Rabu, 04 Agustus 2010

KISAH SYEKH SITI JENAR


Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)


     Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokohimajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huruhara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia.
     Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
     Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
     Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh
Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
     Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
   Syekh Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Sang Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Syekh Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah; Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia; Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, samasama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera; Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
   Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru; Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antaralain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian. Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalambukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan
pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan kawannya, ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan tindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.

Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi :

"Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".*

SIDANG PARA WALI

Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah SyehSiti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa ituakan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya.
Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membukailmu rahasia secara tidak semestinya. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.

Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani

. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah. Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita:
Kinanti

Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati,ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yekapangagême raga, suminggah ing sangga runggiMarmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh denandhêmi,iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging
ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.

- dari berbagai sumber

Sabtu, 31 Juli 2010

Serat Panji Asmara Bangun : Jaya Kusuma


Jaya Kusuma
 (09)

Pesuruh Jaya Kusuma datang kepada Miruda, Jaya Kusuma meminta supaya Miruda datang ke rumahnya. Miruda memenuhi permintaan itu.
Di kediaman Jaya Kusuma para wanita sibuk membuat kue dan makanan untuk perjalanan ke Bali, sedangkan pria membersihkan senapan dan senjata.
Lama Jaya Kusuma membiarkan Miruda. Ia marah kepadanya. Istrinya Miruda, Bintaro. Disuruh duduk. Jaya Kusuma tidak menegur Miruda. Sureng-rana menyuruh Miruda duduk. Miruda menangis didepan Jaya kusuma dan bertanya apa kesalahanya, maka Jaya Kusuma marah kepadanya. Jaka Kusuma menjawab mengelak. Katanya ia harus ke Bali dan mengajari Miruda bagaimana harusnya tingkah laku seorang yang mengabdikan diri kepada raja. Terutama orang tidak boleh melanggar aturan mengenai taman kepuntren. Miruda menundukkan kepala.
Jaya Kusuma bertanya dari mana Miruda memperoleh pakaian indah yang dipakainya ketika menghadap raja. Miruda menjawab, “aku memenangkan waktu berjudi”. Karena dijawabnya itu. Jaya Kusuma bertambah marah. Dia terus memajukan pertanyaan-pertanyaan dan Miruda akhirnya mengakui segalanya. Ia dimarahi habis-habisan oleh Jaya Kusuma. Kepada salah seorang Kadejannya, Jaya Kusuma berkata, bahwa Astra Wijaya menjadi korban kejahatan orang lain.
Sureng-rana mengingatkan suaminyasupaya berlaku sabar dalam memarahi seorang saudara. Kalau tidak maka berlaku pepatah  menapik air didulang (jawa: mejek tahi ning batok, biasanya ngublak).
Jaya Kusuma menanyakan apakah tentara sudah sedia untuk berangkat. Didapatnya jawab, sudah sedia. Sementara itu Astra Miruda pulang kerumah bersama istrinya. Dihiburnya hati istrinya, katanya ia tidak bisa hidup tanpa Puteri Urawan.
Saat ini diceritakan tentang Astra Wijaya, raja marah kepadanya, tanda-tanda kehormatan diminta kembali, karena ia disangka sudah memasuki taman kepuntren.
Orang Urawan tidak senang kepadanya, mereka mencoba menjatuhkannya, dan saat ini percobaannya berhasil. Tapi sebenarnya ia juga jatuh kepada sang puteri, tapi cintanya itu tidak dibalas. Di jendela rumahnya ia membaca lagu cinta yang banyak mengandung wangsalan.
Istrinya, seorang puteri dari Tuban, merasa sedih ketika dilihatnya suaminya jatuh cinta kepada puteri. (ulangan apa yang dikatakan tentang istri Miruda). Astra Wijaya menyuruh orang-orangnya menabuh musik gamelan  di luar. Ia tinggal didalam dengan istrinya.
Saat ini diceritakan lagi tentang Miruda. Istrinya tidak melepasnya, sedangkan malam itu ia sudah membuat perjanjian dengan sang puteri. Dicobanya menidurkan istrinya dan akhirnya ia berhasil. Kepada seorang emban dikatankanya jika istrinya terbangun dan menanyakan, hendaklah ia menjawab, bahwa ia pergi memancing. Sang emban berjanji akan menjawab demikian.
Panas membukakan pintu belakang baginya. Miruda berangkat dengan Paras dan Paron. Puteri Urawan, Retna Kumuda duduk dikelilingi oleh dayang-dayangnya menunggu kedatangan emban yang diutus kepada Miruda. Emban itu kembali, sang puteri menyuruhnya duduk disampingnya.
Sang emban mengatakan kepada tuannya bahwa ia menemukan Miruda di tempat kediamannya, seang duduk disampig istrinya. Sang putrid terkejut, karena Miruda mengatakan kepadanya, bahwa ia belum beristri. Selanjutnya emban itu mengatakan, bahwa Miruda akan datang mala mini. Sementara itu tiba ulamawati keramat Kili-suci kepadanya, diutus oleh sang raja, untuk mengatakan kepadanya, bahwa ia akan diberikan kepada Jaya Kusuma, apabila yang tersebut kemudian ini sudah menaklukkan Bali. Tapi ia menolak, ia menginginkan supaya Jaya Kusuma menjadi saudaranya, selanjutnya ulamawati itu mengajarinya bagaimana membuat sembah, apa-apa kewajiban seorang wanita. Jauh malam sang puteri masuk ke tempat tidur bersama Kili-suci.
Sementara itu Miruda masuk dan bertanyakepada seorang dayang, dimanakah sagn puteri. Sang Puteri dibangunkan, tapi Kili-cuci tidur diatas sepotong bajunya. Baju itu ditarik pelan-pelan dan sang puteri keluar menemui miruda.
Pada waktu itu juga Astra Wijaya sudah berada di dalam keraton, dilihatnya sang Putri sendang bertemu dengan Miruda.
Kili-suci terbangun ia meraba-raba mencari sang puteri, tetapi tidak ketemu. Tahulah ia bahwa, ada seorang pencuri. Ia pergi keluar ke tempat yang gampang (menurut perhitungan pencuri) bagi pencuri tempat itu ialah barat. Dalam cahaya kilat dilihatnya pencuri itu dibawah pohon. Dilemparkannya sebuah parang kepadanya tapi luput. Hiruk pikuk.
Penjaga-penjaga terkejut. Semua jalan keluar dijaga. Obor dipasang, Astra Wijaya dikepung, karena tidak melihat jalan keluar, ia terjun kedalam kolam dan melalui pipa air merangkak keluar. Orang-orang yang mengejar saling pukul-memukul, yang satu menyangka yang lain pencuri. Sang raja keluar membawa tombak. Kili berbicara dengan penuh gerak gerik, katanya ia melihat Astra Wijaya masuk ke dalam keraton. Tingkah lakunya laksana tersebut dalam saloka : gangsa diberi makan, anjing diperlakukan dengan baik, monyet dijadikan sahabat. Kalau dilepaskan pasti gangsa itu makan rumput teki, anjing itu makan kotoran dan monyet itu apa saja yang ditemukan, yang bisa dimakan. Demikian pula Astra Wijaya. Sang raja sangat marah dan hendak Membunuhnya kalau dapat menangkapnya.


 Tamat
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya

Rabu, 16 Juni 2010

RINGKASAN MODUL : BAHAN RUJUKAN


DEFINISI BAHAN RUJUKAN
BAHAN RUJUKAN : Koleksi bahan pustaka yang memuat informasi mengenai hal tertentu.
Menurut :
Sri Marnodi : Sumber-sumber dasar yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rujukan.
American Library Association Glossary of Library Terms :
(1)    Sebuah buku yang disusun dan diolah sedemikian rupa untuk digunakan sebagai sumber menemukan informasi tertentu dan tidak untuk dibaca secara keseluruhan
(2)   Sebuah buku yang penggunaannya terbatas dalam gedung perpustakaan
Harrod’s Librarian Glossary :
(1)   Buku-buku seperti kamus, ensiklopedi, kamus ilmu bumi, buku tahunan, buku petunjuk, bibliografi, dan abstrak. Kesemuanya disusun guna memberikan informasi tertentu dan lebih dimaksudkan sebagai sekedar sumber acuan ketimbang untuk dibaca secara keseluruhan.
(2)   Buku yang disimpan untuk dijadikan sumber informasi yang tidak diperkenenkan digunakan di luar gedung perpustakaan.
Jadi bahan rujukan sangat bermanfaat sebagai acuan dalam memberi  jawaban terhadap pertanyaan yang dihadapi.
Menurut Irawati Singarimbun, bahan rujukan dikelompokkan menjadi 2 jenis :
1.      Bahan rujukan yang memberikan informasi langsung contoh : kamus, ensiklopedi, direktori, almanac, sumber biografi, peta, buku statistic.
2.      Bahan rujukan yang memberikan petunjuk kepada suatu sumber informasi contoh :Katalog, bibliografi, indeks, abstrak.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa KOLEKSI RUJUKAN adalah koleksi bahan pustaka atau contoh-contoh bahan, baik yang dimiliki oleh perpustakaan maupun yang berada diluar perpustakaan, dan digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tertentu.
MANFAAT KOLEKSI RUJUKAN UMUM
  1. Memberikan keterangan atau penjelasan langsung dan mendasar tentang sesuatu hal yang ingin diketahui.
  2. Perbendaharaan kata menjadi bertambah, tidak hanya tentang kata atau istilah, tetapi mengerti dasarnya, asal kata, penggunaan, pengucapan, sejarah, padanan kata, lawan kata dll.
  3. Dapat mengetahui seluk beluk serta keadaan suatu negara atau tempat-tempat lain didunia.
  4. Dapat mengetahui daftar riwayat hidup tokoh-tokoh terkemuka dan terkenal didunia maupun nasional termasuk karya  penghargaan, pengalaman, dan kiat mengarungi hidup mereka.
  5. Ketrampilan memanfaatkan bahan rujukan meningkat
  6. Untuk menunjang penelitian yang sedang dilaksanakan, misal memanfaatkan data dari statistic, peta dan lain-lain
  7. Lokasi daerah terpencil atau pulau yang tidak terkenal dapat dengan mudah diketahui.
  8. Bagi pustakawan, sarana bahan rujukan merupakan yang penting untuk membantu pemustaka dalam mencari informasi yang dibutuhkan.
Hal yang perlu diperhatikan ketika hendak menggunakan bahan rujukan adalah:
-          Cakupan atau ruang lingkup isi dokumen
-          Cara penyusunan
-          Kemutakhiran informasi
-          Membaca petunjuk cara menggunakan bahan rujukan tersebut jika ada petunjuknya
-          Memiliki pengetahuan tentang ciri-ciri bahan rujukan sehingga dengan mudah dapat mengenali bahan – bahan rujukan tersebut.
JENIS-JENIS BAHAN RUJUKAN
Bahan rujukan umumnya dikelompokkan menjadi :
  1. Bahan rujukan yang memuat informasi mengenai istilah
  2. Bahan rujukan yang memuat informasi mengenai sumber kepustakaan (literature)
  3. Jenis bahan rujukan lainnya (buku petunjuk/buku pegangan, sumber biografi, sumber geografi, direktori, statistic, buku tahunan, terbitan pemerintah dan badan-badan internasional)


KATALOG
                Daftar baik berbentuk kartu, lembaran, buku atau bentuk lain yang memuat informasi mengenai bahan pustaka atau kepustakaan yang terdapat pada suatu tempat, yakni perpustakaan atau lembaga informasi.
Katalog berasal dari bahasa latin “Catalogus” yang artinya daftar. Daftar yang dipersiapkan untuk tujuan tertentu seperti katalog pameran, katalog perdagangan dan lain-lain.
Kartu Katalog : Daftar koleksi yang dituliskan pada kertas berukuran 7,5 x 12,5 cm.
Katalog perpustakaan berarti daftar koleksi milik perpustakaan yang disusun secara sistematis.
            Dengan katalog tersebut akan memudahkan pemakai / pemustaka untuk mengenali dan mencari atau menelusur koleksi yang dimiliki suatu perpustakaan.
            Menurut Charles Amy Cutter seorang pustakawan, tahun 1876, menyatakan
TUJUAN KATALOG
  1. Memungkinkan seseorang menemukan sebuah buku berdasarkan :
a.       Pengarangnya
b.      Judulnya
c.       Subjeknya
  1. Menunjukkan buku yang dimiliki:
a.       Oleh pengarang tertentu
b.      Berdasarkan subjek tertentu
c.       Dalam jenis bahan tertentu
  1. Membantu dalam pemilihan buku:
a.       Berdasarkan edisinya
b.      Berdasarkan karakternya
MANFAAT KATALOG
  1. Sebagai sarana untuk mengetahui buku-buku apa saja yang ada di perpustakaan:
  2. Untuk mengetahui buku-buku apa yang ada di perpustakaan lain (dari catalog perpustakaan lain)
  3. Untuk mengetahui buku-buku apa yang beredar di pasaran (dari catalog penerbit)
  4. Untuk mengetahui buku-buku apa saja yang ada dan diterbitkan disuatu Negara (catalog nasional)
  5. Sebagai sarana pemilihan koleksi untuk perpustakaan
  6. Sebagai sarana promosi buku bagi toko buku/penerbit
BENTUK KATALOG
Pada dasarnya catalog memiliki bentuk bermacam-macam : berbentuk kartu, lembaran kertas, buku, mikrofis dll.
  1. KATALOG KARTU
            Katalog bentuk kartu merupakan catalog yang paling banyak digunakan di perpustakaan karena memiliki kelebihan :
  1. Mudah dibuat
  2. Bahannya mudah didapat,
  3. Mudah menambahkan yang baru atau mengurangi catalog apabila tidak terpakai.
  4. Lebih tahan lama

Pola pengetikan kartu catalog dan bagian-bagiannya                                                   
Call
Number               Tajuk Pengarang
                                    Judul = judul setara : anak judul / pengarang pertama ; pengarang 2.--Ed.-- nama kota penerbit, nama penerbit, tahun terbit
                                    Halaman romawi, hal arab; ilustrasi; tinggi buku, (Seri)
                                    Catatan
                                    ISBN
                                I. Judul                                  II. Pengarang 1                                  III. Pengarang 2                               1. Subyek
                                                                                    
                               
 
                                                                                                                   12,5 cm




               7,5cm





Menurut SUSUNAN ENTRI/JAJARAN , kartu catalog disusun menjadi 3 jenis yaitu :
  1. KATALOG BERKELAS (CLASSIFIED CATALOGUE)
Katalog ini cara menyusunnya ada 3 cara yaitu :
1.      Sesuai klasifikasi
2.      Menurut Pengarang dan Judul
3.      Menurut Indeks subjek
  1. KATALOG TERBAGI (DEVIDED CATALOGUE), Disusun menurut abjad:
1.      Subjek
2.      Pengarang
3.       Judul
  1. KATALOG LEKSIKAL (DICTIONARY CATALOGUE), Cara menyusunnya semua Judul, Pengarang dan Subjek disusun jadi satu menurut abjad.

SUSUNAN KATALOG
1.     

658
Koo        KOONTZ, Harold
  p                           Principles of management : an analysis of
                managerial functions / Harold Koontz ; Cyrill O’Donnell
                .--3rd ed.--New York, McGraw Hill, 1964
                                xiii, 637p.; ill., ind., 23cm
                               
                                ISBN : 979-413-439-0
               

                                                                  
                                                    
 
Katalog Pengarang, disusun menurut urutan pengarang secara alfabetis








2.      Katalog Judul, disusun menurut urutan judul secara alfabetis



658                         Principles of management …
Koo        Koontz, Harold
   p                          Principles of management : an analysis of
                managerial functions / Harold Koontz ; Cyrill O’Donnell
                .--3rd ed.--New York, McGraw Hill, 1964
                                xiii, 637p.; ill., ind., 23cm
                               
                                ISBN : 979-413-439-0