Selasa, 02 Agustus 2011

Candi Ceto

Layaknya Bali Kecil….
candi Ceto
     Tidak begitu jauh dari Candi Sukuh, terdapat pula candi yang tidak kalah menawan. Candi Ceto namanya. Jalurnya setelah saya keluar Dari Candi Sukuh, ambil kanan, kira kira 5km. tepat di sekitar terminal wisata Ngargoyoso saya berhenti sejenak untuk istirahat, sambil mengisi perut yang lapar. Lumayan murah, tidak banyak menguras logistic saya, dengan menu ayam bakar + Es Jeruk hanya Rp. 13.000,- cukup enak juga, sayang tidak ada nama rumah makan tersebut, tetapi saya menyarankan para backpacker/touringer/traveler/penjelajah atau siapapun karena selain enak mbak penjualnya ramah, hmmmm cantik lagi….kalau tidak percaya buktikan saja, Heheheheh…sstttt! Gak berani moto, takut salah…. Wkwkwkwk. Ku beri Penandanya saja, Dari Rumah makan itu, sudah terlihat penunjuk arah ke Candi Ceto.  
 
      Sudah jelas kan, Kemudian setelah selesai membayar, ku lanjut untuk segera ke Candi Cetho, tapi sebelumnya ku sempatkan bertanya dulu sama penjualnya kira-kira berapa km lagi…… jawabnya sambil senyum lho…heheheh. ada pertigaan (pos ojek simpanglima) sahabat ambil kanan, kalau kekiri arah ke Mojogedang. Di sepanjang jalan ini di kanan-kiri kita di temani pemandangan menghijau kebun teh. Mengingatkan saya saat perjalanan ke Candi Dieng (teh Tambi), kemudian berganti ladang khas tnaman pegunungan.. dengan pemandangan yang menakjubkan. JAGAD PRAMUDHITA! 
 
     Dari kebun teh ini, ini sudah ada petunjuk, yang memudahkan kita, jadi tidak perlu kawatir, walau seperti saya ini yang selalu ‘sendiri’ mencari ketenangan di candi…. Saya jamin sahabat tidak akan tersesat.
     Sama seperti Candi Sukuh, setelah membayar Tiket masuk Rp. 3000,- (tapi kok saya ga diberi karcis? Padahal mow saya buat kenang2 an?) + parkir Rp. 2.000,-(dibayar belakangan). Saya mulai memakai EOSD1000 menelanjangi Cetho…. Hehehehe (kata-kata saya terpengaruh Sukuh nic…sedikit personifikasi-mohon dimaklumi.)
     Terletak di lereng sebelah barat Gunung Lawu dengan ketinggian 1.400m dpl. Kompleks Candi Cetha (Ceto) ini berada di Dukuh Ceto, Desa Gumeng Kecamatan Jemawi Kabupaten Karanganyar. Adapun letak candi pada koordinat 111009’ BT dan 070’3548”LS. Keberadaan Candi Ceto pertamakali di laporkan oleh Van der Vlis pada tahun 1842. Karena Candi Ceto ini banyak memiliki keunikan dan sangat kuno, sehingga banyak ahli purbakala yang tertarik meneliti, seperti W.F. Stutterheim, K.C. Crucq, N.J. Krom, A.J. Bernet Kempes, Riboet Darmosoetopo dkk,dll. Pada tahun 1928 dinas purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekontruksi yang lebih lengkap.
     Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Vand Der Vlis maupun A.J. Bernet Kemper, Kompleks Candi ini memiliki 14 Teras, akan tetapi kenyataanya saat ini hanya tinggal 13 teras berundak. Susunannya dari barat ke timur, makin kebelakang semakin tinggi. Di tempat tertinggi itu pulalah tempat yang paling suci.masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sebah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua. 
      Arsitektur Candi Ceto mempunyai persamaan dengan Candi Sukuh, yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada artefak jaman prasejarah yaitu Punden Berundak. Bentuk dan susunan candi semacam ini sangatlah khas dan spesifik, tidak ditemukan pada komplek candi lain khususnya di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh. 

      Di Candi Ceto ini banyak ditemukan arca-arca masa prasejarah misalnya arca digambarkan dalam bentuk yang sederhana. Kedua tangan diletakkan pada perut/ dada. Sikap semacam ini menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada, Sulawesi Tengah. 
sudhamala
       Adapula relief Çuddhamala seperti di Candi Sukuh, 
dan relief-relief binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam.



belut

kodok
ikan
kura-kura
ketam
kadal

surya majapahit
      Mengenai masa pendirian Candi Ceto, dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka tahun 1373 Saka atau 1451 M. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figure binatang maupun relief dan arca yang ada, Candi Ceto diperkirakan berasal dari abad 15 M dimana masa tersebut adalah masa majapahit akhir. Saya juga mengamini sumber informasi tersebut, karena ada relief yang sama persis dengan lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit. 
       Bangunan utama candi berada di halaman teras paling atas/ belakang. Bentuk yang Nampak sekarang merupakan hasil pemugaran pada akhir tahun 1970, yang konon banyak kontroversi dalam pemugaran itu, karena kurang memperhatikan konsep arkeologi, termasuk penambahan pendapa dari kayu. 
      Sesaat setelah saya membeli tiket masuk, hawa Bali terasa, mulai dari dialog masyarakat yang terdengar, pakaian adat, semerbak kemenyan dan dupa mampir di hidung saya ditambah bangunan yang mirip pura…. Dugaan saya tidak salah, ternyata masyarakat daerah Ceto konon dari cerita pendahulu (saya bertanya pada tukang parkir) masih satu lerabat/ satu leluhur dengan masyarakat Bali yaitu pelarian pendukung majapahit. Mendengar itu saya langsung bersemangat ’45 untuk segera masuk ke kawasan Candi ini.
        Kalau saya menerka-nerka, Atau mungkinkah Raja Majapahit Brawijaya V moksa disini ya setelah kalah berperang dengan anaknya Raden Patah?...hmmmm…. soalnya dibuku terakhir yang saya baca…. Raja Brawijaya V mengasingkan dan menyepi menggapai kesempurnaan di G. Lawu….
        Saat saya di Candi ini, memang banyak orang Bali yang mengunjungi sanak kerabat sambil berziarah dan beribadah di Candi Ceto. Barusan saja juga diselenggarakan upacara melasti di Candi ini (mohon maaf bila salah)
     Keramahan masyarakat Cetho langsung terasa, tak kenal dengan sayapun mereka menyapa dengan senyuman, langsung nyaman hati saya di sini.
Seperti anak ini, tidak takut untuk mengerjain saya…

     Yang membuat saya terenyuh tapi bangga… anak itu berbuat sesuatu yang diluar dugaan saya, dia membersihkan sampah pengunjung, anak ini bukan pemulung ataupun petugas kebersihan tapi anak ini merawat Candi Ceto agar cucu nya kelak masih menikmati dengan nyaman di Ceto ini. Saat saya Tanya, kenapa ngambilin sampah, apa ada yang nyuruh?... jawabnya…tidak, dia sedih saat kawasan ini kotor….. hmmm… anak kecil aja sadar, Kitaa!!!!?? Tolong jawab dengan tindakan.
       
      Pada Gapura pertama, siap-siap saja melahap undakan, ada 35 undakan. Kemudian kita akan disambut sepasang arca.      Tidak lupa pula saya mengabadikan diri saya melalui gambar disamping itu…. Ini bukti nyata saya sudah pernah kesini, dan sangat menikmati Candi Ceto ini. 
 
         
 

          Disetiap undakan teras, di pintu masuk gapura ada arca

     Ada juga relief yang tersusun ditanah berbentuk kura bersayap. 

       Saat menuju Bangunan candi utama Ceto ini, saya agak sedikit ragu, karena banyak orang yang akan beribadah di situ….
      Karena mungkin tahu saya maju-mundur, bimbang takut mengganggu, seseorang dari rombongan itu mempersilahkan saya sambil tersenyum, mari mas tidak-apa…. Dan hampir semua orang disitu tersenyum sama saya, sebuah kejutan bagi saya, di Indonesia yang sudah jarang orang ‘Tepo Sliro, namun di komunitas ini gampang ditemui”… saya senang sekaligus menerawang, seandainya budaya Indonesia masih seperti ini, niscaya kedamaian lah yang dirasa oleh masyarakat kita.
       Belum habis ketekejutan saya, saya kembali dibuat terperangah, di Bangunan utama Candi Ceto/ yang paling atas sendiri ada beberapa pendapa dan rumah kotak kayu yang unik, setelah saya Tanya-tanya pada orang-orang yang bersembahyang tadi, itu bentuk rumah pada zaman majapahit dulu….. aha aha….. benarkah?, betapa girang saya mengetahui hal tersebut. Berangan-angan ingin punya rumah seperti ini…. 
Karena saya PECINTA MAJAPAHIT! 100%…. Tapi rumah-rumah ini digembok, jadi tidak bisa mengetahui bentuk dalamnya, Atap rumah pada jaman dulu diberi tanda sesuai dengan status/jabatan sipemilik.
       Selain rumah juga ada beberapa pendopo, Di pendopo tersebut juga ditempatkan arca-arca yang masih digunakan untuk bersembahyang bagi umat hindu terutama warga Ceto. 
 

arca lingga
      

         Bagian utama candi Ceto, 
Candi Ceto
samping kanan

belakang
samping kiri









Di sisi sebelah kiri Bangunan Utama Candi Ceto ada yang mulai rusak, 
Cetok mulai rusak
     Kalau tidak segera mendapatkan perhatian segera pasti tambah parah….., oh ya di situ disediakan buku tamu dan kotak Dana Punia, kalau punya rezeki berlebih ngisi juga ya… siapa lagi yang harus memperhatikan warisan leluhur ini jika bukan kita sendiri?

Sampai jumpa lagi di perjalanan memburu kemegahan candi berikutnya…..

Perjalanan kembali lagi ke rumah, home sweet home….

Senin, 01 Agustus 2011

Ikan 'Kepala Buaya' di Kolam Majapahit

Ikan ditemukan di Kolam Segaran oleh seorang warga Mojokerto saat memancing.

Ditemukan di kolam Segaran

VIVAnews - Seekor ikan dengan kepala mirip buaya ditemukan Suparto, warga Mojokerto, Jawa Timur. Ikan ini ditemukan pada Selasa, 19 Juli 2011 di Kolam Segaran yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.

kolam segaran


           Suparto menemukan ikan ini saat memancing. Dia mengaku terkejut karena menduga umpan yang dia lempar dimakan oleh buaya. Tapi, ternyata yang memakan adalah seekor ikan.
       Suparto sebenarnya bukan orang yang pertama kali menemukan ikan jenis ini. Tahun 2009 lalu warga Sukolali, Surabaya juga menemukan ikan sejenis. Selain itu, Jawa Barat, dan di Tegal pada 2011 ini juga ditemukan ikan berkepala mirip buaya ini.
        Ikan berkepala mirip buaya ini adalah jenis alligator gar atau bahasa latinnya Lepisosteusidae yang merupakan spesies asli Amerika Utara. Ikan ini merupakan predator yang sangat agresif memangsa ikan-ikan kecil lainnya.
       Belum diketahui, bagaimana ikan-ikan ini bisa sampai ke sungai-sungai di Indonesia, termasuk di kolam peninggalan Majapahit ini.

Video nya : http://video.vivanews.com/read/14977-penemuan-ikan-berkepala-mirip-buaya_1 http://video.vivanews.com/read/14977-penemuan-ikan-berkepala-mirip-buaya_1

Candi Sukuh

Eksotis
Candi Sukuh
Satu Lagi Mahakarya Leluhur, Candi Sukuh, sudah lama saya mendengar keunikan Candi Sukuh ini, tapi baru 27 Juli 2011 setelah mendapatkan cuti dari tempat kerja, akhirnya  terwujud juga keinginan untuk mengunjungi candi ini.
Persiapan sudah 100%, mulai dari logistik, Peta wisata Kabupaten Karanganyar yang kudapat dari seorang teman. Kecuali motor yang sedikit ‘tidak sehat’ tidak ada hambatan yang berarti. Saya berangkat jam 9 pagi, melalui jalur Semarang-Ungaran-Lingkar Salatiga-Boyolali-Solo-Karanganyar.
Entah kenapa Jalur Solo ini selalu ‘menakutkan’ bagi saya, saya selalu kebingungan….aneh… padahal peta sudah ditangan, melalui komentar status FB mas Erwan juga membantu saran jalur Ke Candi tidak ketinggalan pula seorang sahabat juga siap memandu melalui ponselnya…. Tapi ada perasaan tidak PD saat melalui Jalur ini.
Setelah sesampainya di Batas Boyolali – Sukoharjo, perjalanan kurus terus, melalui pusat kota Solo, adanya papan petunjuk arah ke Tawangmangu sangat membantu saya saat ‘Solophobia’ saya muncul…. Setelah Menyeberangi Sungai Bengawan Solo yang anggun itu, melewati Pertigaan palur terus saya mengendarai menuju Kabupaten Karanganyar. Saya juga melewati pula kota Karanganyar lurus terus mengikuti petunjuk arah Tawangmangu. (Sebagai informasi Keberadaan Candi ini memang berada satu jalan kearah Tawangmangu…) Sesampainya di pertigaan Karangpandan ambil arah sebelah kiri, Ada Petunjuknya ( seperti di gambar) . Kalau lurus menuju Wisata Tawangmangu.
Setelah pertigaan Karangpandan kemudian ikuti jalan tersebut sampai menemukan petunjuk ini 
Ikuti petunjuk tersebut ambil kanan, jalanan yang akan dilalui sangat menanjak, mengingatkan saya pada Jalan Ke Candi Gedongsongo. Didekat candi ini juga ada air terjun Jumog, jaraknya sekitar 2km dari candi.

Akhirnya sampai juga….

Menyerupai peninggalan kuno di Meksiko, begitu benak saya saat pertama kali masuk Candi, tentunya saya membayar dulu tiket masuk Rp. 3000,-+ parkir Rp. 2000,-(belakangan). Tidak saya sia-siakan waktu, saya langsung genggam perlengkapan memotret yang saya punya. Canon EOSD1000 tercinta berikut Tripod Exell150S, yang setia menemani saya. Sepintas keadaan Candi Sukuh ini masih tersentuh perawatan. 




Secara Administratif Candi Sukuh terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Terletak di Lereng Gunung Lawu pada Ketinggian 910m Diatas Permukaan Laut. Ditemukan oleh Johnson pada Tahun 1815 saat pemerintahan Gubernur Jendral Raffless.
Inventarisasi Candi Sukuh pertamakali dilakukan oleh Verboek tahun 1889 dilanjutkan oleh Knebel pada 1910. Usaha pelestarian Candi Sukuh dilakukan oleh Dinas Purbakala pada Tahun 1915.
Candi Sukuh didirikan pada masa kerajaan Majapahit abad 15M, Yang berkuasa saat itu adalah Ratu Suhita 1429-1446 M. Candi Sukuh menghadap kearah terbenamnya Matahari dan dibangun dengan tiga teras bangunan. Setiap tingkatan teras menggambarkan tingkatan menuju kesempurnaan kehidupan.
Terdapat pula relief yang melambangkan ketiga dunia. Yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah dan Dunia Atas. Dunia Bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci, Dunia Tengah dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala. Sementara Dunia Atas di tasbihkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup di Nirvana.
Semuanya itu merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau RUWAT. Ruwat adalah salah satu sarana untuk meningkatkan derajat seseorang menuju tingkatan yang lebih suci yaitu hilangnya mala dalam diri atau moksa.
Gapura / Punden Berundak
Halaman I

Halaman ini merupakan teras paling bawah, yang terdapat gapura masuk berbentuk Paduraksa. Siapapun yang masuk ke Candi ini, diingatkan bahwa kehidupan ini tidaklah mudah. Kesulitan hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia. Pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan manusia akan sulitnya kehidupan.
gapura abang wong














kala berdagu










pintu gapura




Di Gapura ini terdapat Sengkalan yang menandakan dibuatnya Bangunan suci ini, Sengkalan “Gaporo Buto Abang Wong” juga tertulis huruf  jawa kuno = 1359 saka/1437M. Relief tersebut menggambarkan seorang manusia yang ditelan raksasa.





Halaman II

Halaman II Candi Sukuh

relief pande besi
Halaman semi sakral, dimana umat manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian menggunakan air suci atau amrta, adanya relief Pande Besi menggambarkan ini. Karena pada masyarakat jawa kuno golongan ini (Pembuat Pande Besi/Empu) memiliki status khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis, mereka mampu memberikan air bertuah yang suci = amrta.


      Halaman III
Halaman sakral, dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief yang menggambarkan sebuah cerita penggambaran kehidupan.
-          Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
 
-          Relief Garudeya
Menceritakan pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda dengan menggunakan air amrta. Winata- Ibu Garuda – menjadi budak Kadru- ibu para naga- karena kalah bertarung tentang warna ekor kuda Ucchaisrawa yang keluar selama pengadukan lautan susu (samudramanthana)
-          Relief Bima Suci
Drona memerintahkan Bima mencari air kehidupan di Gunung Candradimuka, dalam perjalanan Bima bertempur dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa tersebut kalah dan menjelma menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemudian Bima melanjutkan perjalanan menuju samudera dan bertemu Dewaruci. Menyatu melalui telinganya dan menemukan hakekat air penghidupan.




-          Relief Ramayana
Mengisahkan percintaan antara Rama dan Sinta yang menghadapi banyak ritangan. Ketika mereka mengembara, Sinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Atas bantuan Laksamana dan pasukan Kera, Anoman sang pemimpin pasukan kera. (img_arwana) Rama berhasil membebaskan Sinta dan mengalahkan Rahwana. Sinta membuktikan kesuciannya dengan membakar diri hidup-hidup, seketika api berubah menjadi teratai.
-          Relief Swargarohanaparwa 
Menceritakan perjalanan Pandawa menuju surge setelah perang Bharatayudha. Dalam perjalanan itu Drupada meninggal terlebih dahulu, diikuti Arjuna, Sadewa, Nakula, Bima. Hanya Yudhistira yang tertinggal. Ia kemudian didatangi dewa Indra, diajak menuju surge dengan keretanya, akan tetapi Yudhistira menolak kecuali dengan anjingnya boleeh ikut serta. Sesampainya disurga Yudhistira melihat Kurawa dalam kesenangan dan Pandawa dalam Kesengsaraan. Ia memilih bergabung dengan saudaranya. Seketika tempat tersebut menjadi surga.
 
-          Relief  Bima
      Menggambarkan Bima yang sedang membunuh raksasa dan terdapat tulisan dalam huruf kawi ‘pedamel rikang buku tirta sunya’ = 1361 Saka (1439 M).
-          Samuderamanthana
Pengadukan lautan susu yang dilakukanoleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air kehidupan/ amrta. Pengadukan tersebut mengunakan Gunung Mandara dengan Naga Besuki sebagai pemutarnya,kura-kura Akupa yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu menyelam ke dasar laut menjadi pondasi agar gunung mandara tidak tenggelam.
kura-kura 

Pembagian Ketiga Dunia :
a. Dunia Bawah = kura-kura 
b. Dunia Tengah = Gunung
c. Dunia Atas = lingga

lingga-yoni-gunung

-          Prasasti pada Arca Garuda
Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti berangka tahun 1363 saka (1441M) dan 1364 saka (1442M)
-          Beberapa Relief & Arca Perlambang Kehidupan Pria dan Wanita





MITOOOSSS
Pada teras ketiga, terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Ada yang tertarik untuk Tes? hehehehehe

-          Gambar dari atas Candi Utama , perlu perjuangan yang gigih untuk naik ke atas candi, ada 24 undakan dengan tinggi @40cm, tapi cukup terpuaskan saat berada di atas candi. Pemandangan sungguh indah, juga bisa memandangi seluruh area candi….






saluran pembuangan air di Candi Sukuh

-          Candi ini sudah memiliki sistem pembuangan air . Hebat kan?






Candi Perwara
-          Reruntuhan yang diperkirakan Candi Perwara




-          Penataan jalan keluar lewat belakang candi, dulunya sudah membuktikan tata bangunan yang baik dan sedemikian rapi








Saya sebelum perjalanan selanjutnya….



Sampai ketemu lagi...

PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V

(PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU)

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
    Perbedaan pendapat antara anak kandung (R.Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.
   Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.
   Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".
   Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik. Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "ki" (singkatan dari kihembu). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.
   Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V /Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.
   Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar candi menggung.
     Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan 'Pringgodani'. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". Dialog terjadi antara penguasa lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 
    Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 
   Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.
    Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. Candi kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
     Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu 
  Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam (ciptaan lain. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Saya kumpulkan dari berbagai sumber......
1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya