Selasa, 23 Mei 2017

Pakintelan, Jejak Peradaban Masa Silam Gunungpati : Arca Ganesha

Arca Ganesha di Pakintelan Gunungpati

     Selasa, 23 Mei 2017. Dua minggu tidak blusukan terasa berbeda, saya memang sudah addicted atau ketagihan blusukan situs. Terakhir kali penelusuran lintas batas pekalongan 7 Mei kemarin. Rencananya tanggal 21 kondangan rekan yang nikah di Temanggung sekalian meluangkan waktu blusukan, karena nama desa maupun kecamatan  (Desa Kentengsari - Kec. candiroto : Kenteng = Yoni, candi = Bangunan suci masa lalu yang telah rata dengan tana?) sungguh meyakinkan bahwa ada tinggalan purbakala. 

     Informasi keberadaan situs-pun sudah saya dapat, walau dengan bantuan rekan (tangan kedua), maturnuwun lek Wahid, sekaligus Nyuwun Pangapurane... Namun jika takdir berkehendak lain. Tepat setelah saya makan di resepsi rekan tersebut (nampaknya telat makan), badan saya terasa mulai gemetar. Untungnya bisa sampai rumah walau mengendarai dengan totality drodog.

          Setelah bedrest, selasa ini kembali aktif bekerja walau masih terasa lemas namun saya paksakan kaerna ada hal yang harus saya selesaikan. Ketika obrolan santai dengan oknum kantor kulon ndalan yang lagi bĂȘte dan ngajak blusukan… “Penting cedak, adoh ga wani jeh ndredek”. Satu kata terngiang… PAKINTELAN!
Arca Ganesha di Altar Vihara Pakintelan

Sepakat, apalagi konon oknum ini ingin bertanam di rumahnya, jadilah kami janjian di toko pertanian daerah Sumurrejo (kebetulan nama sama dengan nama asli penulis) yang jadi langganan saya. Kemudian kami lanjut ke Pakintelan dengan satu motor dan saya membonceng.
Informasi Peradaban kuno Pakintelan (dibaca= peninggalan berwujud batu) berawal tak sengaja saya bertamu ke salah satu warga. Saat bercerita tentang keberadaan komunitas umat Budha di Pakintelan, kemudian saya tanya perihal “Apakah ada batu kotak berlubang tengah diatasnya = yoni / lumpang kuno?”. Jawaban beliau mengejutkan saya. “Dulu ada mas batu seperti itu”, jawab beliau saat saya perlihatkan foto bentuk yoni. “Namun sudah dirusak, dibuat talud oleh warga, padahal dulu seingat saya sudah dibuatkan pagar mengelilingi Batu sejarah itu”, tambahnya.  @#$@#$%#@#$...
"Para sesepuh dulu, berniat menjadikan tetenger sejarah desa, agar penerus tak lupa jatidiri, sayangnya generasi selanjutnya tak menganggap keberadaan watu itu", guman Bapak tersebut.
Seketika saat itu langsung gelo setengah mati, mungkin membaca raut muka saya yang kadung kecewa, “Ada juga ditemukan di gumuk belakang desa Pakintelan , Arca atau patung yang berbentuk gajah. Saat ini sudah tersimpan aman di Vihara”, lanjut beliau. “Di gumuk, atau gunung itu tempat Yoni dan Arca itu diduga berasal diduga masih banyak struktur batu yang berpola dan banyak terpendam”, pungkas beliau. Segera saat itu saya catat.---beberapa bulan kemudian. Saat ini.
---
Harap cemas sebetulnya blusukan penelusuran Pakintelan, selain masih sakit jika orang rumah ada yang tahu bisa berabe.  
Vihara Budha Dipa Pakintelan
Dari Sumurejo kemudian kami melaju pelan ke arah Pakintelan, yang kurang dari 5 menit saja dengan 1 kali bertanya kepada warga. Sampailah kami di vihara tersebut…
Setelah minta ijin dengan seorang Ibu yang rumahnya disebelah vihara, Ibu Wantinah nama beliau. Kami juga menjelaskan kami dari pecinta situs dan watu candi.
Dengan ramahnya beliau mempersilahkan kami untuk melihat arca Ganesha di Altar Vihara.
"Yang membawa ke sini "jenate" bapak saya (=orang yang sudah meninggal/almarhum). Hanya dibawa memakai kain sarung. Kata Bapak, beliau ingin menyelamatkan patung ini dari perusakan. Dan ingin menyimpan di Vihara (yang saat itu masih dalam tahap pembangunan)," jelas Ibu Wantinah. 
Ganesha Pakintelan
Kondisi Arca Ganesha secara umum baik, dengan rekondisi cat dan nampaknya ada usaha untuk merekatkan retakan di bagian atas patung dengan semen. 
"Itu karena ada usaha untuk membelah patung itu, yang sudah hancur bagian mahkota kepala dan belalai bagian atas. Itulah yang mendasari bapak untuk membawa ke sini mas, karena kalau dibiarkan pasti saat ini hanya tinggal kerikil saja. Kalau kata bapak saya, biarlah patung ini di vihara, biar ikut menjaga lingkungan, pesan beliau kepada kami", ungkap ibu Wantinah.
Tentang Arca Ganesha, dalam Mitologi Hindu yang merupakan perwujudan Dewa Kecerdasan ini : (Saya sarikan dari berbagai sumber)
     Dewa Ganesha merupakan Dewa penghancur segala rintangan serta penganugrah siddhi dan budhi atau kecerdasan intelektual. Beliau merupakan putera dari Dewa Siva dan Dewi Parvathi, yang menggambarkan seorang siswa wedandik sejati (siswa yang mempelajari ilmu pengetahuan suci Veda). Menurut sastra suci, Dewa Ganesha merupakan Dewa paling awal yang dipuja dalam setiap pemujaan Hindu.     Dalam Kekawin Siwaratrikalpa disarankan untuk memuja Sri Ganesha dan Kumara sebelum melakukan pemujaan kepada Dewa Siva dalam perayaan Siwaratri. Dewa Ganesha telah dipuja sejak zaman purbakala sebagai obyek pemujaan para rsi, yogi, penyair, musisi, dan para siswa, sebab Beliau dianggap sebagai penguasa pengetahuan (vidya) dan penguasa pencapaian duniawi (avidya).     Ciri dan makna Dewa Ganesha antara lain: 1. Sang penguasa rintangan (Vignesvara) ini digambarkan memiliki 4 tangan yang merupakan simbolis 4 peralatan batin (antahkarana). a. Tangan kanan depan bersikap abhaya hasta (memberi berkat) kepada pemuja, umat manusia. Selain itu Beliau juga memberkati dan melindunginya dari segala rintangan dalam usaha pencapaian Tuhan. b. Tangan kanan belakang memegang kapak, dengan kapak itu beliau memotong keterikatan para bhaktanya dari keterikatan duniawi c. Tangan kiri belakang memegang tali dan dengan tali beliau menarik mereka untuk semakin dekat dengan kebenaran, kebajikan, dan cinta kasih serta intektualitas, kemudian pada akhirnya beliau mengikatnya untuk mencapai tujuan umat tertinggi. d. Tangan kiri depan membawa modaka (manisan). Manisan/modaka/bola nasi yang dipegang oleh Dewa Ganesha perlambang pahala dari kebahagiaan yang beliau berikan kepada pemuja-Nya.
Ganesha Pakintelan
2. Kepala dan Telinga yang lebar. Dewa Ganesha menderita tuli loh! Telinga yang besar menunjukkan bahwa Dewa Ganesha selalu mendengarkan setiap doa yang diucapkan oleh pemujanya. Kepala dan telinga yang besar juga melambangkan seorang siswa Wedantik. Pengetahuan sifatnya sangat bersifat intelektual sehingga diperlukan kepala yang besar untuk memahami dan meyakini logika pengetahuan. 
3. Taringnya patah. Dewa yang juga disebut “Vinayaka” ini dilukiskan telah kehilangan salah satu taringnya saat bertempur dengan Paramasura. Ini menunjukkan seorang siswa dengan kecerdasan dan kemampuan viveka (kebijaksanaan) yang telah dimilikinya ia mampu mengatasi suka duka dalam kehidupan. (*versi lain menuturkan Ganesha memotong taringnya ketika menulis epos Mahabharata yang dikisahkan Bhagavan Vyasa). 
Perut Buncit Dewa Ganesha
 4. Perut buncit, ini lambang gudang segala kebijaksanaan dan material. 
5. Kendaraan-Nya Tikus. Beda halnya dengan manusia yang suka berkendaraan mewah, jor-joran. Dewa Ganesha memilih berkendaraan tikus. Binatang kecil yang menjadi kendaraan beliau adalah lambang dari kama atau keinginan manusia. Keinginan yang harus dikendarai dan dikendalikan untuk mencapai kemurnian hati dan tujuan hidup sejati.
Keberadaan Yoni yang sudah hancur, berbanding terbalik dengan Arca Ganesha yang masih lestari. Kemungkinan struktur batu candi di gunung juga membuat kami tertarik untuk menelusuri ulang area Pakintekan ini. 
Karena kedekatan atau garis sejarah dengan area Watu Gong (KODAM IV Diponegoro) yang dengan keyakinan saya pribadi menyimpan misteri peninggalan di area militer tersebut. Di dekatnya, di Pudakpayung tepatnya di 2 lokasi yaitu   Yoni di Kalimaling dan Yoni Kalipepe
Serta keberadaan sendang putri tak jauh dari sungai kaligarang tepat disisi jalan (Sayangnya saat ini sendang tersebut mulai hilang karena airnya hilang), sendang yang diduga adalah rangkaian dari tinggalan peradaban masa silam
Sementara di sisi utara, ada desa yang sama kuno dengan Pakintelan (apakah ada nama kuno sebelum pakintelan?), tak jauh, hanya 3km saja desa Kalisegoro juga ada jejak peninggalan purbakala disana. 
Sebuah garis lurus yang harus diteliti lebih mendalam. 
Watu Gong
Bukti sudah banyak. Semoga sejarah semakin menemukan jalanya, sebagai sebuah pembelajaran hidup masa kini. Salam!

Bersama keluarga yang superamah, super sekali. “Apresiasi kepada segenap keluarga ini yang turut serta merawat dan melestarikan Arca Ganesha ini”

Saya dan Mbah Eka w Prasetya mengapit keluarga super ramah. 
Salam peradaban.
Catatan spesial Blusukan Kali ini... Masyarakat di Pakintelan sangan rukun, beberapa agama hidup bertoleransi tinggi. Bertambah spesial adalah : Arca Ganesha di lestarikan di Vihara!!!! Apresiasi dan Salut! 

Minggu, 07 Mei 2017

Jejak Peradaban di Tlogopakis, Petungkriyono Kabupaten Pekalongan : Situs Lingga Yoni

Situs Dusun Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan

 Minggu 7 Mei 2017.
Berawal dari screenshot akun facebook (bukan teman) tentang keberadaan situs lingga yoni di Petungkriyono Kab. Pekalongan yang sangat menarik hati dan langsung menjadi prioritas, sampai suatu ketika saat saya memprovokatori rekan blusukan yang beberapa tahun lalu pernah bertiga (Saya, Lek Suryo dan Lek Trist) blusukan lintas batas ke Situs Ganesha Silurah Batang  untuk kembali blusukan ekspedisi lintas batas.
Ketertarikan muncul karena selain keberadaan 2 situs di satu desa, Yoni juga memiliki ciri yang belum pernah kami temui : penyangga cerat adalah naga---Naga yang ekspresif sekali---, kemudian juga dalam satu desa banyak curug / air terjun yang sangat indah, belum lagi pemandangan alamnya.
  Setelah sebulan kami berkoordinasi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kelancaran seperti ;  download offline gmaps, denah lokasi wisata dan mencoba menghubungi saudara saya : Kang Lukman untuk memperoleh informasi dan petunjuk arah.
Eh... tanpa dinyana, ternyata kang Lukman rela hati menjadi pemandu kami. Bertambah semangat-lah kami. Apalagi salah satu rekan tertarik pula untuk turut serta, Plus saya ngajak istri untuk ikut menikmati keindahan alam yang sudah menunggu kami.
Kali ini tak ada dress code khusus, hanya saya meminta rekan2 untuk bawa bekal nasi dan minum sebanyak-banyaknya. “Blusukan kita ini bukan foya-foya, tapi menelusuri ulang jejak peninggalan leluhur”, menjadi rule blusukan kali ini.
Selamat Datang Kota Batang

Awalnya kami bersepakat untuk berkumpul di Kaliwungu jam 8, namun karena saya lewat jalur alternatif Boja-Kaliwungu maka saya putuskan untuk memajukan titik kumpul kearah Batang, tepatnya di gerbang selamat datang Kota Batang. Sepengginang lamanya, akhirnya sudah lengkap. Kami kemudian janjian di depan SMPN 13 Pekalongan dengan Kang Lukman, Sang Guide kami.
Setelah berbasa-basi dan perkenalan singkat, segera kami mengekor dibelakang motor satria baja hitamnya, tak sabar untuk segera  blusukan. 
Belum setengah perjalanan hujan deras menyambut kami. Layaknya ucapan selamat datang bagi kami. Kang Lukman tiba-tiba berhenti, “Lanjut atau tidak, perjalanan masih jauh”, tanyanya kepada kami. Kami hanya tertawa dan terus melaju.
Walaupun hujan deras, namun sambutan keindahan alam Petungkriyono tetap sangat mempesona kami, apalagi jika hari cerah. 
Sejuk, udara masih alami serta jernihnya air menggoda kami untuk segera merasakan segarnya. Kondisi jalan yang tak cukup baik memang menjadikan kami merasa perjalanan menuju Petungkriyono sangat jauh. (Sayang sekali akses jalan tak dibangun, padahal potensi wisata sangat besar tak kalah dengan puncak bogor). 
Curug Bedug

Saat perjalanan beberapa kali kami disambut curug kecil (ternyata diakhir perjalanan Mas Imam menghitungnya berjumlah 18 curug = konon malah lebih) dan di setengah perjalanan tepat dipinggir jalan (kira-kira 50m) terlihat Air terjun “Curug Sibedug” namanya. Tapi kami memutuskan Curug Sibedug adalah final destination kami.
Keidahan suasana sepanjang jalan Petungkriyono ini mengingatkan saya dengan rute jalan menuju Puncak Bogor, dimana bedanya jika disana jalan lebih baik (=halus), di Puncak bogor saluran air tersedia sementara di sini tak ada saluran air. Menurut saya itulah penyebab aspalnya tergerus. Disana pemkab lokal juga sangat perhatian dengan akses jalan ini karena menjadi modal pariwisata. Kurang lebih 1 jam dari Kota pekalongan, lewati kecamatan Doro akhirnya sampailah juga kami di Desa Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono.
Bapak Ribut

Saat kami bertanya pada warga, ternyata situs ini memang sudah familiar, “Yang bawa kunci Bapak Ribut mas, rumahnya di ujung gang ini”, jelas warga yang kami tanyai. Tak sabar kami menemui beliau.
           “Masuk dulu mas, hujan masih deras. Jika agak reda nanti saya damping yang kebetulan saya dioercaya sebagai juru pelihara situs Lingga Yoni Petungkriyono itu”, urai Bapak Ribut.
      Walaupun segan, namun paksaan dari beliau akhirnya membuat kami duduk di kursi beliau walaupun dengan baju basah (Saking derasnya hujan menembus mantol/jas hujan kami). Tak lama teh nasgitel dibuatkan oleh istri Bapak Ribut. Benar-benar keramahan seperti ini adalah juga aset wisata. Berulangkali kami bersyukur. Karena selain Teh Panas juga dihidangkan aneka camilan, Matursembahnuwun ibu, "Mungkin beliau tahu wajah kami mencerminkan raut muka kelaparan". hahahaha.
          Setelah kami merasa cukup waktu beristirahat, kemudian kami mohon ijin kepada Bapak Ribut untuk segera menengok keberadaan Situs. "Ya, mas saya ambil payung dulu", kata Bapak Ribut sambil memberi kode pada kami untuk mengikutinya. Apresiasi yang tinggi kami haturkan kepada beliau, kepada Bapak Ribut walaupun jarinya terluka karena sabit saat mencari rumput yang masih di perban, juga gerimis masih kompak dengan dinginnya udara mengetes nyali kami. Tapi Beliau, Bapak Ribut dengan sukarela menemani kami.
     Perjalanan menuju lokasi dari rumah Bapak Ribut di video-kan olek Lek Tris... (Video Amatir): (nunggu proses uplod)
   Setelah menyusuri pematang sawah, diiringi gemercik suara air, melewati jembatan bambu dan sekali lagi meniti jalan setapak di tengah tanaman padi yang mulai menguning, mulai terlihat apa yang menjadi tujuan kami. Jagad pramudhita!
Situs Yoni Lingga Dusun Tlogopakis
          Berlatar landscape pegunungan, jajaran hutan pinus yang membiru serta awan dan kabut tipis yang menjadi penghias, maka sempurnalah “beautiful view”di Situs Lingga Yoni ini.
     Setelah dibuka kunci pintu gerbang oleh Bapak Ribut, jadilah kami bisa melihat secara langsung Situs Lingga-Yoni Petungkriyono ini. Secara umum kondisinya cukup bagus terutama pagar tembok yang mengelilinginya serta Situs ini terawat rapi. Sungguh menggembirakan, puas dan terbayar luas walau perjalanan sangat melelahkan.
Diskusi bareng bersama Bapak Ribut : (kiri)
 “Dulu ada seorang dermawan yang memberikan dana untuk membebaskan tanah dan membangun pagar ini. Beliau seorang TNI yang berpangkat”, jelas Bapak Ribut. “Namun karena kendala teknis, hanya seluas ini yang dibebaskan, padahal beliau ingin membebaskan lebih luas lagi karena diduga masih ada yang lain”, tambah beliau.
 
Situs Lingga Yoni Tlogopakis Ds. Petungkriyono
Bagian-bagian Yoni masih lengkap, bahkan lingga masih bertengger di lubang penampang atas yoni. Lingga Yoni merupakan satu kesatuan yang melambangkan manifestasi dari Dewa Siwa dan (istri) shakti-nya.
Yoni berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat.
Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), JagatiPadmaKanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga
Lingga Situs Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan.

Bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti, bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Yang spesial adanya relief di bagian bawah lingga.
Situs Yoni - Lingga Petungkriyono Kab. Pekalongan

          Pusat segala perhatian kami tentu saja naga yang membuka lebar mulutnya, nampak sangat indah dengan detail pembuatan naga yang juga berfungsi menjadi penyangga cerat Yoni.
Situs Yoni - Lingga Tlogopakis : Naga

    Literatur tentang penyangga Cerat Yoni, saya olah dari berbagai sumber :

Ular naga
Mahabharata yang menceritakan Arjuna dengan Ulupi putri Raja Naga dari Himalaya dan   perkawinan Arjuna dengan Chitragada putri Raja ular bernama Chitravahana dari Manipur (Nina Santoso Pribadi, 1989:151). 2.Menurut Fergusson tahun 1971 berdasarkan Berita Cina Hiu Oen Thsang bahwa legenda ular   atau Naga dihubungkan dengan pemerintahan atau kerajaan terdapat di sepanjang Kabul  sampai Khasmir (Nina santoso Pribadi, 1989:151). 3.Menurut Briggs tahun 1957 Dalam Mitologi Negara Kamboja ada kepercayaan turun-temurun  bahwa  Naga sangat berhubungan erat dengan keturunan raja-raja di Kamboja, karena Naga   dianggap nenek moyang pelindung kerajaan. Dan kaitan raja-raja dengan Naga  (Nagaraja)   yang menguasai bumi (Nina santoso Pribadi, 1989:151). Pengaruh pahatan naga pada seni pahat di Indonesia dipengaruhi dari seni rupa India sehingga muncul seni pahat  naga bermahkota, seperti halnya pahatan yang terdapat di bangunan candi, keraton, lingga yoni dan lain-lain. Tetapi Naga dalam seni pahat Indonesia memiliki kekhasan dipengaruhi seni lokal. Ciri khusus adalah Pola hias Naga lebih raya, indah dan halus pahatannya. Hiasan yang raya dihubungkan dengan status sosial atau strata masyarakat.
Ular   Naga atau yang dikenal dengan nama Taksaka, bertugas menjaga candi. Wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangkar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.
         
Relief  Ular di bawah Yoni: terlihat sisik dan ekor yang melilit
Sangat spesial relief naga di Yoni Tlogopakis, Petungkriyono ini. Selain naga yang membuka mulutnya, juga relief badan naga lengkap dengan sisiknya yang melingkar di sekeliling Yoni. Sementara Kura-kura berada di keempat sisi pojok Yoni bagian bawah.
Kura-Kura
       Kura kura adalah salah satu, dari sepuluh Dasa Awatara dalam agama hindu. yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia.  
Dalam kitab purana Kurma Awatara / sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga : 
     Satyayuga atau Kertayuga, merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang berputar seperti roda. Setelah Satyayuga berakhir, untuk sekian lamanya kembali lagi kepada Satyayuga. Satyayuga berlangsung kurang lebih selama 1.700.000 tahun. Setelah masa Satyayuga berakhir, disusul oleh masa Tretayuga. Setelah itu masa Dwaparayuga, lalu diakhiri dengan masa kegelapan, Kaliyuga. Setelah dunia kiamat pada akhir zaman Kaliyuga, Tuhan yang sudah membinasakan orang jahat dan menyelamatkan orang saleh memulai kembali masa kedamaian, zaman Satyayuga.
      Satyayuga merupakan zaman keemasan, ketika orang-orang sangat dekat dengan Tuhan. Hampir tidak ada kejahatan. Pelajaran agama dan meditasi (mengheningkan pikiran) merupakan sesuatu yang sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat manusia bisa mencapai 4.000 tahun ketika hidup pada zaman ini. Menurut Nathashastra, di masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang berbahagia.
      Pada masa Satyayuga, orang-orang tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat berhubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan tidak diperlukan, sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan, sehingga pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun
          Relief penyangga cerat, sangat detail. Mulai Mahkota, Anting, dan Taring. “Dulu pernah ada penggembala kerbau yang mematahkan salah satu taring, dan kemudian taringdibawa pulang. Esok harinya penggembala tersebut meninggal mendadak”, cerita Bapak Ribut. Warga sangat menghormati keberadaan situs Lingga Yoni ini, bahkan sangat men-sakralkan. “Pernah suatu ketika,karena tidak percaya dengan kesakralan situs ini, seorang keturunan yang kebutulan membrorong proyek pembangunan gedung sekolah berkunjung dan meremehkan situs ini, kemudian orang itu lumpuh tk lama setelah pulang dari sini”, tambah beliau
          Warga rutin mengadakan selamatan serta ritual di situs ini ketika memulai masa tanam, dengan membawa sesaen berupa ingkung (ayam berbulu putih bersih), beras hitam dan bunga pakis, dengan maksud adar tanaman tak terserang hama, subur, panen melimpah. “Beras hitam khas tanaman Petungkriyono”, jelas Bapak Ribut. (dan salah satu dari kami beruntung mendapatkan buah tangan padi hitam 3batang).
          Cerat Yoni juga indah,
Cerat Yoni Tlogopakis
Cerat yang berfungsi sebagai aliran keluar air suci (tirta amrta) yang sebelumnya disiramkan ke Lingga saat ritual tertentu, dibeberapa sumber ada lagi yang menuangkan air sisu dan mentega ke atas lingga. 
Di Penampang atas Yoni, terdapat lekukan yang berfungsi menahan air sehingga tak tumpah, melainkan mengalir melalui lubang cerat.
Diatas Cerat Yoni Tlogopakis
Keunikan lain, (Karena Bapak Ribut berulang kali meyakinkan kami), di atas cerat seperti 2 lingga yang berdiri. (Kami bingung--- fungsinya apa). Mengundang yang tahu bagi ilmunya kepada kami.


Ganesha Tlogopakis 

Di situs ini ada pula 2 arca yang telah rusak (aus-penuh lumut), menurut Bapak Ribut kedua arca tersebut adalah arca Ganesha. 

Namun dalam diskusi kami sempat berdebat yang satu karena bentuk perut yang buncitnya lebih bundar selain Ganesha memungkinkan pula Kinara-kinari.
Yang konon dulunya memang masih insitu, ditemukan disekitar area situs ini. Sayangnya penelitian-eskavasi terkendala pembebasan lahan--- Padahal kami yakin.... masih banyak lagi. Bahkan mungkin sebuah bangunan suci masa lalu(=candi) pernah tegar berdiri di sini.
Setelah kami rasa cukup.... Kami kemudian mohon diri dan sebagian dari kami berjanji "Pergi tapi pasti akan kembali", Saking indahnya alam sini.
Perjalanan blusukan lintas batas di Petungkriyono Pekalongan ini berlanjut ke situs yang kedua, yaitu Situs Gedong.

ki-ka : Lukman sang guide, Suryo wibowo, Bapak Ribut, Max Trist, Imam, SSDRMK

Salam Peradaban.
Di Yoni-Lingga Tlogopakis  

Situs Gedong, Tlogopakis Kec. Petungkriyono Kab. Pekalongan.

Situs Gedong, Tlogopakis Kec. Petungkriyono Kab. Pekalongan.
     Minggu, 7 Mei 2017. Setelah penelusuran Yoni-Lingga di Situs Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan, dimana tujuan kami selanjutnya adalah situs di pinggir jalan, dimana papan nama serta informasi situs terlihat jelas. "70m saja kok dari jalan", Bapak Ribut menginformasikan kepada kami.
Papan Informasi Situs Gedong
       Setelah berpamitan dan menghaturkan beribu terimakasih atas pengalaman yang tiada terhingga ini, kami menuju Situs Gedong. 
papan menuju Situs Gedong


       Kurang dari 5 menit saja, sampailah kami. 










Jalur jalan setapak menuju Situs Gedong
     Dan sesampainya disitus ini, tanpa mengurangi rasa hormat kami dengan ke-sakralan situs, karena badan sudah ndredek kelaparan. Akhirnya kami buka bekal. 
      Dan ternyata Lek Suryo dan Mas Imam alpha (sengaja) tak bawa bekal dari rumah. Padahal kemarin sudah sepakat, rule kita kali ini adalah “Blusukan kita ini bukan foya-foya, tapi menelusuri ulang jejak peninggalan leluhur”
   
Makan Bersama menjadi penguat nilai paseduluran : di Situs Gedong Tlogopakis Petungkriyono. (foto by lukman)
     Tapi malah ada hikmahnya, kami jadi tahu arti berbagi, makan seadanya bersama, berbagi tepak, bahkan tutup tepakpun dipakai untuk alas makan.



Situs Gedong, Tlogopakis Kec. Petungkriyono Kab. Pekalongan.
 Dan kami sepakat, dengan seperti ini berasa mengalahkan masakan resto., makan di tengah alam.


Secara administratif, situs Gedong berada di dusun Kembangan Desa Tlogopakis Kec. Petungkriyono Kabupaten Pekalongan. Batu lumpang diduga peninggalan kuno masa hindu klasik ini berjumlah dua buah dengan berbeda ukuran dan keadaan. 
Situs Gedong Petungkriyono
Lumpang besar masih utuh dengan lumut dihampir semua bagian, Tinggi 25cm dan diameter 30cm. 
Sementara lumpang yang kedua, tinggi 15cm diameter 10cm dengan kondisi yang pecah dibagian atasnya (bagian bibir lumpang). 
Petunjuk arah situs gedong
Semua jalan dan lantai situs terbuat dari batuan lempeng
Setelah selesai makan siang, kami melanjutkan penelusuran mengikuti papan informasi yang kami temui di pinggir jalan sebelumnya. 
Apresiasi yang tinggi kepada pembuat papan petunjuk ini.
Batu dimana Arca Ganesha berada
Selanjutnya adalah batu besar bekas Arca Ganesha diletakkan. Batu Alas (konon Dewa Ganesha ini) berukuran Tinggi 90cm Namun saat ini telah dicuri orang yang tak bertanggungjawab = mafia. Masyarakat sangat mensakralkan situs ini, yang bermanfaat pula demi kelestarian area situs termasuk pohon-pohon disekitarnya yang nampaknya berumur cukup tua.
Situs batu : penataan terpusat (Sistem religi jaman praseajrah)
Kurang dari 20m, adalagi peninggalan pemujaan jaman prasejarah berbentuk batu dengan penataan berpola memusat. Berada di pegunungan dengan ketinggian 1135,3 mdpl menjadikan udara sangat lembab, ditambah pohon yang berukuran besar yang menjulang tinggi sehingga lumut tumbuh subur disini, hampir 100% batu-batu ditumbuhi lumut.
Masih di kawasan situs ini, saat kami datang nampaknya sebuah gazebo/ rumat berteduh telah ambruk di jalan menuju ke Meja Batu. 
Sungai Larangan Situs Gedong Petungkriyono
Kemudian menyeberangi sungai Larangan (nama sungai tersebut memang "Larangan", entah kenapa... apakah ada hubungan dengan situs.. mungkin saja terlarang bagi sembarang orang atau terlarang melakukan suatu perbuatan tertentu., dengan air yang jernih dan segar.
Meja Batu Petilasan Kanjeng Sinuwun Bagus : Situs gedong
Kira-kira 100m kemudian di lereng sisi lain Meja Batu atau masyarakat lebih mengenal dengan Petilasan Kanjeng Sinuwun Bagus berada. 
Yang Unik di situs ini, dari posisi 2 lumpang di area depan situs sampai dengan meja batu ini jalan setapak banyak yang masih terbuat dari lempeng batu datar.
            Setelah kami rasa cukup serta waktu sudah cukup sore, kemudian kami memutuskan untuk mengakhiri Ekspedisi Lintas batas ini. 
     Sesuai kesepakatan kami, final destinasi  adalah Curug Sibedug. Sebenarnya pingin sekali beberapa situs namun bagi saya tak bisa. 
     Untungnya rekan yang lain memahami. Keluar dari Desa Tlogopakis Kec. Petungkriyono cuaca sangat mendukung, berbading terbalik ketika kami berangkat. Kali ini cuaca cerah. 
petungkriyono
     Sehingga kami disuguhkan jalur yang sangat indah. Pemandangan alam yang menakjubkan. 
    Saking menakjubkannya di salah satu jalur setelah tanjakan kami berhenti dan kompak mengabadikan momen keindahan ilahi ini.




Pemandangan Alam Petungkriyono : Menakjubkan

      Setelah pemandangan alam yang tiada terkira tersebut, kami menuju Curug Sibedug. 
      Sebenarnya kami rada gelo juga ketika disini tapi tak menuntaskan semua curug yang fenomenal seperti curug Bajing di Petungkriyono dan 20 curug yang lain. 
di curug Sibedug
    Bagi saya pribadi sangat ingin kembali kesini bersama keluarga tentunya, kasihan ditinggal. sementara kami berdua senang2 menikmati pemandangan alam. Semoga bisa kesini lagi....
Bersama istri di Curug Sibedug Petungkriyono
Kumpul bersama. Salam Paseduluran!
ki-ka : saya, Suryo, Lukman, Imam dan Max Trist di Situs Gedong
Mari Kunjungi dan lestarikan...
Situs Gedong Tlogopakis Kec. Petungkriyono Kab. Pekalongan.
Salam Peradaban

Kamis, 04 Mei 2017

Lesung, Situs Gandulan Kaloran Temanggung

Lesung, Situs Gandulan Kaloran Temanggung
Kamis, 4 Mei 2017. Lanjutan dari Penelusuran ulang di Sumur Blandung, Kami lanjutkan dengan destinasi yang kedua. Informasi yang sudah lama kami dapat dari rekan, tentang keberadaan yoni cukup besar di Kaloran pula.
Kendala teknis, karena ritual blusukan kemisan mendadak, kami tak sempat mempersiapkan petunjuk (yang telah kami) screenshoot. Hanya mereka-reka, merekontruksi ulang ingatan kami. “Setelah Umpak IstanaWurung situs Kaloran maju 1km, sebelah kanan”. Keterbatasan clue tersebut menjadikan kami ragu-ragu.
Jurus terakhir kami keluarkan, tentu dengan telp 2 rekan satu atap yang bertanggujawab memberikan informasi tersebut … Mas Beny-Lek Wahid. “Ancer-Ancere gang percetakan ambil kanan, ketemu dengan lapangan ambil kiri “, sahut mereka melengking lewat speakerphonik Hp No*ia nya Lek Suryo yang memang turah pulsa.
Segera kami mencari petunjuk-petunjuk itu, Terimakasih kepada mereka yang ternyata kami diberikan denah asli coretan tangan mereka. 
Gubug dimana Watu Lesung berada : Sd Gandulan 01 terlihat
Tapi saat Tanya hasil coretan siapa tak ada yang mengaku. Nampaknya saat pelajaran Geografi mereka tak pernah masuk terutama saat pelajaran tentang peta. Skalameter nya mleset… wkwkwkwkwk. 
Saat kami ketemu dengan Lapangan Gandulan, karena kami ragu kami kemudian Tanya warga yang kebetulan pulang dari berladang.
Pak, Nyuwun sewu teng mriki ingkang wonten watu kotak, lumpang nopo saneshe pundi nggeh? Ingkang tinggalan kadosh candi”, tanya kami dalam bahasa jawa. Setelah berpikir sejenak. Bapak tersebut nampaknya berusaha mengingat sesuatu dan, “Ya di sana mas, di depan SD itu. Tepatnya di tengah persawahan tepat  di bawah pohon nangka di dekat gubug ada watu lumpang besar”, tunjuk beliau.
Watu Lesung : Seperti Bath Up - Bak Mandi Modern
Surprise…. Karena kami yakin ini bukan batu purbakala yang dimaksud informan kami (Lek Wahid-Mas Beny). Dan ternyata benar…. Segera saya minta lek Sur untuk pamer ke mereka… namun ternyata yang dipameri ra seheboh itu… wkwkwkwkwk. “Ooo iki sing ta goleki ga ketemu iku”, hanya seperti itu… niat pamer tak sepenuhnya berhasil.
Watu Lesung Gandulan Kaloran
Watu Purbakala Jalam Kerajaan itu sungguh super sekali. Berukuran besar. Selain watu mirip ‘lesung’ ini juga banyak batu persegi dan banon, batu bata merah berukuran besar. Mas Imam malah mempercayai, “Membasuh muka dengan air di watu lesung ini akan awet muda….”, ujarnya. “Kenapa ga sekalian berendam aja mas, kami tungguin sampai selesai dech”, canda kami.
Mas Imam Membasuh Muka biar tak menua
Fungsi dari watu mirip lesung, yang malah kemudian saya pikir sebagai batu tempat berendam masa lalu. Tentu saja yang punya adalah bangsawan atau malah raja. Rekan lain pernah mengutarakan kemungkinan bahwa ini sebagai tempat untuk memandikan anak raja. Mungkin saja teori-teori itu. 
Saya pribadi malah nunggu koreksi dari pembaca tentang fungsi watu semacam ini, menjadi yang spesial karena ukurannya.
Watu Candi, berbentuk persegi yang tersebar, bahkan ada yang dijadikan penyangga tumpukan kayu bakar!





Dari Kiri ke Kanan : Lek Suryo, Saya dan Mas Imam

Situs Gandulan, Kaloran Temanggung

Salam Peradaban.

Lesung, Situs Gandulan Kaloran Temanggung