Tampilkan postingan dengan label Gunungpati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gunungpati. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Desember 2020

Candi Bruning : Jejak Kehidupan Peradaban Masa Lalu di Pakintelan Gunungpati Kota Semarang

Yang tersisa
Candi Bruning Pakintelan Gunungpati Kota Semarang

      Selasa, 14 Desember 2020. Pada suatu ketika (periode sekitar tahun 2015), saat berkunjung ke salah satu warga di Pakintelan ada sebuah cerita yang mencengangkan, ketika saya memastikan kebenaran tentang info tentang Gunung di Pakintelan yang ada tinggalan kuno ada sebuah Candi. 
   Sayangnya saat itu tawaran untuk diantar tak bisa saya terima soalnya bersama orang tua dan keluarga. Juga tentang keberadaan informasi Arca Ganesha yang berada di sebuah Vihara di Pakintelan pula . (Tak berapa lama saya menelusuri jejak Arca ganesha tersebut : cek blog Arca Ganesha Pakintelan, Gunungpati). 
     Obrolan juga tentang Yoni yang sempat diturunkan dari Gunung Bruning (Candi Bruning), awalnya sesepuh dan tokoh desa saat itu berniat Yoni dijadikan tetenger desa dan ditempatkan di area dekat makam (perempatan Pakintelan), namun setelah berganti generasi... ketika pembangunan talud jalan, (para tokoh dan sesepuh sudah berganti) dan  tega sekali Yoni itu dibuat Talud. (entah benar kurang lebihnya saya mohon maaf, tapi sudah terjadi, ibarat bubur tak kan bisa menjadi nasi).
     Beberapakali merencanakan penelusuran ke Candi Bruning, namun entah kenapa selalu gagal, Yang pertama saya di limpe rekan blusukan yang konon namanya berarti satu, yang kedua bersama beberapa komunitas, paguyuban budaya, Pak Hari Bid. Kebudayaan Dinas Pariwisata Kota Semarang, juga Perangkat kelurahan Pakintelan. Sambil terlebih dulu ngopi alias NGObrol Perihal situs di Vihara Pakintelan sambil mempersiapkan proses mendaki Gunung Bruning. 

   Sayangnya karena diskusi kelewat seru, kata Mas Yoga Sendangguwo akhirnya Penelusuran ditunda, Kata mas Yoga "Karena Hujan", (saya? saya pulang dulu karena durasi waktu mepet.. hehehheh).
    Dan Akhirnya, setelah beberapa kali merencanakan dengan beberapa teman berbeda, kejutan datang. Mas Ary Zincron, seorang pembuat film, menawari saya untuk kolaborasi mengupas Gunung (Candi) Bruning.
   Tak berpikir dua kali, saya menerima ajakan beliau. Janjian di Vihara Pakintelan, dan sekali lagi keramahan Bapak Samanera Dhammatejo dari  Vihara Pakintelan menjadi energi tersendiri bagi saya untuk tetap menelusuri jejak peninggalan kuno. Apalagi informasi yang saya terima di awal untuk menuju Candi Bruning, butuh effort lebih, selain mendaki, tantangan rumput lebat menanti, ditambah cuaca masih tak menentu di musim hujan, tentu jalur juga licin. 
      Singkat cerita, peneusuran Candi Bruning bersama Mas Ari, Mas Ian (narasumber-pegiat sejarah kuno), penduduk asli dan perangkat kelurahan yang saya lupa nama2 beliau.
       Sayangnya HP saya mati pas di parkiran, sesaat sebelum perjalanan. Melalui jalur setapak yang hampir tertutup lebatnya rumput, dengan penduduk asli yang didepan karena bawa alat (parang) untuk membuka jalan. Kami berjalan pelan-pelan. Rute nanjak khas gunung, kurang lebih 45 derajat cukup menguji stamina. Sebenarnya tidaak lama, paling perjalanan kurang dari 10 menit berjalan mendaki. Tapi bagi kaum rebahan memang cukup lama... hehehe.
Sampailah kami kemudian..
Yang tertinggal
Candi Bruning Pakintelan 
      Minimnya literasi yang saya dapat, bahkan saya tak punya data... menjadikan naskah blog ini sambil mencoba mencari sumber sejarah saya tetap publish dulu, barangkali ada pembaca yang berkenan membagian cerita sejarah juga sumber literasi kepada saya. no wa ada di kolom bawah.
       Sambil mendengarkan penjelasan dari Mas Ian, yang cukup mumpuni, beliau cukup menguasai literatur sejarah kuno tentang Gunungpati terutama Gunung Bruning ini. Salah satu yang mencengangkan adalah banyaknya inkripsi di batuan, salah satunya yang ditunjukkan kepada kami. (nampak digambar)
Mas Ary Zincron (kaos putih) dan Mas Ian diskusi hasil foto. Perangkat kelurahan (Kaos Biru) dan warga asli pakintelan
      Yang ikonik di Candi Bruning, (sebenarnya yang tertinggal - struktur candi yang lain entah dimana : selain Yoni dan ganesha yang mingkin sudah saya ketahui) ya Lingga ini. Berukuran cukup besar, walaupun dibagian atas sudah patah. Sebagai skala ukuran di foto bawah ini 
Lingga Candi Bruning, Pakintelan
    Cukup besar untuk ukuran sebuah lingga, apabila keberadaan Lingga tersebut di atas Yoni, bagaimana besarnya ukuran Yoninya?
     Selain Lingga, seingat saya kata mas Ian, banyak struktur yang indah yang dibawa Kompeni. (semoga mas Ian juga berkenan njawil memeberi tambahan infomasi Candi Bruning). Nampak Lingga dari sisi lain :
      Bagian bagian Lingga masih terlihat lumayan jelas, dimana Lingga terdiri atas tiga bagian yaitu bagian dasar berbentuk segi empat disebut brahmabhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut wisnubhaga dan bagian puncak berbentuk bulat panjang disebut siwabhaga (bagian yang memang sudah rusak). Bila melihat Lingga dari dekat, akan terlihat ikonik yang lain yaitu relief bunga teratai yang sedang mekar. 
       Terus terang saya masih bingung, motif teratai di lingga itu melambangkan apa. Jika ini bukan Lingga pasangan dari Yoni, andaikan Lingga tugu/ lingga pathok... berarti jumlahnya lebih dari satu dan di area ini dulu ada area yang suci/ disakralkan. Jika tidak salah saat menyimak penjelasan mas Ian, Lingga ini bisa jadi menjadi penyangga langit. Sebuah perumpamaan yang berarti banyak... diluar jangkauan saya.
    Selain lingga, ada batu unik lonjong yang membuat penasaran apakah terkait atau batu alam saja.

  Pemandangan dari Atas Gunung cukup mengagumkan, Kaligarang yang mengarah ke Banjir kanal di Semarang cukup indah.
Eksotis
Pemandangan dari Gunung Bruning, Pakintelan
     Ada sumur tua diatas Gunung Bruning, mungkinkah ini sumuran candi?

    Dibeberapa titik, saat kami turun dengan mencoba jalur yang sangat ekstrim menurut saya, selain licin, rumput lebat bahkan berduri, juga banyak sarang lebah liar yang siap menyambut. Tapi penjelasan Mas Ian cukup membuat sata tetap mengikuti beliau, beberapa obyek lain disekitar Gunung Bruning yang terkait misal Goa Pertapaan, Watu Lumpang, Watu Asahan, Batu Semedi juga batu berinkripsi di beberapa titik, Membuat blusukan kali ini benar-benar blusukan.  Salah satu batu bersimbol yang ditunjukkan mas Ian kepada kami.
      Blusukan kali ini tentu tak cukup satu kali untuk mengeksplor Gunung Bruning, yang tentu dengan sejuta misteri bagi saya. Semoga akan ada yang bercerita, mencerahkan dan membagikan literasi sejarah kapada saya untuk melengkapi pengetahuan dan membagikan jejak peradaban kepada generasi sekarang bahkan mungkin generasi yang akan datang.
     Link Vlog di Candi Gunung Bruning :


        Sampai ketemu di kisah penelusuran situs yang lain....
  
       Salam Pecinta Situs dan Watu Candi
#Hobikublusukan

Jumat, 13 November 2020

Gowes Mampir Situs Pandean Gunungpati : jejak Demang Jafar, Lurah Gunungpati yang sakti Mandraguna

Situs Pandean Gunungpati
       Sabtu, 14 November 2020. Gowes Blusukan tak terduga. Setelah rencana duet blusukan gowes gagal karena sepeda rekan opname. Saya menguatkan hati untuk gowes sendiri. Apalagi juga masih janjian dengan Bolo United, Bolo Gowes, Bolo Blusukan : Mas Age Boja.
     Saat berhenti nunggu rekan lain (yang ternyata sepedanya opname), eh saya iseng wa rekan 'kang mas Roso Mijen', ada rekomendasi situs tidak, tanpa saya duga beliau memberikan 2 rekomendasi. Beruntungnya 1 rekomendasi tersebut berada di jalur saya Gowes menuju Boja.
blusukan situs #unitedbike
      Tapi setelah tahu, saya terkejut, menyesal, setiap lewat saya selalu menoleh ketika lewat Makam Pandean, perasaan saya selalu ingin menengok. Barangkali ada situs karena lewat makam ada di Gumuk, serta ada pohon Kanthil yang cukup besar. seperti biasa saya kmengesampingkannya.
 

Tapi bagaimanapun bersyukur masih bisa tahu, lewat Kang Mas Roso. Setelah parkir sepeda, kemudian saya mengeksplor.
     Keberadaan sesuWATU yang hanya satu menambah misteri jejak sejarah Makam Mbah Demang Jafar. Selain cerita sejarah yang sangat minim (Semoga pembaca yang paham berkenan membagikan cerita tutur tinular). Dari mas Siswo handoyo, ada jejak folklore tentang Tokoh Sakti, Demang Jafar. 'Watu disunduki, dan ngangsu air memakai dunak adalah salah satu kemampuan beliau yang melegenda', kata mas Siswo.
      Posisi dibawah pohon Kanthil, dugaan saya ini umpak sebuah bangunan masa lalu,  namun keberadaan tinggal satu. Berada di gumuk, dekat dengan aliran air (perkiraan saya sekitar atau tak jauh dari lokasi ini dulu ada sumber mata air).
   Namun saya hanya menduga. 
     Semoga tetap lestari... dan aja penutur sejarah yang berkenan membagi cerita....

     Untuk tahu selengkapnya landscape makam, pohon Kantil juga Watu umpak mampir juga di link video channel Youtube :




Lanjut Gowes Blusukan ... tunggu naskah selanjutnya
#hobikublusukan

Kamis, 27 April 2017

Jejak Purbakala Kalisegoro Gunungpati : Watu Lumpang dan legendanya.

Watu Lumpang Kalisegoro
Kamis, 27 April 2017. Hari Kamis tanpa blusukan  sebenarnya membuat ada sesuatu 'hal' yang hilang (#rodoalaykoyokoncone). Namun karena tak ada rekomendasi destinasi penelusuran yang tak terlalu jauh sehingga tawaran sekaligus pertanyaan dari Lek Suryo Wiboyo ku jawab dengan Ngopi di Garasi saja. Saat ngobrol dan Ngopi di garasi perpusda inilah, satu persatu rekan blusukan datang tanpa undangan. Yang pertama (maaf), sebut saja no name. Si no name inilah yang kali ini memprovokatori kami berdua untuk blusukan situs. Apalagi ternyata oknum tersebut jam terbangnya terbatas, sehingga masih banyak situs di sekitar Kota Ungaran yang belum ditelusuri.
Watu Lumpang Kalisegoro
Saat memilah destinasi yang mungkin cocok bagi si no name inilah datang satu lagi pejuang blusukan (kenapa saya menyebutnya demikian? Baca saja cerita saya ini sampai usai) Mbah Eka W Prasetya yang sejujurnya tanpa saya duga karena seribu hari tanpa kabar tiba-tiba muncul batang hidungnya didepan kami. 
Benar-benar tanpa rencana, apalagi datang langsung nawari kami bertiga “Yoh ta terke ning Kalisegoro Gunungpati, watu lumpang kuwalik”, Mbah Eka menawarkan destinasi kepada kami dengan bahasa Jawa medhoknya.
Watu Lumpang kalisegoro
Tak membantah sedikitpun, walaupun dengan susah payah kami urunan beli bensin (maaf ya kawan--). Jadilah meluncur ke Kalisegoro. Secara administratif Kalisegoro adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Gunungpati, dengan letak berdekatan dengan UNNES. Dari nama kalisegoro itulah kami tertarik untuk menelusur jejak sejarah, barangkali Kalisegoro bukan hanya sebuah nama yang diciptakan tanpa arti. Ditambah informasi dari rekan Mahasiswa Sejarah Unnes, Mas Darulelana (Apa Kabar mas?) tentang penemuan genta/ lonceng yang dipakai pemimpin ritual pada masa lalu yang terbuat dari kuningan.
Dan, Mbah Eka W Prasetya lah yang saking penasarannya, kira-kira sudah setahun yang lalu mencoba menelusuri jejak keberadaan peninggalan peradaban masa silam. Setelah kegagalan (bukan sepenuhnya karena ada beberapa titik sejarah--- saat kami menelusuri jejak peradaban di desa kuno Nongkosawit masih di Gunungpati--- maaf karena hanya setitik dan bekasnya samar, penelusuran kami sementara hentikan terlebih dulu sampai memperoleh titik cerah yang lain tentang desa Kuno Nongkosawit) di penelusuran beberapa waktu sebelumnya. Dilanjutkan solo, alias sendirian blusukan ke Kalisegoro. Sayang seribu sayang, penelusuran yang pertama ini tanpa dokumentasi sama sekali.
Pertemuan tak sengaja dengan Bapak Sagimin, perihal keberadaan Dukuh Kenteng Kalisegoro menjadikan petunjuk selanjutnya untuk membuka tabir sejarah purbakala Kalisegoro. Bahkan waktu itu Mbah Eka WP diantar langsung oleh Bapak Sagimin ini langsung ke lokasi.
Terpaut satu tahun kemudian, barulah kisah ini bisa kembali saya ceritakan… Petunjuknya adalah setelah Kantor Kelurahan Kalisegoro 2 kali ambil arah kanan. Sampai ketemu dengan Rumah Bapak Sagimim (yang ternyata posisi paling pojok dan rumah terdekat dengan jalan setapak menuju watu lumpang).  Saat kami kesini bapak Sagimin sedang  pergi, yang menemui kami adalah Bapak beliau, Mbah Sarju.
Setelah minta ijin dan meminjam alat untuk membersihkan kami langsung berjalan kaki, kira-kira 100 m setelah ambil kanan lagi di persimpangan jalan setapak sampailah kami. Batu berbentuk bulat menyambut kami. Yang sesungguhnya adalah bagian Bawah=terbalik.
Watu Kenteng, Watu lumpang adalah beberapa nama yang dikenal warga mengenai Batu ini. Kami mencoba membersihkan longsoran tanah yang menutupi bagian luar Batu Lumpang ini, dan barangkali bisa melihat bentuk bagian atasnya yang saat ini ter(/di)balik. Namun usaha kami berempat tanpa hasil karena batu ini super berat sekali. Setelah kami merasa ingin menyerah, Mbah Sarju dari kejauhan datang dan memberikan cerita kepada kami.
Watu Lumpang Kalisegoro
Kepercayaan warga sini, jika batu ini tengadah, akan banyak malapetaka, panen gagal dan warga congkrah”, ujar Beliau. Ketika kami asyik ngobrol dengan Mbah Sarju, teringat belum lama ini kenalan rekan facebook dengan passion sama yang kebetulan domisili di Kalisegoro. Segera kami hubungi barangkali bisa membantu, jika semakin banyak tenaga mungkin bisa sekedar membalik (sebentar=kemudian dikembalikan ke posisi semula) untuk tahu bentuk bagian atas. Mas Restu (nama beliau, yang teryata masih seumuran = generasi 80an akhir). “Saya tak berani mas”, kata mas Restu saat kami ajak untuk membalik. Yaacchhh…. Angker sekali. (---)
Namun Bapak saya barangkali punya cerita yang semoga bisa berkenan membagikan kepada kita mas”, lanjut mas Restu. Kepalang tanggung bagi kami, walau durasi memanggil seperti terompet sangkakala. Namun informasi yang kami yakini terkait dengan keberadaan watu lumpang ini pasti tersedia di Bapaknya Mas restu. Segera kami mengikuti menuju rumahnya.
Watu Lumpang kalisegoro : bagian atas yang terbalik
Setelah sepatahdua-patah kami memperkenalkan diri siapa kami, kemudian langsung kami kulik sisik melik tentang sejarah Kalisegoro, tak lupa sebelumnya kami tanya tentang Watu Lumpang yang terbalik…
Dan seperti berjodoh…. Cerita mengejutkan mengalir dari Beliau Bapak Sutarno.
Bahwa dulu pernah ditemukan, Arca dan Yoni lingga di sini, Di Kalisegoro, Arca Nandi, Arca Ganesha. “Saya ikut jadi saksi pengangkatan oleh Museum Ranggawasita waktu itu”, urai Bapak Sutarno. “Lokasi persisnya di sekitar SD. Itu sekitar tahun 80-an saat saya masih remaja”, tambah beliau.
Watu Lumpang kalisegoro : Bersama Bapak Sagimin, Lek Suryo, Mbah Eka dan Mas Restu


























Legenda Kalisegoro ini dulu bernama Purwosari, nama kuno Desa Kalisegoro yang jarang diketahui warga desa. Dulu Purwosari ini adalah hutan yang subur, setelah Mbah Purwo mbabat alas, dan banyak pengikutnya yang turut serta tinggal di daerah yang baru ini. Suatu saat  ada mata air dengan debit yang sangat tinggi memancar dari dalam tanah. Para pengikut mbah Purwo merasa kawatir jika daerahnya berubah dari semula hanya kali (sungai) yang melewati daerahnya dan menjadi sumber air berubah Segoro (laut).
Sampai suatu waktu dimana daerah ini kedatangan pengembara bernama Ki Nala yang dengan kesaktian yang dimiliki serta batu kenongnya bisa menutup sumber air tersebut. (Kurang lebih seperti itu yang diceritakan kepada saya oleh Bapak Sutarno).
Saat saya kecil, pusara Mbah Purwo dan Ki Nala (maesan/ Kijing/ makamnya) ditata dari batu candi. Juga ada beberapa arca di makam tersebut. Namun seiring berjalanya waktu dan tak pedulinya masyarakat akhirnya banyak yang hilang. Yang masih terselamatkan dan saat ini sudah disimpan di Museum Ranggawarsita Jateng.”, jelas Bapak Sutarno.
Saat kami tanya, “Adakah Batuan candi yang tersisa atau terpendam?”, Beliau hanya tersenyum dan tak menjawab secara jelas, dan mengaburkan tema ini. Kami kemudian tanggap dan maklum. Namun kami punya kesimpulan : Struktur Batu Candi masih ada!, perkiraan, saat penggalian dulu dikubur kembali untuk keamanan – ditambah saat ini diatasnya sudah dibangun SD. Tentu tak perlu dibahas lagi--- Itu kesimpulan saya.
Bukti penguat Peradaban Kalisegoro adalah ditemukanya beberapa Arca dan Yoni, juga tak jauh ada Watu Lumpang. “Sebenarnya ada beberapa arca lagi, namun karena kondisinya sudah rusak tak berbentuk sehingga arca itu tak dibawa ke Ranggawarsita. Namun di simpan oleh warga. Entah masih ada atau tidak saat ini”, cerita Bapak Sutarno.
Bukti peradaban yang telah berkembang di Kalisegoro ini semakin kuat pak, apalagi saya dapat informasi ditemukanya lonceng perangkat ritual di Kalisegoro ini tepatnya Dukuh Gading”, tambah saya mengamini cerita Bapak Sutarno.
Dengan berbinar Bapak Suratno, “Ya, Benar… Yang menemukan saya dan seorang warga. Saat saya memecah watu ternyata dibawah batu besar itu (jadi 3 truk) ada lonceng itu”, timpal Bapak Sutarno.
Ketika obrolan kami seru dan cukup menarik atensi kami.. Tiba-tiba Ping! suara HP Mbah Eka berteriak histeris. Sekilas setelah membaca pesan di HP nya, raut muka Mbah Eka WP seperti berhadapan dengan regu eksekusi tentara jepang yang membawa samurai. Perasaan itu ternyata merembet ke saya ternyata. Hehehehe. Dengan sekali kode memelas, akhirnya kami pamit dan bersyukur mendapatkan lagi setitik sejarah yang hampir putus.
Cerita saya ini tak ada seujung kuku, semenarik sejarah yang kami dengarkan dari Bapak Sutarno. Tak lain karena kemampuan menulis saya yang kurang tertata. Mohon maaf yang tiada terkira. – Cerita selesai, kami harus segera ‘pulang!’ (satu kata inilah yang ternyata di layar HP Mas Eka)…. Hahahaha. Dan ternyata lebih sadis pesan untuk saya….. --- Tamat! --- Tapi tentu saja Penesurun tetap berlanjut.
Bersama Mbah Sarju : 
Watu Lumpang Kalisegoro

Salam Peradaban
Di Watu Lumpang Kalisegoro

Kamis, 07 April 2016

Kemuncak Situs Topi Bandung Bondowoso Sumurejo Gunungpati

Kemuncak Situs Topi Bandung Bondowoso Sumurejo Gunungpati
     Kamis, 7 April 2016... Blusukan Kemisan berlanjut, walau sempet beberapa rekan duet kemisan berhalangan...namun usaha terakhir saya nego Mbah Eka berhasil.... Lumayan Menambah Eksistensi berlangsungnya "Ritual Kemisan" ---heheheheh, kalimat rodo lebay----
    Janjian jam setengah 4di depan SKB Gunungpati (Dulu bekas SD Sumurjurang- Saat ini desa Sumurjurang berganti nama menjadi Kelurahan Sumurejo---end.) Yang familiar, sebelum perempatan menuju Unnes. Dulu saat Wilayah ini masih ikut Kabupaten Semarang, dikenal dengan Desa Sumurjurang, Setelah Ikut Kota Semarang berubah menjadi Sumurejo, ---Barangkali karena nama Sumurjurang tak elok....
    Dari SKB, kami ambil arah kiri tepat di gang ada toko kelontong, (kalo malam ada penjual Nasi Goreng Favorit saya- Nasgor Jagad Rasa--- nama anak saya sama heheheh). Masuk gang tersebut... lurus terus kira-kira 700m , bila sahabat ketemu dengan beberapa bangunan milik PDAM, kemudian ada portal (motor bisa masuk), terus saja..... Melewati Penyimpanan air tinggalane 'londo' : Brongebow 'Moedal, tertulis tahun pembuatan 1911.
Brongeboe Moedal 1911
    Kemudian menyusuri jalan setapak disamping pagar bangunan ini. Suasana sangat berbeda disini...udara terasa sangat lembab, mungkin selain area penyimpanan air juga rimbunan pohon bambu sungguh lebat, ---Agak merinding juga--- barangkali si "Naja" berdomisili di bawah rumpun bambu itu.... Naja alias si sendok mematikan....masyarakat familiar dengan cobra----
pohon sekepeng
    --Saya tantang rekan saya max trist dan suryo idein untuk menelusuri lantai candi yang konon ada di sekitar rumpun bambu ini......----
     Parkir di halaman belakan penyimpanan air, jalan kaki menyusuri kebun kosong milik warga (--belum dapat sumber siapa yang punya lahan ini), Kemuncak tepat berada di bawah pohon 'sekepeng'.
   Ketika saya mendengar nama situs ini topi bandung Bondowoso, alis naik, alias saya bertanya-tanya..... kok bisa?.... Karena teringat cerita rakyat tentang Bandung Bondowoso vs roro Jongrang..... penasaran, apa hubunganya.....
Kemuncak Situs Topi Bandung Bondowoso Sumurejo Gunungpati
    Menurut cerita yang didapat mbah eka, Kemuncak ini di kenal warga secara turun temurun dengan nama Topi bandung Bondowoso, 
    Alkisah..
 Ketika Bandung Bondowoso ingin membangun candi di daerah kekuasaanya, beliau mencari batu di sekitar Gunung Ungaran. Saat itu melihat raja Jin di kejauhan, seperti dalam cerita rakyat yang berkembang, Bandung Bondowoso adalah penakhluk ribuan jin yang dikemudian hari ikut membantu membangun Seribu candi di Prambanan; memenuhii syarat Roro Jongrang. Setelah tahu, bahwa yang ada di situ adalah Bandung Bondowoso yang sakti mandraguna, raja Jin tersebut melarikan diri dan bersembunyi. Karena kesaktiannya, Bandung Bondowoso tetap mengetahuii lokasi persembunyianya. Kemudian Dilempar dengan batu yang sebenarnya baru dibuat kemuncak. Begitulah tutur tinular yang di ceritakan kepada saya melalui Mbah eka, tentu saja dengan sedikit improvisasi kalimat.

Kemuncak Situs Topi Bandung Bondowoso Sumurejo Gunungpati
    Sudah sejak lama, Kemuncak ini diabaikan oleh warga  , Shahdan...semenjak ada seorang anggota TNI yang bermimpi ada sebuah batu peninggalan leluhur, kemudian beliau kesini dan membersihkan sekitar area ini, Bahkan membuatkan lantai 1m mengelilingi kemuncak itu. Dan Kata warga, "Ya itu satu-satunya orang yang peduli"....   

      
     Sayangnya saat kami kesini, tak membawa alat, sehingga cara kami memuliakan kemuncak ini ya sebisa kami..... 
lantai kemuncak terlihat setelah kami bersihkan rumput yang menutupi



     
        Di area ini, kami meyakini sebenarnya bukan hanya kemuncak ini... dari geografi dan geologi tanah; seperti subur, dekat dengan mata air dan berada di pegunungan. Saya 1000% yakin dulunya ada bangunan suci di area ini. Dari auranya saja cukup menggetarkan kami.... Kecurigaan kami, banyak watu bangunan suci itu dipakai saat londo kompeni membuat penampungan air. Baik dipakai sebagai pondasi atau dindingnya. Begitu luasnya bangunan penampung air, serta nama moedal yang dipakai, moedal dengan arti atau sinonom kata air mancur/ yang keluar memancar dari dalam tanah.... menguatkan dugaan saya. Ada "Sebuah bangunan suci masa lalu, erat kaitannya dengan Gunung dan Mata Air." Gambar foto saya ambil dari belakang Brongebow Moedal": 

     Video Amatir : 












      Blusuk bersama Mbah Eka.... Pemandu sekaligus Narasumber tangan kedua, plus silehan topi....wkwkwkwk lengkap sudah peran beliau...:




















Salam Pecinta Situs dan Watu Candi...
@SSDRMK di Kemuncak Situs Topi Bandung Bondowoso Sumurejo Gunungpati

























Save This Not Only A Stone!!!
Yuk Kunjungi dan Lestarikan

Jumat, 25 Maret 2016

Menelusuri jejak Peninggalan Purbakala di Makam Adipati Pragulopati

Yoni di makam Pragulopati
      Jumat 25 maret 2016, Liburan kali ini berasa istimewa karena mendapatkan kunjungan dari 2 orang kota (datang ke desa).... sugeng rawung kagem Lek Suryo kaliyan Kang Hendrie. Setelah ngobrol santai.... kami lanjutkan Blusukan. Tujuan kami yang pertama, 5 menit saja jauhnya dari rumah saya : Yoni di Makam Adipati Pragulopati. 
gerbang makam Adipati Wasis Joyokusumo : Pragulopati I
     Info awalnya dari kang mas roso... kemudian rekan Dewa Siwa yang pertama menelusuri Mbah Eka. Dari gambar postingan fb mbah eka inilah saya terpancing untuk segera mengunjungi. Kebetulan Lek Suryo dan Kang hendri menerima ajakan saya untuk Blusukan, saya bonusi Guide gonoharjo area.
   Dari Rumah, (Desa Pagersalam Gunungpati) kemudian kami meluncur menuju Gunungpati. Melewati Puskesmas Gunungpati, 500m kemudian ke arah pasar Gunungpati ada Perempatan. Ambil kiri langsung (perempatan tepat sebelum tanjakan setelah masjid sebelah kiri). Masuk Gang ini, ada petunjuk nya menuju Makam Pragulopati. 200m melewati Sumber air yang disedot PDAM kota Semarang kita akan sampai di pintu gerbang : Adipati Wasis Joyokusumo.
     Tak sampai 100m, kita sampai di Parkiran Makam, kami langsung menuju lokasi dimana masih terdapat tinggalan purbakala yang menarik atensi kami : Yoni. Walaupun cerita sejarah tentang Adipati pragulopati ini tak kalah heroik nya....(nanti sedikit saya ulas tentang sejarah beliau).
   Yoni di makam Pragulopati
Yoni di Makam Adipati Pragulopati

       Keberadaan Yoni di komplek makam Adipati Pragulopati I ini membuktikan telah ada peradaban jauh sebelum masa dimana Adipati Pragulopati hidup. Yaitu masa Mataram islam. Keberadaan area ini di wilayah perbukitan, subur dan dekat dengan mata air menjadi pembenar dugaan itu. 
Yoni di Makam Adipati Pragulopati I Gunungpati
    Oleh Masyarakat, yoni di anggap merupakan benda keramat "tinggalan wali", oleh warga tutur tinular sejarah menyebutnya sebagai umpak yang konon akan digunakan untuk bangun masjid oleh wali. namun sumber hanya mandeg  disitu. Wali siapa, tak ada yang bisa menceritakan.
       Kembali ke wujud sebagai yoni, keadaan secara umum cukup melegakan, karena Yoni sudah diberi pelindung. "Watu keramat" tinggalan wali menjadikan Yoni ini aman dari gangguan pihak "mafia' purbakala.... semoga!. Walaupun Lingga yang menjadi pasangan Yoni ini pun telah raib.
cerat sudah rusak : Yoni makam Pragulopati I

      Kondisi detail yoni yang paling ketara adalah rusaknya bagian cerat. Yoni sendiri adalah landasan lingga yang melambangkan kelamin wanita. Pada permukaan yoni terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat di bagian tengah.
   Yoni merupakan bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan suatu bangunan suci. Yoni biasanya dipergunakan sebagai dasar arca atau lingga. Yoni juga dapat ditempatkan pada ruangan induk candi (istilah masa sekarang untuk menyebut bangunan suci itu).
penampang atas yoni makam pragulopati I
   Bentuk Yoni berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. 
Yoni di Makam Pragulopati I

   Bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca. Lingga dan Yoni mempunyai suatu arti dalam agama setelah melalui suatu upacara tertentu. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan mereka. (diolah dari beberapa sumber)
     Sekilas Sejarah tentang Adipati Pragulopati : 

    Nama aslinya adalah Wasis Jayakusuma putra Ki Ageng Panjawi, saudara seperjuangan Ki Ageng Pamanahan. Kakak perempuan yang bernama Waskitajawi menikah dengan Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan, dan melahirkan Mas Jolang.
     Ki Ageng Penjawi diberi tanah perdikan oleh Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya = Jaka Tingkir) di daerah Pati, atas jasanya dalam peperangan melawan Arya Penangsang dimasa Kerajaan Demak masih berdiri dan bergelar Ki Ageng Pati 
    Sutawijaya kemudian mendirikan Kesultanan Mataram tahun 1587, sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Sementara itu, Wasis Jayakusuma menggantikan ayahnya sebagai bupati Pati bergelar Pragola. Secara suka rela ia tunduk kepada Mataram karena kakaknya dijadikan permaisuri utama bergelar Ratu Mas, sedangkan Mas Jolang sebagai putra mahkota.
    Pada tahun 1890 Pragola ikut membantu Mataram menaklukkan Madiun. Pemimpin kota itu yang bernama Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana Demak) melarikan diri ke Surabaya. Putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil Panembahan Senopati sebagai permaisuri kedua.
     Peristiwa ini membuat Pragola sakit hati karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas) terancam. Ia menganggap perjuangan Panembahan Senopati sudah tidak murni lagi. Pemberontakan Pati pun meletus tahun 1600. Daerah-daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng dapat ditaklukan Pragola.
    Panembahan Senopati mengirim Mas Jolang untuk menghadapi pemberontakan Pragola. Kedua pasukan bertemu dekat Prambanan. Pragola dengan mudah melukai keponakannya itu sampai pingsan.
     Panembahan Senopati berangkat untuk menumpas Pragola. Menurut Babad Tanah Jawi, Ratu Mas sudah merelakan kematian adiknya. Pertempuran terjadi di Prambanan. Pasukan Pragola kalah dan mundur ke Pati. Panembahan Senopati mengejar dan menghancurkan kota itu. Akhirnya, Adipati Pragola pun hilang tidak diketahui nasibnya.
   Menurut Bapak Turman (Juru Kunci Makam), Adipati Pragola I memang tidak meninggal, namun mengasingkan diri di Gunungpati ini. Yang dulunya hutan belantara, kemudian babat alas. Jika sebelumnya menjadi orang yang berkedudukan tinggi, dia rela hidup di hutan dengan penduduk yang sangat sedikit. Namun konon Kuda Tunggangan Adipati Pragulopati yang gagah dan perkasa yang bernama Kuda "Sembrani" di sita oleh Panembahan Senopati, kemudian diolok-olok diganti seekor sapi.
Bapak Turman : Jurukunci Makam Pragulopati I
   Namun atas kerendahan hatinya, serta kesabaran yang tinggi Adipati Pragulo I "mung narimo, ikhlas". Saat ini, sapi beliau dikubur di dekat Polsek Gunungpati. Oleh masyarakat dibangunkan atap/ bangunan untuk melindungi makam. Foto makam segera update, soalnya sering lewat--jadi tunggu saja) (sumber : wawancara dengan Bapak Turman)
    Atas perkenan beliau, Juru Kunci. Kami bertiga di perkenankan untuk "ziarah" ke Makam Adipati Pragulo I. 
makam Adipati Pragulo I
     "Didalamnya juga ada silsilah raja-raja jawa sampai dengan Adipati Pragulopati" jelas beliau. Sampai saat ini, di waktu tertentu bupati Pati maupun PNS dari Kabupaten Pati sering berkunjung dan ziarah di makam Penguasa Pati ini.
    


   Rekaman wawancara dengan Pak Turman : proses upload you tube


     Blusukan bareng : 
Lek Suryo, Yoni Pragulopati, Kang Hendrie dan Saya (@ssdrmk)









        Yang surprise sekali : Makam Mbah Saya, beliau alm. Mbah Tubi dimakamkan di area ini, 10m dari makam Adip\ati Pragulopati I. Saya tak menyangka ada tinggalan purbakala tersisa disini...... Alhamdulillh...selain ziarah kubur simbah, bisa rutin minimal 1 tahun sekali pas lebaran nengok Yoni .... hehehehehe... Salam.
     Mari Kunjungi dan Lestarikan : 
saya di Yoni Makam Pragulopati I Gunungpati

Save this....Not Only a Stone!!!
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi