Layaknya Bali Kecil….
candi Ceto |
Tidak begitu jauh dari Candi Sukuh, terdapat pula candi yang tidak kalah menawan. Candi Ceto namanya. Jalurnya setelah saya keluar Dari Candi Sukuh, ambil kanan, kira kira 5km. tepat di sekitar terminal wisata Ngargoyoso saya berhenti sejenak untuk istirahat, sambil mengisi perut yang lapar. Lumayan murah, tidak banyak menguras logistic saya, dengan menu ayam bakar + Es Jeruk hanya Rp. 13.000,- cukup enak juga, sayang tidak ada nama rumah makan tersebut, tetapi saya menyarankan para backpacker/touringer/traveler/penjelajah atau siapapun karena selain enak mbak penjualnya ramah, hmmmm cantik lagi….kalau tidak percaya buktikan saja, Heheheheh…sstttt! Gak berani moto, takut salah…. Wkwkwkwk. Ku beri Penandanya saja, Dari Rumah makan itu, sudah terlihat penunjuk arah ke Candi Ceto.
Sudah jelas kan, Kemudian setelah selesai membayar, ku lanjut untuk segera ke Candi Cetho, tapi sebelumnya ku sempatkan bertanya dulu sama penjualnya kira-kira berapa km lagi…… jawabnya sambil senyum lho…heheheh. ada pertigaan (pos ojek simpanglima) sahabat ambil kanan, kalau kekiri arah ke Mojogedang. Di sepanjang jalan ini di kanan-kiri kita di temani pemandangan menghijau kebun teh. Mengingatkan saya saat perjalanan ke Candi Dieng (teh Tambi), kemudian berganti ladang khas tnaman pegunungan.. dengan pemandangan yang menakjubkan. JAGAD PRAMUDHITA!
Dari kebun teh ini, ini sudah ada petunjuk, yang memudahkan kita, jadi tidak perlu kawatir, walau seperti saya ini yang selalu ‘sendiri’ mencari ketenangan di candi…. Saya jamin sahabat tidak akan tersesat.
Sama seperti Candi Sukuh, setelah membayar Tiket masuk Rp. 3000,- (tapi kok saya ga diberi karcis? Padahal mow saya buat kenang2 an?) + parkir Rp. 2.000,-(dibayar belakangan). Saya mulai memakai EOSD1000 menelanjangi Cetho…. Hehehehe (kata-kata saya terpengaruh Sukuh nic…sedikit personifikasi-mohon dimaklumi.)
Terletak di lereng sebelah barat Gunung Lawu dengan ketinggian 1.400m dpl. Kompleks Candi Cetha (Ceto) ini berada di Dukuh Ceto, Desa Gumeng Kecamatan Jemawi Kabupaten Karanganyar. Adapun letak candi pada koordinat 111009’ BT dan 070’3548”LS. Keberadaan Candi Ceto pertamakali di laporkan oleh Van der Vlis pada tahun 1842. Karena Candi Ceto ini banyak memiliki keunikan dan sangat kuno, sehingga banyak ahli purbakala yang tertarik meneliti, seperti W.F. Stutterheim, K.C. Crucq, N.J. Krom, A.J. Bernet Kempes, Riboet Darmosoetopo dkk,dll. Pada tahun 1928 dinas purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekontruksi yang lebih lengkap.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Vand Der Vlis maupun A.J. Bernet Kemper, Kompleks Candi ini memiliki 14 Teras, akan tetapi kenyataanya saat ini hanya tinggal 13 teras berundak. Susunannya dari barat ke timur, makin kebelakang semakin tinggi. Di tempat tertinggi itu pulalah tempat yang paling suci.masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sebah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua.
Arsitektur Candi Ceto mempunyai persamaan dengan Candi Sukuh, yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada artefak jaman prasejarah yaitu Punden Berundak. Bentuk dan susunan candi semacam ini sangatlah khas dan spesifik, tidak ditemukan pada komplek candi lain khususnya di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.
Di Candi Ceto ini banyak ditemukan arca-arca masa prasejarah misalnya arca digambarkan dalam bentuk yang sederhana. Kedua tangan diletakkan pada perut/ dada. Sikap semacam ini menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada, Sulawesi Tengah.
sudhamala |
Adapula relief Çuddhamala seperti di Candi Sukuh,
dan relief-relief binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam.
belut |
kodok |
ikan |
kura-kura |
ketam |
kadal |
surya majapahit |
Mengenai masa pendirian Candi Ceto, dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka tahun 1373 Saka atau 1451 M. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figure binatang maupun relief dan arca yang ada, Candi Ceto diperkirakan berasal dari abad 15 M dimana masa tersebut adalah masa majapahit akhir. Saya juga mengamini sumber informasi tersebut, karena ada relief yang sama persis dengan lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit.
Bangunan utama candi berada di halaman teras paling atas/ belakang. Bentuk yang Nampak sekarang merupakan hasil pemugaran pada akhir tahun 1970, yang konon banyak kontroversi dalam pemugaran itu, karena kurang memperhatikan konsep arkeologi, termasuk penambahan pendapa dari kayu.
Sesaat setelah saya membeli tiket masuk, hawa Bali terasa, mulai dari dialog masyarakat yang terdengar, pakaian adat, semerbak kemenyan dan dupa mampir di hidung saya ditambah bangunan yang mirip pura…. Dugaan saya tidak salah, ternyata masyarakat daerah Ceto konon dari cerita pendahulu (saya bertanya pada tukang parkir) masih satu lerabat/ satu leluhur dengan masyarakat Bali yaitu pelarian pendukung majapahit. Mendengar itu saya langsung bersemangat ’45 untuk segera masuk ke kawasan Candi ini.
Kalau saya menerka-nerka, Atau mungkinkah Raja Majapahit Brawijaya V moksa disini ya setelah kalah berperang dengan anaknya Raden Patah?...hmmmm…. soalnya dibuku terakhir yang saya baca…. Raja Brawijaya V mengasingkan dan menyepi menggapai kesempurnaan di G. Lawu….
Saat saya di Candi ini, memang banyak orang Bali yang mengunjungi sanak kerabat sambil berziarah dan beribadah di Candi Ceto. Barusan saja juga diselenggarakan upacara melasti di Candi ini (mohon maaf bila salah)
Keramahan masyarakat Cetho langsung terasa, tak kenal dengan sayapun mereka menyapa dengan senyuman, langsung nyaman hati saya di sini.
Yang membuat saya terenyuh tapi bangga… anak itu berbuat sesuatu yang diluar dugaan saya, dia membersihkan sampah pengunjung, anak ini bukan pemulung ataupun petugas kebersihan tapi anak ini merawat Candi Ceto agar cucu nya kelak masih menikmati dengan nyaman di Ceto ini. Saat saya Tanya, kenapa ngambilin sampah, apa ada yang nyuruh?... jawabnya…tidak, dia sedih saat kawasan ini kotor….. hmmm… anak kecil aja sadar, Kitaa!!!!?? Tolong jawab dengan tindakan.
Pada Gapura pertama, siap-siap saja melahap undakan, ada 35 undakan. Kemudian kita akan disambut sepasang arca. Tidak lupa pula saya mengabadikan diri saya melalui gambar disamping itu…. Ini bukti nyata saya sudah pernah kesini, dan sangat menikmati Candi Ceto ini.
Disetiap undakan teras, di pintu masuk gapura ada arca
Ada juga relief yang tersusun ditanah berbentuk kura bersayap.
Saat menuju Bangunan candi utama Ceto ini, saya agak sedikit ragu, karena banyak orang yang akan beribadah di situ….
Karena mungkin tahu saya maju-mundur, bimbang takut mengganggu, seseorang dari rombongan itu mempersilahkan saya sambil tersenyum, mari mas tidak-apa…. Dan hampir semua orang disitu tersenyum sama saya, sebuah kejutan bagi saya, di Indonesia yang sudah jarang orang ‘Tepo Sliro”, namun di komunitas ini gampang ditemui”… saya senang sekaligus menerawang, seandainya budaya Indonesia masih seperti ini, niscaya kedamaian lah yang dirasa oleh masyarakat kita.
Belum habis ketekejutan saya, saya kembali dibuat terperangah, di Bangunan utama Candi Ceto/ yang paling atas sendiri ada beberapa pendapa dan rumah kotak kayu yang unik, setelah saya Tanya-tanya pada orang-orang yang bersembahyang tadi, itu bentuk rumah pada zaman majapahit dulu….. aha aha….. benarkah?, betapa girang saya mengetahui hal tersebut. Berangan-angan ingin punya rumah seperti ini….
Karena saya PECINTA MAJAPAHIT! 100%…. Tapi rumah-rumah ini digembok, jadi tidak bisa mengetahui bentuk dalamnya, Atap rumah pada jaman dulu diberi tanda sesuai dengan status/jabatan sipemilik.
Selain rumah juga ada beberapa pendopo, Di pendopo tersebut juga ditempatkan arca-arca yang masih digunakan untuk bersembahyang bagi umat hindu terutama warga Ceto.
arca lingga |
Bagian utama candi Ceto,
Candi Ceto |
samping kanan |
belakang |
samping kiri |
Di sisi sebelah kiri Bangunan Utama Candi Ceto ada yang mulai rusak,
Cetok mulai rusak |
Kalau tidak segera mendapatkan perhatian segera pasti tambah parah….., oh ya di situ disediakan buku tamu dan kotak Dana Punia, kalau punya rezeki berlebih ngisi juga ya… siapa lagi yang harus memperhatikan warisan leluhur ini jika bukan kita sendiri?
Sampai jumpa lagi di perjalanan memburu kemegahan candi berikutnya…..
Perjalanan kembali lagi ke rumah, home sweet home….