Jumat, 22 Maret 2019

Watu Lumpang Dusun Tegal Dlimas Sumowono : Bonus Festifal Gedongsongo 2019


Festifal Gedong Songo 2019

       Jumat, 22 Maret 2019. Cerita blusukan kali ini, saya awali dengan sebuah cerita dari keikutsertaan Komunitas Dewa Siwa dalam Kegiatan Festival Gedong Songo 2019. Sebagai pengingat bagi kami, sekaligus memberitakan kiprah Komunitas Dewa Siwa, alangkah baiknya saya bagikan detail segala hal yang sempat saya rekam. Mulai dari poster kegiatan, dan denah stand :

Rapat persiapan.
Setting stand Dewa Siwa, saat malam dingin berkabut.

juga beberapa situasi stand pada saat pameran, 



dan tak terlupa adalah saat beres-beres di hari terakhir.
      Saya sendiri, penuh liku-liku untuk kegiatan ini. Mulai dari Istri yang berada di Jakarta selama 2 Minggu (otomatis momong 2 anak), kemudian selama 3 hari sayapun dapat tugas mengikuti Bintek di Magelang selama 3 hari (20-22) pas hari H-1 dan sampai penutupan. Walhasil, resiko tetap saya hadapi. Pergi Pulang selama 3 hari Magelang-Ungaran-Gedong Songo tetap saya lakukan. Walaupun dapat dibayangkan bagaimana remuknya badan… namun resiko ikhlas saya tanggung. (Maaf saya tak bermasud apapun saat nulis kisah ini—hanya sebagai pengingat saya pribadi untuk dimasa yang akan datang). Quote yang saya pilih sebagai penyemangat … “Banyak orang memilih menikmati hasil dan abai saat dibutuhkan dalam proses”.
 Walaupun ditengah keterbatasan SDM yang bisa turut serta guyub rukun gotong royong ‘merias” stand tapi ‘show must go on’…, menurut pandangan saya kegiatan ini merupakan ‘humas’ bagi Komunitas Dewa Siwa untuk menunjukkan kiprahnya dalam usaha turut serta melestarikan situs Cagar Budaya dengan cara unik.. yaitu blusukan situs… --- = edukasi langsung ke masyarakat di sekitar situs adalah hal yang paling saya sukai.
Hari Jumat, hari terakhir pameran sekaligus kukutan stand. Saya ngajak kedua anak. Niat saya sekaligus piknik candi sambil momong, tapi ternyata sampai dilokasi (dapat kabar dari WA Grup, semua materi pameran sudah diberesi oleh Mas WI_yono (saya baru face to face ketemu hari ini). Setelah parkir saya kemudian ke toilet mum dulu, dalam perjalanan melewati kantor BCB Gedong Songo, ada panggilan… namun ku abaikan… soalnya fokus saya toilet. 
Apalagi sekilas dalam pandangan saya tak ada yang saya kenal.  
yang terlihat asing itu adalah mas Seno dengan potongan cepak ala tentara… hehehe. Selain mas Seno, Ada Pak Nanang Mas Wiyono dan Pak Ngatno dari BCB Gedongsongo. Singkat cerita saya gabung dan ikut obrolan seru.
Saat sepakat pulang, eh kami ditawari blusukan Lumpang Twins di dekat rumah beliau… tanpa berpikir saya menyahut. 
Wani… walaupun cuaca mendung gelap menggantung dilangit… namun slogan yang dulu pernah ramai di Komunitas Dewa Siwa “Udan tambah edan, banjir ora mlipir”, masih tersisa dalam benak kami.
Dari Candi Gedong Songo, kami kemudian menuju daerah didekat rumah Pak Ngatno.
Kalau tidak salah daerah Tegal Dlimas, dimana dekat pula dengan rumah Pak Mustain di Watu Gandu Sumowono.
Watu Lumpang Dusun Tegal Dlimas Sumowono
Berada di bawah rimbunan bambu berjalan kaki menuju lokasi yang kami tuju melewati sawah warga (yang ditanami sawi).
Watu Lumpang Dusun Tegal Dlimas Sumowono
Karena rumput sangat lebat, sempat mbabati  dulu karena rumput benar-benar tinggi. 
Untung Pak Yono tadi sempat meminjam sabit dari tetangga yang beliau temui. 
Akhirnya kami temukan juga, yang memang sebelumnya tertutup rerumputan.
Dua Lumpang berdekatan,
“Dulu sebenarnya ada 3 watu lumpang, namun yang satu hilang (sudah cukup lama)”, cerita Pak Yono kepada kami.
Keunikan watu lumpang di Dusun Dlimas Sumowono ini adalah salah satu watu lumpang berbentuk yang oval.
Watu Lumpang Dusun Tegal Dlimas Sumowono
Mohon maaf bagi para sahabat yang meluangkan waktu membaca cerita blog kali ini. 
Karena beberapa HP yang turut serta blusukan baterainya habis… waktu juga mulai malam, ditambah mendung gelap sehingga beberapa gambar nampak tidak jelas… semoga dilain waktu saya bisa kembali dan mengulangi kembali. 
Agar sahabat bisa menikmati dua watu lumpang ini lebih detail.
Hujan mulai deras saat kami putuskan untuk berpamitan. Namun sebelum berpamitan saya teringat undangan dari pak Mustain, hari ini di desanya ada ‘sadranan’, banyak makanan katanya… 
Walhasil saya dan pak nanang tetap mampir sementara Mas Seno dan Mas Wi pulang dengan tak gembira karena di Hape ada miscall beberapakali (terciduk, walau disembunyikan saaat menerima = jelas terlihat ekspresi mereka berdua… eh jadi teringat sama Mas Dhany, salam keset.. hhehe. 
Apa kabar mas? Lama ga kelihatan/... pertemanan di FB dihapus ya? Kesete gatel e tenanan po? Hehehhe
Pesta sadranan di rumah  Pak Mustain… Terimakasih kepada semua pihak yang terlibat blusukan hari ini.. tanpa kalian hari ini takkan ada cerita untuk blog ini…
Walaupun sebenarnya ada rasa mengganjal, saat di Gedong Songo… lewat naskah ini saya bener-benar bertanya… apakah tukang parkir Gedong songo memang dilatih ketus? Hehehe. 
3 kali parkir (3 hari berurutan) 20-22 maret 2019 dengan 3 kali orang berbeda ketus semua… hehhe. 
Padahal saya ya gak minta karcis juga… semoga kedepan bisa ramah plus dikasih karcis… heheh. 
Watu Lumpang Sumowono 
Salam Pecinta situs dan watu candi.
Watu Lumpang Dusun Tegal Dlimas Sumowono
#hobiku blusukan

Senin, 11 Maret 2019

Mampir di Watu Lumpang Pager, Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang

Watu Lumpang Pger, Kaliwungu

Senin, 11 Maret 2019.
Apa kabar kawan lama? Malam sebelum kisah blusukan ini terjadi dan bisa aku tulis menjadi sebuah cerita yang bisa saya kenang, maaf terasa agak mellow sedikit. Terus terang saya merindukan blusukan bersama kawan lama ini. 
Kantor Desa Pager Kaliwungu
Kembali ke beberapa tahun lalu, saat pertamakali saya mulai  blusukan situs, saat itu lewat FB kami berkenalan, nampaknya karena kesamaan hobi akhirnya berlanjut ke blusukan bareng. Max Trist nama kawan lama ini. 
Saya mencoba melobi untuk kembali blusukan bareng ke suatu tempat. Walaupun memang entah kenapa untuk menyamakan niat blusukan begitu susahnya, entah kenapa. Bagimanapun saya tetap merencanakan untuk blusukan. Dengan atau tanpa kawan lama ini, walaupun tetap berharap bisa….   
Watu Lumpang Pager
Berkat Pamong budaya pula, secara tak sengaja cerita ini bisa tejadi, berawal dari Mas Bram senior di fakultas sastra (tapi beda jurusan), beberapa hari yang lalu, bertanya kemungkinan layanan perpusling (baca ditempat) saat rangkaian kegiatan HUT Kabupaten Semarang di Desa Pager Kecamatan Kaliwungu kabupaten Semarang. Lewat WA, tentu saja ku respon bahwa perpustakaan siap. 
Apalagi bisa berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan HUT Kabupaten Semarang ini. Singkat cerita. 
Setelah apel ternyata saya mendapatkan dispo surat permohonan layanan perpusling tersebut.
Bersama rekan, ternyata sama-sama tak mengetahui lokasi dimana kegiatan itu diselenggarakan. Ditambah surat tertinggal di meja. Alhasil, menuju desa Pager sempat bertanya 2x kepada warga. Kemudian bertanya pula ke Kantor Desa Pager dimana kegiatan HUT Kabupaten Semarang dilaksanakan.
Singkat cerita, setelah layanan selesai, kemudian kami balik ke Kantor desa Pager untuk meminta kelengkapan surat tugas kami, eh tepat saat mobil perpusling masuk gerbang desa…..  Sumpah serapah, menyesal … kenapa pandangan saya pas datang di pagi sebelumnya tadi gak melihat ini….
Watu Lumpang Pager
Ya Watu Lumpang….. 
Watu Lumpang Pager
Bahagia tiada terkira…. , sekali lagi niat blusukan eh tanpa sengaja dihadapkan dengan indahnya  Watu Lumpang. 
bersama perangkat desa Pager (saya lupa namanya)
Tanpa harus merencanakan perjalanan, bisa nulis kisah penelusuran situs purbakala.
"Sejak saya kecil, posisinya memang sudah disitu”, jelas salah seorang perangkat yang menemani saya. Kebetulan saat saya bertanya ke dalam kantor desa, dan memastikan apakah itu Watu Lumpang perangkat tersebut mengganggukkan sambil berjalan keluar, nampaknya berniat menemani saya. Sambil bercerita.
Namun sayang sekali, posisi watu lumpang ini sudah tertanam sekitar 75%, sehingga jika orang awam… terutama generasi muda tak akan ngeh jika ini watu lumpang yang pada masanya (dulu) pernah menjadi sebuah media sakral di beberapa ritual yang lekat dengan kehidupan pada masa itu.
Watu Lumpang Pager : separuh tertanam di plesteran
Ada Watu Lumpang yang digunakan sebagai sarana ritual penetapan Tanah perdikan,kalau yang watu lumpang ini spesial.... bisa ada inripsi atau tanda lain, sementara watu lumpang pada umumnya digunakan untuk ritual persembahan dewi sri, atau ritual keagaman lain. Ada lagi untuk menumbuk biji-bijian sebagai bahan makanan. 
Namun saya tentu menerima pencerahan dari para ahli arkeologi tentang fungsi Watu Lumpang ini dimasa lalu dan ketika keberadaan waktu lumpang ini membuktikan fakta apakah sebenarnya....
Watu Lumpang Pager
Semoga kisah ini (walau saya sedikit bermimpi) bisa menggugah para generasi muda Desa Pager untuk  nguri-uri  tinggalan leluhur mereka. 
Sekaligus menyadarkan pemerintahan desa, ada tetengar desa yang terlantar dihalaman. 
Hanya butuh sedikit perhatian, diangkat…ditempatkan di lokasi yang layak… bisa menjadi penanda sejarah, literasi sejarah warga… semoga.
Salam Pecinta situs dan watu candi.
#hobiku blusukan

Senin, 18 Februari 2019

Desa Kener, Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang : Surga situs masa lalu yang tersembunyi

Watu Kenteng Sari Desa Kener  : Lumpang

       Selasa, 19 Pebruari 2019. Kali ini tak bisa di logika… entahlah. Ceritanya di malam hari saat saya nulis kisah blusukan situs Watu Lumpang Doplang Bawen, dalam tulisan itu saya sempat menulis untuk kembali blusukan, dan membulatkan tekat untuk mengagendakan penelusuran...
Singkat cerita. Hari ini, mendadak dimintai tolong untuk menjadi driver tugas monitoring dan evaluasi perpusdes ke beberapa desa. Ada 3  Desa tujuan kali ini, yang semuanya ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Yaitu berturut-turut Desa Mukiran, Desa Kener dan Desa Papringan. (ada Candi Payungan dekat area ini)
Seperti biasa saat tugas seperti ini, tak terpikirkan sama sekali untuk mencari kesempatan blusukan. Namun….. saat menuju Desa Kener, (Desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Boyolali-kalau tidak salah Tlatar) melewati jalan perkampungan yang tak lebar. Saya melajukan mobil dengan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan hijaunya persawahan serta air jernih yang mengalir deras di sisi selokan di kanan maupun kiri jalan. Terbesit sedikit tanya, mungkinkah? Jangan – jangan… --- (ciri – ciri banyak air, subur dan nampaknya suasana desa sungguh adem adalah ciri-ciri yang biasanya langsung mencuatkan antena para blusuker situs untuk menelusur, mencari tempat angker atau minimal makam)… eh sesaat setelah batin muncul pertanyaan itu, gang sebelah kiri, di atas Gapura masuk tertulis dengan giant letter Dusun Kentengsari Desa Kener.
Bukan lagi menyangsikan lagu dangdut kuno, saya lupa penyanyinya yang pasti judulnya  “sebuah nama”….apa artinya?  Bagi saya sangat berarti !!! heheheh  Senyum lebar, dan tanpa sadar, setengah berteriak “Wah mesti ono situse ki!!”, saya keceplosan. Padahal disamping saya duduk Bos e….hehehehe. Untungnya beliau pengertian dan menimpali, “Ya nanti tanya pak Kades”…. Saya tersenyum tambah lebar… dunia menjadi terasa sungguh indah… hehehehhe.
Kantor Desa Kener, Kaliwungu
Sampai di Kantor Desa Kener Kecamatan Kaliwungu, sengaja masuk paling akhir, saya mencoba melongok beberapa arah, barangkali ada gumuk, atau ada pohon besar. Arah pandangan langsung mengarah pada sebuh makam dengan pohon beringin yang lumayan besar di tengah persawahan (gumuk pula)… Semangat membuncah….
Setelah tugas selesai, Bos e malah Tanya ke Pak Sekdes, tentang apakah ada peninggalan kulo di Desa Kener ini?, (Diceritakan pula peran desa Kenteng di Kecamatan Susukan, yang mengumpulkan dan membuat museum—dikolaborasikan dengan perpusdes---jadilah edukasi) dugaan saya tak meleset. Pak Sekdes Mengangguk mantap. “Ada!!!… Kalau di dusun Kentengsari ada watu Kenteng dan watu sari, sementara di dusun kener ini ada masjid tiban ”, tanpa saya minta kemudian mengalirlah cerita tentang Watu Kenteng itu, juga legenda masjid tiban.
Terus terang saya tak terlalu tertarik dengan masjid tiban, Karena Pak Sekdes menuturkan masjid tersebut tinggalan walisongo, saya fokus di watu kenteng. Dan itu adalah kesalahan terbesar saya… heheheh.
Saat beristirahat, sambil mencari strategi untuk menengok watu lumpang, eh tiba-tiba Pak Yanto penjaga Kantor desa Kener menawarkan untuk mengantar menggunakan motornya ke Watu Kentengsari.. Tak dapat kutolak karena setangah dipaksa…hahahahahha.
Setelah lewat di gang dengan tulisan Dusun Kentengsari tadi, sampailah.
Bunker : Wau Kentengsari terlindungi

"Dulu saat sesepuh masih hidup, Watu Kenteng Sari ini terawat... saat ini pun masih dikeramatkan oleh warga. Masih di jaga walaupun memang kondisinya seperti ini. Jika ada yang punya gawe (mantu) tak pernah lupa memberikan sesajen di Watu Kentengsari ini", bapak Yanto panjang lebar bercerita kepada saya. 
Watu Kenteng Sari Desa Kener  : Lumpang
Kondisi lumpang sebenarnya sudah cukup lumayan, sudah dibuatkan peneduh bahkan berbentuk bangunan tertutup total (menyisakan pintu masuk), mirip seperti bunker. 
“Karena memang begitu pentingnya arti Watu Kentengsari ini bagi warga sehingga konon warga sangat memikirkan keamanan watu kentengsari ini.
Walaupun saat ini, saat saya masuk butuh perjuangan untuk mencoba bersahabat dengan lumpur letong yang berair… becek 
(tak usah saya gambarkan bagaimana kondisi nya, apalagi baunya)…. 
Keuntungan bangunan berbentuk bunker ini malah saat di dalam ruangan saya sama sekali tak mencium bau lethong tadi. Yang ada rasanya adem, tenang. …. 
Asal kau tak mengingat di sebelah tembok luar…hahahaha.
Penampang Atas Watu Lumpang : kentengsari
Watu Kenteng sari sebagai asal muasal nama dusun ini, bisa di sebut pula sang hyang kulumpang­ atau watu lumpang.
 Sebuah media, sarana ritual yang sangat sakral yang digunakan pada masa lalu. 
Biasanya banyak sumber yang menduga jamak dipakai pada masa hindu klasik yang pernah Berjaya di Bhumi Jawadvipa ini. 
Mulai dari dipakai sebagai salah satu alat penetapan tanah sima, perdikan. (ada ritual tertentu yang memang berpusat di lumpang), ada pula digunakan sebagai ritual penyembahan dewi cri, kesuburan yang diselenggarakan pada awal masa tanam maupun masa panen. Dan berbagai fungsi lain.
Watu Sari : 8 sisi
Sementara batu yang berukuran kecil, yang menempel unik karena ada tanah yang merekatkan keduanya.. saya pribadi malah menduga ini sebuah umpak. 
umpak?
“Pihak desa berencana dalam waktu dekat akan mencoba  menguri-uri kembali. 
Watu sari (disebut demikian), saya sebenarnya hanya menduga saja ini umpak karena ada 8 sisi dan bentuk bagian bawah datar. namun saya juga menerima pencerahan...

Minimal membersihkan dan membuat akses jalan agar terlihat sari kembali”, tambah Bapak Yanto.
Pak Yanto : maturnuwun pak
Setelah merasa cukup, malah saya sangat puas. Bagaimana tidak? 
Tanpa rencana malah dapat anugrah melihat sendiri situs yang sangat berharga ini.
Kami kemudian kembali ke Kantor Desa, saat Bos dan rekan diarahkan untuk shalat di masjid tiban, saya ijin shalat di desa tujuan kedua monev perpusdes ini, karena ada salah satu perangkat yang mendekat dan mengajak diskusi… --- diskusi seru.
Beberapa foto tambahan Kentengsari :



Setelah selesai kami kemudian berpamitan, ehh .. saat dimobil, tepat saat kunci starter saya nyalakan… Bos yang duduk di sebelah saya menunjukkan HPnya…. Pandangan saya terpana, “Iki lho mau ning masjid…..”
Spontan saya jawab, “Jauh gak bu?” ….
“Enggak itu dibelakang, itu tower masjid kelihatan….” Jawab beliau,
“Jalan Masuknya susah gak bu?” tanya saya.
“Ada kok….”jawab beliau
Masjid Jami Walisongo Desa Kener
Langsung tanpa ijin… (maaf bu…. Hehehe)… saya belokkan stir ke kanan dan tancap gas ke masjid…. Beliau dan teman saya ngekek…. “Kandani wong tuo ngeyel!”….
“Ya bu”, …. sambil saya memasang tampang innoncent.
Sampai di masjid, segera setelah shalat, saya minta ijin kepada pengurus masjid untuk melihat watu yang konon menjadikan masjid ini dikenal menjadi masjid Tiban.
Inilah:
Kemuncak Situs Masjid tiban Kener
Seperti sebuah struktur kemuncak sebuah bangunan… yang biasanya ada diatas. Bisa sebuah pagar atau malah bagian sebuah bangunan suci…
Saya merasa sangat beruntung, tak melewatkan Watu cagar budaya di masjid tiban ini. Bayangkan bila saya terlewat dan nunggu kesempatan lain datang ke desa Kener ini. 
Walaupun memang kemungkinan besar mudah saja, karena bulan depan layanan mobil perpusling akan ke Desa Kener. 
Namun kesalahan saya yang kerap saya lakukan ya itu…saya kurang teliti…. Sudah cukup puas ketika ada 1…. Tak mencoba lebih… (walaupun memang posisi blusukan saat ini bukan blusukan seperti biasanya = kerja tapi blusukan)
Ukiran blandar atap masjid terlihat tak biasa… karena memang sangat kuno sekali bahkan konon sejak masjid ini ada ukiran itu ya seperti itu.
Close up kemuncak di masjid Kener, Kaliwungu, 


Bersama Marbot Masjid Kener, Jami' Walisongo.

Ukiran di bagian dalam atap dibawah kubah, konon ini ukiran yang asli--dulu adalah tiang masjid ini. 
Mengingatkan saya atas ukiran yang saya temui di trowulan saat saya kesana sekitar tahun 2010.
Keunikan lain adalah… bagian kubah masjid yang lain dari biasanya. (semoga ada yang mencerahkan itu ciri dan masa apa….
“Masjid ini konon langsung berdiri tanpa diketahui orang, termasuk batu ini”, jelas Marbot, pengurus masjid yang mendampingi saya ketika menjelaskan asal usul penyebutan masjid tiban (saya lupa bertanya nama beliau.
Kubah Masjid : unik
 “Warga percaya masjid ini masih ada kaitan dengan era Walisongo”, tambah beliau.
Di perjalanan pulang, saya jadi teringat, ketika tadi malam saya menulis naskah penelusuran Watu Lumpang Doplang saya tuliskan kalimat berniat blusukan lagi… sudah sekian lama saya absen. Hmmm. 
Apakah ini jawaban? Tak bisa dilogika memang. Ditengah berbagai kendala… ada saja jalan kemudahan untuk saya…
 Terimakasih kepada para pembaca…. Support dan apresiasi menjadi sebuah nilai tak terkira bagi semangat saya. 
Matursembahnuwun...

Salam pecinta Situs dan Watu Candi.
“Pelajaran yang berharga hari ini yang saya dapat adalah, sebuah keinginan kadang menjadi pertanda … syaratnya kita tulus.”Sampai ketemu di kisah penelusuran yang lain… segera…. (akan ada kisah yang menohok rekan yang selama ini pelit informasi… hahahahaha…. Saya mulai tertawa jahat. Semoga rencana berjalan sesuai keinginan)

#hobikublusukan

Jumat, 01 Februari 2019

Mampir di Watu Lumpang Doplang, Bawen


Jumat, 1 Februari 2019. Akhirnya bisa lagi, setelah cukup lama menunda membagikan kisah awal Pebruari ini. Banyak kendala (alasan) mulai dari semakin tak kondusifnya situasi dan kondisi, juga logistik yang cukup terbatas. Belum lagi destinasi yang entah kenapa saya semakin langka saja mendapatkan informasi. Mungkin saya memang kurang baik, sehingga dampaknya kembali lagi ke saya dengan pelitnya informasi… heheheh maaf. Tapi saya bulatkan tekad, untuk Blusukan ‘must go on’… beberapa rencana yang sempat tertunda harus kuwujudkan.
'Kadang yang tak terencana malah menghasilkan', quote saya untuk kisah ini. Bagaimana tidak. Secuilpun niat saya gak punya untuk ingin blusukan. Karena tujuan awal saya di  Jumat ini adalah ke Sekretariat Komunitas Dewa Siwa (Komunitas Pecinta SItus dan WAtu Candi, untuk memantapkan planning membuat perpustakaan komunitas di rumah Pak Nanang Klisdiarto, Berokan Bawen.  
Namun ternyata saat ngobrol, kedatangan pula personel lain : mas Seno. Ngobrol ngalor ngidul kemudian mengambil property di beberapa lokasi, setelah itu Pak Nanang menawari kami untuk menengok Lumpang di ‘belakang rumahnya.
Saat mendengar kata belakang rumah Pak Nanang ada Watu Lumpang, seketika saya menyumpah serapah (bukan memaki---karena takut kuwalat) namun tertawa…. Kenal hampir 10 tahun tapi belakang rumah kok malah di-“imbu sampai mateng, ki pie to pak!”, sesal saya. Pak Nanang hanya terkekeh.
Dari arah Ambarawa, kami kemudian berbelok ke Kiri tepat di gang sebelum rumah Pak Nanang yang sekaligus adalah Warung Bakso Pak Kemang Berokan, Ini Bukan endorse atau pun iklan. Tapi memang kebetulan kalau blusukan makanan wajib kami adalah mie ayam plus es teh… rencana kami juga (saya ngaku sebagai provokator) mendirikan perpustakaan komunitas di Salah satu sudut di Warung Bakso-Mie Ayam Pak Keman Berokan. Tujuan kami tentu saja edukasi, menjadi sekretariat plus jujugan mencari sumber data/pengetahuan tentang situs dan segala hal yang berkaitan. Semoga bisa terwujud. Amin!.
Kira kira dari pertigaan kami berbelok kurang dari 500m, kami kemudian nitip parkir di depan salah satu warung kelontong semi modern. Kemudian mengikuti Pak Nanang di depan. Menyusuri pematang sawah. “Tapi karena cukup lama, agak lupa…. Kita cari dulu”, jelas Pak Nanang. Saya batin…. Ini terlihat sekarang faktor U memang menentukan…. Tapi saya batin, entah mas Seno mbatin juga tidak. Cukup agak lama kami memutar meneliti satu persatu petakan sawah, sempat pula bertanya pada ibu yang sedang memanen padi. Namun ternyata ibu itu malah ga ngeh  ada watu lumpang di sekitar sini --- (ternyata bukan warga asli---namun buruh panen padi).
“Terang saja kita cari ga ketemu, lha wong ditutupi damen – batang padi”, kilah Pak Nanang. Saya dan Mas Seno Cuma Ngakak.
Segera saya mendokumentasikan sambil menerima sedikit uraian cerita dari Pak Nanang Klisdiarto. Hanya segelintir sesepuh / orang tua yang tahu keberadaan Watu Lumpang ini, selebihnya abai.
Beberapa dari orang tua yang Pak Nanang temui, menyebut area ini dengan sawah sekenteng, sebuah penyebutan yang identik.
Pak Nanang dan Mas Seno : Gambar setelah batang padi menutupi watu lumpang disingkirkan...
di Lumpang Doplang
Kondisi Watu Lumpang yang malah ditutupi batang padi bekas panen, menjadikan bukti memang watu lumpang ini tak lagi mendapatkan tempat… Sunggguh sedih memang…
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Tapi Kami sebagai komunitas, atau minimal saya lewat blog ini, ingin menyampaikan sebuah cerita. Bahwa Watu Lumpang Doplang ini punya sejarah panjang.
Lumpang Doplang, dibawah tumpukan batang padi
 ‘Dia’ adalah bukti telah hadirnya peradaban di ribuan tahun lalu di sekitar area ini. Ditambah beberapa titik sekitar berokan memang ada situs, seperti Arca Nandi di Pasar Sapi, Candi di Perum Mustika Candi (nama kuno dulu adalah Gumuk Candi), yang saat ini sebagian besar di bawah ketempat yang terakhir menjualnya. Konon saat ini bekas bangunan candi ada di Tower tepat ditengah perumahan Mustika Jati. Cerita yang saya dapat selain bangunan candi utuh, juga ada petirtaan, namun saat ini hilang tak berbekas, bahkan saya yakin yang sekarang tinggal di Mustika Jati Tak ada yang tahu dulu pernah megah berdiri bangunan suci di situ.
Kondisi Lumpang saat ini, terbenam dan miring :
Telat memang tak mampu mengubah keadaan, namun upaya kecil kami sebuah komunitas yang mencoba bergerak melakukan sesuatu, ataupun saya secara pribadi yang hanya berbagi lewat cerita semoga menggugah orang untuk mencoba  mempertahankan jejak cerita bukti peradaban masa lalu. Agar tak mlongo saat ditanya asal usul nama desamu.
Kembali ke Watu Lumpang Doplang, Kondisi yang sejajar dengan lumpur sawah, menjadikan memang watu lumpang ini riskan terlupakan…. Bahkan tiba-tiba hilang, rusak atau entah kemana… hanya dengan alasan…. Bila watu lumpang tak ada area ini bisa ditanami padi walaupun hanya berapa batang saja…..
Watu Lumpang atau banyak disebut sanghyang Kulumpang pada masanya menempati posisi istimewa, pada masa Hindu Klasik yang pernah bersemayam di Bumi Nusantara ini. Sebagai media pelaksanaan upacara seperti penetapan tanah sima, upacara ritual masa tanam, masa panen atau ritual lain.
ssdrmk di Lumpang Doplang
Di era kuno modern, Lumpang biasa dipakai untuk menumbuk biji…. bedanya ada Watu Lumpang yang khusus digunakan untuk menumbuk sesajen yang digunakan untuk ritual upacara suci.
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
Sampai ketemu di penelusuran berikutnya… Maturnuwun Pak Nanang dan Mas Seno…di Jumat berkah ini…
#hobikublusukan