Tampilkan postingan dengan label Yoni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yoni. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 September 2020

Jejak Peradaban di Plumutan Bancak Kabupaten Semarang : Situs Yoni


Yoni Plumutan
      Selasa 15 September 2020. Penelusuran kali ini sungguh beruntung. Sebelunya beberapa hari lalu saya di beri gambar Mas Agus Suradi (Rekan Pegiat Literasi founder Joglo Pintar Lebu Bancak) tentang situs yang berada di bancak. Saya tentu gerak cepat merespon. Kebetulan hari ini ada tugas ke Bancak, bersama rekan kerja, jadi sekalian saya mencoba menghubungi Mas Agus untuk jadi guide. yang ternyata menyanggupi. 

      Setelah sebelumnya sempat mengisi dulu energi dengan Mie Ayam di Bringin, ritual sebelum atau sesudah blusukan tentu andalan adalah Mie Ayam. hehehe. 
      Kemudian kami janjian di Dekat Kantor Desa Wonokerto Bancak, setelah ngobrol sejenak sambil nglinting kami kemudian mengekor mas Agus. Parkir di pinggir jalan tepat di Batas Desa Jlumpang dan Desa Plumutan.

Batas Desa Plumutan
     Kami kemudian jalan menyusuri sawah tadah hujan yang kering. Cuaca cukup panas dan saya terlupa bawa topi/ slayer, jadila helm-nya mas agus saya paksa pinjam saja... hehehe. Beberapa saat berjalan, kami kemudian sampai di lokasi dimana adaa 6 pohon jeruk ditengah sawah.

foto saya ambil dari tugu Batas Desa

     Setelah beberapa saat sampailah kami,


yoni Plumutan, Bancak

       Mas Agus menceritakan dongeng atau legenda yang berkembang di warga : Batu Purbakala ini konon pernah dibuang ke jurang sebelah sana, akan tetapi balik lagi. Kemudian dibiarkan oleh warga", jelas Mas Agus.
         Sayang sekali saat kesini, Kondisi yoni sudah Terbelah! hanya tinggal separuh saja!


Channel Youtube :



       Maturnuwun Para Partner,


Saya Mas Agus Joglo Pintar Dan Didik Ariyanto

      Salam Pecinta Situs dan Watu Candi

Sampai ketemu di penelusuran berikutnya
#hobikublusukan

Rabu, 29 Juli 2020

Jejak Misteri peradaban kuno di Glapan, Kedungjati, Grobogan

Tutukno lakumu le
Opo sing kok sejo bakal kelakon
(quote by *mbah 'lupa namanya)      
Yoni Glapan, Gubug Grobogan
Yoni Glapan, Gubug Grobogan
    Kamis, 30 Juli 2020. Tradisi blusukan saat hari Kamis (istilah kami kemisan), terakhir sudah sangat lama sekali. Kadang yang tak terencana malah bisa terlaksana. Seperti kisah ini, berawalan obrolan ngalor ngidul dengan pak Nanang Klisdiarto, lama tak blusukan luar kota. Saya nyeletuk dulu ada yang posting tentang Lumpang di area Kedungjati Grobogan. Kemudian Pak Nanang malah teringat, pernah dapat informasi ada tinggalan Yoni Knockdown dekat waduk Glapan, namun yang menyimpan info dan gambar Mas Seno.
      Kemudian kami mencoba mengajak Mas Seno sebagai guide dan pembaca arah peta. Awalnya saya sudah pasrah rencana blusukan kemisan akan tertunda lagi, karena Mas Seno sampai kamis jam 8 pagi, belum memberi kabar.  Namun notifikasi WA sekitar jam setengah 9, membuat hati saya berbinar. Mas Seno mengirim pesan bisa dan segera merapat di tempat pak Nanang jam 10. Segera saya ngabari rekan lain yang siapa tahu los dol bisa ikut. Minimal biar saya tak di japri nglimpe. Mendadak karena guide-pun mendadak, jadi bukan kesengajaan.
       Sesuai kesepakatan, setelah kumpul di Pak Nanang, kami bertiga kemudian meluncur. Kali ini agak spesial blusukan kemisan ini. Pokoknya wani ngelih, wani ngelak. Bagaimana serunya, ikuti saja kisah kemisan ini sampai pungkas. Setelah parkir motor, istirahat sebentar sambil nunggu tuan rumah, saya dan mas Seno ngobrol tentang destinasi ini. Tak lama kemudian Pak Nanang datang sambil bawa belanjaan sak karung, setelah sepengginang kami kemudian bersiap. Namun Ajakan Pak Nanang untuk saweran bensin tentu mengagetkan hati alias senang juga, surprise! selain saat ini musim panas terik juga bisa gasak-gasakan sepanjang perjalanan, beda dengan motor sendiri-sendiri. Jadilah iuran 20-ribuan. Tapi celaka bagi saya, ATM yang dijanjikan bisa diambil untuk ikut iuran eh belum tertransfer. Jadilah saya hanya bisa membelikan 3 teh kotak. Maaf nggeh Pak Nanang dan Mas Seno….
     Singkat cerita, jalur yang kami lalui menuju Kedungjati dari Bawen, lewat pertigaan Tuntang arah Bringin, kemudian terus jalan sampai Kedungjati. Kami kemudian diarahkan berbelok menuju jalan perkampungan, dimana beberapakali lewat desa yang bernama identik dengan situs : Kentengsari, juga lokasi makam yang khas ada batuan kuno (Gumuk, ada sendang, pohon besar, dll). 
     Karena terasa cukup jauh kemudian masuk gang yang lumayan kecil, hanya cukup untuk satu mobil saja, tak bisa berpapasan (kebetulan saya yang bawa mobil Pak Nanang, Mbah Truno (Taruna) sebut Bu Wahyuni Klisdiarto yang kali ini sengaja dilimpe.....wkwkkw. 
     Namun ternyata, GMaps membuat kami menempuh jalan lain yang lebih lama, berbelok dan tak efektif serta efisien ditengah durasi. yaang ternyata jalan hasil saran Gmaps tembus lagi ke jalan utama Jalan Salatiga-Gubug. Kata—kata Sumpah dengan serapah tak dihitung lagi bila dikumpulkan dari kami bertiga, lewat jalan utama tentu lebih nyaman, jalan halus dan lebih cepat (walau mungkin jarak km lebih jauh).
     Setelah melintasi rel kereta api, (Stasiun Kedungjati), kami kemudian ambil jalan ke kanan (cari papan petunjuk menuju : Waduk Glapan-Gubug). Sampai di waduk Glapan, kami kemudian berhenti di warung pas di gerbang waduk (ada semacam portal yang membatasi akses mobil dengan dimensi besar dan tinggi). Pak Nanang kemudian bertanya ke mbah penjaga warung. *Kami sebenarnya sudah memperkenalkan diri dan bertanya nama mbah nya, namun ternyata kami kompak lupa. 
      Obrolan cukup menarik, yang ternyata nyambung dengan dunia kami. Beliau nampaknya tahu banyak tanpa harus kami meng-edukasi tentang situs. ternyata (menurut feeling saya) mbah nya itu punya kelebihan membaca aura/ pandangan spiritual yang agak tajam. Warung pojokan sebelum masuk waduk Glapan, dimana membantu kami memberi petunjuk lokasi Yoni :
      Saat ngobrol itulah, akhirnya munculah perkataan seperti di atas (diawal naskah ini), yang ditujukan ke mas Seno. (Bila ada pembaca yang tahu nama mbah-nya boleh dibagi, sampaikan salam juga. Maturnuwun). clue dari simbah baik hati ini, 'Kami mencari Masjid Brebes, Glapan', Yoni ada di sekitar masjid. bukan cuma 1 tapi ada 2.      
     Setelah berpamitan kami kemudian meluncur ke lokasi, Masuk Portal Waduk Glapan, ada remaja (pak ogah) yang membantu mengatur lalu lintas di atas DAM Waduk Glapan. 
waduk Glapan, Gubug
Waduk Glapan Gubug
      Mengikuti petunjuk, kami mencari masjid tersebut, melewati pukesmas pembantu, dan menyusuri pinggiran Waduk yang warna-warni, jalan kemudian sampai berganti yang sepenuhnya belum bagus (masih berbatu--walau perkampungan -- semoga kedepan bisa di cor/ diperhatikan pemdes). 
       Karena mencari masjid belum ketemu, padahal kami sudah jalan sekitar 2km, sampai akhirnya kami ketemu masjid, ternyata kami terlalu jauh (kebablasan).
    Balik arah,  kembali ke SDN Glapan 01, didepan SD ada gang kemudian kami masuk. Sekitar 100m sampailah kami di masjid. Karena bersamaan waktunya dengan shalat Dzuhur kemudian kami sekalian berjamaah. Setelah usai, otomatis tanpa kami setting langsung menyebar mencari keberadaan Yoni.  Namun ternyata tak ketemu juga. 
     Saat istirahat, kami kemudian memberanikan diri bertanya kepada imam masjid yang keluar terakhir. Kyai Ahmadi nama beliau. Kulonuwun dan menjelaskan maksud kami. Diluar dugaan,  dengan detail Kyai Ahmadi kemudian menjelaskan keberadaan Yoni tersebut. Warga masyarakat mengenal dengan Watu Lumpang. Saat ini masih ada di dekat Makam Desa.
Kyai Ahmadi, Glapan Gubug
Kyai Ahmadi, Glapan Gubug
     Juga menawari untuk mendampingi, mengantar sampai ke lokasi depan makam, sungguh suatu berkah bagi kami. Imam masjid, yang kamipun tahu beliau sangat arif dan bijaksana menilai sebuah peninggalan kuno (zaman hindu klasik).... tanpa harus kami jelaskan bahwa beliau adalah juga Ketua NU Ranting Glapan, menambah bangga kami. Bahwa peninggalan kuno akan tetap ada (tak dirusak) bila ditangan orang yang berpandangan luas. Salam Takdzim kami Buat Beliau Kyai Ahmadi. 
       Cerita tentang sejarah kuno, mulai Hindu Klasik-Zaman Islam hingga Zaman Penjajahan mengalir diceritakan secara detail kepada kami. Beruntungnya kami ketemu dan menyerap ilmu dari beliau. Ibarat pesantren sangat kilat namun kami langsung diam menyimak awal sampai akhir. 
     Dari Masjid kemudian kami mengikuti Kyai Ahmadi menyusuri jalan setapak melewati samping rumah warga yang langsung tembus makam. Tak butuh waktu lama, yang ternyata Yoni ada di depan makam. 
       Yoni Situs Glapan, Gubug Grobogan :
Yoni Situs Glapan, Gubug Grobogan
Yoni Situs Glapan, Gubug Grobogan
          Dulu Yoni ini sempat dibawa warga lain desa, namun warga Glapan berinisiatif meminta dan mengembalikan ke lokasi semula. Karena warga disini percaya bahwa Benda ini sangat bersejarah dan bernilai tinggi. "Sebagai tetenger peradaban desa", ungkap Kyai Ahmadi menjelaskan semangat warga desa ketika meminta kembali.
     Selain Yoni ini, didekat area ini ada makam kuno, yang oleh warga disebut makam budo. Sayangnya karena warga tak mengetahui, konon banyak pemburu harta karun yang obrak-abrik makam tersebut. Namun tak ada yang tahu apakah oknum tersebut menemukan yang dicari atau tidak. 
         Sementara diatas gumuk depan makan, dulu banyak ditemukan batu bata berukuran besar (Banon, identik dengan bangunan masa kuno). "Sayang sekali sudah banyak diambil oleh warga. dan saat ini tak bersisa. Sementar masih didekat area Yoni ini ada juga sendang kuno yang tak pernah mengering airnya", jelas Kyai Ahmadi panjang lebar.
     Yoni dengan ciri khas terdiri dua bagian (umumnya satu bagian), banyak orang menyebut Yoni Knockdown. Dimana bagian atas bisa dipisahkan dengan bagian bawah Yoni. Bagian Atas Yoni : 
Yoni Glapan Gubug
Yoni Glapan Gubug
         Bagian penampang atas  berbentuk kotak dimana dibagian tepi ada semacam pelipit. Lubang kotak ditengah adalah tempat Lingga diletakkan. Serta Cerat yang berfungsi untuk 'pancuran air suci'. Trta Amrta yang disiramkan ke lingga, kemudian air akan mengalir keluar lewat lubang cerat. Pemimpin ritual akan menampung air yang keluar dan digunakan sebagai air suci.
      Cerat Yoni :
Cerat Yoni Glapan
      Lubang tempat lingga : 
Lubang Tempat Lingga Yoni Glapan Gubug
Lubang Tempat Lingga Yoni Glapan Gubug
    Sementara keberadaan lingga sudah tak ada yang mengetahui dimana rimbanya. Semoga masih tersimpan rapi dan belum saatnya muncul. Tidak di ambil orang atau malah dijual. Semoga masih ada!.
 Di Bagian badan Yoni, terdapat hiasan sederhana namun tegas....
Yoni Glapan Gubug
Lingga Yoni Glapan Gubug

       Kami kemudian mencoba menelusuri Makam Glapan, sekalian menengok makam pejuang kemerdekaan (Kakek dari Kyai Ahmadi) yang juga dimakamkan di sini. Saat kami menuju Makam eh... mata kami tertumbuk pada 4 batu yang bentuknya langsung membuat terpaku :

Situs Glapan, Gubug
Situs Glapan, Gubug
        Banyak rekan yang menyebut batu seperti ini dengan istilah columnar Joint", namun dugaan kami ini adalah batu Pathok Candi. Atau batu batas terluar area suci candi. Dulu Pendeta pemimpin pembuatan candi menentukan batas luar area suci dan kemudian dicari titik tengah untuk membuat candi. Ada juga masyarakat menyebut dengan 'batu tali cancang gajah'. (Seingat saya di daerah pengging ada yang mirip).
      Dugaan keberadaan 4 buah batu Pathok Candi ini membuktikan keberadaan sebuah bangunan suci di sini semakin menguat. Di sekitar area makam, juga menyebar struktur batu candi yang ada kuncian dan pola, sebagian yang bisa kami dokumentasikan :



   Saya, Mas Seno, Pak Nanang, dan Bapak Kyai Ahmadi. Maturnuwun Pak.

Situs Glapan : Saya, Mas Seno, Pak Nanang, dan Bapak Kyai Ahmadi. Maturnuwun Pak
Kyai Ahmadi, Pak Nanang, Mas Seno dan Saya di Situs Glapan Gubug

      Kami kemudian kembali ke Masjid, dimana lokasi mobil parkir. Saat perjalanan itu Bapak Kyai Ahmadi bercerita, "Di Masjid ada satu lagi mirip tapi bentuknya lebih kecil". Seketika kami surprise dan membelalak mata karena kami tadi terlwat ketika mencari. Dan Lapi Arca di Pojokan dalam Masjid :
Lapik Situs Glapan Gubug
Lapik Situs Glapan Gubug
    Kami menduga ini berbeda fungi, kalo yang berukuran besar sebelumnya adalah Yoni dengan lingga, namun OCB ini dengan lubang tak terlalu dalam kemudian bentuk antara satu sisi dengan sisi lain tidak sama. Kami menduga diatasnya dulu sebuah arca.
        Kejutan yang lain adalah angka tahun di salah satu tiang masjid . (seingat saya Kyai Ahmadi bilang pernah dibaca angka tahun 14xx dengan huruf Hijaiyah).... Super komplit ... Glpan ini... Ada jejak sejarah Hindu Klasik, Jejak Sejarah Masa Islam juga jejak sejarah Perjuangan Kemerdekaan. 
      Semoga generasi muda Glapan tergugah untuk segera uri-uri .... Video Vlog amatir saya nungu proses edit : Link ( Nanti tersedia di channel Youtube)
Situs Glapan, Kedungjati, Grobogan

Salam Pecinta Situs dan Watu Candi. 
#hobikublusukan

Kamis, 19 Desember 2019

Pesona Yoni Waduk Lalung, Karanganyar

 Yoni Waduk Lalung, Karanganyar

Akhirnya!!!!
Kamis, 19 Desember 2019. Kemisan lagi, juga salah satu keinginan lama yang bisa terpenuhi. Ada tugas dari pekerjaan pula. Serba beruntung 😀
Ceritanya, sekitar satu tahun lalu, ada postingan dari Akun IG @bpcbjateng tentang situs di dekat waduk Lalung Karanganyar. Saat itu langsung terbesit rencana, setelah sekian lama hanya berupa rencana yang tak kunjung terlaksana. Walaupun sebenarnya sudah ada sedulur dari Perpustakaan Karanganyar @Supriyanto yang saat itu coba saya jawil, bersedia jadi pemandu, “Waduk Lalung tahu, namun situs kurang paham”, janji Mas Supri.
Dan kabar baik itu tiba-tiba muncul dihadapan, ketika ada undangan seminar di Loji Hotel Solo, rencana saya tetap berangkat walaupun tak ada surat jalan, tekad sya ijin tak masuk kerja. Diluar dugaan kegiatan seminar itu malah dibiayai bbm-nya😊😊, malah ditambah (teman seperjalanan satu kantor: pelan saya memberi kode “Tak terburu-buru kan?", dan mereka nampaknya tahu 'mesti blusukan'). Foto dulu di Loji Hotel Solo :
Loji Hotel Solo
Singkat cerita. Dari Loji Hotel Solo tempat seminar berlangsung, dengan dipandu Mas Supriyanto kami menuju waduk lalung. Enaknya ada pemandu lokal perjalanan jadi yakin.... karena pasti bisa langsung ke lokasi tanpa takut kuota.😄
Waduk Lalung : Foto diambil rekan saat saya menelusuri jejak Yoni Lalung
Kurang lebih 40 menit, sampailah kami di Waduk Lalung,  Berbekal foto dari Instagram, saya mencoba mencari petunjuk. Yang pertama keberadaan penjual es degan. Di tikungan dekat pertigaan, saya langsung berhenti karena begitu yakinnya dengan keberadaan penjual es degan. (Kesalahan terbesar saya—tak cermat). 
foto screenshot panduan saya :
       Latar Belakang Penjual Degan inilah yang saya 'keliru duga' :
(Maturnuwun IG Bpcbjateng)
Setelah melepas penat sambil memesan es degan (biar ke tiga rekan saya termasuk Mas Supri tak bosan) saya mencoba bertanya kepada bakoel degan. Namun beliau tak paham, kemudian saya nekat ke tengah sawah ketika melihat pencari rumput. Pikir saya pastinya paham dengan keberadaan Yoni yang saya tunjukkan lewat gambar di HP. Namun malah menyarankan saya untuk memutari Waduk, karena ‘mungkin’ watu yang saya cari ada di sisi waduk yang lain.
Diduga Watu Lumpang Lalung
Dengan langkah lunglai, saya kembali ke warunges degan itu, satu butir tandas tapi rasanya tak memuaskan dahaga. Saya memutuskan mencoba menelusuri informasi kemungkinan di sisi lain. Kembali saya bertanya kepada warga. Masih berbekal gambar HP saya bertanya kepada warga  (rumahnya dekat kantor pengelola Waduk lalung). “Watu lumpang ya?, sekitar  300m dari sini setelah melewati sungai”, jelas beliau. 
Tanpa pikir panjang kemudian saya semangat 45 dengan jalan kaki. Sebelum melenggang sendiri dengan mantap saya bilang 'sudah ketemu' ke rekan lain. Kira-kira 300m memang ada watu lumpang, namun bukan ini yang saya cari, saya lanjutkan jalan sekitar 500m barangkali yang saya maksud sekitar sini. 
Diduga Watu Lumpang Lalung
Sampai kemudian ketemu dengan pak tani yang sedang mencangkul. “Sepertinya disisi lain Waduk ini mas, di pinggir jalan”, kata beliau memberi petunjuk. Saya kemudian balik ke parkiran, dengan perasaan masgyul. 
“Salah satu rekan tetap memberi semangat untuk saya mencoba dulu menyusuri sungai karena latar belakang foto mirip. Sayangnya ternyata jalur yang saya lalui penuh tanaman putri malu, jadilah perih sekali kaki saya, Berat perjuangan kali ini😕. Kepalang tanggung! harus ketemu.
Masih tak menyerah untuk mencari dimana keberadaan Yoni Waduk Lalung, saya kemudian bertanya ke 2 orang pemuda yang berada di Kantor Pengelola Waduk Lalung. “Oh, batu ini ada di tengah sawah dekat warung makan D’Lalung, di dekat warung degan dan Warung mie ayam mas”, kata pemuda itu. 
Seperti layaknya matahari terbit, semangat kembali hidup. Setelah berterimakasih saya segera kesana, melewati lapangan kemudian Warung yang dimaksud nampak dikejauhan.... dan Benar saja, Saya kembali tak cermat!. 
Terlalu pede malah jadinya seperti ini. Tak ingin terlalu lama berlalut dalam penyesalan. Saya segera mengeksplor.
Yoni Lalung, dekat ayam geprek d'lalung
Rasanya memang berlipat, kepuasan penelusuran situs  berlipat ganda ketika banyak halangan.
Yoni masih nampak utuh di penampang atas. Namun Lingga sebagai pasangan Yoni sudah tak ada.
Penampang atas Yoni Waduk Lalung, Karanganyar
Yang unik adalah bagian badan Yoni masih polos dan saya menduga malah Yoni ini masih belum jadi. Hmmm atau malah memang bentuknya sederhana seperti ini ya?
Nampak Depan Yoni Waduk Lalung, Karanganyar
Close Up,
Yoni waduk lalung
Badan Yoni Waduk Lalung, Karanganyar : sederhana/ unfinished?
Di postingan IG Bpcbjateng nampak sebelumnya Yoni ini posisinya ngglimpang/ miring. Sehingga nampak warna badan Yoni sedikit berbeda.
 Yoni Lalung berada di sisi selatan Waduk Lalung, Tegalsari, Lalung, Kec. Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia, Yoni ini semoga tetap lestari.
Yoni Waduk Lalung, Karanganyar
Maturnuwun Ketiga rekan yang turut dalam penelusuran kali ini. Mas Supriyanto (Perpusda Kaaranganyar dan Mbak Wiwit & Mba Erna) Ojo Kapok ya😀 Spesial kepada Mas Pri🙏 Mohon maaf ya merepotkan.
Mas Pri Maturnuwun

Link Channel Youtube : Segera setelah jadi ya😁hehehe
Sampai ketemu di penelusuran berikutnya.
Ssdrmk di Yoni Waduk Lalung, Karanganyar
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
#hobikublusukan

Senin, 18 November 2019

Murwa Candika Bersih Candi Kragilan Boyolali : Penyelamatan Cagar Budaya Berbasis Masyarakat


 Murwa Candika Bersih Candi Kragilan Boyolali : Penyelamatan Cagar Budaya Berbasis Masyarakat
Murwa Candhika 
Sabtu, 16 November 2019. Undangan komunitas mBo’ja lali kepada para pecinta situs dan watu candi Dewa Siwa langsung menarik hati. Bertajuk “Murwa Candhika Situs Candi Watugenuk”, Komunitas mBo’ja lali menginisiasi kegiatan yang menginspirasi : usaha pelestarian cagar budaya dengan pelibatan masyarakat.
     Murwa berasal dari kata purwa yang berarti permulaan, sehingga murwa berarti memulai. Sedangkan candika adalah asal kata candi. Penggunaan candika memberi makna bahwa upaya ini tidak hanya terkait terutama dengan fisik candi, tetapi juga hal-hal yang mendasari keberadaan candi, termasuk lingkungan sekitarnya. **
Dewa Siwa Mangayubagya Murwa Candhika Komunitas Mbo'ja lali
Segera kemudian kami mengkondisikan kawan-kawan di Komunitas Dewa Siwa, dengan  Mangayubagya”, tujuannya wujud dukungan serta mempererat persaudaraan antar komunitas. 
Sendang Nganten :Panandita memulai prosesi Adat mengambil Air Suci
Sementara, saya pribadi sebenarnya sudah tahun 2017 menelusuri jejak candi Kragilan (linkCandi Kragilan), mengulang namun kegiatan Murwa Candika sayang untuk saya lewatkan.
Prosesi dimulai dengan ritual di Situs Watu Gentong (kemudian mengambil air di Sendang Nganten yang lokasinya masih di Desa Kragilan.
   Dilanjutkan dengan kirab membawa air suci yang dibawa dalam kendi berjumlah 9. Berasal dari 9 sumber air di sekitar Boyolali (Situs Sumur Songo {7}, Situs Candi Gatak Cepogo dan sendang Nganten Kragilan). 
  Air suci dari 9 mata air dianggap sebagai perwujudan 9 dewa dari 8 segenap arah mata angin dan 1 di pusatnya. Mitos yang berkembang dimasyarakat bahwa Sendang Nganten ini menjadi tempat berkumpulnya 9 dewa*. 
Kirab Murwa Candika Situs Candi Watu Genuk Kragilan Boyolali
         Diiringi Penari, Kirab dipimpin Panandita, membunyikan 'bajra' (lonceng) sambil mengucapkan mantra-mantra keselamatan dalam bahasa Sansekerta berjalan kaki kurang lebih dari 1km,  menuju Candi Kragilan
       Sesampai di lokasi, disambut dengan tarian Bedhaya, 
Tarian Bedhaya di Murwa Candika, Bersih Candi Kragilan
      Tarian Bedhaya juga dimaksudkan sebagai pembuka acara bersih Candi. yang dilanjutkan dengan Tarian Garuda Dwiwarna, 
Tarian Garuda Dwiwarna di Murwa Candika, Bersih Candi Kragilan
      Tarian yang mewujudkan Bhineka Tunggal Ika, satu dalam budaya yang dinaungi dengan bendera Merah Putih.
     Selanjutnya, puncak kegiatan Murwa Candika, dipimpin Panandita. Air suci di dalam kendi kemudian disiram ke sekeliling Yoni, dengan diiringi puja mantra Panandita. 
Murwa Candika, Bersih Candi Kragilan
     Setelah prosesi berakhir, kembali di suguhkan tarian rakyat yang dibawakan oleh komunitas Seni Budaya. 
     Seperti yang Kang Ody Dasa* (koordinator Komunitas Mbo'ja lali) ceritakan kepada penulis. Tujuan kegiatan Murwa Candika memperkenalkan cagar budaya dan memberikan pengetahuan mengenai cagar budaya serta perlunya untuk menjaga kelestariannya, sekaligus pengembangan pemanfaatannya. 
Bapak Kades, Dedy Saryawan dan dri BCB Jateng
        "Kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian alam dan cagar budaya yang berada di lingkungan sumber air, juga mengembangkan potensi-potensi pemanfaatan cagar budaya dan lingkungan alamnya dengan pelibatan masyarakat tentu akan membangkitkan inisiatif warga", jelas kang Ody Dasa.   
   Berbagai komunitas, seperti Komunitas peduli cagar budaya, Komunitas peduli kelestarian alam, Komunitas seni budaya dan alumni Duta Wisata Boyolali dilibatkan dalam Murwa Candika. 
       Tentu peran Bapak Kades, Dinas Kebudayaan setempat dan BCB Jateng dalam mendukung kegiatan menjadikan usaha pelestarian seperti menemukan jalan mudah. 
Kades Kragilan : Bapak Dedy Saryawan
    Fakta demikian terungkap ketika sarasehan Penyelamatan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat dengan Narasumber dari BCB jawa Tengah. 

    Dalam Sambutannya saat sarasehan, Bapak Kades Kragilan, Bapak Dedy Saryawan mengungkapkan rencana desa untuk membeli tanah agar bisa memaksimalkan pemanfaatan, pelestarian dan potensi desa lain sungguh menjadi inspirasi.

         Candi Kragilan sendiri, atau warga menyebut Candi Watu Genuk sebenarnya sudah diteliti sejak ditemukan sekitar tahun 2014. Pasang surut Situs Watu Genuk, tak mengalami perhatian yang serius. Pemasangan plang papan nama Situs, memang pernah dilakukan. 
      Sampai kejadian di pertengahan 2019 dimana ada orang tak dikenal yang menggali Candi Kragilan ini, ditambah kurang dari 100m penambangan batu serta disisi lain ada pembangunan perumahan. Akumulasi kejadian, kondisi dan semangat Komunitas mBo'ja lali yang memuncak, didukung semua lapisan masyarakat menjadikan Murwa Candika sebagai kegiatan rintisan pelestarian Cagar Budaya yang melibatkan masyarakat.
Murwa Candika Bersih Candi Kragilan Boyolali
    Bagi Masyarakat, tentu untuk mengikuti jejak Komunitas mBo'ja lali mengadakan kegiatan seperti ini dibutuhkan tekad yang kuat dan kerjasama yang tidak mudah. Tapi secara individu barangkali bisa berperan. 
       Pak tua ini contohnya, 
Cukup cinta Candi, maka perilaku akan baik,  sumber foto http://www.sasadaramk.com
     Tak harus mewah namun sederhana saja. Jangan buang sampah sembarangan, jangan merusak, jangan mengambil.
Mas Eka Budi Z, Mas Teddy (Komunitas Kandang Kebo), Saya dan Mas Rafael (Klik Nama terhubung blog)
       Sampai Ketemu di Kisah Pecinta Situs Watu Candi,
Salam ...
#Hobikublusukan

Ikutan yuk di Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia  Rawat atau Musnah!”
Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia  Rawat atau Musnah!
Nb :
Sumber 
* Wawancara lewat WA dengan Kang Ody Dasa, Koordinator Komunitas mBoja' lali
** Kerangka Acuan Kegiatan/ Term of Reference Murwa Candhika Situs Watu Genuk oleh Komunitas mBo'ja lali