Jumat, 1
Februari 2019. Akhirnya bisa lagi, setelah cukup lama menunda membagikan kisah
awal Pebruari ini. Banyak kendala (alasan) mulai dari semakin tak kondusifnya
situasi dan kondisi, juga logistik yang cukup terbatas. Belum lagi destinasi
yang entah kenapa saya semakin langka saja mendapatkan informasi. Mungkin saya
memang kurang baik, sehingga dampaknya kembali lagi ke saya dengan pelitnya
informasi… heheheh maaf. Tapi saya bulatkan tekad, untuk Blusukan ‘must go on’…
beberapa rencana yang sempat tertunda harus kuwujudkan.
'Kadang yang tak
terencana malah menghasilkan', quote saya untuk kisah ini. Bagaimana tidak.
Secuilpun niat saya gak punya untuk ingin blusukan. Karena tujuan awal saya di Jumat ini adalah ke Sekretariat Komunitas Dewa Siwa (Komunitas Pecinta SItus
dan WAtu Candi, untuk memantapkan planning
membuat perpustakaan komunitas di rumah Pak Nanang Klisdiarto, Berokan
Bawen.
Namun ternyata saat ngobrol,
kedatangan pula personel lain : mas Seno. Ngobrol ngalor ngidul kemudian mengambil property di beberapa
lokasi, setelah itu Pak Nanang menawari kami untuk menengok Lumpang di
‘belakang rumahnya.
Saat mendengar
kata belakang rumah Pak Nanang ada Watu Lumpang, seketika saya menyumpah
serapah (bukan memaki---karena takut kuwalat) namun tertawa…. Kenal hampir 10
tahun tapi belakang rumah kok malah di-“imbu
sampai mateng, ki pie to pak!”, sesal saya. Pak Nanang hanya terkekeh.
Dari arah
Ambarawa, kami kemudian berbelok ke Kiri tepat di gang sebelum rumah Pak Nanang
yang sekaligus adalah Warung Bakso Pak Kemang Berokan, Ini Bukan endorse atau
pun iklan. Tapi memang kebetulan kalau blusukan makanan wajib kami adalah mie
ayam plus es teh… rencana kami juga (saya ngaku sebagai provokator) mendirikan
perpustakaan komunitas di Salah satu sudut di Warung Bakso-Mie Ayam Pak Keman
Berokan. Tujuan kami tentu saja edukasi, menjadi sekretariat plus jujugan
mencari sumber data/pengetahuan tentang situs dan segala hal yang berkaitan.
Semoga bisa terwujud. Amin!.
Kira kira dari
pertigaan kami berbelok kurang dari 500m, kami kemudian nitip parkir di depan
salah satu warung kelontong semi modern. Kemudian mengikuti Pak Nanang di
depan. Menyusuri pematang sawah. “Tapi karena cukup lama, agak lupa…. Kita cari
dulu”, jelas Pak Nanang. Saya batin…. Ini terlihat sekarang faktor U memang
menentukan…. Tapi saya batin, entah mas Seno mbatin juga tidak. Cukup agak lama
kami memutar meneliti satu persatu petakan sawah, sempat pula bertanya pada ibu yang sedang memanen
padi. Namun ternyata ibu itu malah ga ngeh
ada watu lumpang di sekitar sini ---
(ternyata bukan warga asli---namun buruh panen padi).
“Terang saja
kita cari ga ketemu, lha wong ditutupi damen
– batang padi”, kilah Pak Nanang. Saya dan Mas Seno Cuma Ngakak.
Segera saya
mendokumentasikan sambil menerima sedikit uraian cerita dari Pak Nanang
Klisdiarto. Hanya segelintir sesepuh / orang tua yang tahu keberadaan Watu
Lumpang ini, selebihnya abai.
Beberapa dari orang tua yang Pak Nanang temui, menyebut area ini dengan sawah sekenteng, sebuah penyebutan yang identik.
Pak Nanang dan Mas Seno : Gambar setelah batang padi menutupi watu lumpang disingkirkan...
di Lumpang Doplang |
Kondisi Watu
Lumpang yang malah ditutupi batang padi bekas panen, menjadikan bukti memang
watu lumpang ini tak lagi mendapatkan tempat… Sunggguh sedih memang…
Sebuah kenyataan
yang tak dapat dipungkiri. Tapi Kami sebagai komunitas, atau minimal saya lewat
blog ini, ingin menyampaikan sebuah cerita. Bahwa Watu Lumpang Doplang ini
punya sejarah panjang.
Lumpang Doplang, dibawah tumpukan batang padi |
‘Dia’ adalah bukti telah hadirnya peradaban di ribuan
tahun lalu di sekitar area ini. Ditambah beberapa titik sekitar berokan memang
ada situs, seperti Arca Nandi di Pasar Sapi, Candi di Perum Mustika Candi (nama
kuno dulu adalah Gumuk Candi), yang saat ini sebagian besar di bawah ketempat
yang terakhir menjualnya. Konon saat ini bekas bangunan candi ada di Tower
tepat ditengah perumahan Mustika Jati. Cerita yang saya dapat selain bangunan
candi utuh, juga ada petirtaan, namun saat ini hilang tak berbekas, bahkan saya
yakin yang sekarang tinggal di Mustika Jati Tak ada yang tahu dulu pernah megah
berdiri bangunan suci di situ.
Kondisi Lumpang saat ini, terbenam dan miring :
Telat memang tak
mampu mengubah keadaan, namun upaya kecil kami sebuah komunitas yang mencoba bergerak melakukan sesuatu, ataupun saya secara pribadi yang hanya berbagi
lewat cerita semoga menggugah orang untuk mencoba mempertahankan jejak cerita bukti peradaban
masa lalu. Agar tak mlongo saat
ditanya asal usul nama desamu.
Kembali ke Watu
Lumpang Doplang, Kondisi yang sejajar dengan lumpur sawah, menjadikan memang
watu lumpang ini riskan terlupakan…. Bahkan tiba-tiba hilang, rusak atau entah
kemana… hanya dengan alasan…. Bila watu lumpang tak ada area ini bisa ditanami
padi walaupun hanya berapa batang saja…..
Watu Lumpang
atau banyak disebut sanghyang Kulumpang pada masanya menempati posisi istimewa,
pada masa Hindu Klasik yang pernah bersemayam di Bumi Nusantara ini. Sebagai
media pelaksanaan upacara seperti penetapan tanah sima, upacara ritual masa
tanam, masa panen atau ritual lain.
ssdrmk di Lumpang Doplang |
Di era kuno
modern, Lumpang biasa dipakai untuk menumbuk biji…. bedanya ada Watu Lumpang
yang khusus digunakan untuk menumbuk sesajen yang digunakan untuk ritual
upacara suci.
Salam Pecinta
Situs dan Watu Candi
Sampai ketemu di
penelusuran berikutnya… Maturnuwun Pak Nanang dan Mas Seno…di Jumat berkah ini…
#hobikublusukan