Kamis, 04 Mei 2017

Makam Ndowo Dusun Cekelan Kaloran Temanggung

       Kamis, 4 Mei 2017. "Sekalian jalan pulang usul saya...." Teringat informasi dari Mba Derry Adtya keberadaan sebuah Makam kuno (Makam Dowo) di belakang Situs Umpak Kaloran - Istana Wurung saat penelusuran medio 2014 .
     Setelah telp dan meminta ancar-ancar Mba Derry, "50 meter lewati pematang sawah. Makam pasangan ada di Dusun Krajan kira-kira 3km dari istana Wurung itu", jelas Mbak Derry dari Seberang gunung. 
  Jadilah, dari Yoni Ngesrep Desa Kedungumpul, walaupun perasaan rada tak tenang karena durasi berkedip kuning, namun tetap terkalahkan dengan rasa ingin segera menyambangi Situs Makam Ndowo. 
   Berhenti di warung sebelah Situs Istana Wurung. 
Makam Dowo Kaloran
      Sambil Ngopi kami mencoba menggali informasi dan petunjuk arah. Kebetulan ketika sampai di warung hujan seperti tumpah dari langit. 
     "Wah sekarang rumputnya 1m mungkin mas, setelah juru kunci nya meninggal tak ada yang menggantikan apalagi dulu sering Bapak tentara membersihkan namun sudah sejak lama Makam Dowo terabaikan", urai Ibu penjual di warung kopi. 
Makam Dowo Kaloran
   Kepalang tanggung kemudian berbekal,payung - Jas hujan dan tekad membara untuk segera menelusuri jejak peradaban, di Situs Makam Sentono Dowo (warga menyebutnya demikian).
   Mitos yang berkembang :  konon pernah ada 2 makam punggawa dari Majapahit ketika melanglang buana di daerah Kedu ini tertarik untuk menetap dan dimakamkan di sini. 
Makam Dowo yang saat ini kami telusuri adalah Makam "Kakung', sementara Makam sang istri berada di dusun Kranggan yang berjarak 3km dari Makam Dowo. 
Makam Dowo Kaloran TMG
(Penelusuran Makam pasangan Makam Dowo semoga saja suatu saat nanti terlaksana.
    Saat sampai setengah perjalanan, Hujan turun lebih deras, sehingga kami memutuskan untuk berteduh di barak tempat pembuatan batu bata. Banyaknya barak pembuatan batu bata... konon banyak ditemukan Banon, Batu Bata kuno yang berukuran besar. bahkan Ada relief nya - antefik yang ternyata banyak dibawa pulang oknum. 
Makam Dowo Kaloran TMG
    Jika itu mitos... Bagaimanakah sejarah sebenarnya harus diceritakan? Saya yang bukan background sejarah/arkeolog atau tidak punya kemampuan lain (dunia lain) sehingga tak bisa mengetahui dari sisi lain. Namun jika diurutkan secara logika.... Kawasan kedu saat jaman Majapahit apakah sampai sini budayanya? 
     Apakah tidak seharusnya berkaitan dengan Mataram kuno ketika beribukota di daerah Kedu?
      Mba derry punya beberapa alternatif antara patok batas wilayah dan atau bakalan batu prasasti. 
    Saya idem dengan batu ini adalah Bakalan Prasasti, untuk jawaban liar saya sic begini : Jadi berkembang (yang saya sebut mitos) seperti yang dikenal warga sebagai makam sentono dowo ini, Prosesnya waktu yang lama... beribu-ribu tahun rentang waktu dari jaman dahulu.... fungsi yang sudah berubah, ketika makhluk astral lain akhirnya mendiami area ini.     
Watu candi di Makam Dowo
    Kemudian berpuluh generasi berikutnya malah percaya kepada makhluk astral yang bercerita tentang ikhwal sejarah tempat ini.. intinya Sejarah itu adalah abu-abu, kecuali ikut mengalaminya.
     Walau kami bertiga namun ternyata kompak... inggrang-inggring semua takut ular. Karena rumput setinggi pinggang kami benar benar menutupi Makam Dowo. Selain tentu saja suasana yang lumayan gawat menjadikan kami tak terlalu berani berlama-lama. Apalagi tak ditemani juru kunci atau warga. Untung saja Mba Derry Punya dokumentasi ketika masih terawat (foto atas perkenan beliau):






    Sementara Makam Dowo (Istri), yang berada di Kranggan...



    Dengan segala kerendahan hati dan dangkalnya pengetahuan saya... menerima informasi (sejarah) lain tentang makam Dowo ini

     Selfie dengan ketakutan..... Takut ular....
Makam Dowo Kaloran
Salam Peradaban

Makam dan Lumpang Situs Sumur Blandung : Part 2

Makam dan Lumpang Situs Sumur Blandung : Part 2

Kamis, 4 Mei 2017. Beberapa bulan yang lalu, sesaat setelah posting naskah blog serta posting foto hasil blusukan ke situs sumur Blandung di Kaloran Temanggung di akun facebook, ada beberapa rekan yang berkomentar “Gak Mampir sekalian di Makam Kuno, disitu ada Lumpang, Kala, kemuncaknya?, Hanya 10 langkah lho!!!”…. secara pribadi saya gelo tenan. Saat saya jawil rekan blusukan waktu itu, Lek Sur… idem pula… dan ternyata lebih gelo dari pada saya.
Makam Situs Sumur Blandung
Alhasil, hari ini saya diajak lagi (beruntungnya saya---), ritual kemisan berlanjut. Start dari perpustakaan Ambarawa, kemudian kami lewat Sumowono, yang ternyata rekan lain sudah menunggu… Mas Imam… jadilah kami bertiga. Rencananya selain menelusuri ulang area Situs Sumur Blandung, juga blusukan di beberapa situs lain.
Beberapa saat kemudian sampailah kami. Saya tak sabar segera menelusuri jejak keberadaan peninggalan purbakala masa kerajaan, dan ternyata lek Suryo ingin mengulang mendokumentasikan sumur Blandung ini bersama Mas Imam (yang beru pertama ini), karena saat saya dan lek Suryo kesini waktu itu hujan sangat deras dari kami tiba sampai kami pulang. Jadilah… saya duluan mengeskplor.
Struktur Batu Candi di Situs Sumur Mblandung
Dari Sumur Blandung, sangat dekat hanya terpisahkan oleh rumpun bambu yang cukup lebat, wajar jika kami tak melihat saat pertama kemarin, tentu saja kurang jeli ditambah factor hujan dan belum lengkapnya informasi yang kami dapat. Saking lebatnya Bambu, jalan beton / cor-coran menuju makam tertutup lumut. Jadi berhati-hatilah.
Area makam kuno ini sudah dibangun pagar sekelilingnya dari bata, yang ditumbuhi lumut pula. Namun disisi kiri ada batu bata yang tanggal. Ada 3 makam di dalam bangunan ini, dengan salah satu makam yang nampak menonjol dengan tatanan nisan dari batuan candi. Sedangkan Watu Lumpang ada di bagian depan pagar makam.
Watu Lumpang Situs Blandung kaloran Temanggung
Watu Lumpang berdimensi cukup, tak terlalu besar dengan kondisi penampang atas watu lumpang sudah tak rata lagi, aus  yang bisa saja berbagai penyebabnya (mungkin).
Watu Lumpang

Sejarah makam, kurang kami tahu… siapa yang dimakamkan disini. Pastinya warga di sini men-sakralkan dengan membangun pagar pelindung yang mengelilingi. Namun dari tananan dari watu candi kami menduga bukan orang dari kalangan kebanyakan.

Yang jadi pusat perhatian saya tentu saja keberadaan relief Mahakala, yang umumnya diletakkan dibagian atas pintu sebuah bangunan suci (saat ini orang mengenal dengan nama Candi---), kemudian kemuncak (yang jadi patokan makam), terletak di bagian atas bangunan suci. 
Belum lagi struktur batu yang berbentuk (persegi-berpola) yang kuat diduga menjadi bagian struktur bangunan suci tersebut.


Ketika warga menyebut ini adalah makam kuno, saya menduga ada sebuah bangunan suci dengan masa lebih kuno lagi yang pernah tegar berdiri di area ini. Kebenaran akan menemukan jawaban sendiri….



Sayangnya, keberadaan rimbunan bambu, kemudian luangan (bahasa jawa-kubangan) ditengah-tengahnya… dijadikan tempat pembuangan sampah. Banyak sampah berceceran di sekitar makam, sayang sekali. Terkesan kumuh dan Jorok, apalagi di area ini kelembaban cukup tinggi.
Blusukan situs Tujuan pertama bersama Lek Suryo dan Mas Imam 
ki-ka : Saya, Suryo Wibowo,dan Imam
Salam Peradaban.

Makam Situs Sumur Blandung

Yoni Ngesrep Desa Kedungumpul Kec. Kandangan Temanggung : Yoni Bulat.


      Kamis, 4 Mei 2017. Masih Ritual blusukan Kemisan yang lintas batas sampai di Kabupaten Temanggung, setelah dari Situs Sumur Blandung – Makam, kemudian Situs Gandulan dan yoni Doropete kami lanjutkan penelusuran menuju yoni Ngesrep … kandangan Temanggung. Prioritas saya pribadi destinasi yang keempat ini karena fisik yoni berbeda, umumnya kotak namun ini bulat. Terpancing dokumentasi Lek Suryo.
Dari Kaloran kami menuju Kota Temanggung, traffic light pertama kemudian kami ambil kanan. Cerita panjang sangat lebar sekali mulailah…. Keraguan, tengsin bertanya serta tak ada respon saat bertanya menjadikan pengalaman berharga kepada kami (untuk lebih mempersiapkan diri termasuk peta perjalanan). Karena saya membonceng, jadilah hampir 15x saya bertanya kepada warga tentang daerah xxxxx (yang ternyata salah). 
Kami bahkan sempat ambil kanan dari traffic light pertama tadi kira-kira 10km. balik lagi kemudian menjuju arah kedu traffic light kedua ambil kanan. 
Mie Ayam dulu
Masuk kira-kira 3km… setelah jembatan menikung (konon mas Imam saat penelusuran sebelumnya sempat jatuh terpeleset di sini)… eh ragu muncul lagi, yang ternyata ini menuju Yoni pecah (lagi-lagi duet pelupa rekan saya ini : wis di terke maido, wkwkwkw- tapi saat itu saya mawas diri… ga saya ungkapkan.. hahahahahaha).

           Ya Sudah kita cari mie ayam dulu… usul saya, “Mungkin kalian kelaparan, ga fokus lupa semua”, Begitulah… Kami akhirnya makan siiang di Mie Ayam dekat traffic Light Kedu.
Yoni Ngesrep Desa Kedungumpul
Magetan, Kandangan Temanggung
Dan benar saja, jawaban itu muncul. Bukan jawaban sms senior blusukan yang saya hub atau rekan lain yang kami sungkan hubungi… namun dari internet, Ya… kenapa tak sedari awal kami cari… Terimakasih blog : http://desakedungumpul.blogspot.co.id/2012/02/dusun-ngesrep.html

Gila, kami kembali balik arah menuju Kedungumpul, kemudian sekali lagi bertanya pada warga keberadaan dusun Ngesrep Desa Kedungumpul, dan ternyata petunjuk arahnya adalah Papan Nama Desa Magetan ini… (bukan di Jatim—namun Desa Magetan Temanggung). Masuk ikuti jalan beton kampong, melewati persawahan kemudian ada gang ke kanan, 
Dari pertigaan ini.. Yoni Bulat sudah terlihat eksotis!

Yoni Ngesrep Desa Kedungumpul Kec. Kandangan Temanggung 
 Berada di pertigaan‘tusuk sate’  tepat di dekat pos Kamling Dsn. Ngesrep Yoni tak umum ini menjadi tetenger warga mengenai sejarah para leluhur mereka. 
Dulu Batu ini dari bukit belakang pabrik itu, saat itu sedang musim kemarau, ketika para warga kehausan meminum air di lubang batu itu tak pernah berurang airnya. Karena itulah warga menyebut dengan Watu Blencong (tempat minum kuno)”, urai seorang kakek yang kebetulan sedang leyeh-leyeh di depan poskamling. 
Di bukit yang separuhnya sudah di dozer itu masih ada batu yang bisa berbunyi, namun jika bukan warga sini akan kesulitan masuk, karena saat ini milik perseorangan”, tambah beliau. “Seperti alat musik gamelan”, jelasnya meyakinkan kami.
Semoga ada yang menelusur dan membagikan kepada kami… hehehehe
Yoni Ngesrep Desa Kedungumpul
Yoni Ngesrep yang berbentuk bulat ini, sungguh berbeda dengan umumnya Yoni yang biasanya ditemukan di Pulau Jawa. Sangat jarang. 
Ditambah detail hiasan teratai disekeliling badan-pelipit Yoni. Sayangnya Lingga pasangan Yoni ini sudah hilang. “Buyut saya juga tak tahu dimana batu yang seperti kalian maksud mirip alu = lingga itu, mungkin hilang saat jaman XXXX” jelas beliau. (maaf saya tulis xxxx biar saya tak kena cekal… hehehehehe)
Bagian Bawah Yoni Ngesrep Kedungumpul
Warga Mengenal peninggalan ini dengan Watu Blencong = tempat minum jaman kuno.
 Yoni sendiri adalah manifestasi dari Ibu Periwi… dengan pasangan Lingga yang diletakkan dilubang Yoni yang melambangkan kesuburan dalam mitologi agama hindu. Sebagai bahan bacaan saya sertakan beberapa sumber informasi mengenai Lingga :
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601). 
Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. 
Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. 
Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). 
Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104).
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). 

Yoni Ngesrep Kedungumpul
Sementara, Yoni
Yoni adalah landasan lingga yang melambangkan kelamin wanita. Pada permukaan yoni terdapat sebuah lubang di bagian tengah – untuk meletakkan lingga.
Relief Teratai di Yoni Ngesrep Kedungumpul Temanggung
Yoni merupakan bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan suatu bangunan suci, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. 
Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), JagatiPadmaKanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga.
Cerat Yoni Ngesrep :
Yoni Ngesrep secara umum dalam kondisi yang baik, terutama sudah ada perhatian dari warga, minimal keamanan akan terjaga. Karena Yoni ini telah menjadi tetenger dusun ini.
Waktu menunjukkan jam 3 sore, menjadikan kami mengevaluasi destinasi selanjutnya. Karena tentu saja khusus bagi saya yang terkena durasi jam 5 harus sudah sampai rumah… heheheh maaf kawan : Lek Suryo dan Mas Imam, Penelusuran Gondosuli dan mampir di Masjid Limbung ditunda.
 Sambil istirahat saya usul untuk minta petunjuk arah kepada Mbak Derry Perihal Makam Dowo di Kaloran. Dan Kisah Berlanjut di naskah selanjutnya. Salam Peradaban!
Trio Blusukan Kemisan yang tetap semangat walau ndredek kelaparan.. hehehehe.

Salam Peradaban


Yoni Doropete Kaloran Temanggung

Yoni Doropete Kaloran Temanggung
Kamis, 4 Mei 2017. Dari Situs Watu Lesung Gandulan, Kaloran Kab. Temanggung kami kemudian kembali ke arah lapangan sesuai petunjuk Lek Wahid-Mas Beny, dimana setelah lapangan kemudian ambil arah kiri. 
Menuju Yoni Doropete : denah by Wahid
Kami ikuti jalan beton tersebut, melewati kebun dan tegalan warga (penuh pohon Sengon) dan ternyata hanya sekitar 100m saja dari Lapangan kami sudah sampai.
Yoni Doropete Kaloran Temanggung
Difoto inilah kami sebenarnya menjadikan Yoni ini prioritas untuk kami kunjungi. Perbandingan dengan tubuh Lek Wahid menjadikan kami menyangka Yoni ini cukup besar… 
Wahid Cahyono : Skalameter
Dan ternyata Yoni ini tak sesuai ekspetasi ukuranya… atau kah barangkali tubuh Lek Wahid mengecil? Tambah kurus? Entahlah.. soalnya lama kami tak bersua…. Ehmm. Tapi mungkin saja. wkwkwkkwwkwk
Berada di pinggir jalan desa menuju persawahan, Yoni ini Kondisinya tak cukup bagus. Yang paling utama Lingga nya sudah Raib. 
Di hampir semua titik ditumbuhi lumut, di beberapa bagian nampak terlihat bekas usaha perusakan oleh manusia. Lubang tempat dimana Lingga (yang telah hilang) seharusnya berada berbentuk kotak persegi penuh dengan air dan daun kering (tentu saja jentik).
Cerat Yoni tanpa penyangga dan masih utuh. Sementara dibeberapa sisi bagian tubuh Yoni tepatnya di pelipit banyak yang sudah rusak. 
Di bagian bawah Yoni tepatnya tanah dibawah yoni sungguh mengkhawatirkan. Yoni saat ini sudah miring, dengan tanah dibawah yoni nampaknya tinggal menunggu waktu untuk terus tergerus, kemudian terguling, patah dan musnah. Masih diamkah kalian??????
Cerat tanpa penyangga :
cerat Yoni Doropete
Tak lupa kami menggali informasi kepada warga yang kebetulan sedang mencari rumput untuk ternaknya. 
Lubang di Penampang Atas Yoni, Dimana seharusnya Linga Berada: 
Yoni Doropete
Kerusakan di Beberapa titik Yoni Doropete:

Ohh batu itu warga disini mengenalnya dengan lumpang, dulu banyak batu batu tinggalan di sekitar sini. Malah ada 2 batu berbentuk patung sapi yang saat ini sudah raib. Entah dicuri atau dibawa museum saya tak tahu”, cerita dari warga tersebut panjang lebar. 
Serentak kami hanya bisa “Yaccchh!!!”, mau bagaimana lagi.. sudah hilang.
Tak Jauh dari Yoni Ndoropete ini ada dua potongan batu yang nampaknya erat kaitannya dengan Yoni ini. 
Memungkinkan dari bentuknya bisa Yoni ataupun Umpak.
Yoni Doropete Kaloran Temanggung
 Kemungkinan Besar Yoni, dengan ukuran sedikit lebih kecil dari Yoni yang utuh.
Yoni Doropete Kaloran Temanggung
Selain potongan batu purbakala tersebut, tersebar di beberapa titik ada banon, batu bata berukuran besar dan tebal khas bangunan penting masa yang silam. 
Yoni Doropete Kaloran Temanggung
Struktur hiasan batu candi, biasanya bagian atas :


Juga keberadaan hiasan pinggiran atap/ lantai candi (bangunan suci).
Saat akan pulang, Mas imam menjerit, “Hei di selokan ada watu candi berpola…!!”. 
Kami segera menuju lokasi dimana selokan tepat disamping “buk” gorong-gorong 5 meter dari posisi Yoni.
 Ternyata bukan hanya satu… banyak sekali!!…. 
Sayangnya bernasib sial seperti ini, dan kami yakin ini yang terlihat mata kami… entah yang sudah jadi talud, pondasi atau masih terpendam (di sengaja) dan dirusak? 
Pasti banyak lagi….. aaaccch… sumpah serapah tujuh masa…..#$#@$$#$! (maaf Baper).
Kami kemudian sepakat melanjutkan perjalanan menuju Yoni bulat masih di Temanggung sampil mengobati rasa gemetar kami belum makan siang….





Trio Blusukan Kemisan yang tetap semangat walau ndredek kelaparan.. hehehehe.
Yoni Doropete Kaloran Temanggung

Salam Peradaban
Yoni Doropete Kaloran Temanggung

Kamis, 27 April 2017

Jejak Purbakala Kalisegoro Gunungpati : Watu Lumpang dan legendanya.

Watu Lumpang Kalisegoro
Kamis, 27 April 2017. Hari Kamis tanpa blusukan  sebenarnya membuat ada sesuatu 'hal' yang hilang (#rodoalaykoyokoncone). Namun karena tak ada rekomendasi destinasi penelusuran yang tak terlalu jauh sehingga tawaran sekaligus pertanyaan dari Lek Suryo Wiboyo ku jawab dengan Ngopi di Garasi saja. Saat ngobrol dan Ngopi di garasi perpusda inilah, satu persatu rekan blusukan datang tanpa undangan. Yang pertama (maaf), sebut saja no name. Si no name inilah yang kali ini memprovokatori kami berdua untuk blusukan situs. Apalagi ternyata oknum tersebut jam terbangnya terbatas, sehingga masih banyak situs di sekitar Kota Ungaran yang belum ditelusuri.
Watu Lumpang Kalisegoro
Saat memilah destinasi yang mungkin cocok bagi si no name inilah datang satu lagi pejuang blusukan (kenapa saya menyebutnya demikian? Baca saja cerita saya ini sampai usai) Mbah Eka W Prasetya yang sejujurnya tanpa saya duga karena seribu hari tanpa kabar tiba-tiba muncul batang hidungnya didepan kami. 
Benar-benar tanpa rencana, apalagi datang langsung nawari kami bertiga “Yoh ta terke ning Kalisegoro Gunungpati, watu lumpang kuwalik”, Mbah Eka menawarkan destinasi kepada kami dengan bahasa Jawa medhoknya.
Watu Lumpang kalisegoro
Tak membantah sedikitpun, walaupun dengan susah payah kami urunan beli bensin (maaf ya kawan--). Jadilah meluncur ke Kalisegoro. Secara administratif Kalisegoro adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Gunungpati, dengan letak berdekatan dengan UNNES. Dari nama kalisegoro itulah kami tertarik untuk menelusur jejak sejarah, barangkali Kalisegoro bukan hanya sebuah nama yang diciptakan tanpa arti. Ditambah informasi dari rekan Mahasiswa Sejarah Unnes, Mas Darulelana (Apa Kabar mas?) tentang penemuan genta/ lonceng yang dipakai pemimpin ritual pada masa lalu yang terbuat dari kuningan.
Dan, Mbah Eka W Prasetya lah yang saking penasarannya, kira-kira sudah setahun yang lalu mencoba menelusuri jejak keberadaan peninggalan peradaban masa silam. Setelah kegagalan (bukan sepenuhnya karena ada beberapa titik sejarah--- saat kami menelusuri jejak peradaban di desa kuno Nongkosawit masih di Gunungpati--- maaf karena hanya setitik dan bekasnya samar, penelusuran kami sementara hentikan terlebih dulu sampai memperoleh titik cerah yang lain tentang desa Kuno Nongkosawit) di penelusuran beberapa waktu sebelumnya. Dilanjutkan solo, alias sendirian blusukan ke Kalisegoro. Sayang seribu sayang, penelusuran yang pertama ini tanpa dokumentasi sama sekali.
Pertemuan tak sengaja dengan Bapak Sagimin, perihal keberadaan Dukuh Kenteng Kalisegoro menjadikan petunjuk selanjutnya untuk membuka tabir sejarah purbakala Kalisegoro. Bahkan waktu itu Mbah Eka WP diantar langsung oleh Bapak Sagimin ini langsung ke lokasi.
Terpaut satu tahun kemudian, barulah kisah ini bisa kembali saya ceritakan… Petunjuknya adalah setelah Kantor Kelurahan Kalisegoro 2 kali ambil arah kanan. Sampai ketemu dengan Rumah Bapak Sagimim (yang ternyata posisi paling pojok dan rumah terdekat dengan jalan setapak menuju watu lumpang).  Saat kami kesini bapak Sagimin sedang  pergi, yang menemui kami adalah Bapak beliau, Mbah Sarju.
Setelah minta ijin dan meminjam alat untuk membersihkan kami langsung berjalan kaki, kira-kira 100 m setelah ambil kanan lagi di persimpangan jalan setapak sampailah kami. Batu berbentuk bulat menyambut kami. Yang sesungguhnya adalah bagian Bawah=terbalik.
Watu Kenteng, Watu lumpang adalah beberapa nama yang dikenal warga mengenai Batu ini. Kami mencoba membersihkan longsoran tanah yang menutupi bagian luar Batu Lumpang ini, dan barangkali bisa melihat bentuk bagian atasnya yang saat ini ter(/di)balik. Namun usaha kami berempat tanpa hasil karena batu ini super berat sekali. Setelah kami merasa ingin menyerah, Mbah Sarju dari kejauhan datang dan memberikan cerita kepada kami.
Watu Lumpang Kalisegoro
Kepercayaan warga sini, jika batu ini tengadah, akan banyak malapetaka, panen gagal dan warga congkrah”, ujar Beliau. Ketika kami asyik ngobrol dengan Mbah Sarju, teringat belum lama ini kenalan rekan facebook dengan passion sama yang kebetulan domisili di Kalisegoro. Segera kami hubungi barangkali bisa membantu, jika semakin banyak tenaga mungkin bisa sekedar membalik (sebentar=kemudian dikembalikan ke posisi semula) untuk tahu bentuk bagian atas. Mas Restu (nama beliau, yang teryata masih seumuran = generasi 80an akhir). “Saya tak berani mas”, kata mas Restu saat kami ajak untuk membalik. Yaacchhh…. Angker sekali. (---)
Namun Bapak saya barangkali punya cerita yang semoga bisa berkenan membagikan kepada kita mas”, lanjut mas Restu. Kepalang tanggung bagi kami, walau durasi memanggil seperti terompet sangkakala. Namun informasi yang kami yakini terkait dengan keberadaan watu lumpang ini pasti tersedia di Bapaknya Mas restu. Segera kami mengikuti menuju rumahnya.
Watu Lumpang kalisegoro : bagian atas yang terbalik
Setelah sepatahdua-patah kami memperkenalkan diri siapa kami, kemudian langsung kami kulik sisik melik tentang sejarah Kalisegoro, tak lupa sebelumnya kami tanya tentang Watu Lumpang yang terbalik…
Dan seperti berjodoh…. Cerita mengejutkan mengalir dari Beliau Bapak Sutarno.
Bahwa dulu pernah ditemukan, Arca dan Yoni lingga di sini, Di Kalisegoro, Arca Nandi, Arca Ganesha. “Saya ikut jadi saksi pengangkatan oleh Museum Ranggawasita waktu itu”, urai Bapak Sutarno. “Lokasi persisnya di sekitar SD. Itu sekitar tahun 80-an saat saya masih remaja”, tambah beliau.
Watu Lumpang kalisegoro : Bersama Bapak Sagimin, Lek Suryo, Mbah Eka dan Mas Restu


























Legenda Kalisegoro ini dulu bernama Purwosari, nama kuno Desa Kalisegoro yang jarang diketahui warga desa. Dulu Purwosari ini adalah hutan yang subur, setelah Mbah Purwo mbabat alas, dan banyak pengikutnya yang turut serta tinggal di daerah yang baru ini. Suatu saat  ada mata air dengan debit yang sangat tinggi memancar dari dalam tanah. Para pengikut mbah Purwo merasa kawatir jika daerahnya berubah dari semula hanya kali (sungai) yang melewati daerahnya dan menjadi sumber air berubah Segoro (laut).
Sampai suatu waktu dimana daerah ini kedatangan pengembara bernama Ki Nala yang dengan kesaktian yang dimiliki serta batu kenongnya bisa menutup sumber air tersebut. (Kurang lebih seperti itu yang diceritakan kepada saya oleh Bapak Sutarno).
Saat saya kecil, pusara Mbah Purwo dan Ki Nala (maesan/ Kijing/ makamnya) ditata dari batu candi. Juga ada beberapa arca di makam tersebut. Namun seiring berjalanya waktu dan tak pedulinya masyarakat akhirnya banyak yang hilang. Yang masih terselamatkan dan saat ini sudah disimpan di Museum Ranggawarsita Jateng.”, jelas Bapak Sutarno.
Saat kami tanya, “Adakah Batuan candi yang tersisa atau terpendam?”, Beliau hanya tersenyum dan tak menjawab secara jelas, dan mengaburkan tema ini. Kami kemudian tanggap dan maklum. Namun kami punya kesimpulan : Struktur Batu Candi masih ada!, perkiraan, saat penggalian dulu dikubur kembali untuk keamanan – ditambah saat ini diatasnya sudah dibangun SD. Tentu tak perlu dibahas lagi--- Itu kesimpulan saya.
Bukti penguat Peradaban Kalisegoro adalah ditemukanya beberapa Arca dan Yoni, juga tak jauh ada Watu Lumpang. “Sebenarnya ada beberapa arca lagi, namun karena kondisinya sudah rusak tak berbentuk sehingga arca itu tak dibawa ke Ranggawarsita. Namun di simpan oleh warga. Entah masih ada atau tidak saat ini”, cerita Bapak Sutarno.
Bukti peradaban yang telah berkembang di Kalisegoro ini semakin kuat pak, apalagi saya dapat informasi ditemukanya lonceng perangkat ritual di Kalisegoro ini tepatnya Dukuh Gading”, tambah saya mengamini cerita Bapak Sutarno.
Dengan berbinar Bapak Suratno, “Ya, Benar… Yang menemukan saya dan seorang warga. Saat saya memecah watu ternyata dibawah batu besar itu (jadi 3 truk) ada lonceng itu”, timpal Bapak Sutarno.
Ketika obrolan kami seru dan cukup menarik atensi kami.. Tiba-tiba Ping! suara HP Mbah Eka berteriak histeris. Sekilas setelah membaca pesan di HP nya, raut muka Mbah Eka WP seperti berhadapan dengan regu eksekusi tentara jepang yang membawa samurai. Perasaan itu ternyata merembet ke saya ternyata. Hehehehe. Dengan sekali kode memelas, akhirnya kami pamit dan bersyukur mendapatkan lagi setitik sejarah yang hampir putus.
Cerita saya ini tak ada seujung kuku, semenarik sejarah yang kami dengarkan dari Bapak Sutarno. Tak lain karena kemampuan menulis saya yang kurang tertata. Mohon maaf yang tiada terkira. – Cerita selesai, kami harus segera ‘pulang!’ (satu kata inilah yang ternyata di layar HP Mas Eka)…. Hahahaha. Dan ternyata lebih sadis pesan untuk saya….. --- Tamat! --- Tapi tentu saja Penesurun tetap berlanjut.
Bersama Mbah Sarju : 
Watu Lumpang Kalisegoro

Salam Peradaban
Di Watu Lumpang Kalisegoro