat menarik hati karena ada potongan arca Rsi Agastya,, kemuncak (ratna pada candi hindu), yang dipermakamkan serta struktur batu candi (dan beberapa watu lumpang). Segera, mumpung belum Puasa Ramadhan pikir saya, mencari waktu longgar ditengah padatnya agenda. Bersyukur sekali saat Mbah Eka WP konfirmasi bersedi ngantar sekaligus mboncengke. Janjian di perpustakaan Ungaran, kemudian kami meluncur ke Pringapus, terlebih dulu singgah di Rumah Bapak Zaini (Juga Pelestari Cagar Budaya), yang kebetulan rumahnya di samping PTPN Jatitunggo. Surprise!, ternyata dirumah bapak zaini menunggu dengan tenang dan damai (baca=menghabiskan suguhan) si teman lengkong Eka B dan rekannya Mas Nur (Salam kenal mas!). 
       Saya baru pertama ini face to face dengan beliau, yang ternyata penuh kejutan. Maaf tak bisa kami ungkap di sini... Biarlah menjadi pengalaman berharga bagi kami. "Biar bisa masuk ke area PTPN, Pak Zaini adalah kuncinya", jelas Mbah Eka. "Biar pengalaman kita saat penelusuran situs di PTPN Getas Pabelan tak terulang", tegasnya lagi. Saya mengangguk, teringat pengalaman buruk waktu itu : baca saja link diatas.
      Benar saja, Kami tak ada halangan berarti, birokrasi feodal tak menakuti kami lagi dan langsung menuju destinasi kami : Makam Mbah Cogeh 
Makam Mbah Cogeh
       Saat kelambu dibuka, saya langsung disuguhi kemuncak (ratna) candi hindu yang sudah di 'permakamkan'. 



      Dari informasi yang saya terima, bangunan sinder, yang berada di area tertinggi dari bukit (dimana PTPN Jatirunggo ini berada) banyak struktur bangunan candi yang menjadi material gedung tersebut. Salah satu yang tertinggal adalah batuan struktur alas candi yang tersebar di beberapa titik :
Batu Candi di Tangga Makam Mbah Cogeh


Struktur Batu Candi : Di Gedung Pusat PTPN Jatirunggo

Jadi Pijakan : Struktur batu candi di PTPN Jatirunggo

Keberadaan bukti bukti yang tertinggal serta ciri-ciri dimana puncak bukit umum terdapat bangunan suci masa lalu, terdapat seumber mata air, subur dan kondisi tanah yang stabil dan tentu saja tersebarnya peninggalan lain di sekitar area, dan tentu saja utara adalah gunung Suci Ungaran (dianggap suci pada masa lalu).


Perkebunan yang merupakan warisan penjajal VOC ini menjadikan menghapus jejak purbakala kuno dengan peradaban penjajah, sebenarnya ada beberapa bukti tinggalan VOC, namun maaf saya tak tertarik.

Saya pribadi yakin, Bangunan suci = candi yang  berada di area ini cukup besar/tinggi dengan bentuk kemuncak yang menjulang.



Memcoba membandingkan dengan kemuncak Candi Prambanan :




























       Mitos atau cerita tentang Mbah Cogeh tak secara eksplisif saya dapatkan, (saya nunggu komentar di naskah ini untuk pelengkap sejarah, agar tak musnah).

      Foto saya ambil hasil penelusuran sebelum saya. dengan memaksa dan tanpa ijin... wkwkwkwk
Pak Zaini, Mas Dhanny dan Mbah Eka WP, dan yang motret.
Salam Peradaban
Situs Makam Mbah Cogeh : Jatirunggo Pringapus
     Maaf ada hal yang tak sepenuhnya saya perlihatkan (saya tutupi badan saya---)... pesanan dari rekan... no publish!.
    Penelusuran berlanjut, Masih di area dekat PTPN Jatirunggo....

Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus : 3 lumpang 1 Yoni

Lumpang Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus

            Jumat, 26 Mei 2017. Dari Kemuncak situs Jatirunggo (PTPN), kami kemudian keluar kompleks dan langsung mencari informasi tambahan dari rekan lain (Lek Wahid kepada Mbah Eka) tentang keberadaan 3 watu lumpang dan 1 Yoni. (penelusuran baru) Dan ternyata, Bapak Zaini yang tiap haripun lewat tak menyangga bahwa batu teronggok di dekat gapura itu adala lumpang yang terbalik dan dirusak sebagian.
Lumpang Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus
Dari warga yang kami temui pertama kali, “Dulu ada 2 watu lumpang yang sama persis bentuk dan ukurannya. Karena warga butuh untuk membangun talud, lumpang di gepuk, yang satu itu pun sebenarnya juga akan digepuk bila kurang. Namun ternyata batu sudah cukup dan itu yang tersisa”, ujar seorang Bapak sambil menunjukkan kepingan batu lumpang yang menjadi talud. Dan seperti innoncent saja nampaknya.
Sudah terlambat, kami hanya bisa menyesali sikap warga antara tak tahu ataukah tak peduli.. entahlah… diskusi yang percuma. 
Kemudian bapak itu menjelaskan lagi, "Di kebun sengon dulunya juga ada watu kotak yang berlubang di tengah dan bentuknya lebih bagus, namun sepertinya diurug kembali saat pembuatan lahan bekas tanaman Kakao,” tambah Bapak tersebut. 

     Namun dari raut muka beliau, kami tak yakin dikubur lagi ataukah dihancurkan juga. 
     Sang  Eka B dan rekanya mencoba menelusuri ulang, tapi saya sudah kepalang kecewa tak tertarik lagi… namun keberadaan 1 lumpang lagi yang terletak 600 meter (kata info rekan tersebut : Wahid Cahyono) menjadikan kami tetap mencoba menggali ingatan Bapak tersebut. 

Benar saja, setelah beberapa saat, beliau teringat, diseberang kali di tengah ladang warga masih ada Lumpang yang ketiga.
Melewati sungai yang konon dulu saat jaman penjajah VOC dibangun jembatan, saya terlupa mengabadikan jejak kaki jembatan yang masih tersisa (Nampak sekali kekuatan cor-coran yang berbeda dengan kondisi cor sekarang).
Setelah beberapa saat meraba-raba sela-sela rerumputan yang tinggi akhirnya ketemulah.
Lumpang 2 : Situs Kalikidang Jatirunggo Pringapus
Dan tetap terlihat, dilumpang yang ketiga ini ada usaha perusakan juga dengan bentuk yang menjadi tak beraturan.
Lumpang 2 : Situs Kalikidang Jatirunggo Pringapus
Semoga cukuplah sampai disini pemusnahan hasil peradaban ini, semoga yang sudah terlanjur hanya karena tak mengetahui saja, bukan karena sengaja menganggap watu ini tak bermakna.
Penampang atas Lumpangg Situs Kalikidang Jatirunggo Pringapus





















          Bukan 'sok' mengajari, namun tak perlulah sedikit-sedikit memvonis musyrik, karena bagaimanapun ini adalah hasil olah pikir, olah raga dari para pendahu kita ribuan tahun yang lalu. Membuat batu yang keras menjadi berbentuk dan beradab seperti ini. Saat teknologi tak semaju saat ini, bagaimanakah bisa orang dulu sudah bisa membuat benda seperti ini, sementara saat ini orang mengandalkan teknologi dengan hasil tak sekuat, tak seindah masa lalu????? 


Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus 


















Bersama Bapak (terlupa tanya nama, karena saking kecewanya). Dari Kiri : Mbah Eka WP, Bapak Informan, Pak Zaini, Mas Eka B dan Mas Nur.
Lumpang : 2, Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus


Salam Peradaban.

di Lumpang Situs Kalikidang Jatirunggo, Pringapus

Lumpang Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus

Lumpang Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Jumat 26 Mei 2017. Setelah Penelusuran situs di Kompleks PTPN Jatirunggo dan situs Kalikidang, saya dibawa oleh komplotan pelestari – pecinta situs (Mbah Eka WP, Eka Budi dan Pak Zaini) ke lokasi lain, masih di Jatirunggo Pringapus. Awalnya, menelusuri jejak Lumpang di bawah rimbunan bamboo di pinggir kali. Namun beberapa saat tak ketemu jua. Kemudian karena durasi waktu membatasi akhirnya kami menuju Makam Silembu, Krajan Jatirunggo.
Lumpang Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Menuju Makam, saya melewati Lumpang yang diduga ada hubunganya dengan 2 lumpang dimakam. Sayangnya pemilik lumpang ini terkesan arogan dan seenaknya memperlakukan lumpang dan bahkan pecinta situs yang ngobrol dengan beliau merasakan pula ketidaknyamanan itu.
Mohon maaf tanpa tak menyertakan petunjuk arah karena saya yakin mudah untuk mencarinya.
Dari nama ; ‘Makam Silembu’, saya jadi antusias tentang asal muasal nama makam ini. Pastinya ada arca Nandi (lembu=sapi) yakin saya dalam hati.
 “Penelusuran sebelumnya, kami dapat informasi keberadaan kemuncak relief ulir yang unik, kemarin pas kesini kemuncak tertutupi bekas ranting pohon, tapi kata informan kami akan diebrsihkan”, jelas Mbah Eka WP. “Juga ada 2 watu lumpang”, tambah Mbah Eka WP. 
Berkibarlah semangat saya…. Menuju Makam menyusuri tebing yang cukup tinggi, sementara dibawahnya sendang dan sungai yang cukup besar.
Sayangnya…
Nama Silembu ternyata hanya tinggal nama saja … dari awal saya memang tak diberitahu bahwa Arca Silembu telah dicuri orang. Takut nglokro tak jadi kesini kata Mbah Eka. Padahal pastinya punya sejarah yang panjang tentang arca Nandi yang berada di Makam ini. Apalagi selain Nandi juga ada lumpang.
Kesialan Ditambah lagi dengan kenyataan, “Ternyata informan kami PHP”, kata Mbah Eka WP. Tumpukan ranting sisa penebangan pohon besar (pembersihan pas acara Nyadran Kampung) masih menumpuk dibeberapa lokasi. Kami mencoba mengangkat beberapa ranting pohon tersebut, namun usaha kami ternyata harus panjang dan dengan daya upaya yang keras. Sehingga akhirnya kami memutuskan untuk menyetop.
Saat sampai di Makam selembu, saya sempat melirik Keberadaan 2 lumpang yang berjarak kurang dari 20m.


Lumpang 1, berbentuk tak beraturan namun terlihat masih beraura.
Lumpang 1, Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Lumpang yang kedua, bulat presisi dengan hampir 100% permukaan lumpang ditumbuhi lumut.
Lumpang 1, Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Berbagai kemungkinan fungsi lumpang seperti digunakan untuk penentuan/ penetapan tanah sima (umumnya punya ciri khusus, ada inskripsi atau relief tertentu), Lumpang untuk menumbuk sesajen yang digunakan untuk upacara sesembahan kepada Dewa Siwa (juga dewa lain) keberadaan Lembu = Arca Nandi memungkinkan keberadaan Yoni, Ganesha dan atau banngunan suci hindu kuno di area ini. 
Lumpang 2, Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Dugaan ini diperkuat keberadaan 2 buah sendang tak tak jauh dari makam. Fungsi lain lumpang digunakan untuk menumbuk biji-bijian yang dikonsumsi masyarakat dan atau sebagai pusat ritual memulai masa tanam atau setelah masa panen.
Lumpang 2, Situs Makam Silembu Krajan Jatirunggo Pringapus
Tentunya, tulisan ini mungkin banyak kurangnya, mohon dimaklumi saya tak memiliki background arkeolog, hanya seorang yang mencintai situs dan watu candi sebagai sebuah peninggalan peradaban masa lalu.

Salam Peradaban.








Selasa, 23 Mei 2017

Pakintelan, Jejak Peradaban Masa Silam Gunungpati : Arca Ganesha

Arca Ganesha di Pakintelan Gunungpati

     Selasa, 23 Mei 2017. Dua minggu tidak blusukan terasa berbeda, saya memang sudah addicted atau ketagihan blusukan situs. Terakhir kali penelusuran lintas batas pekalongan 7 Mei kemarin. Rencananya tanggal 21 kondangan rekan yang nikah di Temanggung sekalian meluangkan waktu blusukan, karena nama desa maupun kecamatan  (Desa Kentengsari - Kec. candiroto : Kenteng = Yoni, candi = Bangunan suci masa lalu yang telah rata dengan tana?) sungguh meyakinkan bahwa ada tinggalan purbakala. 

     Informasi keberadaan situs-pun sudah saya dapat, walau dengan bantuan rekan (tangan kedua), maturnuwun lek Wahid, sekaligus Nyuwun Pangapurane... Namun jika takdir berkehendak lain. Tepat setelah saya makan di resepsi rekan tersebut (nampaknya telat makan), badan saya terasa mulai gemetar. Untungnya bisa sampai rumah walau mengendarai dengan totality drodog.

          Setelah bedrest, selasa ini kembali aktif bekerja walau masih terasa lemas namun saya paksakan kaerna ada hal yang harus saya selesaikan. Ketika obrolan santai dengan oknum kantor kulon ndalan yang lagi bête dan ngajak blusukan… “Penting cedak, adoh ga wani jeh ndredek”. Satu kata terngiang… PAKINTELAN!
Arca Ganesha di Altar Vihara Pakintelan

Sepakat, apalagi konon oknum ini ingin bertanam di rumahnya, jadilah kami janjian di toko pertanian daerah Sumurrejo (kebetulan nama sama dengan nama asli penulis) yang jadi langganan saya. Kemudian kami lanjut ke Pakintelan dengan satu motor dan saya membonceng.
Informasi Peradaban kuno Pakintelan (dibaca= peninggalan berwujud batu) berawal tak sengaja saya bertamu ke salah satu warga. Saat bercerita tentang keberadaan komunitas umat Budha di Pakintelan, kemudian saya tanya perihal “Apakah ada batu kotak berlubang tengah diatasnya = yoni / lumpang kuno?”. Jawaban beliau mengejutkan saya. “Dulu ada mas batu seperti itu”, jawab beliau saat saya perlihatkan foto bentuk yoni. “Namun sudah dirusak, dibuat talud oleh warga, padahal dulu seingat saya sudah dibuatkan pagar mengelilingi Batu sejarah itu”, tambahnya.  @#$@#$%#@#$...
"Para sesepuh dulu, berniat menjadikan tetenger sejarah desa, agar penerus tak lupa jatidiri, sayangnya generasi selanjutnya tak menganggap keberadaan watu itu", guman Bapak tersebut.
Seketika saat itu langsung gelo setengah mati, mungkin membaca raut muka saya yang kadung kecewa, “Ada juga ditemukan di gumuk belakang desa Pakintelan , Arca atau patung yang berbentuk gajah. Saat ini sudah tersimpan aman di Vihara”, lanjut beliau. “Di gumuk, atau gunung itu tempat Yoni dan Arca itu diduga berasal diduga masih banyak struktur batu yang berpola dan banyak terpendam”, pungkas beliau. Segera saat itu saya catat.---beberapa bulan kemudian. Saat ini.
---
Harap cemas sebetulnya blusukan penelusuran Pakintelan, selain masih sakit jika orang rumah ada yang tahu bisa berabe.  
Vihara Budha Dipa Pakintelan
Dari Sumurejo kemudian kami melaju pelan ke arah Pakintelan, yang kurang dari 5 menit saja dengan 1 kali bertanya kepada warga. Sampailah kami di vihara tersebut…
Setelah minta ijin dengan seorang Ibu yang rumahnya disebelah vihara, Ibu Wantinah nama beliau. Kami juga menjelaskan kami dari pecinta situs dan watu candi.
Dengan ramahnya beliau mempersilahkan kami untuk melihat arca Ganesha di Altar Vihara.
"Yang membawa ke sini "jenate" bapak saya (=orang yang sudah meninggal/almarhum). Hanya dibawa memakai kain sarung. Kata Bapak, beliau ingin menyelamatkan patung ini dari perusakan. Dan ingin menyimpan di Vihara (yang saat itu masih dalam tahap pembangunan)," jelas Ibu Wantinah. 
Ganesha Pakintelan
Kondisi Arca Ganesha secara umum baik, dengan rekondisi cat dan nampaknya ada usaha untuk merekatkan retakan di bagian atas patung dengan semen. 
"Itu karena ada usaha untuk membelah patung itu, yang sudah hancur bagian mahkota kepala dan belalai bagian atas. Itulah yang mendasari bapak untuk membawa ke sini mas, karena kalau dibiarkan pasti saat ini hanya tinggal kerikil saja. Kalau kata bapak saya, biarlah patung ini di vihara, biar ikut menjaga lingkungan, pesan beliau kepada kami", ungkap ibu Wantinah.
Tentang Arca Ganesha, dalam Mitologi Hindu yang merupakan perwujudan Dewa Kecerdasan ini : (Saya sarikan dari berbagai sumber)
     Dewa Ganesha merupakan Dewa penghancur segala rintangan serta penganugrah siddhi dan budhi atau kecerdasan intelektual. Beliau merupakan putera dari Dewa Siva dan Dewi Parvathi, yang menggambarkan seorang siswa wedandik sejati (siswa yang mempelajari ilmu pengetahuan suci Veda). Menurut sastra suci, Dewa Ganesha merupakan Dewa paling awal yang dipuja dalam setiap pemujaan Hindu.     Dalam Kekawin Siwaratrikalpa disarankan untuk memuja Sri Ganesha dan Kumara sebelum melakukan pemujaan kepada Dewa Siva dalam perayaan Siwaratri. Dewa Ganesha telah dipuja sejak zaman purbakala sebagai obyek pemujaan para rsi, yogi, penyair, musisi, dan para siswa, sebab Beliau dianggap sebagai penguasa pengetahuan (vidya) dan penguasa pencapaian duniawi (avidya).     Ciri dan makna Dewa Ganesha antara lain: 1. Sang penguasa rintangan (Vignesvara) ini digambarkan memiliki 4 tangan yang merupakan simbolis 4 peralatan batin (antahkarana). a. Tangan kanan depan bersikap abhaya hasta (memberi berkat) kepada pemuja, umat manusia. Selain itu Beliau juga memberkati dan melindunginya dari segala rintangan dalam usaha pencapaian Tuhan. b. Tangan kanan belakang memegang kapak, dengan kapak itu beliau memotong keterikatan para bhaktanya dari keterikatan duniawi c. Tangan kiri belakang memegang tali dan dengan tali beliau menarik mereka untuk semakin dekat dengan kebenaran, kebajikan, dan cinta kasih serta intektualitas, kemudian pada akhirnya beliau mengikatnya untuk mencapai tujuan umat tertinggi. d. Tangan kiri depan membawa modaka (manisan). Manisan/modaka/bola nasi yang dipegang oleh Dewa Ganesha perlambang pahala dari kebahagiaan yang beliau berikan kepada pemuja-Nya.
Ganesha Pakintelan
2. Kepala dan Telinga yang lebar. Dewa Ganesha menderita tuli loh! Telinga yang besar menunjukkan bahwa Dewa Ganesha selalu mendengarkan setiap doa yang diucapkan oleh pemujanya. Kepala dan telinga yang besar juga melambangkan seorang siswa Wedantik. Pengetahuan sifatnya sangat bersifat intelektual sehingga diperlukan kepala yang besar untuk memahami dan meyakini logika pengetahuan. 
3. Taringnya patah. Dewa yang juga disebut “Vinayaka” ini dilukiskan telah kehilangan salah satu taringnya saat bertempur dengan Paramasura. Ini menunjukkan seorang siswa dengan kecerdasan dan kemampuan viveka (kebijaksanaan) yang telah dimilikinya ia mampu mengatasi suka duka dalam kehidupan. (*versi lain menuturkan Ganesha memotong taringnya ketika menulis epos Mahabharata yang dikisahkan Bhagavan Vyasa). 
Perut Buncit Dewa Ganesha
 4. Perut buncit, ini lambang gudang segala kebijaksanaan dan material. 
5. Kendaraan-Nya Tikus. Beda halnya dengan manusia yang suka berkendaraan mewah, jor-joran. Dewa Ganesha memilih berkendaraan tikus. Binatang kecil yang menjadi kendaraan beliau adalah lambang dari kama atau keinginan manusia. Keinginan yang harus dikendarai dan dikendalikan untuk mencapai kemurnian hati dan tujuan hidup sejati.
Keberadaan Yoni yang sudah hancur, berbanding terbalik dengan Arca Ganesha yang masih lestari. Kemungkinan struktur batu candi di gunung juga membuat kami tertarik untuk menelusuri ulang area Pakintekan ini. 
Karena kedekatan atau garis sejarah dengan area Watu Gong (KODAM IV Diponegoro) yang dengan keyakinan saya pribadi menyimpan misteri peninggalan di area militer tersebut. Di dekatnya, di Pudakpayung tepatnya di 2 lokasi yaitu   Yoni di Kalimaling dan Yoni Kalipepe
Serta keberadaan sendang putri tak jauh dari sungai kaligarang tepat disisi jalan (Sayangnya saat ini sendang tersebut mulai hilang karena airnya hilang), sendang yang diduga adalah rangkaian dari tinggalan peradaban masa silam
Sementara di sisi utara, ada desa yang sama kuno dengan Pakintelan (apakah ada nama kuno sebelum pakintelan?), tak jauh, hanya 3km saja desa Kalisegoro juga ada jejak peninggalan purbakala disana. 
Sebuah garis lurus yang harus diteliti lebih mendalam. 
Watu Gong
Bukti sudah banyak. Semoga sejarah semakin menemukan jalanya, sebagai sebuah pembelajaran hidup masa kini. Salam!

Bersama keluarga yang superamah, super sekali. “Apresiasi kepada segenap keluarga ini yang turut serta merawat dan melestarikan Arca Ganesha ini”

Saya dan Mbah Eka w Prasetya mengapit keluarga super ramah. 
Salam peradaban.
Catatan spesial Blusukan Kali ini... Masyarakat di Pakintelan sangan rukun, beberapa agama hidup bertoleransi tinggi. Bertambah spesial adalah : Arca Ganesha di lestarikan di Vihara!!!! Apresiasi dan Salut! 

Minggu, 07 Mei 2017

Jejak Peradaban di Tlogopakis, Petungkriyono Kabupaten Pekalongan : Situs Lingga Yoni

Situs Dusun Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan

 Minggu 7 Mei 2017.
Berawal dari screenshot akun facebook (bukan teman) tentang keberadaan situs lingga yoni di Petungkriyono Kab. Pekalongan yang sangat menarik hati dan langsung menjadi prioritas, sampai suatu ketika saat saya memprovokatori rekan blusukan yang beberapa tahun lalu pernah bertiga (Saya, Lek Suryo dan Lek Trist) blusukan lintas batas ke Situs Ganesha Silurah Batang  untuk kembali blusukan ekspedisi lintas batas.
Ketertarikan muncul karena selain keberadaan 2 situs di satu desa, Yoni juga memiliki ciri yang belum pernah kami temui : penyangga cerat adalah naga---Naga yang ekspresif sekali---, kemudian juga dalam satu desa banyak curug / air terjun yang sangat indah, belum lagi pemandangan alamnya.
  Setelah sebulan kami berkoordinasi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kelancaran seperti ;  download offline gmaps, denah lokasi wisata dan mencoba menghubungi saudara saya : Kang Lukman untuk memperoleh informasi dan petunjuk arah.
Eh... tanpa dinyana, ternyata kang Lukman rela hati menjadi pemandu kami. Bertambah semangat-lah kami. Apalagi salah satu rekan tertarik pula untuk turut serta, Plus saya ngajak istri untuk ikut menikmati keindahan alam yang sudah menunggu kami.
Kali ini tak ada dress code khusus, hanya saya meminta rekan2 untuk bawa bekal nasi dan minum sebanyak-banyaknya. “Blusukan kita ini bukan foya-foya, tapi menelusuri ulang jejak peninggalan leluhur”, menjadi rule blusukan kali ini.
Selamat Datang Kota Batang

Awalnya kami bersepakat untuk berkumpul di Kaliwungu jam 8, namun karena saya lewat jalur alternatif Boja-Kaliwungu maka saya putuskan untuk memajukan titik kumpul kearah Batang, tepatnya di gerbang selamat datang Kota Batang. Sepengginang lamanya, akhirnya sudah lengkap. Kami kemudian janjian di depan SMPN 13 Pekalongan dengan Kang Lukman, Sang Guide kami.
Setelah berbasa-basi dan perkenalan singkat, segera kami mengekor dibelakang motor satria baja hitamnya, tak sabar untuk segera  blusukan. 
Belum setengah perjalanan hujan deras menyambut kami. Layaknya ucapan selamat datang bagi kami. Kang Lukman tiba-tiba berhenti, “Lanjut atau tidak, perjalanan masih jauh”, tanyanya kepada kami. Kami hanya tertawa dan terus melaju.
Walaupun hujan deras, namun sambutan keindahan alam Petungkriyono tetap sangat mempesona kami, apalagi jika hari cerah. 
Sejuk, udara masih alami serta jernihnya air menggoda kami untuk segera merasakan segarnya. Kondisi jalan yang tak cukup baik memang menjadikan kami merasa perjalanan menuju Petungkriyono sangat jauh. (Sayang sekali akses jalan tak dibangun, padahal potensi wisata sangat besar tak kalah dengan puncak bogor). 
Curug Bedug

Saat perjalanan beberapa kali kami disambut curug kecil (ternyata diakhir perjalanan Mas Imam menghitungnya berjumlah 18 curug = konon malah lebih) dan di setengah perjalanan tepat dipinggir jalan (kira-kira 50m) terlihat Air terjun “Curug Sibedug” namanya. Tapi kami memutuskan Curug Sibedug adalah final destination kami.
Keidahan suasana sepanjang jalan Petungkriyono ini mengingatkan saya dengan rute jalan menuju Puncak Bogor, dimana bedanya jika disana jalan lebih baik (=halus), di Puncak bogor saluran air tersedia sementara di sini tak ada saluran air. Menurut saya itulah penyebab aspalnya tergerus. Disana pemkab lokal juga sangat perhatian dengan akses jalan ini karena menjadi modal pariwisata. Kurang lebih 1 jam dari Kota pekalongan, lewati kecamatan Doro akhirnya sampailah juga kami di Desa Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono.
Bapak Ribut

Saat kami bertanya pada warga, ternyata situs ini memang sudah familiar, “Yang bawa kunci Bapak Ribut mas, rumahnya di ujung gang ini”, jelas warga yang kami tanyai. Tak sabar kami menemui beliau.
           “Masuk dulu mas, hujan masih deras. Jika agak reda nanti saya damping yang kebetulan saya dioercaya sebagai juru pelihara situs Lingga Yoni Petungkriyono itu”, urai Bapak Ribut.
      Walaupun segan, namun paksaan dari beliau akhirnya membuat kami duduk di kursi beliau walaupun dengan baju basah (Saking derasnya hujan menembus mantol/jas hujan kami). Tak lama teh nasgitel dibuatkan oleh istri Bapak Ribut. Benar-benar keramahan seperti ini adalah juga aset wisata. Berulangkali kami bersyukur. Karena selain Teh Panas juga dihidangkan aneka camilan, Matursembahnuwun ibu, "Mungkin beliau tahu wajah kami mencerminkan raut muka kelaparan". hahahaha.
          Setelah kami merasa cukup waktu beristirahat, kemudian kami mohon ijin kepada Bapak Ribut untuk segera menengok keberadaan Situs. "Ya, mas saya ambil payung dulu", kata Bapak Ribut sambil memberi kode pada kami untuk mengikutinya. Apresiasi yang tinggi kami haturkan kepada beliau, kepada Bapak Ribut walaupun jarinya terluka karena sabit saat mencari rumput yang masih di perban, juga gerimis masih kompak dengan dinginnya udara mengetes nyali kami. Tapi Beliau, Bapak Ribut dengan sukarela menemani kami.
     Perjalanan menuju lokasi dari rumah Bapak Ribut di video-kan olek Lek Tris... (Video Amatir): (nunggu proses uplod)
   Setelah menyusuri pematang sawah, diiringi gemercik suara air, melewati jembatan bambu dan sekali lagi meniti jalan setapak di tengah tanaman padi yang mulai menguning, mulai terlihat apa yang menjadi tujuan kami. Jagad pramudhita!
Situs Yoni Lingga Dusun Tlogopakis
          Berlatar landscape pegunungan, jajaran hutan pinus yang membiru serta awan dan kabut tipis yang menjadi penghias, maka sempurnalah “beautiful view”di Situs Lingga Yoni ini.
     Setelah dibuka kunci pintu gerbang oleh Bapak Ribut, jadilah kami bisa melihat secara langsung Situs Lingga-Yoni Petungkriyono ini. Secara umum kondisinya cukup bagus terutama pagar tembok yang mengelilinginya serta Situs ini terawat rapi. Sungguh menggembirakan, puas dan terbayar luas walau perjalanan sangat melelahkan.
Diskusi bareng bersama Bapak Ribut : (kiri)
 “Dulu ada seorang dermawan yang memberikan dana untuk membebaskan tanah dan membangun pagar ini. Beliau seorang TNI yang berpangkat”, jelas Bapak Ribut. “Namun karena kendala teknis, hanya seluas ini yang dibebaskan, padahal beliau ingin membebaskan lebih luas lagi karena diduga masih ada yang lain”, tambah beliau.
 
Situs Lingga Yoni Tlogopakis Ds. Petungkriyono
Bagian-bagian Yoni masih lengkap, bahkan lingga masih bertengger di lubang penampang atas yoni. Lingga Yoni merupakan satu kesatuan yang melambangkan manifestasi dari Dewa Siwa dan (istri) shakti-nya.
Yoni berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat.
Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), JagatiPadmaKanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga
Lingga Situs Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan.

Bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti, bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Yang spesial adanya relief di bagian bawah lingga.
Situs Yoni - Lingga Petungkriyono Kab. Pekalongan

          Pusat segala perhatian kami tentu saja naga yang membuka lebar mulutnya, nampak sangat indah dengan detail pembuatan naga yang juga berfungsi menjadi penyangga cerat Yoni.
Situs Yoni - Lingga Tlogopakis : Naga

    Literatur tentang penyangga Cerat Yoni, saya olah dari berbagai sumber :

Ular naga
Mahabharata yang menceritakan Arjuna dengan Ulupi putri Raja Naga dari Himalaya dan   perkawinan Arjuna dengan Chitragada putri Raja ular bernama Chitravahana dari Manipur (Nina Santoso Pribadi, 1989:151). 2.Menurut Fergusson tahun 1971 berdasarkan Berita Cina Hiu Oen Thsang bahwa legenda ular   atau Naga dihubungkan dengan pemerintahan atau kerajaan terdapat di sepanjang Kabul  sampai Khasmir (Nina santoso Pribadi, 1989:151). 3.Menurut Briggs tahun 1957 Dalam Mitologi Negara Kamboja ada kepercayaan turun-temurun  bahwa  Naga sangat berhubungan erat dengan keturunan raja-raja di Kamboja, karena Naga   dianggap nenek moyang pelindung kerajaan. Dan kaitan raja-raja dengan Naga  (Nagaraja)   yang menguasai bumi (Nina santoso Pribadi, 1989:151). Pengaruh pahatan naga pada seni pahat di Indonesia dipengaruhi dari seni rupa India sehingga muncul seni pahat  naga bermahkota, seperti halnya pahatan yang terdapat di bangunan candi, keraton, lingga yoni dan lain-lain. Tetapi Naga dalam seni pahat Indonesia memiliki kekhasan dipengaruhi seni lokal. Ciri khusus adalah Pola hias Naga lebih raya, indah dan halus pahatannya. Hiasan yang raya dihubungkan dengan status sosial atau strata masyarakat.
Ular   Naga atau yang dikenal dengan nama Taksaka, bertugas menjaga candi. Wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangkar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.
         
Relief  Ular di bawah Yoni: terlihat sisik dan ekor yang melilit
Sangat spesial relief naga di Yoni Tlogopakis, Petungkriyono ini. Selain naga yang membuka mulutnya, juga relief badan naga lengkap dengan sisiknya yang melingkar di sekeliling Yoni. Sementara Kura-kura berada di keempat sisi pojok Yoni bagian bawah.
Kura-Kura
       Kura kura adalah salah satu, dari sepuluh Dasa Awatara dalam agama hindu. yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia.  
Dalam kitab purana Kurma Awatara / sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga : 
     Satyayuga atau Kertayuga, merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang berputar seperti roda. Setelah Satyayuga berakhir, untuk sekian lamanya kembali lagi kepada Satyayuga. Satyayuga berlangsung kurang lebih selama 1.700.000 tahun. Setelah masa Satyayuga berakhir, disusul oleh masa Tretayuga. Setelah itu masa Dwaparayuga, lalu diakhiri dengan masa kegelapan, Kaliyuga. Setelah dunia kiamat pada akhir zaman Kaliyuga, Tuhan yang sudah membinasakan orang jahat dan menyelamatkan orang saleh memulai kembali masa kedamaian, zaman Satyayuga.
      Satyayuga merupakan zaman keemasan, ketika orang-orang sangat dekat dengan Tuhan. Hampir tidak ada kejahatan. Pelajaran agama dan meditasi (mengheningkan pikiran) merupakan sesuatu yang sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat manusia bisa mencapai 4.000 tahun ketika hidup pada zaman ini. Menurut Nathashastra, di masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang berbahagia.
      Pada masa Satyayuga, orang-orang tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat berhubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan tidak diperlukan, sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan, sehingga pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun
          Relief penyangga cerat, sangat detail. Mulai Mahkota, Anting, dan Taring. “Dulu pernah ada penggembala kerbau yang mematahkan salah satu taring, dan kemudian taringdibawa pulang. Esok harinya penggembala tersebut meninggal mendadak”, cerita Bapak Ribut. Warga sangat menghormati keberadaan situs Lingga Yoni ini, bahkan sangat men-sakralkan. “Pernah suatu ketika,karena tidak percaya dengan kesakralan situs ini, seorang keturunan yang kebutulan membrorong proyek pembangunan gedung sekolah berkunjung dan meremehkan situs ini, kemudian orang itu lumpuh tk lama setelah pulang dari sini”, tambah beliau
          Warga rutin mengadakan selamatan serta ritual di situs ini ketika memulai masa tanam, dengan membawa sesaen berupa ingkung (ayam berbulu putih bersih), beras hitam dan bunga pakis, dengan maksud adar tanaman tak terserang hama, subur, panen melimpah. “Beras hitam khas tanaman Petungkriyono”, jelas Bapak Ribut. (dan salah satu dari kami beruntung mendapatkan buah tangan padi hitam 3batang).
          Cerat Yoni juga indah,
Cerat Yoni Tlogopakis
Cerat yang berfungsi sebagai aliran keluar air suci (tirta amrta) yang sebelumnya disiramkan ke Lingga saat ritual tertentu, dibeberapa sumber ada lagi yang menuangkan air sisu dan mentega ke atas lingga. 
Di Penampang atas Yoni, terdapat lekukan yang berfungsi menahan air sehingga tak tumpah, melainkan mengalir melalui lubang cerat.
Diatas Cerat Yoni Tlogopakis
Keunikan lain, (Karena Bapak Ribut berulang kali meyakinkan kami), di atas cerat seperti 2 lingga yang berdiri. (Kami bingung--- fungsinya apa). Mengundang yang tahu bagi ilmunya kepada kami.


Ganesha Tlogopakis 

Di situs ini ada pula 2 arca yang telah rusak (aus-penuh lumut), menurut Bapak Ribut kedua arca tersebut adalah arca Ganesha. 

Namun dalam diskusi kami sempat berdebat yang satu karena bentuk perut yang buncitnya lebih bundar selain Ganesha memungkinkan pula Kinara-kinari.
Yang konon dulunya memang masih insitu, ditemukan disekitar area situs ini. Sayangnya penelitian-eskavasi terkendala pembebasan lahan--- Padahal kami yakin.... masih banyak lagi. Bahkan mungkin sebuah bangunan suci masa lalu(=candi) pernah tegar berdiri di sini.
Setelah kami rasa cukup.... Kami kemudian mohon diri dan sebagian dari kami berjanji "Pergi tapi pasti akan kembali", Saking indahnya alam sini.
Perjalanan blusukan lintas batas di Petungkriyono Pekalongan ini berlanjut ke situs yang kedua, yaitu Situs Gedong.

ki-ka : Lukman sang guide, Suryo wibowo, Bapak Ribut, Max Trist, Imam, SSDRMK

Salam Peradaban.
Di Yoni-Lingga Tlogopakis