Tampilkan postingan dengan label bergas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bergas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2017

Watu lumpang dan Pipisan Silowah Pagersari

Watu lumpang dan Pipisan Silowah Pagersari
            Kamis,12 Oktober 2017, lanjutan penelusuran di Pagersari Bergas. Dimana sebelumnya kami  mengunjungi 3 situs makam keramat Pagersari Bergas.
    Keluar dari makam Sigundil, awalnya rencana kami akan langsung pulang karena salah satu dari kami kena duration time. Tapi tawaran menggiurkan sang guide nampaknya tak mampu dia tolak, "Watu Lumpang e cedak banget lho" seru sang guide. Kami mengekor saja, karena dipikiran kami pasti keberadaan waktu lumpang ini berkaitan dengan semua tinggalan yang tersebar di area Pagersari dan sekitarnya.
        Benar saja tak ada semenit setelah  keluar ambil jalan ke kanan dari Makam Sigundil sampailah kami, petunjuknya disebelah kanan ada bengkel pembuatan paving-batako, kemudian di seberangnya ada gang yang jalannya menurun cukup curam. Dibelakang rumah di pinggir jalan inilah tujuan kami ternyata berada. Kebetulan di depan rumah, beliau jualan es Dawet.
Watu lumpang dan Pipisan Silowah Pagersari
         Jadilah sambil beli es kami bertanya ikhwal sejarah peninggalan purbakala ini ke empunya rumah. Mohon maaf saya terlupa, padahal saat ngobrol saya sudah bertanya nama beliau, namun nama anaknya masih ada dalam ingatan saya : Mas Ferry. (Semoga membaca dan berkenan mengingatkan ingatan saya, siapa nama ibunya)
Pipisan Pagersari
     Setelah mohon ijin saya segera berlari kebelakang rumah menyusul rekan lain yang sudah terlebih dahulu berfoto.
"Watu lumpang ditemukan di pojokan lahan yang waktu itu diratakan saat ingin membuat rumah, sementara pipisan ditemukan saat akan membuat pondasi", urai beliau.
      Kondisi Waktu lumpang masih bagus, sayangnya di lokasi yang kurang enak ; selokan.
Pipisan Pagersari
     Sementara batu pipisan berfungsi mirip dengan watu lumpang sama-sama untuk menumbuk... hanya peruntukan hasil tumbukan yang berbeda.
      Saat kami ngobrol dengan, pemilik rumah datang beberapa warga yang antusias dan penasaran dengan aktivitas kami. Sesaat setelah kami jelaskan malah surprise bagi kami... beberapa informasi berharga kami dapatkan. 
Pipisan Pagersari
     Malah warga yang rumahnya tepat dibelakang rumah ini, "Di dapur saya ada watu lesung, ayo ikuti, saya perlihatkan" ujar beliau. (Di video amatir kami ada).
     Di video tersebut juga ada proses nyari kembali oleh ibu Temu, alu atau alat tumbuk yang dulu juga ditemukan bersamaan dengan Batu Pipisan. Dan ternyata ketemu... lihat di video yah....
     Dari bentuknya dugaan kami, batu ini adalah batu struktur sebuah bangunan, kunci-an. Entah hanya ini yang tersisa atau masih aman terpendam didalam, tanah kami tak tahu. 
     Namun bapak beliau, yang menemukan juga ketika membuat pondasi rumah.

    Watu Lesung (struktur kuncian bangunan masa lalu :




     Keberadaan jejak purbakala seperti ini sayangnya warga masyarakat cenderung abai, masa bodoh. Apalagi anak muda.... lebih parah lagi menganggap watu ya hanya watu. 
     Padahal watu yang spesial ini adalah bagian cerita dari masa lalu yang pernah eksis di area ini. Daerah yang bertebaran tinggalan purbakala namun dilupakan.
     Mari kita lestarikan, kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi?
     Saya pernah baca kutipan dari seseorang, saya terlupa nama tokoh tersebut, tapi kurang lebih demikian isinya : menghancurkan suatu bangsa cukup hapus ingatan sejarahnya, kaburkan cerita sejarah dan hancurkan peninggalanya....  mau? 
      Ataukah hanya jadi tukang maido saja kelak ketika watu watu ini musnah? Hanya menyalahkan orang lain tanpa berbuat? 
      Semoga kita semua dijauhkan dari hal seperti itu.

Video amatir (SUBSCRIBE YA) :

Salam pecinta situs dan waktu candi
Watu lumpang dan Pipisan Silowah Pagersari
#raperlutenar

Kamis, 23 Maret 2017

Legenda Gebugan : Mbah Penanggalan, bonus pemandangan lereng gunung Ungaran

    Kamis, 23 Maret 2016. Ritual kemisan berlanjut. Ditengah pengawasan, kami tetep blusukan, haghaghaghag.... i Can't Stop, lah pokoke. 
      Tujuan utama kami, menelusuri jejak peradaban di Bengkle, Gebugan - Lempuyang Mundingan - Bergas. "Apapun hasilnya, ada atau tidak sing penting blusukan", Mbah eka bertekad. Saya meng-amin kan. Lha saya hanya membonceng kok.. wkwkwwkwk.
      Jalur kami melewati beberapa situs peninggalan peradaban masa lalu : Seperti Lingga di Masjid Gebugan dan punden berundak mbah Dul Jalil.
Makam Mbah Penanggalan
Untungnya kami kesasar (tersangka adalah sang driver, soalnya saya membonceng, wkwkwkwk)… jadi bisa singgah dan menulis kisah ini.
Warga menyebut batu yang ada di sisi kanan makam (dari arah pintu masuk) dengan ‘Watu Dakon’, namun tak ada yang mengetahui bagaimana sisik meliknya secara jelas. 
"Hanya Mbah Penanggalan adalah sesepuh Desa Gebugan, atau yang bubakyoso, banyak yang berziarah ke makam beliau, yang dipercaya adalah salah satu penyebar islam di daerah ini."

Makam Mbah Penanggalan Gebugan
 “Mbah Penanggalan adalah salah satu murid dari Mbah Kyai Hasan Munadi yang kesaktianya tersohor. Sebutan mbah penanggalan, karena beliau memiliki kemampuan membuat penanda kapan sebuah acara dilaksanakan”, (sumber wawancara Mbah Eka WP dengan seorang kakek warga sekitar yang dia temui disawah, di blusukan sebelumnya). 
Watu Dakon, Makam Mbah Penanggalan


Kesaktian yang lain, pohon tua dan berukuran besar ‘growang’ di batang bagian bawah, hingga 3 orang dewasa bisa masuk kedalamnya,  di depan makam beliau itu, dulunya adalah tongkat beliau”, tambah kakek tersebut seperti yang diceritakan kepada saya.
Watu Dakon
Yang tersisa memang hanya secuil, namun bagi saya sangat berarti. 
Menjadi sebuah penanda menghadirkan bukti sejarah masa lalu.
Imajinasi saya, ketika ini utuh, seperti membayangkan bola golf, dimana ada cekungan-cekungan jumbo (mirip di depan gerbang golf Jatingaleh) Apakah mungkin cekungan - cekungan tersebut untuk menaruh berbagai macam sesajen? 
Dugaan, rekaan …entahlah….
Setelah mendokumentasikan barang sejenak, kami melanjutkan, walaupun godaan eksotis batuan di sisi kiri dan pohon tua berongga untuk ber-selfie lumayan besar, namun saya lewatkan,  auranya memperingatkan saya.
Kami melaju pelan menyusuri jalan yang tak mulus… tiba-tiba mbah Eka terpekik.
 "Kui Lumpang, kui lho!!!", karena suaranya pula, para muda dan warga yang di pinggir jalan menoleh kepada kami.
Lumpang tersebut didepan rumah seorang warga, karena pekikan tersebut sang empunya kemudian keluar rumah karena penasaran.
Wonten menopo mas”, selidik curiga. 
Setelah berbasa-basi menjelaskan siapa kami, Pecinta Situs dan Watu Candi. 
Kemudian luruh kecurigaan di wajah beliau.
Bahwa didepan rumah beliau ada lumpang kuno, stuktur batu candi dan lain sebagainya”, membuat beliau tambah tercengang. 
Kami juga hubungkan dengan keberadaan masjid Jami' Baitul Muqqorobiin desa Gebugan dimana mempunyai sejarah panjang, beliau tambah berbinar. 
Pesan kami kepada beliau, “Watu-watu candi niki ampun di katutke ndamel pondasi nggeh!”.
Karena hanya edukasi seperti ini yang bisa kami lakukan, kami tak mampu berbuat lebih, siapakah kami?
Rencana kami dari awal, ingin menyusuri pemandangan alam pegunungan dari Desa Gebugan Dusun Bengkle - Dusun Cemanggal - Desa Munding sambil menelusuri jejak purbakala yang barangkali masih tersisa. 
Beberapa warga menggelengkan kepala saat kami tanyai, 'ada atau tidak peninggalan kuno disekitar disini". (hampir semua istilah macam kami gunakan, lumpang, kenteng, lesung, reco, bahkan masjid wurung atau tinggalane mbah wali juga kami utarakan, namun nil. 
Malah di tunjukkan arah dimana ada gua jepang, ada masjid keramat, ada tempat mistis…. "Oh no!.." bukan itu yang kami cari. 
Ada juga Curug Selawe, curug yang masih jarang orang tahu di ceritakan kepada kami… 
Namun bagi kami blusuker… lokasi wisata seperti itu hanyalah bonus. Walaupun tanpa informasi pasti, kepalang tanggung, kami tetap melaju. Niat awal memang blusukan menikmati alam pegunungan, sambil merekontruksi kemungkinan sebaran situs sekitar area ini.
Gua Jepang Mundingan
Jalan berliku, naik turun sepadan dengan indahnya alam serta sejuknya udara segar yang kami hirup.
Kami mampir pula di Gua Jepang yang menunggu entah dengan kesabaran atau tidak, untuk dibangkitkan kejayaan sejarahnya; posisi Gua Jepang Mundingan ada di pinggir jalan.
Kami disuguhi pemandangan yang alangkah aduhainya, sangat jelita dan mempesona bisa diibaratkan seorang gadis.
 Benar-benar belum terjamah, masih asri. Alam yang indah… gugusan bukit, awan yang berlomba dengan puncak beberapa gunung nampak menakjubkan. Gunung Ungaran, juga Gunung Merbabu dikejauhan adalah puncak dari kebisuan saya untuk mengomentari begitu indahnya. Surga bagi penikmat alam raya. Saya yakin, penatnya kesibukan di perkotaan akan langsung lenyap melihat bentangan alam yang tak tergambarkan ini.

eka Wp : Partner in crime
Sayangnya akses jalan sangat parah… terutama di bagian turunan maupun tanjakan, kami berseloroh, “Gulo kacang ae ra separah iki…”

Pemandangan Indah : Telaga Melik Munding Bergas.
Penyiksaan selama perjalanan, terbayar lunas dengan bayaran keagungan ilahi seperti ini… dan yang sangat saya sesali, saya menangis batin membawa kamera SLR, tanpa memori card nya.
 Sesungguhnya, keindahan yang ada difoto-foto saya tadi tak ada 1% nya dibandingkan kondisi sebenarnya!!!

Salam peradaban.



Mari ketahui, lestarikan....










*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang diselengarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah".

Rabu, 22 Maret 2017

Watu Lumpang Seleses : Jejak Peradaban tanah silam.

Watu Lumpang Seleses

 Rabu, 23 Maret 2017. Kali ini berawal dari ketidaksengajaan melihat sebuah postingan dari Tapak…., di Grup Ambarawa tentang watu Lumpang. Segera saya kumpulkan beberapa informasi keberadaan watu lumpang tersebut dari komentar dari postingan tersebut. (Kalimat ini atas perkenan ijin dari beliau mas Tapak Sakti: masih menunggu permitted). Kenapa saya sangat ingin langsung menelusuri lokasi? Jawabanya, Karena beberapakali saya menelusur sumber Air Seleses ini hasilnya nihil. Dibeberapa naskah sebelumnya pernah saya tulis, dan yang paling mencolok adalah telah hilangnya Golek Kencono : diduga Arca dewa Siwa dari kawasan di mata air seleses ini.
Ketika saya mendapati informasi keberadaan ‘teman’ lain yang mungkin saja berkaitan dengan keberadaan golek kencono tadi maka saya tak menunda waktu. Di area ini, tak terlalu jauh ada beberapa tinggalan seperti struktur bangunan suci (=candi), juga yoni menjadi bukti nyata, sebuah peradaban yang luhur masa itu yang bersemayam disini.
Dan kebetulan saat saya berkomentar di status tersebut, ada rekan merespon “sang absurb” Mbah Eka, = status e belum jelas tapi dedikasi atas pekerjaane saya akui joss gandhoss..--- end. Singkat cerita kami janjian di Perpusda Kab. Smg (alun2 lama Ungaran) –tempat kerja saya---. Start  jam 3 sore, walaupun langit gelap berarak, namun tak menyurutkan semangat kami. Melalui jalur belakang, setelah melewati dusun demi dusun sampailah kami di depan sebuah pabrik (Tahu mungkin), di bawah sumber mata air Seleses (Yang entah mulai tahun berapa sudah diambil PDAM, dan hanya menyisakan beberapa puluh debit air untuk pertanian). 
Berbekal Informasi, “Didekat PDAM, dibelakang POS Satpam.” Dari gambar yang diposting juga menambah pelengkap petunjuk bagi kami. 
Di pinggir kali, dibawah pohon kresen kami turun....
Berada di sungai yang jernih. Dan beberapa detik kemudian setelah kami meminta ijin security, kemudian kami telusuri tepian sungai di samping kanan Pos satpam.
Dan Ketemulah, 
Watu Lumpang Seleses
Berada di lereng sungai, diantara bebatuan alam dan ditutupi rumput liar, maklumlah banyak orang yang tak mengetahuinya…. Hehehe security yang kami minta ijin saja malah tanya, “Apa iya ada mas?”, hehehehe. (seperti yang Mbah Eka ceritakan ulang kepada saya.). Untung Mbah Eka bawa pisau lipatnya, setelah saya bersihkan secukupnya mulailah kami mencoba secara detail mendokumentasikan gambar Watu Lumpang Seleses.
Watu Lumpang Seleses
Beruntungnya, tas ransel saya ada meteran, untuk mengetahui dimensi lumpang ini, bejo double… kamera Nikon bernomor seri kantor masih di Tas Ransel, karena sebelumnya mendokumentasikan kegiatan di Perpus Ambarawa. Keberuntungan saya berlipat-lipat dengan satu titik cerah di seleses ini.
Watu Lumpang Seleses
Bentuk Lumpang tak bulat sepenuhnya, melihat dari cirri fisik lumpang nampaknya beberapa mengalami kerusakan sehingga membentuk sudut bukan bulat sepenuhnya. Dugaan saya terbentur batuan yang hanyut karena banjir. Perdebatan lumayan seperti debat pilkada terjadi antara saya dan mbah eka insitu atau Lumpang ini hanyut terbawa aliran = posisi asli diatas, dibukit yang sama dimana golek kencono’ berada.

Watu Lumpang Seleses

Setelah kami nongkrong agak lama disertai berbagai pandangan dan ilmu kira-kira, kesimpulan sementara dari berbagai asumsi, berbagai argumen lumpang ini insitu, alias dari dulu dilokasi ini.. 
Tapi pasti berkaitan dengan beberapa peninggalan di area Seleses ini. 
Watu Lumpang Seleses
---sekali lagi kami mohon kiranya dimaklumi, pengetahuan kami hanya tak sedalam laut atlantik (rodo lebay)--- mohon pencerahanya para ahli.
Adapun berbagai dugaan fungsi lumpang pada masa lalu, tak akan saya bahas disini, para ahli pasti lebih tahu… hehehehe.
Batu-batu yang berlimpah disungai ini, dan Lumpang diantaranya, 
Rasa penasaran yang rasanya ingin keluar dari angan-angan, kemudian kami mencoba menyusuri hulu sungai, karena kami yakin tak hanya watu lumpang ini saja. Untuk kali ini kami tak menemui hasil, namun keyakinan kami suatu saat akan berjodoh. Tapi keanehan yang kami lihat, hulu sungai ini tak ada aliran air… maaf kami terlupa mendokumentasikan hulu sungai dimana berada di area mata Air Seleses yang suasanya sungguh ‘berbeda” dengan puluhan pohon besar dan tua-nya… Artinya ; walaupun air sudah disedot habis PDAM, pohon-pohon besar ini tetap menjaga aliran air untuk pertanian warga. Yang Kuasa memang adil… Semoga manusia tetap adil untuk merawat pohon pohon ini.  
Di Gerbang batu Seleses, berlatar belakang Mata Air Seleses.
 Karena waktu durasi masih longgar, kami mencoba melanjutkan ke satu daerah bernama Si Petir-Sikreo, dimana ada beberapa Arca yang terpendam di lumpur sawah. ---Tunggu saja naskahnya--- Karena masih terpendam dan padi nya belum panen.
Berduet Blusukan, Mencoba merekontruksi jejak masa tersilam. 



















Salam Peradaban !

Selasa, 14 Maret 2017

Merekontruksi jejak peradaban di Ngobo Desa Wringinputih, Bergas.

Watu Lesung Ngobo, Bergas
 Rabu, 15 Maret 2017.
Cerita perjalanan ini dimulai dari sebuah ketidakberuntungan, Si andeng-andeng musnah dari wajah teman saya. (baca musibah). Niatnya sama sekali tak akan blusukan, Kami (saya dan Mbah Eka WP) hanya ingin nengok rekan yang sakit merana kehilangan andeng-andeng (tahi lalat).  Tak tega juga rasanya, mosok orang sakit diajak blusukan. 
Namun yang terjadi diluar dugaan kami, walaupun tertawa saja susah karena tertawa berarti menangis bagi dia, kesakitan sampai berurai air mata (bukan lebay, namun ini terjadi) si oknum malah memaksa kami untuk melihat hasil blusukan beberapa waktu sebelumnya.
Biar senang hatinya, maka kami mengabulkan. Jadilah destinasi kali ini adalah menelusuri jejak peradaban di Dusun Ngobo yang berada di wilayah Desa Wringin Putih Kec. Bergas. Dari Gedanganak, kami lewati Desa Beji kemudian menyusuri perkebunan karet “Kebun PTPN Ngobo”. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Melalui jalan beton di pinggiran dusun, berbatasan langsung dengan perkebunan karet.  Karena Memang Watu Lesung ini berada di pinggiran kebun karet di lereng perbukitan.
Petunjuk yang lebih mudah, situs ini berada di belakang SDN Wringinputih 03, tepatnya 500m gang di sampingnya. Ikuti saja, watu lesung ada di sebelah kirimu. 
SDN Wringinputih 03
Awalnya dapat info dari teman di Grup FB “Ungaran”, saya di japri ada watu lesung di daerahku”, cerita Mas EkaBudiyono kepada Kami. Legenda atau entah mitos yang berkembang dimasyarakat tentang watu lesung ini, “Konon ada mbah wali yang ingin membuat sambel. Tapi karena bawangnya kurang sehingga watu lesung ini ditinggal begitu saja”. Namun Mbah wali yang mana, siapa tak ada warga yang menjawabnya. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
 Saat ngobrol dilokasi ini, Mas Dhany Putra bergabung dan sepengginang kemudian mas Candra yang memberikan informasi datang pula. 
Jadilah kami genap berenam. “Kata mbah buyut ku, watu lesung ini sudah ada sejak mbahnya, dulu ada di tengah jalan ini, kemudian oleh warga dipindah ke posisi yang sekarang”, cerita mas Candra kepada kami.
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Dari bentuknya, saya pribadi ragu untuk fungsinya di masa lalu; dibuat untuk apa? Keyakinan saya pasti ada yang lain, yang terkait. Sedangkan Mas Eka Budiyono menduga, watu lesung ini dulunya digunakan untuk menumbuk padi secara bersama-sama.
 Hipotesis yang tak serta-merta kami amini. Padi atau Oryza sativa dalam bahasa latinnya ini, datang ke nusantara abad ke berapa?, sedangkan kebudayaan yang menciptakan peradaban dengan ciptakan watu lesung abad keberapa pula? pertanyaan-pertanyaaan yang berkicauan dikepala.
Watu Lesung Ngobo, Bergas

Statement dari Eka Budiyono malah menjadikan beberapa dari kami berpikir keras… namun tak menemukan jawaban. Semoga para ahli mencerahkan kami
Selain Watu lesung ini ada watu lumpang juga, ayo kita telusuri”, ajak Mas Chandra. Disisi jalan lain, masi di perkebunan karet. Kali ini kami menyusuri perkebunan di depan SD Wringinputih. 
Watu Lesung Ngobo, Bergas
Hampir 4 orang warga yang kami temu menggelengkan kepala saat kami tanyakan keberadaan watu lumpang ini. Walau mereka cukup umur dan asli berdomisili di Ngobo Wringin Putih. 
Semangat sudah level terendah, sampai kemudian harapan kami bangkit lagi setelah Mas Chandra bertanya kepada warga di dusun sebelah. “Di pinggir sawah, tepat di bibir lereng perkebunan karet”, informasi dari warga tersebut. Tanpa berbekal alat sama sekali, kami mencoba menyibak rumput setinggi 1 meter an, dengan perasaan was-was karena pencarian kami lakukan dibibir jurang sedalam 5 m lebih. Membuat pencarian kami tergesa-gesa. Dan Akhirnya setelah cukup lama  kami menyusuri tepian perkebunan. Kami mundur namun bukan menyerah. Hari esok masih terbentang.
Terimakasih kepada Mas Candra, yang berkenan mendampingi kami menelusuri jejak watu lumpang di area yang tak terlalu jauh dan jarang diketahui warga. Walaupun penelusuran hari ini gagal, selain durasi waktu juga kondisi yang sudah agak gelap serta rumput setinggi pinggang membuat kami menunda.
Watu Lesung Ngobo, Bergas

























          Gambar diatas, saking baguse, takut menjadi idola baru Mas Eka Budiyono memakai Masker....
 Sampai ketemu penelusuran ulang


Salam Peradaban!

Senin, 27 Februari 2017

Situs di Tegal Gogo Wujil Bergas : Watu Lumpang dan Watu Lesung

Watu Lumpang Tegal gogo Wujil








   
    












     Senin, 27 Februari 2017, Ketika saya ajak blusukan Minggu sehari sebelumnya ke Dsn. Lendoh Desa Leban Boja, si tukang nglimpe bin PHP-nan, ternyata oknum tersebut blusukan dewe. Untungnya masih ada setitik kebaikan di hatinya...hehehhe. Senin tanpa rencana saya diantar menuju lokasi, kami langsung berangkat, dan masih pakai seragam pula. Hujan gerimis tak menghalangi kami. 
      Lewat jalur keluar masuk desa di sepanjang lereng gunung Ungaran (karena tak bawa helm) melewati berbagai situs. Tujuan kami ini dikenal warga dengan daerah Tegalgogo masuk di wilayah Kelurahan Wujil Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Sampai di desa Pagersari melewati SDN Pagersari 01 kira-kira 300m di jalan nanjak, ada jalan masuk ke kiri berpaving dengan L Paving 1m, jalan tanah. 
   Pemandangan di Area ini, menakjubkan ;
view dari Tegal gogo Wujil Bergas
     Kira-kira 1km, masuk jalan menyusuri persawahan di kanan dan kirinya, juga melewati 2 komplek makam. Di tengah- tengah antara makam ada 2 makam kuno yang berhadapan dipisahkan jalan.
makam Kuno
Dari Makam, kemudian perjalanan lanjut menyusuri pematang sawah. Penelusuran 1 Kami parkir di depan makam (alasan Mbah Eka, jalan licin sehabis hujan), sementara penelusuran kedua saya (jadi guide) kami parkir di lokasi yang lebih dekat dengan destinasi kali ini.
Tak sampai 5 menit menyusuri kebun pisang dan tanah tegalan warga, Sampailah kami. Yang terlihat pertama adalah watu lumpang :
Watu Lumpang tegal Gogo Wujil bergas

mata batu
Kondisi sudah tidak 100% mulus, dibeberapa lokasi terdapat ‘mata’ batu dan berlobang secara alami. 
Dimensi Diameter Lumpang 64cm, untuk tinggi belum saya dapat, karena prediksi kami lumpang ini terpendam separuh. 
Sementara, Lubang Lumpang berdiameter 26cm. dan kedalaman lubang 30cm. Bentuk Lumpang cukup unik, membentuk bidang kerucut, berbeda dengan lumpang yang biasanya kami temui.
lubang lumpang
Penetapan sebagai tanah Sima (perdikan), ritual tertentu seperti Upacara memulai masa panen serta memulai masa panen, atau untuk menumbuk sesajen menjadi diskusi kami ketika , menjadi diskusi ringan kami saat ketemu dengan situs Lumpang. 
Serta keunikan dan potensi keberadaan watu pendukung lain. 
Bahkan kadang berkhayal di area ini berada peradaban….. Sebuah tempat suci, dll.
 Di sampingnya, kurang dari 3m sebelah kanan ada watu Lesung yang tergeletak miring di “perengan”. 
Watu Lesung Tegal gogo Wujil Bergas
Watu Lesung, demikian warga menyebut batu disisi Lumpang tersebut. Mungkin saja karena mirip Lesung sehingga latah saja mirip Watu Lesung. 
Diskusi kami (Sangat Bingung)… dan tak menemukan jawaban atas fungsinya pada masa lalu… Entah sebagai tempat mandi bayi (kemungkinan kecil), atau tempat air suci yang dipakai untuk ritual di Lumpang. 
     Semoga ada guru yang mau berbagi ilmu kepada kami. 
Situs Tegal Gogo Wujil : Watu Lesung
Menurut informasi yang didapat Mbah Eka, tak ada lagi bantuan pendukung lain di sekitar situs ini (kami yakin belum terlihat, mungkin masih terpendam atau bagaimana--menjadi misteri).  
Namun bisa menjadi ciri petunjuk keberadaan situs ini berada di Gumuk (bukit), tak jauh ada sungai yang mengalir serta disebelah utara adalah gunung suci Ungaran.
Saran kami saat menelusuri jejak ke situs ini, sahabat menggunakan pakaian panjang dan sepatu boot (jangan sandal jepitseperti saya=menjadi jalan tak tenang ketika blusukan). Selain banyak nyamuk, rumput yang lebat serta rimbun pohon bambu adalah habitat alami ular.
Video Amatir. (Maaf Benar-benar Amatir):
(maaf masih nunggu sinyal wifi ok)

Watu Lesung Wujil
Penelusuran jejak Peradaban ke 1 Bersama Mbah Eka WP (guide),
Ayoo dilestarikan..... Kalo bukan kita siapa lagi?










Penelusuran jejak Peradaban ke 2 Bersama Lek Suryo dan Mas Nungki Arfi (Saya Jadi guide)



Salam Peradaban ;