Kamis, 23 Maret 2017

Legenda Gebugan : Mbah Penanggalan, bonus pemandangan lereng gunung Ungaran

    Kamis, 23 Maret 2016. Ritual kemisan berlanjut. Ditengah pengawasan, kami tetep blusukan, haghaghaghag.... i Can't Stop, lah pokoke. 
      Tujuan utama kami, menelusuri jejak peradaban di Bengkle, Gebugan - Lempuyang Mundingan - Bergas. "Apapun hasilnya, ada atau tidak sing penting blusukan", Mbah eka bertekad. Saya meng-amin kan. Lha saya hanya membonceng kok.. wkwkwwkwk.
      Jalur kami melewati beberapa situs peninggalan peradaban masa lalu : Seperti Lingga di Masjid Gebugan dan punden berundak mbah Dul Jalil.
Makam Mbah Penanggalan
Untungnya kami kesasar (tersangka adalah sang driver, soalnya saya membonceng, wkwkwkwk)… jadi bisa singgah dan menulis kisah ini.
Warga menyebut batu yang ada di sisi kanan makam (dari arah pintu masuk) dengan ‘Watu Dakon’, namun tak ada yang mengetahui bagaimana sisik meliknya secara jelas. 
"Hanya Mbah Penanggalan adalah sesepuh Desa Gebugan, atau yang bubakyoso, banyak yang berziarah ke makam beliau, yang dipercaya adalah salah satu penyebar islam di daerah ini."

Makam Mbah Penanggalan Gebugan
 “Mbah Penanggalan adalah salah satu murid dari Mbah Kyai Hasan Munadi yang kesaktianya tersohor. Sebutan mbah penanggalan, karena beliau memiliki kemampuan membuat penanda kapan sebuah acara dilaksanakan”, (sumber wawancara Mbah Eka WP dengan seorang kakek warga sekitar yang dia temui disawah, di blusukan sebelumnya). 
Watu Dakon, Makam Mbah Penanggalan


Kesaktian yang lain, pohon tua dan berukuran besar ‘growang’ di batang bagian bawah, hingga 3 orang dewasa bisa masuk kedalamnya,  di depan makam beliau itu, dulunya adalah tongkat beliau”, tambah kakek tersebut seperti yang diceritakan kepada saya.
Watu Dakon
Yang tersisa memang hanya secuil, namun bagi saya sangat berarti. 
Menjadi sebuah penanda menghadirkan bukti sejarah masa lalu.
Imajinasi saya, ketika ini utuh, seperti membayangkan bola golf, dimana ada cekungan-cekungan jumbo (mirip di depan gerbang golf Jatingaleh) Apakah mungkin cekungan - cekungan tersebut untuk menaruh berbagai macam sesajen? 
Dugaan, rekaan …entahlah….
Setelah mendokumentasikan barang sejenak, kami melanjutkan, walaupun godaan eksotis batuan di sisi kiri dan pohon tua berongga untuk ber-selfie lumayan besar, namun saya lewatkan,  auranya memperingatkan saya.
Kami melaju pelan menyusuri jalan yang tak mulus… tiba-tiba mbah Eka terpekik.
 "Kui Lumpang, kui lho!!!", karena suaranya pula, para muda dan warga yang di pinggir jalan menoleh kepada kami.
Lumpang tersebut didepan rumah seorang warga, karena pekikan tersebut sang empunya kemudian keluar rumah karena penasaran.
Wonten menopo mas”, selidik curiga. 
Setelah berbasa-basi menjelaskan siapa kami, Pecinta Situs dan Watu Candi. 
Kemudian luruh kecurigaan di wajah beliau.
Bahwa didepan rumah beliau ada lumpang kuno, stuktur batu candi dan lain sebagainya”, membuat beliau tambah tercengang. 
Kami juga hubungkan dengan keberadaan masjid Jami' Baitul Muqqorobiin desa Gebugan dimana mempunyai sejarah panjang, beliau tambah berbinar. 
Pesan kami kepada beliau, “Watu-watu candi niki ampun di katutke ndamel pondasi nggeh!”.
Karena hanya edukasi seperti ini yang bisa kami lakukan, kami tak mampu berbuat lebih, siapakah kami?
Rencana kami dari awal, ingin menyusuri pemandangan alam pegunungan dari Desa Gebugan Dusun Bengkle - Dusun Cemanggal - Desa Munding sambil menelusuri jejak purbakala yang barangkali masih tersisa. 
Beberapa warga menggelengkan kepala saat kami tanyai, 'ada atau tidak peninggalan kuno disekitar disini". (hampir semua istilah macam kami gunakan, lumpang, kenteng, lesung, reco, bahkan masjid wurung atau tinggalane mbah wali juga kami utarakan, namun nil. 
Malah di tunjukkan arah dimana ada gua jepang, ada masjid keramat, ada tempat mistis…. "Oh no!.." bukan itu yang kami cari. 
Ada juga Curug Selawe, curug yang masih jarang orang tahu di ceritakan kepada kami… 
Namun bagi kami blusuker… lokasi wisata seperti itu hanyalah bonus. Walaupun tanpa informasi pasti, kepalang tanggung, kami tetap melaju. Niat awal memang blusukan menikmati alam pegunungan, sambil merekontruksi kemungkinan sebaran situs sekitar area ini.
Gua Jepang Mundingan
Jalan berliku, naik turun sepadan dengan indahnya alam serta sejuknya udara segar yang kami hirup.
Kami mampir pula di Gua Jepang yang menunggu entah dengan kesabaran atau tidak, untuk dibangkitkan kejayaan sejarahnya; posisi Gua Jepang Mundingan ada di pinggir jalan.
Kami disuguhi pemandangan yang alangkah aduhainya, sangat jelita dan mempesona bisa diibaratkan seorang gadis.
 Benar-benar belum terjamah, masih asri. Alam yang indah… gugusan bukit, awan yang berlomba dengan puncak beberapa gunung nampak menakjubkan. Gunung Ungaran, juga Gunung Merbabu dikejauhan adalah puncak dari kebisuan saya untuk mengomentari begitu indahnya. Surga bagi penikmat alam raya. Saya yakin, penatnya kesibukan di perkotaan akan langsung lenyap melihat bentangan alam yang tak tergambarkan ini.

eka Wp : Partner in crime
Sayangnya akses jalan sangat parah… terutama di bagian turunan maupun tanjakan, kami berseloroh, “Gulo kacang ae ra separah iki…”

Pemandangan Indah : Telaga Melik Munding Bergas.
Penyiksaan selama perjalanan, terbayar lunas dengan bayaran keagungan ilahi seperti ini… dan yang sangat saya sesali, saya menangis batin membawa kamera SLR, tanpa memori card nya.
 Sesungguhnya, keindahan yang ada difoto-foto saya tadi tak ada 1% nya dibandingkan kondisi sebenarnya!!!

Salam peradaban.



Mari ketahui, lestarikan....










*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang diselengarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah".

Rabu, 22 Maret 2017

Watu Lumpang Seleses : Jejak Peradaban tanah silam.

Watu Lumpang Seleses

 Rabu, 23 Maret 2017. Kali ini berawal dari ketidaksengajaan melihat sebuah postingan dari Tapak…., di Grup Ambarawa tentang watu Lumpang. Segera saya kumpulkan beberapa informasi keberadaan watu lumpang tersebut dari komentar dari postingan tersebut. (Kalimat ini atas perkenan ijin dari beliau mas Tapak Sakti: masih menunggu permitted). Kenapa saya sangat ingin langsung menelusuri lokasi? Jawabanya, Karena beberapakali saya menelusur sumber Air Seleses ini hasilnya nihil. Dibeberapa naskah sebelumnya pernah saya tulis, dan yang paling mencolok adalah telah hilangnya Golek Kencono : diduga Arca dewa Siwa dari kawasan di mata air seleses ini.
Ketika saya mendapati informasi keberadaan ‘teman’ lain yang mungkin saja berkaitan dengan keberadaan golek kencono tadi maka saya tak menunda waktu. Di area ini, tak terlalu jauh ada beberapa tinggalan seperti struktur bangunan suci (=candi), juga yoni menjadi bukti nyata, sebuah peradaban yang luhur masa itu yang bersemayam disini.
Dan kebetulan saat saya berkomentar di status tersebut, ada rekan merespon “sang absurb” Mbah Eka, = status e belum jelas tapi dedikasi atas pekerjaane saya akui joss gandhoss..--- end. Singkat cerita kami janjian di Perpusda Kab. Smg (alun2 lama Ungaran) –tempat kerja saya---. Start  jam 3 sore, walaupun langit gelap berarak, namun tak menyurutkan semangat kami. Melalui jalur belakang, setelah melewati dusun demi dusun sampailah kami di depan sebuah pabrik (Tahu mungkin), di bawah sumber mata air Seleses (Yang entah mulai tahun berapa sudah diambil PDAM, dan hanya menyisakan beberapa puluh debit air untuk pertanian). 
Berbekal Informasi, “Didekat PDAM, dibelakang POS Satpam.” Dari gambar yang diposting juga menambah pelengkap petunjuk bagi kami. 
Di pinggir kali, dibawah pohon kresen kami turun....
Berada di sungai yang jernih. Dan beberapa detik kemudian setelah kami meminta ijin security, kemudian kami telusuri tepian sungai di samping kanan Pos satpam.
Dan Ketemulah, 
Watu Lumpang Seleses
Berada di lereng sungai, diantara bebatuan alam dan ditutupi rumput liar, maklumlah banyak orang yang tak mengetahuinya…. Hehehe security yang kami minta ijin saja malah tanya, “Apa iya ada mas?”, hehehehe. (seperti yang Mbah Eka ceritakan ulang kepada saya.). Untung Mbah Eka bawa pisau lipatnya, setelah saya bersihkan secukupnya mulailah kami mencoba secara detail mendokumentasikan gambar Watu Lumpang Seleses.
Watu Lumpang Seleses
Beruntungnya, tas ransel saya ada meteran, untuk mengetahui dimensi lumpang ini, bejo double… kamera Nikon bernomor seri kantor masih di Tas Ransel, karena sebelumnya mendokumentasikan kegiatan di Perpus Ambarawa. Keberuntungan saya berlipat-lipat dengan satu titik cerah di seleses ini.
Watu Lumpang Seleses
Bentuk Lumpang tak bulat sepenuhnya, melihat dari cirri fisik lumpang nampaknya beberapa mengalami kerusakan sehingga membentuk sudut bukan bulat sepenuhnya. Dugaan saya terbentur batuan yang hanyut karena banjir. Perdebatan lumayan seperti debat pilkada terjadi antara saya dan mbah eka insitu atau Lumpang ini hanyut terbawa aliran = posisi asli diatas, dibukit yang sama dimana golek kencono’ berada.

Watu Lumpang Seleses

Setelah kami nongkrong agak lama disertai berbagai pandangan dan ilmu kira-kira, kesimpulan sementara dari berbagai asumsi, berbagai argumen lumpang ini insitu, alias dari dulu dilokasi ini.. 
Tapi pasti berkaitan dengan beberapa peninggalan di area Seleses ini. 
Watu Lumpang Seleses
---sekali lagi kami mohon kiranya dimaklumi, pengetahuan kami hanya tak sedalam laut atlantik (rodo lebay)--- mohon pencerahanya para ahli.
Adapun berbagai dugaan fungsi lumpang pada masa lalu, tak akan saya bahas disini, para ahli pasti lebih tahu… hehehehe.
Batu-batu yang berlimpah disungai ini, dan Lumpang diantaranya, 
Rasa penasaran yang rasanya ingin keluar dari angan-angan, kemudian kami mencoba menyusuri hulu sungai, karena kami yakin tak hanya watu lumpang ini saja. Untuk kali ini kami tak menemui hasil, namun keyakinan kami suatu saat akan berjodoh. Tapi keanehan yang kami lihat, hulu sungai ini tak ada aliran air… maaf kami terlupa mendokumentasikan hulu sungai dimana berada di area mata Air Seleses yang suasanya sungguh ‘berbeda” dengan puluhan pohon besar dan tua-nya… Artinya ; walaupun air sudah disedot habis PDAM, pohon-pohon besar ini tetap menjaga aliran air untuk pertanian warga. Yang Kuasa memang adil… Semoga manusia tetap adil untuk merawat pohon pohon ini.  
Di Gerbang batu Seleses, berlatar belakang Mata Air Seleses.
 Karena waktu durasi masih longgar, kami mencoba melanjutkan ke satu daerah bernama Si Petir-Sikreo, dimana ada beberapa Arca yang terpendam di lumpur sawah. ---Tunggu saja naskahnya--- Karena masih terpendam dan padi nya belum panen.
Berduet Blusukan, Mencoba merekontruksi jejak masa tersilam. 



















Salam Peradaban !

Jumat, 17 Maret 2017

Jejak Peradaban : Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen #Part 1

 Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
          Jumat,  17 maret 2017. Sebenarnya baru dua hari yang lalu saya ‘blusukan’, menelusuri jejak peradaban di Ngobo Wringinputih Bergas. Namun beberapa informasi baru tentang batu purbakala membuat saya menyusun strategi. Jumat ini kebetulan saya juga ada bazaar buku yang harus saya dokumentasikan di Perpus Ambarawa. Mencari target guide, siasat saya untuk mencari rekan agar di terke. Setelah yakin, sasaran tembak saya adalah di manusia mantan andeng-andeng yang dengan anehnya selalu menemukan yang menurut keyakinan saya karena andeng-andengnya itu, seperti antena pencari, pendeteksi.  Namun sayangnya, Si target ini malah menghilangkan alat pencarinya itu (=andeng andeng). Foto yang menjadikan oknum ini target guide saya
                Setelah mendokumentasikan kegiatan di perpustakaan Ambarawa, Saya antarkan terlebih dahulu 2 Eka yang saya jadikan target saya ini ke Situs Lumpang kaliputih dan Umpak Kalipawon. Kemudian kami langsung menuju Ngrawan Lor, Karena Suara panggilan Ibadah Salat Jumat sudah berkumandang, kami langsung mencari masjid. Kali ini Masjid Istijab di Perum Mustika Jati Bawen. Namun karena jam ditangan belum waktunya adzan, setelah parker di belakang masjid. Dan dengan tatapan jamaah yang sudah didalam masjid, 2 Eka nengok Mbah Nandi, dimana lokasinya 100m dari masjid ini. Saya tunggu beberapa waktu, saya kemudian nyusul, saat ketemu, hanya dengan bahasa mata kami bertiga (namun bukan pandangan seperti seorang kekasih lo ya)… kami langsung sepakat sambil nunggu adzan. Kami berjalan kaki menuju Lumpang Ngrawan. Tak sampai 2 menit dari masjid, posisi Lumpang ada dibelakang warung kelontong arah jalan tembus Bawen-Gembol.
 Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
                Watu Lumpang berada di depan rumah Mbah Taslan (no rumah 55, RT 03/RW 05.saya melihat di papan penanda rumah beliau). Beruntungnya, beliau ada dirumah dan ramahnya Kakek yang berusia lebih dari 80 tahun ini menerima kami dengan tangan terbuka, mempersilahkan untuk mengabadikan Watu Lumpang yang berada didepan rumah beliau.
 Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
       Kulo lair tahun 35, watu niku mpun wonten teng mriku awit jamanipun mbah buyut kulo”, cerita mbah Taslan dalam bahasa jawa. ---saya sengaja tak mentranslate.
    “Dhek mbiyen, kene ki rowo, ning sebelah kono kae, ono sumber air sing gede banget, sebelahe ono watu lumpang sing luwih gede seko ini. Trus karo mbah kyai diwalik nggo mbumpeti sumber mau. Makane saiki iso dadi omah omah sing ramene koyo saiki”, tambah Mbah Taslan sambil menunjuk arah. 
   Dan watu lumpang yang dibalik itu, Mbah Taslan masih yakin ada diposisi semula namun sekarang ada diruang tamu anak keturunan mbah Kyai yang dulu membalik Lumpang tersebut. (Sebuah cerita menarik yang patut ditelusuri).
 Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
                Kondisi Watu Lumpang masih lumayan (terawat) namun ada beberapa bagian yang rusak. Beberapa sumber memberikan deskripsi fungsi Watu Lumpang, Ada yang dibuat sebagai penanda tanak sima (perdikan) dengan ciri khas spesifik dan spesial, misal ada tulisan/ inskripsinya. 
 Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
     Ada pula sumber lain yang menjelaskan tentang fungsi lumpang untuk menumbuk sajen yang digunakan untuk ritual penyembahan para dewa saat masa tanam/panem. Juga ada yang berfungsi hanya untuk menumbuk padi.
                Saat ngobol panjang lebar, Adzan Masjid Istijab sudah memanggil kami untuk Salah Jumat, kami berpamitan dan mengucapkan terimakasih atas sambutan dan tentu saja apresiasi tinggi kepada Mbah Taslan yang masih mempertahankan Watu Lumpang Ini.
Ngobrol dengan Mbah Taslan :  Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen
Semoga tak hanya kami yang mencoba membangkitkan kembali peradaban lama yang dikaji dan dipelajari untuk pengalaman dimasa yang akan datang.

Salam Peradaban!
  
 Penelusuran berlanjut ke Lumpang Ngrawan Part 2.



Jejak Peradaban : Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen #Part 2.

Watu Lumpang Ngrawan Lor #2

Jumat,  17 maret 2017, cerita lanjutan penelusuran setelah Watu Lumpang di rumah warga, kakek Taslan. Link cerita sebelumnya : Jejak Peradaban: Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen #Part 1. Dari masjid Al Istijab Perum Mustika Jati Bawen, Kami keluar menuju gang arah ke kanan (2 kali ambil kanan). Menyusuri jalan kampung sampai, di sepanjang jalan ini ada salah satu rumah yang konon dulu saat ramai ‘toto gelap’ pernah ada Yoni di samping rumahnya. Namun karena banyak aktivitas tengah malam, pemilik rumah kemudian merasa terganggu dan akhirnya di di hancurkan menjadi kerikil. Apaboleh buat, nasih sudah menjadi bubur, tak mungkin bubur menjadi nasi lagi kan? Kemudian tepat dibelakang Pos Kamling ada juga hasil mengumpulkan (saya menduga seperti ditulisan saya beberapa tahun lalu) struktur bangunan suci yang konon dulu berasal dari area ditengah Perum Mustika Jati : link tulisan : Situs Ngrawan Lor + Poskamling.
Saya dan Eka Budiyono sudah pernah mampir di situs tersebut (dengan waktu dan rekan berbeda), jadi kami biarkan Mbah Eka WP untuk menengok sendiri, sedangkan kami tetap melanjutkan penelusuran ulang (Watu Lumpang Makam Lingkungan Ngrawan Lor). 
Berada di pinggir area makam sebelah kiri gerbang masuk, tepat dibawah pohon durian Lumpang ini berada.

Kondisi lumpang sudah tak utuh lagi, tak lagi bulat, namun oval. Sayangnya bukan asli original oval namun terlihat ada usaha perusakan… entah dimasa apa.
Keberadaan beberapa sebaran situs di sekitar area Ngrawan Lor menjadikan kami menduga peradaban masa lalu pernah bertahta di sini. Teringat pula cerita dari rekan dulu ada watu gentong kuno berjumlah 4 buah yang dicuri orang di Ngrawan Lor ini (dari cerita warga). Beberapa kepingan sejarah yang tersisa itu bisa menjadi bukti awal keberadaan bangunan ritual suci yang memakai tirta-amerta, air suci dalam prosesi ritualnya.
Apalagi menurut cerita yang kami dapat sebelumnya dari Mbah Taslan (Part 1) bahwa dulu sekali “Pada suatu masa itu” sebelum nama Ngrawan dikenal. Daerah ini pernah ada satu lokasi yang bernama jembangan. Sebuah ceruk sumber air yang deras dan tak henti-hentinya menyemburkan air. 
Watu Lumpang Ngrawan Lor Bawen #Part 2.
 Lambat laun jembangan yang awalnya hanya ceruk air yang dikelilingai pemukiman (bisa jadi bagian vassal kerajaan kecil) dimana setiap pemukiman (=peradaban) pasti ada bukti eksistensi hubungan manusia dan penciptanya, kemudian berganti masa lama-kelaman pemukiman berkembang dan segera setelah berganti generasi kemudian orang menjadi lebih suka menyebut dengan Ngrawan (berasal dari kata rowo=rawa. Sumber : obrolan dengan mbah Taslan, 17/3-2017).
Tak jauh dari watu lumpang ini, sekitar 50m arah ke timur banyak batu (struktur) candi berbentuk Kotak yang sebagian masih berada dilokasi awal, yang sebagian lagi tersebag dibeberapa titik. Yang paling ketara adalah berfungsi menjadi ‘patokan’  makam yang nampaknya keramat. Auranya berbeda dari makam yang lain. Pikiran kami berimajinasi liar, membayangkan batu candi kotak ini bagian struktur sebuah bangunan suci yang dulu konon berdiri disini. Dan jejaknya masih terlihat. Mungkin saja banyak masih terpendam didalam , jika iya. Semoga tetap aman dan biarlan begitu adanya.
Foto bersama oleh Eka Budiyono.... Si Mantan Andheng-Andheng ijo lumuten :


Saat kami kesini, ada kakek yang tertarik dengan aktifitas kami, Mbah Kaslan (aneh, unik namanya mirip dengan Lumpang Ngrawan Lor Bawen : Part 1: Mbah Taslan). Singkat cerita beliau sangat penasaran dengan laku kami, dimana tak biasanya ke makam, anak (masih) muda mencabuti rumput disekitar Lumpang, kemudian ziarah pula ke makam kuno. 
Tak ada yang berani maupun peduli katanya dalam bahasa jawa”. Kami sebisanya menjelaskan kami ini siapa. Intinya Pecinta Situs dan Watu Candi.
Setelah kami jelaskan, beliau dengan berbinar menceritakan perihal makam kuno ini. “Ini yang bubak yoso, sesepuh desa ini. Kyai Trembuku dan Nyai Cangki  di sekelilingnya makam para abdinya”, jelas Mbah Kaslan. Kami tak dapat agi cerita di zaman apa Kyai Trembuku dan Nyai Cangki ini hidup.
Tapi apresiasi dan menjelaskan perihal makam walau singkat namun kami sudah cukup. 
Semoga ada yang meneruskan penelusuran kami tentang Ngrawan Lor ini…. Apa kabar warga lokal? Sudah lah cukup selama ini abai… mari ketahui dan lestarikan…
Wis tuo dijak selfinan, jian tenan….. :
Di Makam Ngrawan Lor : Makam Kyai Trembuku

Saat perjalanan pulang, niat kami ingin silaturahmi sekaligus kuliner Mie Ayam bakso Pak Keman... Namun kami tak beruntung.... TUTUP... Ke Mana Pak Nanang Klisdiarto? padahal mie ayam kami sudah impikan sejak tadi malam.
Akhirnya kuliner di dekat si andheng2....
MIE AYAM gedanganak... 






Salam Peradaban!

Selasa, 14 Maret 2017

Merekontruksi jejak peradaban di Ngobo Desa Wringinputih, Bergas.

Watu Lesung Ngobo, Bergas
 Rabu, 15 Maret 2017.
Cerita perjalanan ini dimulai dari sebuah ketidakberuntungan, Si andeng-andeng musnah dari wajah teman saya. (baca musibah). Niatnya sama sekali tak akan blusukan, Kami (saya dan Mbah Eka WP) hanya ingin nengok rekan yang sakit merana kehilangan andeng-andeng (tahi lalat).  Tak tega juga rasanya, mosok orang sakit diajak blusukan. 
Namun yang terjadi diluar dugaan kami, walaupun tertawa saja susah karena tertawa berarti menangis bagi dia, kesakitan sampai berurai air mata (bukan lebay, namun ini terjadi) si oknum malah memaksa kami untuk melihat hasil blusukan beberapa waktu sebelumnya.
Biar senang hatinya, maka kami mengabulkan. Jadilah destinasi kali ini adalah menelusuri jejak peradaban di Dusun Ngobo yang berada di wilayah Desa Wringin Putih Kec. Bergas. Dari Gedanganak, kami lewati Desa Beji kemudian menyusuri perkebunan karet “Kebun PTPN Ngobo”. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Melalui jalan beton di pinggiran dusun, berbatasan langsung dengan perkebunan karet.  Karena Memang Watu Lesung ini berada di pinggiran kebun karet di lereng perbukitan.
Petunjuk yang lebih mudah, situs ini berada di belakang SDN Wringinputih 03, tepatnya 500m gang di sampingnya. Ikuti saja, watu lesung ada di sebelah kirimu. 
SDN Wringinputih 03
Awalnya dapat info dari teman di Grup FB “Ungaran”, saya di japri ada watu lesung di daerahku”, cerita Mas EkaBudiyono kepada Kami. Legenda atau entah mitos yang berkembang dimasyarakat tentang watu lesung ini, “Konon ada mbah wali yang ingin membuat sambel. Tapi karena bawangnya kurang sehingga watu lesung ini ditinggal begitu saja”. Namun Mbah wali yang mana, siapa tak ada warga yang menjawabnya. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
 Saat ngobrol dilokasi ini, Mas Dhany Putra bergabung dan sepengginang kemudian mas Candra yang memberikan informasi datang pula. 
Jadilah kami genap berenam. “Kata mbah buyut ku, watu lesung ini sudah ada sejak mbahnya, dulu ada di tengah jalan ini, kemudian oleh warga dipindah ke posisi yang sekarang”, cerita mas Candra kepada kami.
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Dari bentuknya, saya pribadi ragu untuk fungsinya di masa lalu; dibuat untuk apa? Keyakinan saya pasti ada yang lain, yang terkait. Sedangkan Mas Eka Budiyono menduga, watu lesung ini dulunya digunakan untuk menumbuk padi secara bersama-sama.
 Hipotesis yang tak serta-merta kami amini. Padi atau Oryza sativa dalam bahasa latinnya ini, datang ke nusantara abad ke berapa?, sedangkan kebudayaan yang menciptakan peradaban dengan ciptakan watu lesung abad keberapa pula? pertanyaan-pertanyaaan yang berkicauan dikepala.
Watu Lesung Ngobo, Bergas

Statement dari Eka Budiyono malah menjadikan beberapa dari kami berpikir keras… namun tak menemukan jawaban. Semoga para ahli mencerahkan kami
Selain Watu lesung ini ada watu lumpang juga, ayo kita telusuri”, ajak Mas Chandra. Disisi jalan lain, masi di perkebunan karet. Kali ini kami menyusuri perkebunan di depan SD Wringinputih. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Hampir 4 orang warga yang kami temu menggelengkan kepala saat kami tanyakan keberadaan watu lumpang ini. Walau mereka cukup umur dan asli berdomisili di Ngobo Wringin Putih. 
Semangat sudah level terendah, sampai kemudian harapan kami bangkit lagi setelah Mas Chandra bertanya kepada warga di dusun sebelah. “Di pinggir sawah, tepat di bibir lereng perkebunan karet”, informasi dari warga tersebut. Tanpa berbekal alat sama sekali, kami mencoba menyibak rumput setinggi 1 meter an, dengan perasaan was-was karena pencarian kami lakukan dibibir jurang sedalam 5 m lebih. Membuat pencarian kami tergesa-gesa. Dan Akhirnya setelah cukup lama  kami menyusuri tepian perkebunan. Kami mundur namun bukan menyerah. Hari esok masih terbentang.
Terimakasih kepada Mas Candra, yang berkenan mendampingi kami menelusuri jejak watu lumpang di area yang tak terlalu jauh dan jarang diketahui warga. Walaupun penelusuran hari ini gagal, selain durasi waktu juga kondisi yang sudah agak gelap serta rumput setinggi pinggang membuat kami menunda.
Watu Lesung Ngobo, Bergas

























          Gambar diatas, saking baguse, takut menjadi idola baru Mas Eka Budiyono memakai Masker....
 Sampai ketemu penelusuran ulang


Salam Peradaban!