Tampilkan postingan dengan label antefik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label antefik. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Mei 2019

Ada Struktur Batuan Purbakala di Makam Gondoriyo Jambu : Antefik

Makam Gondoriyo Jambu : Antefik

Kamis, 24 Mei 2019., Setelah dari Watu Lumpang Klowoh Lemahireng Bawen, saya berniat mampir ke Pak Nanang di Bawen, niat saya ngobol santai saja silaturahmi sambil ngabuburit. Yang penting blusukan kemisan sudah terkabulkan. Saya cek, di laporan WA pesan yang saya kirim ke mas Seno juga hanya centang 1.  
 Kurang dari 10 menit, sampailah dirumah Pak Nanang, ternyata mas Seno sudah standby di sana. (Ini pasti gara-gara para perusuh keras kepala itu (yang gakmau kalah) jadi hari ini dan beberapa hari kedepan Medsos down). “Tak terkirim balasanku”, kata Mas Seno. Kami kemudian ngobrol di depan rumah Pak Nanang, setelah mendapat kabar teryata beliau berburu. Katanya sudah 2 hari ini… nampaknya mutung beneran. Tak lama setelah itu bu Nanang keluar dan gabung ngobrol bersama.
Saya sebenarnya sudah tak berharap lagi, namun ternyata mas Seno menawarkan diri. Ya sudah, tanpa pikir panjang saya terima dengan senang hati. Dari Bawen kami menuju lokasi destinasi selanjutnya di daerah Jambu. Secara detail saya belum tahu ini masuk wilayah desa mana, yang pasti petunjuknya sekitar area SPBU Jambu. Masuk gang sebelah kiri, kemudian menuju makam. “Kita lihat antefik dulu saja”, ajak Mas Seno.
Awalnya Antefik ini tak sengaja kami (Mas Seno dan Pak Nanang) telusuri, tujuan sebenarnya adalah yoni di area ini. Bahkan petunjuk yang didapat adalah "Ada Langgar Bubrah disini", kata kunci itulah yang membuat semangat blusuker membuncah.
Makam Gondoriyo Jambu : Antefik
Karena kebetulan ini hari kamis dan masuk bulan ramadhan jadi suasana makam Nampak lebh ramai dari hari biasanya. Banyak orang yang nyekar, kirim doa.Berada di sebuah makam kuno, 2 antefik berhadap2an  menjadi penanda sebuah makam (=dibaca patokan). Sayangnya mas Seno lupa nama tokoh yang dimakamkan. Melihat dari spesialnya ciri makam saya mengamini bahwa yang dimakamkan tentu saja bukan orang kebanyakan.
Antefik special,



Biasanya ada sisi tepi bagian atap bangunan suci (=candi), detail relief masih terlihat jelas. Untuk motif arti maupun filosofi nampaknya saya masih harus belajar banyak. Segera setelah ini saya nyari referensi.
Matursembahnuwun Mas Seno, 
Seno di Antefik Jambu
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
ssdrmk di antefik Jambu
Sampai ketemu di perjalanan selanjutnya,
#hobikublusukan

Kamis, 20 Juli 2017

Situs Makam Banyukuning, Bandungan : Part 1 - Makam Pertama

Lingga diSitus Makam Banyukuning

Kamis, 27 Juli 2017. Masih di blusukan tiap hari Kamis. Untuk menjadikan cetarrr... beberapa rekan menyebut kemisan bahkan ada yang ngemis. Berkat rekan : Suryo Dona yang emnjadikan istilah Kemisan sering berlalu lalang di tiap kamis. maturnuwun Kang Dona... 
Kalo bagi saya pribadi si, karena hari Kamis ini memang paling bisa melarikan diri dan dimaklumi Double mumpung ; 1, mumpung absensi belum memakai sidik jari, hahaha.., 2. Juga masih bisa, karena nampaknya mulai minggu depan tugas Ternak (nganter anak) pulang sekolah jam 1 mesti menjadi kendala karena durasi menjadi mepet sekali. 
Sayangnya, yang bikin aneh... seringkali tiap blusukan hari hari Kamis destinasi situs berlokasi di makam umum, jadi ketika warga mengirim doa keluarga yang mendahului, kami malah klinteran mengganggu konsentrasi. Maaf ngelantur.
Kembali ke ritual kemisan, awalnya hari ini kami ingin meluncur menuju kota Tembakau : Temanggung. Namun karena terlihat awan menghitam menggelayut di sisi gunung ungaran disekitar Kaloran Temanggung. Kemudian kami mengubah tujuan.
Saat mencari lokasi yang ingin kami telusuri inilah, saya teringat janji Bapak Mustain Mardzuki tentang janji beliau untuk menjadi guide. Walaupun saya sebenernya lupa beliau menawari mengantar yang mana...xixiix saking banyaknya situs yang kepingin ditelusuri. By the way, Ini adalah naskah ke 185 situs khusus kab. Semarang yang telah berhasil saya telusuri dan masih banyak lagi yang belum.
Sesaat setelah berangkat, diperjalanan kami teringat pula sebuah blog yang menampilkan watu candi berceceran  di makam Banyukuning, dimana beberapa tahun yang lalu saya pernah menelusuri Situs Watu Gentong Banyukuning, akan tetapi tidak menyangka, didekatnya ada pula banyak struktur batuan candi yang lain.
Info juga saya dapat dari rekan senior di Komunitas Dewa Siwa ; Mba Derry. "Sisi masjid sebelah kiri masuk, di makam belakang masjid ", begitu bunyi pesan Whatshapp nya.
Beberapa rekan yang kami hubungi, angkat tangan ; ada yang takut hujan, ada yang kesetnya kehujanan ada yang takut goreng gembusnya jadi gosong.... jadilah hanya saya dan Suryo Dona yang melanjutkan ritual Kemisan.
Menuju Banyukuning, sangat mudah. Sebelum ke arah Gedongsongo/ sebelum SPBU ada jalan masuk kiri, papan petunjuk nama Banyukuningpun ada. Ikuti jalan tersebut, kurang dari 1km gang pertama sebelah kanan (gapura berbentuk seperi rudal), masuk saja ikuti jalan,tersebut, sampai ketemu dengan Masjid yang di depan kedua sisi ada Watu gentong.
Sayangnya, kami dislokasi info... kami ambil jalan kiri tangan kami bukan kiri masjid. Sempat bertanya kepada warga, setelah mendapatkan penjelasan lebih detail, yang ternyata ada dua makam. kemudian kami menuju gumuk di makam Kyai Kuning berada. Dan kami di sisi jalan yang tidak sepenuhnya salah.
Menuju Gumuk makam Kyai Kuning, sing Bubakyoso  Banyukuning ;
Gumum Situs Makam Banyukuning 

Menuju Situs Makam, melewati Tangga. Iseng saja saat naik saya juga menghitung anak tangga ; berjumlah 62. jadi tidak terlalu tinggi,
Langsung disajikan pemandangan :


Watu candi di "pemakaman".... Dijadikan makam. Banyaknya struktur batu berbentuk kotak, beberapa berpola menguatkan dugaan kami disinii dulunya ada sebuah bangunan suci (= candi). Apalagi ciri geogrfia letaknya ; di ketinggian, tanah yang subur dan dengat dengan lokasi pusat religius masa lalu : Gunung Ungaran = Gedong Songo)

 Seperti sebuah ratna, puncak candi :

















Batu Batu yang kami duga kuat adalah bagian dari bangunan suci masa lalu (Semua foto by Suryo Dona ):







    Makam Kyai Kuning, Di buatkan rumah cungkup makam, 
Alhamdulillah nya tak dikunci, 
Makam Kyai Kuning, Banyukuning Bandungan

Di dalam lingkup, makam kyai Kuning sendiri, masing masing patokan,  setelah kain mori (penutup) kami buka :



menurut hemat kami adalah sepasang Lingga.
Lalu dimana Yoninya???? entahhlah, semoga saja masih terpendam, bukan digepuk... seperti yang sudah - sudah. Lingga yang merupakan pasangan dari Yoni dan diletakkan diatas (penampang bagian atas Yoni) yang terdapat lubang.
Lingga seperti nyawa dari sebuah media manifestasi dewa siwa. Sebagai sarana memuja dewa, Lingga menjadi faktor penting sehingga yang sering yang hilang atau dirusak duluan adalah Lingga. Bersyukur Lingga ini tak akan mungkin hilang. 




Saat proses membuka kain mori penutup ini, entah kenapa saya merinding sekali ditambah gemetar. Padahal saya hanya melihat alias menonton saja. "Haallah paling kono ngelih", Suryo Dona mencoba menentramkan hati saya (yang sudah mau lari keluar kalau tak inget malu.. wkwkwk).
Beberapa batu berelief yang tertangkap mata kami :













Video amatir penelusuran : (nunggu Proses Uplod di You Tube)
Bersama Suryo Dona "Sang Partner Kemisan" :
Suryo Dona

Yuk, Kita Lestarikan
Di Situs Makam Banyukuning

Salam peradaban.
Mohon maaf tulisan saya ini hanya berupa catatan perjalanan. Saya bukan ahli sejarah... jika banyak kesalahan mohon maklum dan mohon dimaafkan. Salam.

Kamis, 13 Juli 2017

Situs Turusan, Kec. Mangunsari. Salatiga

Situs Turusan, Kec. Mangunsari. Salatiga

Kamis, 13 Juli 2017. Lanjutan penelusuran 'mengais'  jejak Situs Ngreco Desa Kesongo kec. Tuntang Kabupaten Semarang, memang daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Salatiga. Bersama Suryo Dona & Lek Wahid, sebelum ke Situs Turusan, kami sempatkan dulu singgah di Prasasti Plumpungan karena salah satu partner ternyata belum pernah mampir. 
Yoni Turusan : berada di Penampungan Plumpungan
   Namun maaf saat di sini plus interaksi kami dengan penjaga situs tak secara detail saya ungkapkan, juga kebetulan penjaga Candi Klero yang berada di lokasi dengan beberapa info menariknya...
"Moga2 suatu saat kami bisa sowan dan minta diantar nggeh pak... hehhehe.
Dari Prasasti Plumpungan, kemudian kami ambil arah kota Salatiga, menurut informan Lek Wahid (yang ternyata kemudian kami ketahui adalah seorang ibu). 
"Gang depan SPBU, warna kuning. Masuk sekitar 100m. Disebelah kiri ada gang kecil , RT 07 RW IV." Bunyi informasi tersebut. "Nanti saya antar ke lokasi"  tambah beliau di seberang telepon.
Singkat cerita, setelah ketemu dan berkenalan, beliau Ibu Wani, dan setelah parkir motor di rumah beliau, kemudian kami mengekor, mengikuti beliau dengan berjalan kaki. Tak jauh ternyata, hanya berbeda gang. 
Sampailah kami....
Situs Turusan
Berada di tengah pekarangan rumah Bapak Djoko, "Yang tersisa di sini hanya beberapa mas, yang lain di bawa pemkot ke Prasasti Plumpungan" jelas Bapak tersebut.
Beberapa orang penasaran dengan aktivitas kami bersama Bapak Djoko di pekarangan rumahnya. Salah satunya adalah Mbak Eko, yang ternyata anak beliau. 
"Yang di Plumpungan, paling besar berbentuk Kotak ada lubang ditengahnya (=Yoni) asalnya dari sini.... juga batu segi delapan. Karena padatnya pemukiman sekitar, dulu purbakala memutuskan tak meng-eskavasi, namun saya ingat waktu itu purbakala memastikan seluruh benda cagar budaya agar tetap dilokasi (insitu), namun entah pemkot punya kebijakan lain." Urai mbak Eko.
Antefik : Situs Turusan
"Beberapa batu terpendam dibawah rumah, malah,ada arca yang diceburkan ke sumur karena ketakutan warga akan masalah. Hilang dan pagebluk ",  tambah Mbak Eko.
Seperti yang diceritakan kepada kami, sebuah Tragedi yang menjadi sejarah masyarakat Turusan puluhan tahun yang lalu.
Konon, boleh percaya atau tidak. Sepekan setelah Yoni Turusan dipindahkan, banyak warga yang meninggal berturut turut selama sebulan. 
Ngobrol dengan pemilik rumah : Situs Turusan

Selama satu bulan tersebut, kadang satu hari 2 warga yang meninggal, terpaut satu hari atau satu minggu. 
Total yang meninggal 14 warga. Yang semuanya berstatus duda. Entah mengapa. Tak pernah diteliti sebab nasabahnya. Hanya rata-rata mendadak meninggal.
Dengan kejadian tersebut, beberap warga berinisiatif memendam batu yang berada di seputaran rumahnya, seperti sebuah arca yang di diceburkan ke sumur yang dalam. Respon yang patut dimaklumi. 
Jika dieskavasi juga tak mungkin karena padat rapatnya pemukiman, jika dipindah takut mendatangkan malapetaka.
"Dulu kala di dekat situs ada sumber air yang cukup besar, namun saat ini sudah berubah menjadi rumah", mbak Eko menambahkan. Dari cerita beliau pula, sumber air itu mirip dengan petirtaan, karena ciri ciri tatanan batu yang ada.
Lingga Situs Turusan
Potongan Lingga bagian atas, Antefik dan struktur batu candi berbentuk persegi adalah tiga yang tersisa dan masih dapat dilihat.
Video Amatir di Situs Turusan :

Foto Bertiga, Saya, Suryo Dona dan lek Wahid :

Di Situs Turusan
Kami melanjutkan penelusuran masih di seputaran Salatiga, lokasi tujuan kami, Kampung dukuh Kelurahan SIdomukti.











Salam peradaban

Nb: 
Tambahan Cerita dari Bu Wani (beberapa saat setelah saya publish naskah ini beliau menghubungi Lek Wahid dan menambahkan cerita ini), Sesaat setelah dipindah ke Penampungan sementara di Situs Prasasti Plumpungan. konon penampungan berubah menyeramkan. Sering terdengar suara tangisan lirih namun menyayat hati. Entah karena apa. Kemudian berangsur-angsur hilang setelah warga sekitar mengadakan selamatan.

Minggu, 10 Juli 2016

Menelusuri jejak Situs Purbakala di Makam Nyatnyono

Menelusuri jejak Situs Purbakala di Makam Nyatnyono
      Senin, 11 Juli 2016, Hari pertama masuk kerja, setelah libur lebaran 1437H, hanya halal bihalal kemudian nampaknya belum 100% aktif di pekerjaan. Jadi saya mencoba melempar ajakan ke rekan yang berpotensi bisa ikut Blusukan. Kali ini yang menyambut ajakan saya kebetulan Double Eka.
Gerbang Nyatnyono
      Singkat cerita, Menuju Nyatnyono cukup mudah.... Jalan Solo Semarang, Bila dari Arah Semarang, setelah melewati Kantor Bupati Semarang, Traffict Light ambil kanan langsung... Kemudian lurus saja ikuti jalan yang terus menanjak. Kira-kira 4 km sampailah. (Banyak Papan Rambu petunjuk arah : Menuju Makam dan Sendang Nyatnyono.
    Sebelum Membaca hasil penelusuran saya, lebih baik menyimak dulu Kutipan dari blog tetangga sebelah : http://www.sarkub.com , yang membahas tentang Nyatnyono dan Sejarahnya sebagi bahan bacaan :
     Asal-muasal nama Nyatnyono sen­diri, yang berarti “berdiri tahu-tahu sudah ada”, tidak terlepas pula dari hasil khalwat yang dilakukan Kiai Hasan. Setelah mendapat isyarat itu, Kiai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada.
Keluarbiasaan terjadi. Atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang ada dalam isyarat itu benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Sukroloyo.
     Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah dari waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan “Nyatnyono”. Nyat artinya “berdiri” dan Nyono artinya “sudah ada”. Maksudnya, berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjidnya sudah ada dengan sendirinya:
     Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Karomah Waliyullah Hasan Munadi
     Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup. Bahkan ratusan tahun se­telah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat. Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.
     Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak merehab Masjid Keramat, Kiai Asmui pemangku makam keramat pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, ia pun berinisiatif untuk meminta bantuan masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.
     Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, ha­nya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang di­anggap berlebih di masa itu. Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan se­kitar, kembali dengan tidak membawa hasil apa pun.
     Dalam kondisi semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia sowan kepada Kiai Hamid (K.H. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya, untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah menjawab ringan, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.”
     Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.
     Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Tidak diduga-duga, seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu yang singkat sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah meminum dan mengusap- kannya ke bagian tubuh air yang keluar dari sumber yang berada tak jauh dari makam.
     Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak berdatangan ke Makam Keramat dan mengambil air dari mata air itu. Dan makin aneh pula, mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang berebut memanfaatkannya.
     Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi.
     Pundi-pundi amal yang berasal dari peziarah pun semakin melimpah ruah. Dua puluh ribu, seratus ribu, satu juta, bahkan sampai-sampai per hari kotak-kotak amal itu terisi tidak kurang dari dua belasjuta hingga delapan belasjuta, sampai kurang lebih sepuluh bulan lamanya.Hari demi hari kata-kata Kiai Hamid semakin menjadi kenyataan. Peziarah yang datang semakin membludak. Dan air yang keluar dari sumber di dekat makam pun di luar kebiasaan, semakin membesar dengan sendirinya seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang, hingga menjadi sendang. Sendang itu kemudian dikenal dengan nama “Sendang Kalimah Thayyibah”, karena untuk bisa mendapatkan khasiat dari air itu untuk hajat tertentu seseorang terlebih dahulu harus membaca dua kalimah syahadat.
     Hasil dari kotak amal yang telah dikumpulkan dan melimpah ruah itu pada akhirnya bukan hanya dipergunakan untuk merenovasi masjid. Makam, madrasah, jalanan umum, bahkan masyarakat pun mendapatkan bagian yang tidak sedikit dari jariyah para peziarah yang melimpah ruah itu.
     Mayarakat Nyatnyono yang tadinya hidup serba kekurangan mulai membangun dan merenovasi rumah-rumah mereka. Aktivitas perekonomian masyarakat sekitar makam terangkat karena keberkahan dari membludaknya para peziarah yang datang. Bahkan beberapa ribu orang masuk Islam berkat dari sen­dang itu.
     Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air keramat kalimat thoyibah..Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat sendang kalimat thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit. (Sumber : http://www.sarkub.com/waliyullah-hasan-munadi-ungaran/)
      Penelusuran kali ini, sebenarnya bersumber pada postingan di sebuah grup, karena lamanya serta saya lupa screenshoot hanya ingat saja bahwa di Makam Nyatnyono ada watu candi yang dijadikan tangga makam.
      Atas informasi tersebut, berulangkali saya 'profokatori' rekan dewa siwa yang rumahnya lima langkah dari Nyatnyono. Salut Mbah Eka WP. Dengan proses spiritualnya -- jadilebih baik sahabat tanya sendiri bagaimana cerita lengkapnya --- akhirnya saya saat itu dipameri hasil penelusuran beliau.
lapik arca
      Kemudian, tanpa kami rencana... barulah hari ini (11 Juli 2016), saya langsung tembak beliau... eh ternyata bersedia menjadi guide, kemudian crew dewa siwa yang lain (juga bernama awalan sama) Eka Budi ikut pula..... Jadilah saya bersama double Eka.     Setelah parkir, Kami langsung menuju lokasi makam... karena berada di lokasi makam dan banyak peziarah maka kami, saya pakai peci, double Eka pakai sarung (Sayangnya saya terlewat tak mendokumentasikan momentum ini-- menyesal sekali). Sampai di Makam Nyatnyono pas dengan Adzan Duhur, sekalian kami berjamaah.... sekaligus mohon petunjuk untuk diberi kelancaran penelusuran.
    Langsung terlihat, lapik arca yang di tempatkan di pagar pinggir makam, Tak ada informasi pasti umpak ini beradal dari lokasi mana, hanya memang dipastikan di areal makam ini.
    Pernah ada upaya untuk mengalihfungsikan lapik arca ini, terlihat dari Bor tepat di tengah atas lapi arca. Dulu pernah ditancapkan sebuah besi diatas lapik arca ini.
watu candi : tatanan tangga di Makam Nyatnyono (maaf pakai hp, slr rusak)
     Tepat dibawah Lapik arca ada tatanan watu candi, terlihat jelas dari atas, jika kita berdiri tepat disamping lapik arca ini. Namun jika tak ada minat menaruh perhatian sama sekali, istilahnya tak ada passion. Pastinya tak akan peduli. 
   Apalagi dikanan kiri ditanami tanaman yang identik dengan makam di perkampungan, maka tak ada yang menyangka ada jejak purbakala jaman sebelum BINTORO-LOKA di komplek makam Nyatnyono ini.
Watu candi menjadi tangga makam
     Tak sabar, ingin lebih dekat kami bertiga langsung turun.... Lebih dekat dengan tatanan watu candi, ingin segera menyentuh dan merasakan eksotisnya....






     Bukti yang tak terbantahkan....

















        Banyaknya watu candi berbentuk Kotak, berukuran besar, bukti mana lagi yang engkau bantah? jangan hanya mitos, cerita dari, legenda ataupun jarene ra jelas.... Sejarah itu yang jelas, ada bukti dan kajian cermat.
    Tapi bukan berarti saya ingin menggugat yang sekarang. Tentu saja tidak sama sekali. Biarkan sejarah yang berbicara sendiri, kapasitas saya hanya menelusuri, menuliskan sesuai pengetahuan saya. Tak bertendesi apapun.
    Jadi, memang susah untuk memisahkan (Hasil) budaya dengan Agama akan susah untuk kebanyakan orang. hanya orang Tertentu saja....
Di watu ini ada pula relief yang masih samar terlihat, walau total tertutup lumut.
     Watu dengan Relief,
Relief samar terlihat : Nyatnyono
       Di tangga ini, ada watu candi yang berelief dan diletakkan diatas tangga. 
     Cukup terlihat jelas keindahan relief tersebut, walaupun hanya sejengkal tangan.
   Watu berpola, juga berelief.
     Banyaknya watu candi kotak ini, saya hanya bisa membayangkan, betapa besar dan indah bangunan masa lalu itu.


















    Saat mencermati tatanan watu di tangga ini, kami mencurigai di sekitar tanaman kuburan  (tanaman berdaun merah ini) banyak watu candi.
Relief  watu candi di Nyatnyono
    Jadilah..... Benar, yang terlihat di gelapnya rimbunan tanaman. Awalnya setengah watu berelief ini tertimbun tanah. Kemudian di korek-korek dengan pisau milik Eka WP.. Jadilah nampak seutuhnya sisa itu.
eka budi
     Mas Eka Budi, Benar-benar blusuk, mencari yang tertutup tanah. Semangatnya menular kepada kami semua.
Hasilnya Keren Sekali










   Dan inilah hasil perjuangan ekstra kerasnya
hiasan relief candi di Nyatnyono

    Siomay dan Dawet ayu menemani kami melepas lelah mencoba mengorek-orek watu candi yang terpendam. Beruntungnya aktifitas 'aneh' kami tertutupi tanaman merah khas kuburan. Sehingga kami aman, sentosa damai tanpa terhalang rasa ewuh pekewuh, walau diatas kami para peziarah melantunkan doa-doa.
    Ach Lain kali kami harus ke atas pula.... "minta ijin".... Sambil terus berharap kami menemui lagi jejak tinggalan ini. Walau pada masa itu memang untuk dihapus.... 
    Satu Lagi semoga hasil menggali ala jaman batu oleh Mas Eka Budhi tetap di lokasi....  




















    Blusukan Syawalan bersama Double Eka : Eka W Prast dan Eka Budi
Di Nyatnyono : Saya, eka budi dan eka wp.
Save This Not Only a Stone
Mari Bedakan Antara tinggalan (Hasil) budaya dengan Agama....

  Salam Pecinta Situs dan Watu Candi





















Nb : Nambah






    Blusuk Kami akhiri dengan , Makam Bersama "Mie Ayam" Dekat Trowongan Beji, Sambil nengok Lumpang beji yang sekarang