Jumat, 14 April 2017

Bukti Peradaban Masa Silam : Lingga Kalipawon Ambarawa


Lingga Kalipawon Ambarawa
Jumat, 14 April 2017 kembali blusukan bersama-sama-bareng bareng”. Rencana beberapa hari sebelumnya yang menjadikan perubahan agenda saya. –”Saya Harus ikut”, yakin saya— Namun, sayangnya beberapa rekan yang jelas-jalas memberikan konfirmasi akan datang ternyata tak ada kabar sama sekali. Dan ‘hanya’ Mas Beny (terjauh berdomisili di Boja), Saya, Mbah Eka dan tentu saja tuan rumah yang dengan paksaan akhirnya kopi pesanan datang juga… hehehe. “Tinggal nunggu Pak Dwi Hartanto (Pamong Budaya Jambu), langsung meluncur.”, jelas lek Wahid. “Yang Lain?”, Tanya saya.. Lek Wahid Hanya angkat bahu. Ya sudahlah….
 Lingga Kalipawon Ambarawa
Tepat sesaat setelah hujan reda, Pak Dwi memberikan kabar sudah diposisi Situs Ngentak Ngampin Ambarawa. Kami kemudian berangkat menuju titik kumpul di Ngentak Ngampin Ambarawa, setelah menengok jejak peradaban di Ngentak Ngampin kami kemudian melanjutkan ke tujuan pertama blusukan hari ini. Lingga Kalipawon Ambarawa. 
Pas di depan Gereja Jago Ambarawa, kebetulan hari ini adalah tanggal merah, libur ‘Kenaikan Isa Almasih”, saat menyebrang dapat pertolongan petugas keamanan yang lumayan banyak jumlahnya. Awalnya kami kira pemeriksaan rutin---. Masuk gang tersebut, lurus terus.. Melewati pula Situs Kaliputih di dekat pos kampling arak kiri. Kami tetap lurus 20m kemudian ambil kiri dan tepat di depan rumah Bapak Ichwan Kris (tertulis di atas pintu rumah), Lek Wahid kemudian minta ijin beliau.
 Lingga Kalipawon Ambarawa
Lingga awalnya berada di belakang rumahnya, tergeletak di pinggir rumah dekat pagar. (Mohon Maaf karena alasan tertentu penanda menuju Lingga saya sembunyikan dulu) 
Awalnya berada dibelakang rumah, saat menggali lubang untuk menanam saya menemukan batu ini. Akhirnya saya bawa ke dekat pagar itu” cerita Beliau sambil menunjuk arah asal lingga tersebut.
Sementara ini saya simpan di kamar mandi”, tambah beliau. “Silahkan kalau mau lihat dan dibawa keluar biar terang”, tambahnya.
Kondisi lingga sangat menggembirakan walau beberapa titik ada jamur namun wajarlah surah ribuan tahun usianya. Lingga masih utuh tanpa cacat secuilpun “mulus”.
Lingga Kalipawon Ambarawa

Dulu pernah ada watu kotak tengahnya berlubang di dekat lingga yang saya temukan ini, namun watu kotak itu sekarang sudah ditimbun lagi dan diatasnya digunakan untuk halaman ber-paving”, ungkap Bapak Ichwan.

Wuih itu pasti Yoni, pekik kami…. Namun malang tak dapat dikata…. Yoni tersimpan diperut ibu pertiwi. Semoga aman dan tenang di sana.
Dimensi Yoni (Sumber Lek Wahid)
Tinggi : 56 cm.
Alas Lingga : 19 cm

Bagian bagian Lingga Kalipawon Ambarawa masih terlihat jelas.
Sampai ketemu di destinasi berikutnya… sayangnya salah satu dari kami, harus pulang terlebih dahulu, selain durasi nampaknya rekan yang satu ini sangat alergi dengan keset yang basah. Hehehehe.
Dokumentasi saat niliki  Lingga Kalipawon :
Lingga Kalipawon Ambarawa

Salam Pecinta Situs Watu Candi

Lingga Kalipawon Ambarawa
Salam Peradaban.

Kamis, 13 April 2017

Bukti Peradaban : 2 Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

Lumpang di Setro
Kamis, 13 April 2017. Lanjutan dari penelusuran Lumpang Ngobo. Sekali lagi saya tulis kisah ini saya dedikasikan untuk kawan saya Eka Budiyono. Terimakasih kawan!. Dari Lumpang Ngobo kami kembali keluar menuju Jalan Ngobo-Kalongan. Menuju Setro, dan masih diseputaran perkebunan karet. Untuk detai penunjuk arah maaf saya tak ambil gambar.. namun jika waktu memungkinkan saya bersedia menjadi petunjuk jalan.
Lumpang di Setro
Atas perjuangan beliau juga, naskah ini bisa tercipta Eka budi menjadi penelusur pertama yang kemudian menginformasikan kepada guide saya kali ini, Mas Dhany.  
Lumpang kembar (dengan jumlah 2 berdekatan – 3 m saja), berada ditengah perkebunan karet. Tak ada tetenger khusus yang bisa menjadi penanda masuk ke kebun karet menuju 2 watu lumpang ini. Namun jika ada yang butuh saya punya titik GPS. 
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

(syarat dan ketentun berlaku--mohon maaf untuk kalangan terbatas hanya untuk pecinta situs watu candi dan bukan untuk kolektor ataupun mafia purbakala---)
Dari jalan dusun Setro, kemudian masuk kawasan perkebunan karet, beberapa saat sampailah kami.
Surprise bagi kami, “Iki lho kenangan ne Mas Eka Budiyono. Ranting yang dipakai untuk selfi kami bertiga”, cerita Mas Dhany (blusukan sebelumnya dengan Eka WP-Eka Budi). Berhari-hari namun ranting kering itu masih tegak berdiri. Semoga menjadi ilham bagi saya untuk selalu teguh akan pilihan. Dan tak bermaksud mengharu biru namun memang sedikit sentimentil.
Eka Budiyono
Konon watu ini dikumpulkan dari sekitar sini”, kata mas Dhany menceritakan kembali sejarah yang didapat dari warga pengambil getah karet.
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas
Kondisi yang berbeda dua lumpang ini. Ada satu yang sudah tak utuh. Namun kedua-duanya memang sama-sama ditumbuhi lumut dihampir semua bagian. Lumpng lumpang keduanya berbentuk lancip seperti bangun prisma.
Keberadaan watu lumpang ini menjadikan tergelitik hati saya untuk nama dusun SETRO yang cukup unik dan kuno menurut saya. Teringat peperangan mahabarata di padang Kurusetra. Apakah ada kaitanya?  Apakah ada hubunganya. Misteri bagi kami. (bukan mistis!). Fungsi lumpang yang mungkin saja pada masa lampau disakralkan oleh masyarakat waktu itu tak akan saya bahas lagi. Yang pasti watu lumpang ini bukanlan barang tak ada nilainya, justru batu sejarah ini bisa digunakan untuk pembelajaran generasi modern. 
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas

Masa itu yang minim teknologi saja mampu membuat batu yang keras bisa berbentuk bulat presisi, saat ini dengan kecanggihan teknologi kok kalah?
Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih Bergas
Dan bukan mistis yang diingat ketika ada batu ini. Oknum tersesatlah yang memanfaatkan lumpang untuk mistis, padahal bukan salah batu nya tapi tentu saja nafsu orangnya. Kenapa batunya yang dirusak? Bukankah itu hasil peradaban? Tali sejarah penghubung masa lalu dan masa kini bahkan masa yang akan datang? Layak kah untuk dilupakan?????
Sang Guide,












Maturnuwun.

Lumpang di Setro, Desa Wringin Putih BergasSalam Peradaban

Lagu yang menjadi Backsound saat nulis cerita ini : Farewell Party nya White Lion. Selamat n sukses kawan dengan perjuangan baru mu: Eka Budiyono.. Salam Pecinta Situs dan Watu Candi!!

--Tamat—dua naskah yang menjadi atribut bagi rekan-sahabat dan saudara saya---

















Jejak Peradaban : Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas

Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Kamis, 13 April 2017. Ritual Kemisan berlanjut. Sebelum saya ceritakan kisah perjalanan ke Lumpang Ngobo ini, sebelumnya akan saya suguhkan sisi lain dari kisah ini. “Atribute to My Brother Eka Budiyono” (Kawan, rekan saudara saya senasib suka duka dalam blusukan : menurut pandangan saya) adalah tajuk utama dari tulisan saya ini.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Cerita berawal dari penelusuran di Watu Lesung Ngobo (di dusun yang sama) beberapa waktu lalu, dimana waktu itu kami (Saya, Double Eka dan Mas Dhany) mendapatkan informasi dari warga sekitar perihal keberadaan Watu lumpang di tengah kebun karet dekat dengan sawah. 
Saat itu walau sudah dengan susah payah, menguras tenaga serta menghabiskan waktu kami telusuri tapi tak ketemu. Hingga akhirnya beliau lah ; Eka Budiyono— yang ternyata sangat penasaran esok harinya mengadakan penelusuran sendiri. Dan ketemu. Parahnya, keberadaan Watu Lumpang Ngobo ini ada di area dimana blok tempat saya ngubek-ngubek. Bahkan masih saya ingat batu yang saya pegang ternyata berjarak 5 langkah saja dari watu lumpang Ngobo. Berjarak kira-kira 750m garis lurus dari depan SDN Wringinputih 02, sementara watu lesung berada dibelakang SDN tersebut.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Barulah kali ini, atas jasa Mas Dhany yang bersedia meluangkan waktu disela kesibukannya untuk sekedar mengantar saya yang haus dan selalu kecanduan blusukan. Terimakasih. Janjian ketemu di masjid Ngobo, kemudian kami meluncur menuju lokasi.
Warga sekitar Ngobo terutama generasi yang tak terlalu tua sekali (seusia kakek/nenek = yang masih Bapak) tak ada yang tahu keberadaan watu lumpang ini, apalagi generasi mudanya… Sayang sekali, ketika kami bertanya malah balik bertanya.. 
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Apa ada sini? Kurang kerjaan ae mas menelusuri batu seperti itu”, jawab seorang muda di warung dimana dia nongkrong. Kami tak menimpali karena bagi kami ini pilihan, dimana kami ingin memengang kunci ketika “Wong Jowo yo ojo ilang Jowone”.  Hanya keprihatinan di lubuk hati kami, padahal sejarah panjang Lumpang ini tentu sungguh menarik. Apalagi dalam satu area yang tak terlalu jauh ada peninggalan lain yang se-jaman.
Fungsi lumpang bermacam-macam di berbagai sumber yang pernah say abaca… Ada Lumpang yang digunakan sebagai penetapan tanah sima  perdikan (namun lumpang ini khas, ada cirri khusus missal adanya inkripsi di lumpang, bentuknya detal bulat, dsb. Ada Lumpang untuk ritual persiapan sesajen, Ada pula Lumpang yang digunakan untuk ritual masa tanam/panen. Namun benang merah keberadaan watu lumpang menurut saya pribadi pasti berada di lahan yang subur dimana area sekitar pastinya dulu sebagai lahan pertanian yang amat penting bagi masyarakat pada peradaban yang lampau.
Watu Lumpang Ngobo, Wringinputih Bergas
Dimensi lumpang belum dapat saya berikan, mohon maaf karena terburu dan sering terlupa. Kondisi lumpang hampir seluruhnya diselimuti lumut, dibeberapa titik lumpang ada pelapukan seingga lumpang tak lagi mulus, rata. Namun tetap mempesona menyiman misteri. Bukan mistis, Karena lumpang adalah hasil peradaban, laku budaya, karya dari manusia pada zaman jauh sebelum kita.
Niat hati ingin sekedar menghilangkan lumut, namun durasi saya dan sang guide yang membatasi kami, sehingga kami urungkan, semoga ada setelah ini yang merawat, memperhatikan Watu Lumpang Ngobo ini. Semoga.
 Foto mereka bertiga, saat penelusuran sebelumnya : 
Di Situs Lumpang Ngobo. Ket Gambar ki-ka : Eka WP, Dhany Putra, Eka Budi
Maturnuwun Mas Dhany, The last Knight (penolong di detik terakhir, menjadi guide, dikala yang lain mundur dan menjadi penjaga)…hehehehe…
 Salam Peradaban

Sambil menulis kisah ini… tak salah rasanya saya juga mendengarkan Lagu Peterpan : Tak Ada Yang Abadi … (bukan bermaksud lebay namun mencoba memahami pilihan beliau…Semoga sukses kawan! : Eka Budiyono) Bersambung to Farewell Party to my Brother. 

Kamis, 06 April 2017

Menelusuri Jejak Peradaban Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung

 Sumur Blandung, kaloran Kab. Temanggung
Kamis, 6 April 2017. Dan Ritual Blusukan berlanjut. Kali ini tanpa rencana sama sekali. Saat rekan blusukan yang sempat vakum cukup lama menghubungi (nawari) destinasi luar kota, maka tak mampu saya tolak. Yang saya sesali, setiap blusukan dengan rekan yang satu ini, saya selalu terlupa, tak membawa jaket. Kepalang tanggung, jika memilih destinasi lokal, saya tak diberi informasi oleh si bocah nakal. (hehehehe)
Kami kemudian mencoba membuka memori HP, memilah kemungkinan destinasi yang menarik, dan akhirnya Kaloran-Temanggung menjadi pilihan kami. Informasi yang cukup lama dari rekan blusukan membuat kami penasaran. Beberapa destinasi di satu ar3a tersebut. (Ternyata kemudian, baru saya ketahui informasi berawal dari tangan pertama : Kang Adji Negro, seorang senior blusukan) Begitu detail petunjuknya sangat menantang kami untuk menyusuri jejaknya.
Singkat kata, perjalanan dimulai dari kota Salatiga terlebih dahulu, kemudian  melaju menuju Kaloran-Temanggung melalui Sumowono melalui Tuntang-Bawen, dan mampir di Ambarawa untuk membeli bekal serta mencoba mencari jaket di awul-awul, pikir saya murah eh mahal juga. Perjalanan berlanjut tanpa jaket namun sudah dapat jas hujan plastik beli di ***mart. Melewati Bandungan hawa dingin sudah mulai meresap kulit, masuk sumowono bekunya udara menembus tulang, pen dikaki sudah mulai menggeliat. Tapi rasa malu mengalahkan segalanya.
Siksaan dinginnya pegunungan bertambah saat kami memasuki perbatasan Sumowono – Kaloran. Kabut ditambah hujan deras yang tumpah dari langit. Sempat berteduh sejenak di gubuk kosong di pinggir jalan, kemudian kami memutuskan tetap menerjang, karena tipe hujan yang kami hadapi adalah hujan yang betah berlama-lama.
Masjid Dusun Ngabeyan, Desa Tegowanuh
Sekitar satu kilometer setelah umpak pinggir jalan Kaloran”, bunyi informan tersebut meyakinkan. (Beberapa tahun lalu saya dan rekan lain pernah menelusuri jejak purbakala di sini : Umpak Kaloran“Istana Wurung”.
Kami menghitung di speedometer motornya Lek Suryo angka bertambah 1. Kemudian kami bertanya pada warga…. “Wah kelewat jauh mas, setelah dusun ini nanti tanya lagi aja”, jawab warga itu mengoreksi. Kami balik lagi melewati umpak pinggir jalan (yang kedua kalinya), kemudian sekali lagi bertanya… “Ooo sebelum jembatan 1km dari sini, ada tugu ambil kiri”, petunjuk warga yang kedua. Tanpa kami menyebut nama informan awal, hehehehe sebelum atau sesudah 1 km petunjuk sangat fatal… karena hujan deras dan saya menggigil kedinginan. Telak kami dikerjai…. Kami tertawa tapi tak bisa… menahan dingin. #@$@#$@**!
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Mengikuti petunjuk warga tersebut, kami kemudian ambil kiri tepat di sebuah tugu. Ketemu dengan sekolah MI lalu ambil kanan, dan sekali lagi masjid ambil kiri. Tak usah bingung, kanan atau kiri memang petunjuk mudah adalah masjid. Saat kami cari masjid yang kedua ini kami ketemu lagi dengan warga yang kami tanyai sebelumnya. “Masuk gang depan masjid (yang kedua) itu mas, nanti Sumur Blandung nya ada di samping masjid” jelas beliau.
Situs berada di Samping Masjid Dusun Ngabeyan Desa Tegowanuh Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung.
Mata Air : Sumur Blandung
Entah kami disambut atau tidak, saat sampai dilokasi. Hujan tiba-tiba berhenti. Namun kami kemudian ragu karena tepat saat itu, adik adik dari TPA juga selesai, jadi mungkin buka pengaruh kedatangan kami… heheheh.  Tanpa menyia-nyiakan kesempatan kami kemudian mengeskplor detail situs Sumur Blandung ini. 
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Sumur Blandung berada di bawah beberapa pohon yang cukup besar, terlihat pula beberapa bekas akar pohon tua yang sangat besar yang mengelilingi mata air Blandung. 
Sekitar 10 menit kemudian setelah santri TPA dan para ustadnya pulang, eh hujan bukan lagi di tumpahkan namun serasa hujan itu diguyurkan oleh Dewa Hades. Tunggang langgang kami menyelamatkan diri serta barang bawaan kami. Padahal belum sempat foto kenangan di lokasi. Hehehehe.
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Beberapa waktu, antara hujan deras dan gerimis kami tetap menunggu dengan kondisi yang payah, (baca= baju basah) kedinginan hanya air putih, gorengan sisa beli saat transit di depan kec. Kaloran saat menggali informasi lewat telp dan beberapa batang rokok yang basah. 
Tak bermaksud lebay, tapi ini kenyataan. Kami kedinginan. Dan kami sepakat kali ini hanya satu saja destinasi. Yang kami tunggu tiba :
Close up :












 Adapun cerita lain tentang Sumur Blandhung ini, saya belum dapat. Ada warga yang kebetulan lewat, seorang Kakek tak tahu menahu, malah menunjukkan arah kediaman juru kunci Sumur Blandung, "beliau pasti tahu", katanya. 
Sambil saya publish-kan, saya sedang nunggu balasan dari Kang Adji negro perihal ihwal cerita Sumur Blandung ini.
Dan keyakinan kami, suatu saat pasti bisa menyusuri jejak informasi detail kang Adjie Negro di lain waktu di lain kesempatan yang lebih baik. Semoga.

Suryo Wibowo : Sumur Blandung Kaloran
 Maturnuwun atas boncengannya…, Blusukan luar kota selalu “merindukan adrenalin jam 5”. Yang mudeng pasti tertawa. Jika bingung lupakan saja. heheheheh. 
Salam Peradaban!.
 
Cuplikan lagu yang menemani saya saat mengetik cerita perjalanan kali ini :

Menang dari areng, kalah dadi awu
Marang sedulur hei rasah do padu
Ora sanak ora kadang yen mati melu kelangan
Agegaman kamanungsan migunani tumraping liyan

(Sedulur-Hip Hop Foundation)

Kamis, 30 Maret 2017

Jejak Peradaban di Gundi Kecamatan Suruh

Gundi Suruh Kab. Semarang

Kamis, 30 Maret 2017. Ritual Kemisan tetap berlanjut. Kali ini setelah rekan-rekan mundur balik kanan tak jadi karena ‘awan menggumpal hitam dilangit’… ternyata kabar gembira datang dari rumah. Istri saya nawari “blusukan ki ngejak”, Kesempatan tak kan gampang terulang pikir saya. Hehehehehe.
Awalnya kemisan ini target saya menelusuri informasi keberadaan struktur batuan candi di lereng timur Gunung ‘Karoengroengan”. Namun Langit hitam sedikit banyak mempengaruhi tujuan kali ini. Apalagi blusukan special dengan “mbokne cah2”.  Mantaplah tekad saya untuk menelusuri informasi dari kawan FB, maturnuwun mas Sri Widodo, dengan Panduan di whatshapp-nya. Sampai share lokasi-gmaps dikirim ke saya.
Tujuan nya adalah ke Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, di sebelah tenggara Kota Salatiga, Disepanjang perjalanan antara Ungaran-Salatiga kami menerjang hujan, Melewati JLS-Terminal Tingkir kemudian ambil kanan arah ke Suruh. Untungnya blusukan dengan istri, karena belum makan siang ndredek juga apalagi di sepanjang jalan hujan dan dingin menusuk tulang sepanjang JLA (Kabut merbabu turun). Istirahat sebentar di ****mart tingkir untuk makan siang bekal yang dibawakan istri. Baru kali ini.. hehehe.
Bekal Makan Siang
Dari Tingkir, tak sampai 15 menit kami menyusuri petunjuk arah (hasil share lokasi pesan whatshapp Mas Sri Widodo). Mempermudah perjalanan saya kali ini. Di Suruh sendiri, saya kebetulan pernah menelusuri jejak peradaban ; Yoni masjid Kauman, Yoni Masjid Karangasem dan masjid Mplantungan Desa Kradonlor (semuanya di wilayah kecamatan suruh). Awalnya niat saya saat menuju Suruh kali ini menelusuri 2 informasi, selain dari Mas Sri Widodo, juga informasi dari Mas Artdie.  Namun bagaimana nanti tergantung situasi.
(Bila butuh petunjuk arah WA saya, 081805803200+ saya share lokasi) Saya merasakan sendiri… tanpa sama sekali bertanya sudah sampai ke tujuan.
Berada di depan Masjid Jami’ Al Huda Klengkong Jl. K. Dasuki No. 56. Desa Gundi Kec. Suruh.
Watu purbakala di Gundi Suruh
Awalnya, dari gambar pemberian mas Sri Widodo saya meyakini peninggalan ini berwujud Yoni. Namun seketika langsung ragu menggelayuti.
Saat asyik mendokumentasikan batu peninggalan ini, seorang warga tertarik dan mendekat penasaran. Kujelaskan sambil bertanya asal muasal dan sejarahnya… dan kebingungan saya malah bertambah, karena ternyata di bagian atas dulunya ada 2 lubang. Kemudian di semen oleh warga, entah, beliau juga tak tahu alasan kenapa disemen, dua lubang itu ditutupi. Di penampang atas tersebut ada bagian sedikit menonjol diatasnya kira-kira 10cm berbentuk persegi mengikuti bagian tubuh batu peninggalan ini. Namun yang tersisa hanya sedikit.. terlihat usaha perusakan, gompal di beberapa sisi.
 Ciri-ciri badan Yoni khas ada di batu ini. Keberadaan cerat juga menambah bukti itu. Tapi saya masih ragu.
Jare Mbah buyut, watu ini gaweane wong kerajaan masa hindu, dek mbiyen panggonane ning pinggir sawah pinggir deso kono, sawah kui jaman mbiyene akeh omah” beliau menuturkan sambil menujuk arah.


Bekas Lubang yang di semen
“Aku yo tau krungu, ono warga nemu patung, nanging naming tugelan sirah, sing duweni rai jumlahe papat, banjur disimpen ning omah. Mung sayange ndadekake atine warga mau ora tenang, sering keganggu. Akhire sirah patung mau di balekno, Cerito kui wis suwi awit aku jeh nom.” Jelas Kakek tersebut dalam bahasa jawa, kurang lebih dan sengaja tak saya translate.


Kepala arca dengan 4 wajah…. Dan itu caturmuka… Brahma… bathin saya tercekat…..  Saya mencoba menggali informasi  keberadaan warga yang menemukan tadi.. namun informasi beliau sudah terputus karena memang sudah cukup lama kejadian itu.
Desa gundi Kec. Suruh

Pengetahuan beliau sungguh mengejutkan bagi saya, ketika umumnya, masyarakat menngikuti saja apa mitos, legenda dan jarene wong tuwone, bahwa batu-batu seperti ini banyak orang yang menyebut tinggalane mbah wali. Beliau malah meyakinkan saya bahwa ini tinggalan masa hindu. 

Saat kami asyik berbincang, beberapa warga yang lewat pun nampaknya tahu ini apa… walaupun belum tepat… ada yang menyebut prasasti ada yang menyebut watu candi. 
Namun itu sudah cukup melegakan… bukan paham kelirumologi dan ikut-ikutan. Semoga dengan mengerti ini apa, tanpa bermaksud menduakan menguri-uri HASIL BUDAYA tidaklah ada ruginya. 


bersama kakek informan
Justru bisa menjadi pengalaman hidup.
Setelah beberapa waktu, kemudian kami berpamitan. 
Sungguh sayang informasi dari mas Artdie belum bisa saya telusuri. 
Jejak peninggalan di Suruh memang sungguh meyakinkan hati saya akan adanya sebuah peradaban yang malah mungkin lebih ramai dari Suruh yang sekarang.

     Menguntungkan sekali mendapat pasangan berjiwa penjelajah... hehehhee

Salam Peradaban! 

sasadara manjer kawuryan : Gundi Suruh
nb : Tambahan
(Kamis, 4 Januari 2018)
Kedua kalinya saya kesini dan berkesempatan membuat video...