Senin, 18 Februari 2019

Desa Kener, Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang : Surga situs masa lalu yang tersembunyi

Watu Kenteng Sari Desa Kener  : Lumpang

       Selasa, 19 Pebruari 2019. Kali ini tak bisa di logika… entahlah. Ceritanya di malam hari saat saya nulis kisah blusukan situs Watu Lumpang Doplang Bawen, dalam tulisan itu saya sempat menulis untuk kembali blusukan, dan membulatkan tekat untuk mengagendakan penelusuran...
Singkat cerita. Hari ini, mendadak dimintai tolong untuk menjadi driver tugas monitoring dan evaluasi perpusdes ke beberapa desa. Ada 3  Desa tujuan kali ini, yang semuanya ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Yaitu berturut-turut Desa Mukiran, Desa Kener dan Desa Papringan. (ada Candi Payungan dekat area ini)
Seperti biasa saat tugas seperti ini, tak terpikirkan sama sekali untuk mencari kesempatan blusukan. Namun….. saat menuju Desa Kener, (Desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Boyolali-kalau tidak salah Tlatar) melewati jalan perkampungan yang tak lebar. Saya melajukan mobil dengan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan hijaunya persawahan serta air jernih yang mengalir deras di sisi selokan di kanan maupun kiri jalan. Terbesit sedikit tanya, mungkinkah? Jangan – jangan… --- (ciri – ciri banyak air, subur dan nampaknya suasana desa sungguh adem adalah ciri-ciri yang biasanya langsung mencuatkan antena para blusuker situs untuk menelusur, mencari tempat angker atau minimal makam)… eh sesaat setelah batin muncul pertanyaan itu, gang sebelah kiri, di atas Gapura masuk tertulis dengan giant letter Dusun Kentengsari Desa Kener.
Bukan lagi menyangsikan lagu dangdut kuno, saya lupa penyanyinya yang pasti judulnya  “sebuah nama”….apa artinya?  Bagi saya sangat berarti !!! heheheh  Senyum lebar, dan tanpa sadar, setengah berteriak “Wah mesti ono situse ki!!”, saya keceplosan. Padahal disamping saya duduk Bos e….hehehehe. Untungnya beliau pengertian dan menimpali, “Ya nanti tanya pak Kades”…. Saya tersenyum tambah lebar… dunia menjadi terasa sungguh indah… hehehehhe.
Kantor Desa Kener, Kaliwungu
Sampai di Kantor Desa Kener Kecamatan Kaliwungu, sengaja masuk paling akhir, saya mencoba melongok beberapa arah, barangkali ada gumuk, atau ada pohon besar. Arah pandangan langsung mengarah pada sebuh makam dengan pohon beringin yang lumayan besar di tengah persawahan (gumuk pula)… Semangat membuncah….
Setelah tugas selesai, Bos e malah Tanya ke Pak Sekdes, tentang apakah ada peninggalan kulo di Desa Kener ini?, (Diceritakan pula peran desa Kenteng di Kecamatan Susukan, yang mengumpulkan dan membuat museum—dikolaborasikan dengan perpusdes---jadilah edukasi) dugaan saya tak meleset. Pak Sekdes Mengangguk mantap. “Ada!!!… Kalau di dusun Kentengsari ada watu Kenteng dan watu sari, sementara di dusun kener ini ada masjid tiban ”, tanpa saya minta kemudian mengalirlah cerita tentang Watu Kenteng itu, juga legenda masjid tiban.
Terus terang saya tak terlalu tertarik dengan masjid tiban, Karena Pak Sekdes menuturkan masjid tersebut tinggalan walisongo, saya fokus di watu kenteng. Dan itu adalah kesalahan terbesar saya… heheheh.
Saat beristirahat, sambil mencari strategi untuk menengok watu lumpang, eh tiba-tiba Pak Yanto penjaga Kantor desa Kener menawarkan untuk mengantar menggunakan motornya ke Watu Kentengsari.. Tak dapat kutolak karena setangah dipaksa…hahahahahha.
Setelah lewat di gang dengan tulisan Dusun Kentengsari tadi, sampailah.
Bunker : Wau Kentengsari terlindungi

"Dulu saat sesepuh masih hidup, Watu Kenteng Sari ini terawat... saat ini pun masih dikeramatkan oleh warga. Masih di jaga walaupun memang kondisinya seperti ini. Jika ada yang punya gawe (mantu) tak pernah lupa memberikan sesajen di Watu Kentengsari ini", bapak Yanto panjang lebar bercerita kepada saya. 
Watu Kenteng Sari Desa Kener  : Lumpang
Kondisi lumpang sebenarnya sudah cukup lumayan, sudah dibuatkan peneduh bahkan berbentuk bangunan tertutup total (menyisakan pintu masuk), mirip seperti bunker. 
“Karena memang begitu pentingnya arti Watu Kentengsari ini bagi warga sehingga konon warga sangat memikirkan keamanan watu kentengsari ini.
Walaupun saat ini, saat saya masuk butuh perjuangan untuk mencoba bersahabat dengan lumpur letong yang berair… becek 
(tak usah saya gambarkan bagaimana kondisi nya, apalagi baunya)…. 
Keuntungan bangunan berbentuk bunker ini malah saat di dalam ruangan saya sama sekali tak mencium bau lethong tadi. Yang ada rasanya adem, tenang. …. 
Asal kau tak mengingat di sebelah tembok luar…hahahaha.
Penampang Atas Watu Lumpang : kentengsari
Watu Kenteng sari sebagai asal muasal nama dusun ini, bisa di sebut pula sang hyang kulumpang­ atau watu lumpang.
 Sebuah media, sarana ritual yang sangat sakral yang digunakan pada masa lalu. 
Biasanya banyak sumber yang menduga jamak dipakai pada masa hindu klasik yang pernah Berjaya di Bhumi Jawadvipa ini. 
Mulai dari dipakai sebagai salah satu alat penetapan tanah sima, perdikan. (ada ritual tertentu yang memang berpusat di lumpang), ada pula digunakan sebagai ritual penyembahan dewi cri, kesuburan yang diselenggarakan pada awal masa tanam maupun masa panen. Dan berbagai fungsi lain.
Watu Sari : 8 sisi
Sementara batu yang berukuran kecil, yang menempel unik karena ada tanah yang merekatkan keduanya.. saya pribadi malah menduga ini sebuah umpak. 
umpak?
“Pihak desa berencana dalam waktu dekat akan mencoba  menguri-uri kembali. 
Watu sari (disebut demikian), saya sebenarnya hanya menduga saja ini umpak karena ada 8 sisi dan bentuk bagian bawah datar. namun saya juga menerima pencerahan...

Minimal membersihkan dan membuat akses jalan agar terlihat sari kembali”, tambah Bapak Yanto.
Pak Yanto : maturnuwun pak
Setelah merasa cukup, malah saya sangat puas. Bagaimana tidak? 
Tanpa rencana malah dapat anugrah melihat sendiri situs yang sangat berharga ini.
Kami kemudian kembali ke Kantor Desa, saat Bos dan rekan diarahkan untuk shalat di masjid tiban, saya ijin shalat di desa tujuan kedua monev perpusdes ini, karena ada salah satu perangkat yang mendekat dan mengajak diskusi… --- diskusi seru.
Beberapa foto tambahan Kentengsari :



Setelah selesai kami kemudian berpamitan, ehh .. saat dimobil, tepat saat kunci starter saya nyalakan… Bos yang duduk di sebelah saya menunjukkan HPnya…. Pandangan saya terpana, “Iki lho mau ning masjid…..”
Spontan saya jawab, “Jauh gak bu?” ….
“Enggak itu dibelakang, itu tower masjid kelihatan….” Jawab beliau,
“Jalan Masuknya susah gak bu?” tanya saya.
“Ada kok….”jawab beliau
Masjid Jami Walisongo Desa Kener
Langsung tanpa ijin… (maaf bu…. Hehehe)… saya belokkan stir ke kanan dan tancap gas ke masjid…. Beliau dan teman saya ngekek…. “Kandani wong tuo ngeyel!”….
“Ya bu”, …. sambil saya memasang tampang innoncent.
Sampai di masjid, segera setelah shalat, saya minta ijin kepada pengurus masjid untuk melihat watu yang konon menjadikan masjid ini dikenal menjadi masjid Tiban.
Inilah:
Kemuncak Situs Masjid tiban Kener
Seperti sebuah struktur kemuncak sebuah bangunan… yang biasanya ada diatas. Bisa sebuah pagar atau malah bagian sebuah bangunan suci…
Saya merasa sangat beruntung, tak melewatkan Watu cagar budaya di masjid tiban ini. Bayangkan bila saya terlewat dan nunggu kesempatan lain datang ke desa Kener ini. 
Walaupun memang kemungkinan besar mudah saja, karena bulan depan layanan mobil perpusling akan ke Desa Kener. 
Namun kesalahan saya yang kerap saya lakukan ya itu…saya kurang teliti…. Sudah cukup puas ketika ada 1…. Tak mencoba lebih… (walaupun memang posisi blusukan saat ini bukan blusukan seperti biasanya = kerja tapi blusukan)
Ukiran blandar atap masjid terlihat tak biasa… karena memang sangat kuno sekali bahkan konon sejak masjid ini ada ukiran itu ya seperti itu.
Close up kemuncak di masjid Kener, Kaliwungu, 


Bersama Marbot Masjid Kener, Jami' Walisongo.

Ukiran di bagian dalam atap dibawah kubah, konon ini ukiran yang asli--dulu adalah tiang masjid ini. 
Mengingatkan saya atas ukiran yang saya temui di trowulan saat saya kesana sekitar tahun 2010.
Keunikan lain adalah… bagian kubah masjid yang lain dari biasanya. (semoga ada yang mencerahkan itu ciri dan masa apa….
“Masjid ini konon langsung berdiri tanpa diketahui orang, termasuk batu ini”, jelas Marbot, pengurus masjid yang mendampingi saya ketika menjelaskan asal usul penyebutan masjid tiban (saya lupa bertanya nama beliau.
Kubah Masjid : unik
 “Warga percaya masjid ini masih ada kaitan dengan era Walisongo”, tambah beliau.
Di perjalanan pulang, saya jadi teringat, ketika tadi malam saya menulis naskah penelusuran Watu Lumpang Doplang saya tuliskan kalimat berniat blusukan lagi… sudah sekian lama saya absen. Hmmm. 
Apakah ini jawaban? Tak bisa dilogika memang. Ditengah berbagai kendala… ada saja jalan kemudahan untuk saya…
 Terimakasih kepada para pembaca…. Support dan apresiasi menjadi sebuah nilai tak terkira bagi semangat saya. 
Matursembahnuwun...

Salam pecinta Situs dan Watu Candi.
“Pelajaran yang berharga hari ini yang saya dapat adalah, sebuah keinginan kadang menjadi pertanda … syaratnya kita tulus.”Sampai ketemu di kisah penelusuran yang lain… segera…. (akan ada kisah yang menohok rekan yang selama ini pelit informasi… hahahahaha…. Saya mulai tertawa jahat. Semoga rencana berjalan sesuai keinginan)

#hobikublusukan

Jumat, 01 Februari 2019

Mampir di Watu Lumpang Doplang, Bawen


Jumat, 1 Februari 2019. Akhirnya bisa lagi, setelah cukup lama menunda membagikan kisah awal Pebruari ini. Banyak kendala (alasan) mulai dari semakin tak kondusifnya situasi dan kondisi, juga logistik yang cukup terbatas. Belum lagi destinasi yang entah kenapa saya semakin langka saja mendapatkan informasi. Mungkin saya memang kurang baik, sehingga dampaknya kembali lagi ke saya dengan pelitnya informasi… heheheh maaf. Tapi saya bulatkan tekad, untuk Blusukan ‘must go on’… beberapa rencana yang sempat tertunda harus kuwujudkan.
'Kadang yang tak terencana malah menghasilkan', quote saya untuk kisah ini. Bagaimana tidak. Secuilpun niat saya gak punya untuk ingin blusukan. Karena tujuan awal saya di  Jumat ini adalah ke Sekretariat Komunitas Dewa Siwa (Komunitas Pecinta SItus dan WAtu Candi, untuk memantapkan planning membuat perpustakaan komunitas di rumah Pak Nanang Klisdiarto, Berokan Bawen.  
Namun ternyata saat ngobrol, kedatangan pula personel lain : mas Seno. Ngobrol ngalor ngidul kemudian mengambil property di beberapa lokasi, setelah itu Pak Nanang menawari kami untuk menengok Lumpang di ‘belakang rumahnya.
Saat mendengar kata belakang rumah Pak Nanang ada Watu Lumpang, seketika saya menyumpah serapah (bukan memaki---karena takut kuwalat) namun tertawa…. Kenal hampir 10 tahun tapi belakang rumah kok malah di-“imbu sampai mateng, ki pie to pak!”, sesal saya. Pak Nanang hanya terkekeh.
Dari arah Ambarawa, kami kemudian berbelok ke Kiri tepat di gang sebelum rumah Pak Nanang yang sekaligus adalah Warung Bakso Pak Kemang Berokan, Ini Bukan endorse atau pun iklan. Tapi memang kebetulan kalau blusukan makanan wajib kami adalah mie ayam plus es teh… rencana kami juga (saya ngaku sebagai provokator) mendirikan perpustakaan komunitas di Salah satu sudut di Warung Bakso-Mie Ayam Pak Keman Berokan. Tujuan kami tentu saja edukasi, menjadi sekretariat plus jujugan mencari sumber data/pengetahuan tentang situs dan segala hal yang berkaitan. Semoga bisa terwujud. Amin!.
Kira kira dari pertigaan kami berbelok kurang dari 500m, kami kemudian nitip parkir di depan salah satu warung kelontong semi modern. Kemudian mengikuti Pak Nanang di depan. Menyusuri pematang sawah. “Tapi karena cukup lama, agak lupa…. Kita cari dulu”, jelas Pak Nanang. Saya batin…. Ini terlihat sekarang faktor U memang menentukan…. Tapi saya batin, entah mas Seno mbatin juga tidak. Cukup agak lama kami memutar meneliti satu persatu petakan sawah, sempat pula bertanya pada ibu yang sedang memanen padi. Namun ternyata ibu itu malah ga ngeh  ada watu lumpang di sekitar sini --- (ternyata bukan warga asli---namun buruh panen padi).
“Terang saja kita cari ga ketemu, lha wong ditutupi damen – batang padi”, kilah Pak Nanang. Saya dan Mas Seno Cuma Ngakak.
Segera saya mendokumentasikan sambil menerima sedikit uraian cerita dari Pak Nanang Klisdiarto. Hanya segelintir sesepuh / orang tua yang tahu keberadaan Watu Lumpang ini, selebihnya abai.
Beberapa dari orang tua yang Pak Nanang temui, menyebut area ini dengan sawah sekenteng, sebuah penyebutan yang identik.
Pak Nanang dan Mas Seno : Gambar setelah batang padi menutupi watu lumpang disingkirkan...
di Lumpang Doplang
Kondisi Watu Lumpang yang malah ditutupi batang padi bekas panen, menjadikan bukti memang watu lumpang ini tak lagi mendapatkan tempat… Sunggguh sedih memang…
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Tapi Kami sebagai komunitas, atau minimal saya lewat blog ini, ingin menyampaikan sebuah cerita. Bahwa Watu Lumpang Doplang ini punya sejarah panjang.
Lumpang Doplang, dibawah tumpukan batang padi
 ‘Dia’ adalah bukti telah hadirnya peradaban di ribuan tahun lalu di sekitar area ini. Ditambah beberapa titik sekitar berokan memang ada situs, seperti Arca Nandi di Pasar Sapi, Candi di Perum Mustika Candi (nama kuno dulu adalah Gumuk Candi), yang saat ini sebagian besar di bawah ketempat yang terakhir menjualnya. Konon saat ini bekas bangunan candi ada di Tower tepat ditengah perumahan Mustika Jati. Cerita yang saya dapat selain bangunan candi utuh, juga ada petirtaan, namun saat ini hilang tak berbekas, bahkan saya yakin yang sekarang tinggal di Mustika Jati Tak ada yang tahu dulu pernah megah berdiri bangunan suci di situ.
Kondisi Lumpang saat ini, terbenam dan miring :
Telat memang tak mampu mengubah keadaan, namun upaya kecil kami sebuah komunitas yang mencoba bergerak melakukan sesuatu, ataupun saya secara pribadi yang hanya berbagi lewat cerita semoga menggugah orang untuk mencoba  mempertahankan jejak cerita bukti peradaban masa lalu. Agar tak mlongo saat ditanya asal usul nama desamu.
Kembali ke Watu Lumpang Doplang, Kondisi yang sejajar dengan lumpur sawah, menjadikan memang watu lumpang ini riskan terlupakan…. Bahkan tiba-tiba hilang, rusak atau entah kemana… hanya dengan alasan…. Bila watu lumpang tak ada area ini bisa ditanami padi walaupun hanya berapa batang saja…..
Watu Lumpang atau banyak disebut sanghyang Kulumpang pada masanya menempati posisi istimewa, pada masa Hindu Klasik yang pernah bersemayam di Bumi Nusantara ini. Sebagai media pelaksanaan upacara seperti penetapan tanah sima, upacara ritual masa tanam, masa panen atau ritual lain.
ssdrmk di Lumpang Doplang
Di era kuno modern, Lumpang biasa dipakai untuk menumbuk biji…. bedanya ada Watu Lumpang yang khusus digunakan untuk menumbuk sesajen yang digunakan untuk ritual upacara suci.
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
Sampai ketemu di penelusuran berikutnya… Maturnuwun Pak Nanang dan Mas Seno…di Jumat berkah ini…
#hobikublusukan