Jumat, 14 April 2017

Unfinished Yoni Glodogan, Bawen

Unfinished Yoni Glodogan
Jumat, 14 April 2017 Kisah ini adalah rangkaian penelusuran jejak peradaban, dengan tujuan pertama Lingga Kalipawon Ambarawa, kemudian Struktur Batu Candi di Seklotok, Desa Doplang Bawen. Dari seklotok kemudian kami meluncur melalui beberapa situs. Kami Melewati Yoni Gayamsari, Yoni Gentan Doplang Bawen, Yoni Gandekan (Saat saya nulis naskah ini sedang hit… karena berhasil dipindah ke lokasi baru, lokasi lama dibangun perumahan. Saat ini sementara berada di kantor kelurahan), kemudian ada Punden Situs mbahGandekan.
Kami lurus arah kendalisodo, melewati lampangan kemudian pertigaan ambil kanan arah samban, tepat di perempatan sebelum jembatan ambil lurus arah pancoran. Masuk perkampungan, kemudian terus saja sekitar 1 km, melewati sendang dan persawahan.
Di Belakang Bangunan ini di Sebrang sungai;

Yang kami ingat dari petunjuk Lek Wahid, “Bangunan batako, baja ringan di tengah sawah, belakang bangunan ada sungai, seberangi dan Yoni unfinished ada di sekitar lereng sungai tersebut”, berbekal petunjuk tersebut kami (Saya, istri ; Pak Dwi Hartanto dan Mbah Eka Wiji Prasetya mencoba meniti satu persatu petunjuk.
Unfinished Yoni Glodogan
(Sebagai tambahan, Lek Wahid diberi informasi sekaligus diantar oleh beliau Pak Nanang…. Sekali lagi kami mohon maaf karea tak bisa memenuhi janji kami untuk mampir. Waktu yang terbatas menjadikan kami mengurungkan niat. Semoga beliau memahami.---)
Unfinished Yoni Glodogan
Setelah beberapa waktu, dan saya mencoba bertanya kepada warga yang sedang menggarap sawah, ketemu juga,
Bentuk ‘bakalan yoni” ini mengingatkan saya pada situs Kalitaman, Wujil Kecamatan Bergas. Sama-sama unfinished dengan sedikit berbeda ukuran.
Seperti menemukan sesuatu yang menjadikan saya girang bukan kepalang, entahlah saya tak bisa menjelaskan dengan kata-kata. 
Unfinished Yoni Glodogan
Berbagai teori liar kami lemparkan kenapa masih berbentuk bakalan… “Mungkin diserang musuh kerajaan”, kata Pak Dwi Hartanto. Sementara  Mbah Eka “Paling tukang e mutung, lha kurng bayarane..”. Kalau saya netral saja, “Mungkin pak tukang capek!”, hahahahah.
Namun yang pasti, keberadaan Yoni Unfinished Pancoran, Glodogan ini membuktikan satu lagi…. Kawasan ini sudah ada peradaban di masa lalu. Leluhur kita dimudahkan dengan batu yang tersedia melimpah ruah.
Mencoba membersihkan rumput, perdu, paku yang tumbuh menutupi Yoni Unfinished ini dengan pisau lipat modern milik Mbah Eka, saking modernya susah memotong rumput… hehehe. Tapi lumayan bisa untuk bekal survive  di hutan.. mungkin. 
Unfinished Yoni Glodogan
Jadi bila sahabat ingin menelusur ulang, saran saya membawa sabit untuk membersihkan rumput di sekitar Yoni.
Detail pembuatan yang melalui tahap demi tahap dengan (mungkin melalui berbagai ritual baik tukang pahat, pendeta, QC, dsb) menjadikan setiap Benda Cagar budaya bervalue  yang berbeda dengan pahatan era modern bahkan dibanding yang bermesin sekalipun=tanpa nyawa.
Tatahan satu persatu terlihat, membentuk pola bakalan yang butuh tahap lagi untuk membentuk Yoni sesuai yang diharapkan, membentuk badan dengan hiasan pelipit, membuat lubang tempat lingga di penampang atas serta cerat di ujung batu ini. Semua dikerjakan teliti satu persatu.
Harusnya proses-proses ini bisa diadopsi saat ini, bukan budaya instan yang sekarang di sukai hampir  semua orang di semua bidang.
Bersama Mbah Eka, Saya dan Bapak Dwi Hartanto :

Kami di Unfinished Yoni Glodogan

 Salam Peradaban.

Bersama Istri di Unfinished Yoni Glodogan


























Kisah tambahan :

Berani? Menyeberangi Sungai : Unfinished Yoni Glodogan
      Sebenarnya ada jalan lebih cepat, di awal kedatangan kami memutar lewar sebelah kiri bangunan. Namun Bapak penggarap sawah tadi menunjukkan jembatan bambu yang bisa kami lalui bersama. 
Berturut turut yang lewat Istri saya, saya kemudian ikut dibelakangnya, Dengan perjuangan dan negoisasi yang sangat alot…. Sampai beliau (warga) meyakinkan Mbah Eka bahwa bambu itu kuat. Namun ternyata dia balik arah dan bendera putih melambai tanda menyerah. “Jane mesakke, tapi luwih cepet lewat kene”, ujar Pak Dwi sambil terkekeh, membuat Mbah Eka Sendirian. 
Informan Unfinished Yoni Glodogan : Bapak nanang Klisdiarto
Lek Wahid diberi informasi sekaligus diantar oleh beliau Pak Nanang…. Sekali lagi kami mohon maaf karea tak bisa memenuhi janji kami untuk mampir. Waktu yang terbatas menjadikan kami mengurungkan niat. Semoga beliau memahami.---)

Struktur Batu Candi Berelief di Se Klotok Doplang Bawen

Se Klotok Doplang Bawen

Jumat, 14 April 2017 Lanjutan dari Menengok Lingga Kalipawon Ambarawa, destinasi bersambung menuju Seklotok, Desa Doplang Bawen. Watu Candi Berelief Bokor Mas di makam Se Klotok Doplang Bawen. Dari Ambarawa, setelah melewati pasar projo, kami kemudian ambil kiri, menuju Doplang Bawen. Tinggal saya (plus), Mbah Eka WP, Pak Dwi Hartanto (Pamong Budaya Jambu) dan tentu saja guide Lek Wahid. Menyusuri jalan ini mengingatkan pada keberadaan Yoni situs Makam gayamsari Doplang dan Petirtaan Seklotok, dimana 2 situs ini adalah masa awal blusukan bersama komunitas Dewa Siwa.
Seklotok Doplang Bawen
Informasi keberadaan situs berasal dari Bapak Nanang Klisdiarto di status facebook yang beliau bagikan, melalui tulisan ini pula saya (mewakili teman2) memohon maaf kepada beliau karena tak bisa mampir di tempat beliau. Padahal beberapa dari kami berjanji untuk mampir. 
Informan : Bapak nanang Klisdiarto
Karena hujan dan waktu yang mepet  menjadikan kami belum bisa bersilaturahmi. “Mohon maaf nggeh pak…”.
Ada 4 watu candi di dekat sini”, kata Pak Nanang sambil mengirimkan hasil blusukan beliau bersama sang istri di grup Facebook Dewa Siwa.
Klotok Doplang Bawen
Setelah kesepakatan mendadak akhirnya menjadi salah satu tujuan kami : destinasi yang kedua. 
Sebenarnya mencari keberadaan makam ini cukup mudah karena berada di pinggir jalan desa Doplang seklotok dan ada gerbang masuk yang bertuliskan giant letter dari besi yang terpasang indah di gerbang masuk makam. 
Segera setelah parkir, kemudian kami membuktikan jejak peradaban yang masih ada dan terlihat di Seklotok ini.

Relief bokor : Seklotok Dlopang
Empat buah batu kotak dengan 2 batu berciri khas dan tak mampu menahan kami untuk segera “menyentuhnya”. Yang pertama batu kotak dengan relief bokor (bisa vas bunga, tempat air atau memungkinkan jenis perkakas atau wadah air suci), berbagai kemungkinan bisa saja.
Dibagian atas watu berelief ini ada lubang berbentuk persegi, yang kami duga adalah lubang kuncian untuk struktur batu diatasnya.
Seklotok, Doplang Bawen
Batu yang kedua membentuk pola hiasan, yang biasanya disusun (ditumpuk) dan membentuk bagian atas sebuah bangunan.
Sementara kedua batu yang lain berbentuk kotak polos, dengan lumut dan aus dibeberapa bagian. 
Keberadaan batu-batu ini, menimbulkan dugaan keberadaan sebuah bangunan di area seklotok ini. 
Tentunya selain petirtaan ada lagi bangunan suci lain. Dan bisa saja terkait keberadaan Yoni Gayamsari yang berada di makam tak jauh dari makam se Klotok ini.
Watu candi di Makam Seklotok, Doplang Bawen
Foto hasil janjian Dresscode Sarungan, yang ternyata menguji kekompakan kami….(hanya berdua). Salam Pecinta Situs dan Watu Candi! (foto minus Pak Dwi Hartanto dan Lek Wahid yang ternyata membawa sarung dalam pengertian yang lain : ups.. sensor! haghaghag. 
Pak Dwi hartanto dan Lek Wahid
 Salam Peradaban.
Mohon maaf kali ini saya menampilkan foto berbeda, blusukan dengan istri adalah spesial bagi saya.. hehehe.
Situs di Makam Seklotok Doplang Bawen
Berlanjut ke destinasi ketiga, dan masih berkat informasi dari Pak Nanang. Sayangnya karena HP baru lek wahid melengking memanggil. (dengar dan baca siapa yang menelpon, kok ekspresinya langsung berganti. Hehehe. Dia ijin tak bisa mengantar ke destinasi selanjutnya.
Kami sempat syock, namun kepalang tanggung pantang mundur. Walau suasana rintik sisa hujan masih samar terasa tapi kami lanjutkan. Menuju tak terbatas : Yoni Unfinished Glodogan Bawen.
  




Kali ini saat menuliskan cerita ini berlatar lagu “Ya Sudahlah “, Bondan Prakoso.  Pas suasana dan pas segala sesuatunya. Sukses kawanku… (status terakhir, karena belum bisa move on, setelah ini.... end---)

Bukti Peradaban Masa Silam : Lingga Kalipawon Ambarawa


Lingga Kalipawon Ambarawa
Jumat, 14 April 2017 kembali blusukan bersama-sama-bareng bareng”. Rencana beberapa hari sebelumnya yang menjadikan perubahan agenda saya. –”Saya Harus ikut”, yakin saya— Namun, sayangnya beberapa rekan yang jelas-jalas memberikan konfirmasi akan datang ternyata tak ada kabar sama sekali. Dan ‘hanya’ Mas Beny (terjauh berdomisili di Boja), Saya, Mbah Eka dan tentu saja tuan rumah yang dengan paksaan akhirnya kopi pesanan datang juga… hehehe. “Tinggal nunggu Pak Dwi Hartanto (Pamong Budaya Jambu), langsung meluncur.”, jelas lek Wahid. “Yang Lain?”, Tanya saya.. Lek Wahid Hanya angkat bahu. Ya sudahlah….
 Lingga Kalipawon Ambarawa
Tepat sesaat setelah hujan reda, Pak Dwi memberikan kabar sudah diposisi Situs Ngentak Ngampin Ambarawa. Kami kemudian berangkat menuju titik kumpul di Ngentak Ngampin Ambarawa, setelah menengok jejak peradaban di Ngentak Ngampin kami kemudian melanjutkan ke tujuan pertama blusukan hari ini. Lingga Kalipawon Ambarawa. 
Pas di depan Gereja Jago Ambarawa, kebetulan hari ini adalah tanggal merah, libur ‘Kenaikan Isa Almasih”, saat menyebrang dapat pertolongan petugas keamanan yang lumayan banyak jumlahnya. Awalnya kami kira pemeriksaan rutin---. Masuk gang tersebut, lurus terus.. Melewati pula Situs Kaliputih di dekat pos kampling arak kiri. Kami tetap lurus 20m kemudian ambil kiri dan tepat di depan rumah Bapak Ichwan Kris (tertulis di atas pintu rumah), Lek Wahid kemudian minta ijin beliau.
 Lingga Kalipawon Ambarawa
Lingga awalnya berada di belakang rumahnya, tergeletak di pinggir rumah dekat pagar. (Mohon Maaf karena alasan tertentu penanda menuju Lingga saya sembunyikan dulu) 
Awalnya berada dibelakang rumah, saat menggali lubang untuk menanam saya menemukan batu ini. Akhirnya saya bawa ke dekat pagar itu” cerita Beliau sambil menunjuk arah asal lingga tersebut.
Sementara ini saya simpan di kamar mandi”, tambah beliau. “Silahkan kalau mau lihat dan dibawa keluar biar terang”, tambahnya.
Kondisi lingga sangat menggembirakan walau beberapa titik ada jamur namun wajarlah surah ribuan tahun usianya. Lingga masih utuh tanpa cacat secuilpun “mulus”.
Lingga Kalipawon Ambarawa

Dulu pernah ada watu kotak tengahnya berlubang di dekat lingga yang saya temukan ini, namun watu kotak itu sekarang sudah ditimbun lagi dan diatasnya digunakan untuk halaman ber-paving”, ungkap Bapak Ichwan.

Wuih itu pasti Yoni, pekik kami…. Namun malang tak dapat dikata…. Yoni tersimpan diperut ibu pertiwi. Semoga aman dan tenang di sana.
Dimensi Yoni (Sumber Lek Wahid)
Tinggi : 56 cm.
Alas Lingga : 19 cm

Bagian bagian Lingga Kalipawon Ambarawa masih terlihat jelas.
Sampai ketemu di destinasi berikutnya… sayangnya salah satu dari kami, harus pulang terlebih dahulu, selain durasi nampaknya rekan yang satu ini sangat alergi dengan keset yang basah. Hehehehe.
Dokumentasi saat niliki  Lingga Kalipawon :
Lingga Kalipawon Ambarawa

Salam Pecinta Situs Watu Candi

Lingga Kalipawon Ambarawa
Salam Peradaban.

Kamis, 13 April 2017

Bukti Peradaban : 2 Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

Lumpang di Setro
Kamis, 13 April 2017. Lanjutan dari penelusuran Lumpang Ngobo. Sekali lagi saya tulis kisah ini saya dedikasikan untuk kawan saya Eka Budiyono. Terimakasih kawan!. Dari Lumpang Ngobo kami kembali keluar menuju Jalan Ngobo-Kalongan. Menuju Setro, dan masih diseputaran perkebunan karet. Untuk detai penunjuk arah maaf saya tak ambil gambar.. namun jika waktu memungkinkan saya bersedia menjadi petunjuk jalan.
Lumpang di Setro
Atas perjuangan beliau juga, naskah ini bisa tercipta Eka budi menjadi penelusur pertama yang kemudian menginformasikan kepada guide saya kali ini, Mas Dhany.  
Lumpang kembar (dengan jumlah 2 berdekatan – 3 m saja), berada ditengah perkebunan karet. Tak ada tetenger khusus yang bisa menjadi penanda masuk ke kebun karet menuju 2 watu lumpang ini. Namun jika ada yang butuh saya punya titik GPS. 
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

(syarat dan ketentun berlaku--mohon maaf untuk kalangan terbatas hanya untuk pecinta situs watu candi dan bukan untuk kolektor ataupun mafia purbakala---)
Dari jalan dusun Setro, kemudian masuk kawasan perkebunan karet, beberapa saat sampailah kami.
Surprise bagi kami, “Iki lho kenangan ne Mas Eka Budiyono. Ranting yang dipakai untuk selfi kami bertiga”, cerita Mas Dhany (blusukan sebelumnya dengan Eka WP-Eka Budi). Berhari-hari namun ranting kering itu masih tegak berdiri. Semoga menjadi ilham bagi saya untuk selalu teguh akan pilihan. Dan tak bermaksud mengharu biru namun memang sedikit sentimentil.
Eka Budiyono
Konon watu ini dikumpulkan dari sekitar sini”, kata mas Dhany menceritakan kembali sejarah yang didapat dari warga pengambil getah karet.
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas
Kondisi yang berbeda dua lumpang ini. Ada satu yang sudah tak utuh. Namun kedua-duanya memang sama-sama ditumbuhi lumut dihampir semua bagian. Lumpng lumpang keduanya berbentuk lancip seperti bangun prisma.
Keberadaan watu lumpang ini menjadikan tergelitik hati saya untuk nama dusun SETRO yang cukup unik dan kuno menurut saya. Teringat peperangan mahabarata di padang Kurusetra. Apakah ada kaitanya?  Apakah ada hubunganya. Misteri bagi kami. (bukan mistis!). Fungsi lumpang yang mungkin saja pada masa lampau disakralkan oleh masyarakat waktu itu tak akan saya bahas lagi. Yang pasti watu lumpang ini bukanlan barang tak ada nilainya, justru batu sejarah ini bisa digunakan untuk pembelajaran generasi modern. 
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

Masa itu yang minim teknologi saja mampu membuat batu yang keras bisa berbentuk bulat presisi, saat ini dengan kecanggihan teknologi kok kalah?
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas
Dan bukan mistis yang diingat ketika ada batu ini. Oknum tersesatlah yang memanfaatkan lumpang untuk mistis, padahal bukan salah batu nya tapi tentu saja nafsu orangnya. Kenapa batunya yang dirusak? Bukankah itu hasil peradaban? Tali sejarah penghubung masa lalu dan masa kini bahkan masa yang akan datang? Layak kah untuk dilupakan?????
Sang Guide,












Maturnuwun.

Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih BergasSalam Peradaban

Lagu yang menjadi Backsound saat nulis cerita ini : Farewell Party nya White Lion. Selamat n sukses kawan dengan perjuangan baru mu: Eka Budiyono.. Salam Pecinta Situs dan Watu Candi!!

--Tamat—dua naskah yang menjadi atribut bagi rekan-sahabat dan saudara saya---

















Jejak Peradaban : Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas

Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Kamis, 13 April 2017. Ritual Kemisan berlanjut. Sebelum saya ceritakan kisah perjalanan ke Lumpang Ngobo ini, sebelumnya akan saya suguhkan sisi lain dari kisah ini. “Atribute to My Brother Eka Budiyono” (Kawan, rekan saudara saya senasib suka duka dalam blusukan : menurut pandangan saya) adalah tajuk utama dari tulisan saya ini.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Cerita berawal dari penelusuran di Watu Lesung Ngobo (di dusun yang sama) beberapa waktu lalu, dimana waktu itu kami (Saya, Double Eka dan Mas Dhany) mendapatkan informasi dari warga sekitar perihal keberadaan Watu lumpang di tengah kebun karet dekat dengan sawah. 
Saat itu walau sudah dengan susah payah, menguras tenaga serta menghabiskan waktu kami telusuri tapi tak ketemu. Hingga akhirnya beliau lah ; Eka Budiyono— yang ternyata sangat penasaran esok harinya mengadakan penelusuran sendiri. Dan ketemu. Parahnya, keberadaan Watu Lumpang Ngobo ini ada di area dimana blok tempat saya ngubek-ngubek. Bahkan masih saya ingat batu yang saya pegang ternyata berjarak 5 langkah saja dari watu lumpang Ngobo. Berjarak kira-kira 750m garis lurus dari depan SDN Wringinputih 02, sementara watu lesung berada dibelakang SDN tersebut.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Barulah kali ini, atas jasa Mas Dhany yang bersedia meluangkan waktu disela kesibukannya untuk sekedar mengantar saya yang haus dan selalu kecanduan blusukan. Terimakasih. Janjian ketemu di masjid Ngobo, kemudian kami meluncur menuju lokasi.
Warga sekitar Ngobo terutama generasi yang tak terlalu tua sekali (seusia kakek/nenek = yang masih Bapak) tak ada yang tahu keberadaan watu lumpang ini, apalagi generasi mudanya… Sayang sekali, ketika kami bertanya malah balik bertanya.. 
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Apa ada sini? Kurang kerjaan ae mas menelusuri batu seperti itu”, jawab seorang muda di warung dimana dia nongkrong. Kami tak menimpali karena bagi kami ini pilihan, dimana kami ingin memengang kunci ketika “Wong Jowo yo ojo ilang Jowone”.  Hanya keprihatinan di lubuk hati kami, padahal sejarah panjang Lumpang ini tentu sungguh menarik. Apalagi dalam satu area yang tak terlalu jauh ada peninggalan lain yang se-jaman.
Fungsi lumpang bermacam-macam di berbagai sumber yang pernah say abaca… Ada Lumpang yang digunakan sebagai penetapan tanah sima  perdikan (namun lumpang ini khas, ada cirri khusus missal adanya inkripsi di lumpang, bentuknya detal bulat, dsb. Ada Lumpang untuk ritual persiapan sesajen, Ada pula Lumpang yang digunakan untuk ritual masa tanam/panen. Namun benang merah keberadaan watu lumpang menurut saya pribadi pasti berada di lahan yang subur dimana area sekitar pastinya dulu sebagai lahan pertanian yang amat penting bagi masyarakat pada peradaban yang lampau.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Dimensi lumpang belum dapat saya berikan, mohon maaf karena terburu dan sering terlupa. Kondisi lumpang hampir seluruhnya diselimuti lumut, dibeberapa titik lumpang ada pelapukan seingga lumpang tak lagi mulus, rata. Namun tetap mempesona menyiman misteri. Bukan mistis, Karena lumpang adalah hasil peradaban, laku budaya, karya dari manusia pada zaman jauh sebelum kita.
Niat hati ingin sekedar menghilangkan lumut, namun durasi saya dan sang guide yang membatasi kami, sehingga kami urungkan, semoga ada setelah ini yang merawat, memperhatikan Watu Lumpang Ngobo ini. Semoga.
 Foto mereka bertiga, saat penelusuran sebelumnya : 
Di Situs Lumpang Ngobo. Ket Gambar ki-ka : Eka WP, Dhany Putra, Eka Budi
Maturnuwun Mas Dhany, The last Knight (penolong di detik terakhir, menjadi guide, dikala yang lain mundur dan menjadi penjaga)…hehehehe…
 Salam Peradaban

Sambil menulis kisah ini… tak salah rasanya saya juga mendengarkan Lagu Peterpan : Tak Ada Yang Abadi … (bukan bermaksud lebay namun mencoba memahami pilihan beliau…Semoga sukses kawan! : Eka Budiyono) Bersambung to Farewell Party to my Brother. 

Kamis, 06 April 2017

Menelusuri Jejak Peradaban Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung

 Sumur Blandung, kaloran Kab. Temanggung
Kamis, 6 April 2017. Dan Ritual Blusukan berlanjut. Kali ini tanpa rencana sama sekali. Saat rekan blusukan yang sempat vakum cukup lama menghubungi (nawari) destinasi luar kota, maka tak mampu saya tolak. Yang saya sesali, setiap blusukan dengan rekan yang satu ini, saya selalu terlupa, tak membawa jaket. Kepalang tanggung, jika memilih destinasi lokal, saya tak diberi informasi oleh si bocah nakal. (hehehehe)
Kami kemudian mencoba membuka memori HP, memilah kemungkinan destinasi yang menarik, dan akhirnya Kaloran-Temanggung menjadi pilihan kami. Informasi yang cukup lama dari rekan blusukan membuat kami penasaran. Beberapa destinasi di satu ar3a tersebut. (Ternyata kemudian, baru saya ketahui informasi berawal dari tangan pertama : Kang Adji Negro, seorang senior blusukan) Begitu detail petunjuknya sangat menantang kami untuk menyusuri jejaknya.
Singkat kata, perjalanan dimulai dari kota Salatiga terlebih dahulu, kemudian  melaju menuju Kaloran-Temanggung melalui Sumowono melalui Tuntang-Bawen, dan mampir di Ambarawa untuk membeli bekal serta mencoba mencari jaket di awul-awul, pikir saya murah eh mahal juga. Perjalanan berlanjut tanpa jaket namun sudah dapat jas hujan plastik beli di ***mart. Melewati Bandungan hawa dingin sudah mulai meresap kulit, masuk sumowono bekunya udara menembus tulang, pen dikaki sudah mulai menggeliat. Tapi rasa malu mengalahkan segalanya.
Siksaan dinginnya pegunungan bertambah saat kami memasuki perbatasan Sumowono – Kaloran. Kabut ditambah hujan deras yang tumpah dari langit. Sempat berteduh sejenak di gubuk kosong di pinggir jalan, kemudian kami memutuskan tetap menerjang, karena tipe hujan yang kami hadapi adalah hujan yang betah berlama-lama.
Masjid Dusun Ngabeyan, Desa Tegowanuh
Sekitar satu kilometer setelah umpak pinggir jalan Kaloran”, bunyi informan tersebut meyakinkan. (Beberapa tahun lalu saya dan rekan lain pernah menelusuri jejak purbakala di sini : Umpak Kaloran“Istana Wurung”.
Kami menghitung di speedometer motornya Lek Suryo angka bertambah 1. Kemudian kami bertanya pada warga…. “Wah kelewat jauh mas, setelah dusun ini nanti tanya lagi aja”, jawab warga itu mengoreksi. Kami balik lagi melewati umpak pinggir jalan (yang kedua kalinya), kemudian sekali lagi bertanya… “Ooo sebelum jembatan 1km dari sini, ada tugu ambil kiri”, petunjuk warga yang kedua. Tanpa kami menyebut nama informan awal, hehehehe sebelum atau sesudah 1 km petunjuk sangat fatal… karena hujan deras dan saya menggigil kedinginan. Telak kami dikerjai…. Kami tertawa tapi tak bisa… menahan dingin. #@$@#$@**!
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Mengikuti petunjuk warga tersebut, kami kemudian ambil kiri tepat di sebuah tugu. Ketemu dengan sekolah MI lalu ambil kanan, dan sekali lagi masjid ambil kiri. Tak usah bingung, kanan atau kiri memang petunjuk mudah adalah masjid. Saat kami cari masjid yang kedua ini kami ketemu lagi dengan warga yang kami tanyai sebelumnya. “Masuk gang depan masjid (yang kedua) itu mas, nanti Sumur Blandung nya ada di samping masjid” jelas beliau.
Situs berada di Samping Masjid Dusun Ngabeyan Desa Tegowanuh Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung.
Mata Air : Sumur Blandung
Entah kami disambut atau tidak, saat sampai dilokasi. Hujan tiba-tiba berhenti. Namun kami kemudian ragu karena tepat saat itu, adik adik dari TPA juga selesai, jadi mungkin buka pengaruh kedatangan kami… heheheh.  Tanpa menyia-nyiakan kesempatan kami kemudian mengeskplor detail situs Sumur Blandung ini. 
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Sumur Blandung berada di bawah beberapa pohon yang cukup besar, terlihat pula beberapa bekas akar pohon tua yang sangat besar yang mengelilingi mata air Blandung. 
Sekitar 10 menit kemudian setelah santri TPA dan para ustadnya pulang, eh hujan bukan lagi di tumpahkan namun serasa hujan itu diguyurkan oleh Dewa Hades. Tunggang langgang kami menyelamatkan diri serta barang bawaan kami. Padahal belum sempat foto kenangan di lokasi. Hehehehe.
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Beberapa waktu, antara hujan deras dan gerimis kami tetap menunggu dengan kondisi yang payah, (baca= baju basah) kedinginan hanya air putih, gorengan sisa beli saat transit di depan kec. Kaloran saat menggali informasi lewat telp dan beberapa batang rokok yang basah. 
Tak bermaksud lebay, tapi ini kenyataan. Kami kedinginan. Dan kami sepakat kali ini hanya satu saja destinasi. Yang kami tunggu tiba :
Close up :












 Adapun cerita lain tentang Sumur Blandhung ini, saya belum dapat. Ada warga yang kebetulan lewat, seorang Kakek tak tahu menahu, malah menunjukkan arah kediaman juru kunci Sumur Blandung, "beliau pasti tahu", katanya. 
Sambil saya publish-kan, saya sedang nunggu balasan dari Kang Adji negro perihal ihwal cerita Sumur Blandung ini.
Dan keyakinan kami, suatu saat pasti bisa menyusuri jejak informasi detail kang Adjie Negro di lain waktu di lain kesempatan yang lebih baik. Semoga.

Suryo Wibowo : Sumur Blandung Kaloran
 Maturnuwun atas boncengannya…, Blusukan luar kota selalu “merindukan adrenalin jam 5”. Yang mudeng pasti tertawa. Jika bingung lupakan saja. heheheheh. 
Salam Peradaban!.
 
Cuplikan lagu yang menemani saya saat mengetik cerita perjalanan kali ini :

Menang dari areng, kalah dadi awu
Marang sedulur hei rasah do padu
Ora sanak ora kadang yen mati melu kelangan
Agegaman kamanungsan migunani tumraping liyan

(Sedulur-Hip Hop Foundation)