Minggu, 10 Juli 2016

Menelusuri jejak Situs Purbakala di Makam Nyatnyono

Menelusuri jejak Situs Purbakala di Makam Nyatnyono
      Senin, 11 Juli 2016, Hari pertama masuk kerja, setelah libur lebaran 1437H, hanya halal bihalal kemudian nampaknya belum 100% aktif di pekerjaan. Jadi saya mencoba melempar ajakan ke rekan yang berpotensi bisa ikut Blusukan. Kali ini yang menyambut ajakan saya kebetulan Double Eka.
Gerbang Nyatnyono
      Singkat cerita, Menuju Nyatnyono cukup mudah.... Jalan Solo Semarang, Bila dari Arah Semarang, setelah melewati Kantor Bupati Semarang, Traffict Light ambil kanan langsung... Kemudian lurus saja ikuti jalan yang terus menanjak. Kira-kira 4 km sampailah. (Banyak Papan Rambu petunjuk arah : Menuju Makam dan Sendang Nyatnyono.
    Sebelum Membaca hasil penelusuran saya, lebih baik menyimak dulu Kutipan dari blog tetangga sebelah : http://www.sarkub.com , yang membahas tentang Nyatnyono dan Sejarahnya sebagi bahan bacaan :
     Asal-muasal nama Nyatnyono sen­diri, yang berarti “berdiri tahu-tahu sudah ada”, tidak terlepas pula dari hasil khalwat yang dilakukan Kiai Hasan. Setelah mendapat isyarat itu, Kiai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada.
Keluarbiasaan terjadi. Atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang ada dalam isyarat itu benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Sukroloyo.
     Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah dari waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan “Nyatnyono”. Nyat artinya “berdiri” dan Nyono artinya “sudah ada”. Maksudnya, berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjidnya sudah ada dengan sendirinya:
     Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Karomah Waliyullah Hasan Munadi
     Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup. Bahkan ratusan tahun se­telah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat. Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.
     Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak merehab Masjid Keramat, Kiai Asmui pemangku makam keramat pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, ia pun berinisiatif untuk meminta bantuan masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.
     Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, ha­nya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang di­anggap berlebih di masa itu. Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan se­kitar, kembali dengan tidak membawa hasil apa pun.
     Dalam kondisi semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia sowan kepada Kiai Hamid (K.H. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya, untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah menjawab ringan, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.”
     Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.
     Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Tidak diduga-duga, seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu yang singkat sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah meminum dan mengusap- kannya ke bagian tubuh air yang keluar dari sumber yang berada tak jauh dari makam.
     Sejak kejadian itu, para peziarah semakin banyak berdatangan ke Makam Keramat dan mengambil air dari mata air itu. Dan makin aneh pula, mata air yang semula kecil menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya peziarah yang berebut memanfaatkannya.
     Melihat kejadian aneh itu, Kiai Asmui kembali datang kepada Kiai Hamid untuk meneceritakan dan menyatakan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat itu Kiai Hamid mengisyaratkan bahwa semua itu adalah bagian dari karamah waliyullah Hasan Munadi.
     Pundi-pundi amal yang berasal dari peziarah pun semakin melimpah ruah. Dua puluh ribu, seratus ribu, satu juta, bahkan sampai-sampai per hari kotak-kotak amal itu terisi tidak kurang dari dua belasjuta hingga delapan belasjuta, sampai kurang lebih sepuluh bulan lamanya.Hari demi hari kata-kata Kiai Hamid semakin menjadi kenyataan. Peziarah yang datang semakin membludak. Dan air yang keluar dari sumber di dekat makam pun di luar kebiasaan, semakin membesar dengan sendirinya seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang, hingga menjadi sendang. Sendang itu kemudian dikenal dengan nama “Sendang Kalimah Thayyibah”, karena untuk bisa mendapatkan khasiat dari air itu untuk hajat tertentu seseorang terlebih dahulu harus membaca dua kalimah syahadat.
     Hasil dari kotak amal yang telah dikumpulkan dan melimpah ruah itu pada akhirnya bukan hanya dipergunakan untuk merenovasi masjid. Makam, madrasah, jalanan umum, bahkan masyarakat pun mendapatkan bagian yang tidak sedikit dari jariyah para peziarah yang melimpah ruah itu.
     Mayarakat Nyatnyono yang tadinya hidup serba kekurangan mulai membangun dan merenovasi rumah-rumah mereka. Aktivitas perekonomian masyarakat sekitar makam terangkat karena keberkahan dari membludaknya para peziarah yang datang. Bahkan beberapa ribu orang masuk Islam berkat dari sen­dang itu.
     Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air keramat kalimat thoyibah..Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat sendang kalimat thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit. (Sumber : http://www.sarkub.com/waliyullah-hasan-munadi-ungaran/)
      Penelusuran kali ini, sebenarnya bersumber pada postingan di sebuah grup, karena lamanya serta saya lupa screenshoot hanya ingat saja bahwa di Makam Nyatnyono ada watu candi yang dijadikan tangga makam.
      Atas informasi tersebut, berulangkali saya 'profokatori' rekan dewa siwa yang rumahnya lima langkah dari Nyatnyono. Salut Mbah Eka WP. Dengan proses spiritualnya -- jadilebih baik sahabat tanya sendiri bagaimana cerita lengkapnya --- akhirnya saya saat itu dipameri hasil penelusuran beliau.
lapik arca
      Kemudian, tanpa kami rencana... barulah hari ini (11 Juli 2016), saya langsung tembak beliau... eh ternyata bersedia menjadi guide, kemudian crew dewa siwa yang lain (juga bernama awalan sama) Eka Budi ikut pula..... Jadilah saya bersama double Eka.     Setelah parkir, Kami langsung menuju lokasi makam... karena berada di lokasi makam dan banyak peziarah maka kami, saya pakai peci, double Eka pakai sarung (Sayangnya saya terlewat tak mendokumentasikan momentum ini-- menyesal sekali). Sampai di Makam Nyatnyono pas dengan Adzan Duhur, sekalian kami berjamaah.... sekaligus mohon petunjuk untuk diberi kelancaran penelusuran.
    Langsung terlihat, lapik arca yang di tempatkan di pagar pinggir makam, Tak ada informasi pasti umpak ini beradal dari lokasi mana, hanya memang dipastikan di areal makam ini.
    Pernah ada upaya untuk mengalihfungsikan lapik arca ini, terlihat dari Bor tepat di tengah atas lapi arca. Dulu pernah ditancapkan sebuah besi diatas lapik arca ini.
watu candi : tatanan tangga di Makam Nyatnyono (maaf pakai hp, slr rusak)
     Tepat dibawah Lapik arca ada tatanan watu candi, terlihat jelas dari atas, jika kita berdiri tepat disamping lapik arca ini. Namun jika tak ada minat menaruh perhatian sama sekali, istilahnya tak ada passion. Pastinya tak akan peduli. 
   Apalagi dikanan kiri ditanami tanaman yang identik dengan makam di perkampungan, maka tak ada yang menyangka ada jejak purbakala jaman sebelum BINTORO-LOKA di komplek makam Nyatnyono ini.
Watu candi menjadi tangga makam
     Tak sabar, ingin lebih dekat kami bertiga langsung turun.... Lebih dekat dengan tatanan watu candi, ingin segera menyentuh dan merasakan eksotisnya....






     Bukti yang tak terbantahkan....

















        Banyaknya watu candi berbentuk Kotak, berukuran besar, bukti mana lagi yang engkau bantah? jangan hanya mitos, cerita dari, legenda ataupun jarene ra jelas.... Sejarah itu yang jelas, ada bukti dan kajian cermat.
    Tapi bukan berarti saya ingin menggugat yang sekarang. Tentu saja tidak sama sekali. Biarkan sejarah yang berbicara sendiri, kapasitas saya hanya menelusuri, menuliskan sesuai pengetahuan saya. Tak bertendesi apapun.
    Jadi, memang susah untuk memisahkan (Hasil) budaya dengan Agama akan susah untuk kebanyakan orang. hanya orang Tertentu saja....
Di watu ini ada pula relief yang masih samar terlihat, walau total tertutup lumut.
     Watu dengan Relief,
Relief samar terlihat : Nyatnyono
       Di tangga ini, ada watu candi yang berelief dan diletakkan diatas tangga. 
     Cukup terlihat jelas keindahan relief tersebut, walaupun hanya sejengkal tangan.
   Watu berpola, juga berelief.
     Banyaknya watu candi kotak ini, saya hanya bisa membayangkan, betapa besar dan indah bangunan masa lalu itu.


















    Saat mencermati tatanan watu di tangga ini, kami mencurigai di sekitar tanaman kuburan  (tanaman berdaun merah ini) banyak watu candi.
Relief  watu candi di Nyatnyono
    Jadilah..... Benar, yang terlihat di gelapnya rimbunan tanaman. Awalnya setengah watu berelief ini tertimbun tanah. Kemudian di korek-korek dengan pisau milik Eka WP.. Jadilah nampak seutuhnya sisa itu.
eka budi
     Mas Eka Budi, Benar-benar blusuk, mencari yang tertutup tanah. Semangatnya menular kepada kami semua.
Hasilnya Keren Sekali










   Dan inilah hasil perjuangan ekstra kerasnya
hiasan relief candi di Nyatnyono

    Siomay dan Dawet ayu menemani kami melepas lelah mencoba mengorek-orek watu candi yang terpendam. Beruntungnya aktifitas 'aneh' kami tertutupi tanaman merah khas kuburan. Sehingga kami aman, sentosa damai tanpa terhalang rasa ewuh pekewuh, walau diatas kami para peziarah melantunkan doa-doa.
    Ach Lain kali kami harus ke atas pula.... "minta ijin".... Sambil terus berharap kami menemui lagi jejak tinggalan ini. Walau pada masa itu memang untuk dihapus.... 
    Satu Lagi semoga hasil menggali ala jaman batu oleh Mas Eka Budhi tetap di lokasi....  




















    Blusukan Syawalan bersama Double Eka : Eka W Prast dan Eka Budi
Di Nyatnyono : Saya, eka budi dan eka wp.
Save This Not Only a Stone
Mari Bedakan Antara tinggalan (Hasil) budaya dengan Agama....

  Salam Pecinta Situs dan Watu Candi





















Nb : Nambah






    Blusuk Kami akhiri dengan , Makam Bersama "Mie Ayam" Dekat Trowongan Beji, Sambil nengok Lumpang beji yang sekarang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar