Minggu, 06 Agustus 2017

Candi Bubrah Jepara : perjalanan lintas batas #4,

Candi Bubrah Jepara
      Minggu, 6 Agustus 2017. Crew Lintas Batas DEWA SIWA kembali berpetualang. Kali keempat bagi divisi lintas batas ini. Sekedar me-refresh kembali ; yang pertama Situs Balekambang - Situs Silurah Batang, yang kedua situs petungkriyono Pekalongan : Tlogopakis dan Gedong, yang ketiga situs Candi Risan dan 4 situs lain di Gunungkidul dan      Tujuan yang keempat adalah Candi Angin & Candi Bubrah Jepara.
Candi Bubrah Jepara
      Berangkat dari titik ketemu terakhir di Mranggen Demak (tempat dimana saya menunggu untuk diboncengkan ... hehehe) jam setengah tujuh, sebenarnya dinihari sebelumnya kami kekeuh sepakat harus jam 5 pagi sudah start, karena informasi yang kami terima perjalanan 4 jam memakai motor kemudian 1 jam selanjutnya jalan kaki. Namun takdir berkehendak lain... Jarak domisili masing masing crew  yang terpencar memang menjadi satu alibi namun memang bukan utama.
      Dari Mranggen, lewat jalur Karangawen tembus ke Pertigaan Buyaran. Mengingatkan saya penelusuran beberapa tahun lalu melewati jalur ini di situs candi sari dan situs pidodo Demak.
Makan Lentog
      Kemudian lewat Jalur Lingkar Demak, saat sampai di pertigaan Trengguli, kami sempat berhenti sejenak untuk meyakinkan rute yang akan kami ambil. Lewat Jalur Pati ; Tayu. Selain jalan yang relatif lebih baik, tak terlalu rumit jalurnya (menurut pertimbangan kami).
      Sesampainya di Kota Kretek Kudus, kami kemudian mencari sarapan, pilihan kami "Lentog" Tanjung. 
     Obrolan kami saat makan, di Kudus ini selain Masjid Menara, ada beberapa tinggalan yang dengan masa yang lebih kuno. 
      Langgar Bubrah adalah salah satunya. Tapi karena tujuan kami masih jauh, kami kemudian memasukkan informasi dari rekan komunitas "lek Wahid" ke agenda kami lintas batas selanjutnya.
      Dari kudus kemudian kami menuju pati, sempat berhenti di salah satu minimarket untuk melengkapi bekal kami (kali ini Lek Suryo membawa kompor portable plus gas untuk membuat kopi panas di lokasi). 
      Setelah Tayu, kemudian kami menuju Keling Jepara. Masalah timbul disini, saat kami mengandalkan panduan dari Google Maps, sudah 2 pembonceng on peta, tapi tanpa kami sadari kami melewatkan  jalan menuju lereng Gunung Muria sisi Utara, sampai hampir 1 jam menuju arah ke kota Jepara - Mlonggo, kami tersadar saat berada di tengah kawasan perkebunan karet.
       Balik lagi, kemudian kami tutup aplikasi peta tersebut, kemudian kami ganti dengan cara tradisional : bertanya kepada warga, cukup ekspresif warga yang kami tanyai. Memakai daun pepaya untuk menggambarkan rute terdekat, Salam hormat kami kepada beliau...
      Kami kemudian mencari petunjuk sesuai arahan beliau, tak berapa lama kami menemukan kembali ke jalan yang benar.
Walaupun, beliau memperingatkan kami tentang jalan yang rusak parah dihadapan kami, alternatif jalan yang lebih mulus namun sangat jauh, kami harus balik lagi.
       Setelah melewati jalan parah, kami kemudian ketemu dengan jalan mulus. Saat bertanya kepada warga yang juga melintas, malah ditawari untuk mengikutinya saja, karena beliaupun akan ke dusun Duplak, dusun terakhir sebelum Candi Bubrah - Candi Angin. Beruntungnya kami...
     Pemandangan sangat indah, disisi kanan kami hamparan bukit dan tebing, sementara sebelah kanan berjejer batuan besar di sungai yang jernih, yang membuat kami melaju dengan pelan menikmati karunia illahi ini.
     Beberapa waktu kemudian, sampailah kami di tikungan yang ada bigletter : "Tempur Village", spot selfie yang sayang unruk dilewatkan.
     Melanjutkan perjalanan, 2km kemudian kami sampai di Gerbang Wisata Dusun Duplak,
     Setelah menulis nama buku tamu dan isi kas sukarela. Kami tak melewatkan bertanya secara detail kepada para pemuda yang ada di pos gerbang desa ini.
      Ternyata selain Candi Bubrah dan Candi Angin ada juga Sumur Batu dan kubur Batu. Selain tentu saja wisata alam seperti bukit, kebun kopi, dll yang ditawarkan kepada para wisatawan.
"Ikuti jalan cor2 an, parkir kemudian jalan sekitar 1 jam", kata pemuda yang kami tanyai. Terbayang di benak kami... jalan kaki 1 jam... kepalang tanggung, tak mundur satu langkah pun.
      "Wingi aku sempet nonton you tube perjalanan ke candi Angin-Bubrah, dewe terus wae. Sampai mentok ", yakin Lek Trist dengan bahasa Jawa, sengaja tak saya translate. 
      Kami mengikutinya, dengan lebar jalan kira-kira hanya 1m saja, masih tanah dan kerikil, semakin keatas ternyata jalan sudah dicor semen.  Namun karena belokan sangat tajam plus nanjak saya akhirnya jalan kaki dari bawah... (=nasib) VR46 saja mesti takut, seloroh Lek Trist...
Video amatir 1 : 


     Tepat di akhir jalan cor2an, motor parkir, kami selfie kemudian segera mempersiapkan menuju puncak dimana Destinasi kami menunggu.
     Tantangan yang pertama kami hadapi adalah tangga dengan kemiringan hampir 50 derajat, untungnya, hanya sekitar 100m saja. Kemudian ada gardu pandang, selain bisa selfie juga istirahat sebentar untuk mengembalikan ritme nafas yang ngos-ngosan.
Video amatir 2 :


     "Ambil kiri nanti sampai, ikuti jalan setapak itu", jelas pemilik warung di dekat gardu pandang.
     Dan petualangan kami sesungguhnya baru dimulai... jalan setapak kami susuri, puluhan tanjakan, ratusan akar yang kami jadikan pijakan, kanan kiri jurang bahkan ada titik jalan setapak dimana sebelah kanan jurang, sebelah kiri tebing padas. Saat kaki menapak, ada kerikil yang menggelinding ke jurang. Adrenalin seketika menyeruak.
     Satu-satunya Pertigaan  yang kami temui, di tengah perjalanan membuat kami ragu. Dengan inisiatifnya sendiri Mas Imam (mungkin merasa saja jika dia paling muda.. Wkwkkwkw), mencoba menelusuri.
      Saat menunggu mas Imam kembali, ada pengunjung yang kembali dari Candi Bubrah Candi Angin. Mereka bertiga dengan salah satunya memakai udeng atau ikat kepala khas Bali. "Dekat kok mas hanya 200 meteran",  kata salah satunya kepada kami. Yang kemudian pada akhirnya bertujuan sangat baik, membangkitkan lagi semangat kami. Itu saja... ga menipu sich...wkwkwkw.
      "Ada kubur batu, persegi dan ditata mirip situs petungkriyono. Tepat di puncak bukit ini", cerita Mas Imam menggambarkan sambil menunjukkan arahnya. (Sayang sekali, Mas Imam HPnya mati, sehingga tak mendokumentasikan Kubur batu ini).
      Setelah berembug kami menjadikan alternatif setelah dari Candi Angin dan Bubrah, lihat waktu dan tenaga yang tersisa nanti.
Beberapa kali melewati jurang...



















Ketika semangat meredup....



Sampailah kami di Candi Bubrah....
Candi Bubrah, Keling Jepara
        Terbayar lunas perjuangan kami naik ke Candi Bubrah ini, secara pribadi saya baru pertama ini semenjak keranjingan dolan di situs, sekitar akhir tahun 2010, disuguhi bangunan suci (=candi) yang unik.
       Susunan batu yang menjadi strukturnya hanya ditata sederhana terdiri dari lempengan lempengan batu datar yang dibentuk sedemikian rupa.
Di bagian pertama yang kami temui, mirip sebuah makam;
Candi Bubrah, jepara : ada bagian seperti makam
       Di sekelilingnya masih nampak bekas reruntuhan yang masih tertumpuk, struktur batu bangunan suci itu.












     Nampaknya dibangun di lereng, sehingga ketinggian bangunan bersandar di lereng. Beberapa susunan batuan candi membentuk ruang yang saya duga menjadi altar ritual suci semacam pemujaan. Barangkali dulu dalam ruangan tersebut ada arca atau manifestasi dewa dalam bentuk lain.
Candi Bubrah Jepara
      Di atas nya ada semacam ratna (puncak candi hindu), tapi entah sejak dulu atau setelah instansi terkait mengkaji Candi Bubrah ini.
Diskusi kami seputar kira kira dimasa kerajaan mana.... kesimpulan sederhana kami, bangunan ini lebih tua daripada kebudayaan kuno di Dieng ataupun lereng Ungaran, jauh lebih kuno dari peradaban kedu dan lereng Merapi.
Candi Bubrah

     Candi Bubrah ini berada di lereng sebelah utara kawasan Gunung Muria, secara administratif masuk Dusun Duplak, Desa Tempur Kec. Keling, Kab. Jepara ini mirip cirik khasnya dengan situs di Petungkriyono Pekalongan yang juga tersusun dari struktur lempengan batu datar.
Relung Bangunan, digunakan untuk ritual : Candi bubrah
      Dari beberapa literatur yang saya dapatkan, banyak ahli yang mengajukan teori tentang peninggalan Kerajaan Kalingga, mungkin dengan keterkaitan pengucapan kalingga = Keling... menjadi nama yang mudah diucapkan oleh para pelaut manca, sehingga lambat laun tak ada yang mengucapkan Kalingga, hanya Keling saja.

     Sementara dari portal berita jaringnews; Diyakini oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Jepara, di kota paling ujung utara pulau Jawa ini pernah berdiri megah kerajaan Kalingga, dengan jejak peninggalan Candi bubrah dan candi Angin yang berdekatan.
Sementara itu, sejarawan asli Kota Ukir Jepara : M Nuh Thabroni menyampaikan, kalau melihat hasil temuan-temuan yang sudah ditemukan sampai saat ini, seperti tembikar, stempel kerajaan, tutup payudara dan mahkota yang terbuat dari emas, kerajaan Kalingga ada di wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Blingoh di Kecamatan Donorojo.
Candi Bubrah, jepara
Dari sebuah tulisan China kuno disebutkan keberadaan kerajaan Kalingga berada di perbukitan yang diapit dua aliran sungai
 "Kalau berdasarkan kabar dari China, kerajaan Kalingga ada di sekitar Candi Angin dan Candi Bubrah di Desa Tempur," terang Thabroni. Masa kejayaan kerajaan Kalingga, disampaikan Thabroni semasa dengan raja Mataram Kuno, Raja Diah Balitung. Yaitu pada tahun 1029 Masehi. "Usia itu berdasarkan penemuan 12 lempeng perunggu yang bertanggal 1029 Masehi. Itu artinya Kalingga seangkatan dengan Raja Diah Balitung Raja Mataram Kuno", tutup Thabroni. (Sumber : jaringnews)


     Crew ekspedisi lintas batas #4 : Kami ingin menyampaikan pesan kepada siapapun:  PERCAYA TEMAN. 
Candi Bubrah : Komunitas Dewa Siwa, Percaya Teman
Salam nyandi


Candi Bubrah : ssdrmk, pengalaman bergharga


 Kunjungi dan Lestarikan Yuuk....
---
Menuju Candi Angin...
Video Amatir


nb : Lek trist, Lek Suryo, Mas Imam : all foto kontribusi noname ya, tapi nggo #lintasbatas...bingun tercampur... tq.

Candi Angin Jepara : Perjalanan Lintas Batas #4

Candi Angin, Jepara
       Minggu 6 Agustus 2017, masih di #lintasbatas4. Sambungan perjalanan dari Candi Bubrah Jepara. Kami melanjutkan penelusuran melewati jalan setapak di sebelah kanan Candi Bubrah. Masih dengan medan yang sama, karena lokasi pun masih sama. Tanjakan, kanan kiri jurang menjadi tantangan yang menghadang kami. 
       Saat memulai pendakian menuju Candi Angin, kami melihat kibaran bendera di atas pohon di puncak tertinggi didepan kami, barangkali itulah final tujuan kami. Terbayang di mata perjalanan masih butuh energi dan spirit yang lebih, karena beberapa kali lagi harus melahap tanjakan dengan berjalan kaki.
      Dari informasi yang kami terima, Candi Angin ini berada di wilayah Kabupaten Jepara,  tepatnya di Lereng Gunung Muria sebelah Utara, secara administratif masuk wilayah Dusun Duplak, Desa Tempur, Kec. Keling. Kalau tidak salah di sisi sebaliknya Gunung Muria ini, Sunan Muria pernah membangun dan menyebarkan agama Islam.
Candi Angin
      Dengan tenaga yang tersisa, juga semangat kami tinggal 50%, kami berjalan stabil (seperti saran Lek Sur), maaf saya tak punya gambaran dengan tulisan stabilnya seperti apa, abstrak bagi saya.. wkwkwk)  walaupun saya sendiri yakin, kami semua bukan stabil betulan tapi karena keadaan yang tak memungkinkan = lelah fisik. Terutama bagi kami bertiga terkecuali Mas Imam.
      Di sebelah kanan dan kiri jalan, banyak sekali pohon pisang, saya pribadi  heran kok gunung banyak pisang, siapa,yang menanam dan bagaimana cara panennya? Di lereng terjal, di pinggiran tebing. Kok bisa? Apakah pohon pisang ini vegetatif asli Muria? Apakah dulu banyak monyetnya? Hmmmm. Entahlah.
Setelah Kurang lebih jalan kaki sekitar 30 menit, akhirnya sampailah kami....
CANDI ANGIN,
Candi Angin, Jepara
       Di Candi Angin sudah ada papan nama dan peringatan untuk pelestarian, terbesit pertanyaan dalam hati saya... kenapa Candi Brubah tak di perhatikan juga? Padahal melewati nya... semoga ada yang bisa menyampaikan kepada pihak terkait. Eman - eman sekali kekunoan ini diabaikan. Bahkan oleh salah satu warga sendiri (warga Jepara), baru tahu setelah saya publish naskah Candi Bubrah. Beliau malah bertanya dimana? Di salah satu komentar di medsos)... tentu ada yang salah, kenapa bisa terabaikan... oleh anak turunan cucu leluhur kerajaan Kalingga.
       Sambutan pertama, di Candi Angin ini ada tatanan batu yang menyerupai makam;
Makam 1 di candi Angin Jepara
      Didekatnya ada tatanan watu candi, 


Candi Angin


       Di trap selanjutnya, ada sebuah bangunan yang didalamnya masih nampak digunakan untuk ritual tertentu ;


Candi Angin, Jepara

       Di dekatnya, ada pohon besar yang tumbuh diatas bangunan (pohon yang besar itu pasti berusia sudah sangat tua, apalagi batunya).
    Membuktikan, lamanya bangunan suci ini tak ada aktivitas lagi, bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu sudah ditinggalkan.
     Dilokasi ini kemudian menjadi tempat istirahat kami, dibawah pohon sambil memandang sisa kemegahan Candi Angin.
     Sambil membuka bekal, plus Lek Suryo membuat Kopi on lokasi. Jadilah terasa ikmat blusukan kali ini. Sejenak menjadi terlupa siksaan perjalanan yang sebelumnya kami rasakan.
       Kondisi Candi Angin 11-12, sama dengan Candi Bubrah. Yang membedakan adalah letaknya. Sama sama bubrah


Candi Angin
    Posisi Candi Angin berada di puncak paling tinggi, 


Candi Angin
     Candi Angin diduga (satu paket) sama dengan Candi Bubrah merupakan  tinggalan Kerajaan Kalingga dengan Ratu Shima.
     Salah satu reruntuhan Candi Angin di sisi kanan Candi:
Candi Angin

Candi Angin

       Makam ke 2 yang ada di sisi kanan candi bagian atas;
Candi Angin

    Di Candi Angin ini kami duga ada inkripsi pada batu, dua jenis.... hehehehe :
        
Tulisan di Batu : Candi Angin

     Legenda yang dituturkan dari generasi ke generasi (minim tinggal an tulisan, lebih banyak lisan) :
    Konon, rakyat kerajaan Kalingga terkenal kejujurannya. Tak ada satupun pencurian di seluruh wilayah kerajaan. Jika bukan hak atau miliknya, masyarakat tak kan mau menyentuhnya. Sehingga barang berharga yang jatuh di jalan pun tak kan,ada yang mengambilnya.      Hal itu berkat kepemimpinan Ratu Shima, sang penguasa yang adil dan bijaksana, mampu menjadikan warganya sejahtera. Penegakan hukum pun tegas tanpa pandang bulu.
      Suatu ketika, seorang utusan dari negeri china hendak menguji  kejujuran warga. Dia menaruh bungkusan di tepi jalan kotapraja. Namun hampir selama 40 hari bungkusan itu tetap pada posisi semula.
      Hari ke 41, ketika putra mahkota berjalan jalan dengan rombongannya, tak sengaja roda kereta kencana menyentuh bungkusan orang China tersebut. Pangeran tersebut turun, kemudian menyingkirkan dengan kakinya. Hanya 1 depa.     Esok harinya, orang China tersebut mengadu kepada Ratu Shima, alhasil karena hukum harus ditegakan. Sesuai hukum yang berlaku di kerajaan bahwa pencuri akan dipotong bagian tubuh yang menyentuh benda tersebut, maka dipotonglah kaki kanan pangeran tersebut.      Pada saat akan dilaksanakan hukuman, orang China tersebut memohon untuk dibatalkan, karena pangeran bukan mencuri tapi hanya memindahkan. Segenap masyarakat yang hadir pun memohon ampunan untuk sang Ppangeran.      Namun Ratu Shima tak bisa mencabut hukuman itu,  karena Hukum di Kalingga. Diiringi derai tangis segenap yang hadir saat itu, dipotonglah kaki Sang Pangeran. Sebuah kejujuran yang menjadikan Kerajaan Kalingga melegenda. Ditulis di catatan orang china tersebut.      Sejak saat itu, sang pangeran menjadi Cacat. Sementara pemimpin kerajaan adalah  wakil Dewa yang memerintah manusia di bumi. Dan sudah tak sempurnalah pangeran tersebut untuk menjadi Raja. Itulah mengapa Kerajaan Kalingga kemudian hilang di telan zaman.       Sebuah cerita masa lalu, yang masih tersimpan dalam ruang kosong di pojok kepala saya.... ( teringat bacaan saat SD, dan barulah sekarang bisa menyambangi lambang kejujuran ini... ) #percayaTEMAN adalah taggar khusus edisi ini. Terinspirasi kisah legenda Kalingga.
     Saat di Gerbang Masuk Desa Tempur sebelumnya di awal perjalanan, ada juga tinggalan Sumur batu dan kolam kuno yang dikeramatkan. Dugaan saya, ada keterkaitan dalam ritual suci pemujaan di masa itu. (Di naskah setelah ini)
     Sumur batu dan kolam suci digunakan untuk menyucikan diri sebelum ritual di Candi Bubrah. Setelah Candi Bubrah, tahap selanjutnya Ritual di Candi Angin sebagai puncak ritual. Mungkin mirip konsep Gunung Lawu yang konon sebagai lokasi Moksa Brawijaya V..
     Video amatir Perjalanan pulang dari Candi Angin, video by max trist : (proses upload)
Salam Nyadi...
    Saat disini, ketemu dengan beberapa rombongan pemuda-pemudi lokal, namun ada satu rombongan yang nampaknya menyambut ajakan kami untuk ngopi, dan menunjukkan keramahan Khas Muria. 
     Sempat berfoto bersama dulu ; 
Salam Nyandi : Candi Angin

Berlanjut di Sumur Batu
Sampai ketemu di lintas batas yang lain....
Percaya Teman : candi Angin

#PercayaTEMAN

Situs Sumur Batu Desa Tempur, Keling Jepara : perjalanan lintas batas #4,

Situs Sumur Batu Desa Tempur, Keling Jepara
       Minggu, 6 Agustus 2017. Setelah misi selesai, penelusuran lintas batas Candi Angin- Candi Jepara selesai, ketika rasa capai sudah di ubun-ubun. Eh kok rekan bertiga tetap berhenti di jalan masuk menuju Sumur Batu. Padahal jiwa raga saya pribadi sudah bener bener telah habis level energi ke titik terendah.
    Ya sudah, karena makmum akhirnya mengekor juga.
     Masih di Desa Tempur, Kec. Keling Kabupaten Jepara. Petunjuk arah sangat mudah. Setelah parkir motor di pinggir jalan, kemudian kami berjalan kaki. Awalnya tatapan curiga kami dapati saat awal kami tiba di lokasi ini. Terutama karena kami parkir di pinggir jalan tengah perkampungan, namun ketika kami bertanya kepada warga mereka jadi paham dan berlalu = cuek....hnmmm, sayang sekali mungkin mereka capai.... wkwkwkkw... Mungkin belum sadar..... padahal kami yakin sudah ada program Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisaya yang menganjurkan untuk tersenyum dan ramah) ... hehehhe.
     Jalan kaki, 100m kemudian ambil kiri mengikuti jalan undakan menurun, melewati kebun kopi. Desa Tempur ini juga terkenal Kopi Khas Tempur Keling Jepara, dibeberapa lokasi ada cafe. Namun tentu saja kami (untungnya) melewatkan (karen saya sudah tak kuat lagi) hehehehhe.  Tenaga yang terkuras, karena faktor U, Menjadikan jalan kami terlalu lambat bagi Mas Imam, padahal menurut kami dia terlalu cepat saja.
     Entah bagaimana, Mas Imam sudah sampai di lokasi. Eh dia balik keatas lagi. "Hawane singup banget, rawani dewekan", jelas Mas Imam. Suasana memang berbeda, kasat mata agak suram (tapi tentu saja ditambah faktor jam sudah sore sekali, dan sudah akan masuk waktu Magrib).
      Dan inilah, yang pertama kami temui adalah Kolam Kuno yang sudah kering, 
Situs Sumur Batu Desa Tempur, Keling Jepara : Kolam Kuno

kolam kuno disusun dengan tatanan batu, sementara disebelahnya ruang pemujaan, dimana ada beberapa batu yang dikeramatkan kemudian disusun sedemikian rupa. 
Situs Sumur Batu Desa Tempur, Keling Jepara
     Disamping kolam kuno yang sering tersebut ada sebuah bangunan, didalam bangunan tersebut ada altar pemujaan yang nampaknya sampai saat ini masih sering digunakan. 
     Dari papan informasi dan peringatan dari warga tentang anjuran dan larangan attitude saat di lokasi ini, Situs Sumur Batu ini ditemukan oleh warga sekitar tahun 2003.
Situs Sumur Batu ; Ditemukan tahun 2003
     Menyusuri jalan cor tersebut, dibeberapa lokasi masih terlihat jejak kekinian ; batu lempeng datar tersusun rapi.
    Kami sama sekali tak mendapatkan informasi dari warga di Sumur Batu ini perihal legenda maupun sejarahnya, hanya pemuda yang kami temui di Pos Masuk tadi berkata... Sumur Batu ini dikeramatkan oleh warga.


    Penampang atas Sumur batu :
Sumur Batu Keling

      Terlihat dari air di sumur batu, menandakan sudah lama sekali air itu tak pernah menjadi air suci lagi. Yang pada masanya pernah digunakan untuk prasyarat ritual masa lalu.
Sumur Batu Jepara



 Memang masih banyak sesajen disekitar Sumur Batu ini, salah satunya terlihat di sebelahnya dengan diapit potongan struktur batu bekas sebuah bangunan.
     Didekat sumur batu juga ada lagi Serupa makam, ini penampakan salah satu batu Patoknya :












Salam pecinta Situs dan Watu Candi.
Sumur Batu Desa tempur, keling Jepara
Sampai ketemu di tujuan penelusuran lintas batas selanjutnya.... 
Sumur Batu Desa tempur, keling Jepara






















Tamat# lintas batas4

nb : semua foto by kontributor : Lek Suryo dan Max Trist....

Kamis, 27 Juli 2017

Situs Soko, Lerep. Ungaran

     
      Kamis, 27 Juli 2017. Kemisan kali ini awalnya sudah nyaris terlewatkan, bagaimana tidak cuaca gerimis dari tadi siang tak reda. Penunjuk arah pun jam 3 lebih belum datang. Tepat saat Lek Sur beranjak pulang, saya pun beres beres. Eh, Mas Eka WP datang sambil mringis. "Sedetik lagi terlambat, ki wis meh bali", kata kami serempak. 
         Awalnya kami memang tak terlalu harus. Sebisanya saja.
     Namun untuk tak membuat gelo, walaupun gerimis kami tetap melanjutkan apa yang telah kami pinta tadi siang, kami diantarkan blusukan kemisan ke Lingga situs Makam Soko Lerep Ungaran. 
     Dari Alun-Alun lama Ungaran, kami melalui Karangbolo kemudian pertigaan ambil kiri, Setelah Waktu Gunung di sebelah kanan, ada gang ikuti, sekitar 150m pas di turunan, sebelah kiri ada jalan kecil menuju Makam Soko.
Makam Punden Soko, Lerep
     Masuk, 500m, pertigaan ambil kiri, kemudian ketemu dengan cungkup makam, yang kami tuju berada di bangunan ini ;
     Dari sumber informasi yang didapat Mas Eka Wp,  konon yang dimakamkan disini adalah Syech Ibrohim, Wali Tunggul Werdho (pak kyai nurul huda). (sumber interview bernama pak narto). Di makam punden soka, warga masyarakat mempercayai keberada an pusaka dari teken wali yang berupa lingga.
     Masuk dalam ruangan cungkup, terdapat 2 makam, Syech Ibrahim dan, sang istri beliau.
     Ditutup kain mori,  masing - masing maesan, juga teken wali (sebutan masyarakat untuk lingga). 
      Untung bersama Lek Sur, karena saya maupun Mas Eka WP tak berani membuka mori untuk sekedar mengetahui bentuk lingga saat ini. 
     Ada ketakutan aneh dalam diri saya (sebenernya saya, memang penakut .. hahaha...).
     Dan Lek Suryo tampil kedepan, dengan hati hati membuka mori, tentunya dengan mohon ijin sebisanya. 
    Kami berdua dibelakang Lek Suryo ikut berdoa semoga ga kenapa-napa. Karena kami tak berniat macam-macam namun hanya sekelompok orang yang ingin uri-uri sejarah nenek moyang.
     Setelah kain mori dibuka, penampakan lingga ;
Lingga Situs Soko, Lerep Ungaran
     Kondisi lingga sudah aus, tak ada lambang siwa, yang masih terlihat bentuk 8 sisi di bagian dasar lingga yang tertanam semen. 
    Untuk dimensi lingga, kami tak punya keberanian untuk detail mengukur. Dulu pernah Lingga ini dipindahkan, namun tak tahu menahu tiba-tiba lingga diposisi semula. Sejak saat itu tak ada yang mencoba memindahkan kembali.
     Informasi tambahan yang didapat Eka Wp, tentang keberadaan "Masjid Wurung", tak jauh dari lokasi makam, sebuah gumuk yang dikelilingi sawah.  dimana biasanya warga menganggap struktur peninggalan batu kuno mesti peninggalan wali. 
Lingga Soko
     Sebuah distorsi sejarah, yang biasanya kami temui bukti dan sisa - jejak peradaban adalah bangunan suci masa Hindu Klasik = candi.
      Pengalaman kami, jika menelusuri jejak peradaban hindu - budha klasik, akan lebih mudah bila kami bertanya tentang keberadaan Masjid Wurung/ tinggalan wali, warga tak tahu menahu jika kami tanya perihal yoni, candi dsb, malah kadang jadi curiga dan defensif.
    Beberapa saat, setelah lego telah melihat Lingga ini. Kemudian kami berkemas, Lek Sur kembali memasangkan kami mori.
       Ditambah hujan gerimis bertambah lebat, ditambah hari sudah tambah gelap kami memutuskan menyudahi blusukan kemisan kali ini.
Suryo dan Eka
     Mari ketahui dan lestarikan.... Jangan hanya media sosial saja... mari keluar di sekitar kita... barangkali selama ini kita abai.
Salam Peradaban