Rabu, 03 November 2010

Serat Panji Asmara Bangun : Raja Bauwarna


Raja Bauwarna
 (08)

Saat ini diceritakan tentang Raja Bauwarna. Sudah empat puluh hari lamanya, bahkan dua bulan dia tidakmuncul-muncul. Ia berhasrat sekali hendak menaklukan Bali. Tapi tidak ada yang berani menaklukan tugas itu, karena Bali amat berkuasa. Kini sang Raja keluar dengan segala kemegahan. Para pembesar hadir semua. Disebutkan para pegawai-pegawai. Astra Miruda dan Astra Wijaya. Yang pertama memakai dodot merah pun hadir. Raja bertanya kepada patih Jaja-singa, siapa yang ingin memikul tugas menaklukan Bali. Patih menjawab “Tidak ada, sudah diminta kepada orang Urawan, tidak ada yang berani. Hanya Jaja-kusuma yang belum diminta pendapatnya tentang itu, Pun dengan Astra Mirusa dan Astra Wijaya. Sang raja menyuruh panggil tumenggung untuk berbicara sendiri dengannya.
Tumenggung datang. Kepada raja mempertanyakan keselamatan kerajaan Urawan. Tapi raja hendak menaklukan Bali ( juga disebut Nusa kembangan. Pulau kembang”. Panji berjanji kepada raja akan melaksanakan tugas itu. Astra Miruda dan Astra Wijaya pun berjanji demikian. Raja puas dan mengundurkan diri. Yang tinggal di paseban mempertanyakan soal penghormatan dan gaji tumenggung yang tidak sesuai dengan jasa-jasanya, orang lain yang belum melakukan apa-apa untuk kerajaan, lebih banyak penghasilannya. Percakapan ini tidak diteruskan. Orang pada bubar. Astra Miruda pulang naik kuda dengan bertudung payung, Astra Wijaya pun juga, bahkan meliputi kerisnya dengan punya kainnya (suatu tanda orang pesolek). Tapi Jaja-kusuma berjalan kaki saja dan tidak pula berpayung. Orang yang melihatnya mengira, bahwa ia pasti habis kena marah raja, tapi mengapa? Orang yang mengetahui lalu menceritakan keadaan yang sebenarnya: ia harus menaklukan Bali.
Sureng-rana, puteri Cemara, ia menyesali Panji (dengan banyak menggunakan wangsalan), sambil menangis. Seorang emban menghibur hatinya dan mengusulkan supaya ia menyongsong suaminya “tapi ia diusir seperti kucing dan puteri itu bertambah keras tangisnya.
Jaja-kusuma duduk di pendapanya. Dikelilingi oleh para sentana dalem. Dikatanaknnya bahwa ia mendapat perintah dari raja. Untukmenaklukan Bali. Para sentana dalem berjanji akan menolongnya.
Dalam pada itu datang emban, mengatakan bahwa istrinya sedang menangis dengan sangat. Panji berdiri dan mendatangi istrinya yang masih marah kepadanya. Dipeluknya istrinya itu, tapi ia coba melepaskan diri.
Panji menghibur hatinya. Dimintanya supaya ia tinggal di rumah, apabila ia pergi berperang, tapi istrinya menjawab bahwa ia ingin ikut serta, diapun seorang satria, katanya. Disuruhnya saudaranya mempersiapkan pakaian perangnya. Adegan kamar. Omong-omong para emban.
Patih sekonyong-konyong datang ke tempat kediaman Panji, mengetuk pintu. Terkejut Panjikeluar dari kamarnya, hanya berbaju dalam. Isterinya pun hanya berbaju tidur. Patih tidak berani memandang Pnanji. Dan membalikkan diri. Surengrana menarik kembali suaminya kedalam, dan memberinya pakaianyang pantas pertemuan.
Ketika ditanyakan, patih menjawab bahwa ia diutus oleh sang raja untuk menyerahkan pusaka kerajaan kepada Panji. Dengan jalan demikian ia menguasai kerajaan.
Selanjutnya patih berkata, bahwa raja marah kepada Astra-wijaya. Apa sebabnya ia tidak tahu. Sang patih pulang. Panji bertanya kepada para Kadejan, apakah ada yang mengetahui kenapa raja marah kepada Astra-wijaya. Salah seorang dari mereka, Jaja-sentika, mengatakan bahwa Astra-wijaya disangka memasuki keraton,hal itu sudah dilakkukannya tiga kali dan sekali sang raja sendiri melihatnya. Raja melemparkannya dengan parang tapi tidak kena. Panji tersenyum.
Surengrana berkata, aneh sekali bahwa raja memberi gajah betina kepada orang yang pergi berperang. Bukankah gajah betina itu hanya bisa dipergunakan untuk mengangkut harta rampasan? Panji memujinya atas pemandangannya yang tepat itu. Lalu disuruhnya Astra-miruda datang kepadanya.
Saat ini diceritakan tentang Astra Miruda, kepala mantra anom. Dia berlaku sebagai don juan, wanita-wanita Singasari menjadi korban kenakalannya. Ia senang sekali menyabung ayam dan permainan taruhan yang lain. Para penjudi dimintanya datang kerumahnya untuk bermain. Kekayaan dan perhiasan yang dibawa istrinya dari Patani, segera tandas. Malahan hamba sahajapria dan perempuan digadaikan kepada orang Cina. Kewajibannya diabaikan. Isterinya sedih karena perbuatannya ini, ditambah lagi karena suaminya bersuka-sukaan dengan Puteri Urawan. Ia menyesalkannya. Ia menangis dengan sedih di tempat tidurnya, bantal dan guling dilemparkannya. Seorang emban mencoba, tapi sang puteri berkata : tutp mulutmu, kalau tidak kulempar kepalamu dengan penumbuk sirih ini. Emban ketakutan oleh ancaman itu dan pergi kepada Astra-miruda yang sedangmemegang burung, emban itu menceritakan halnya. Astra-miruda mendapatkan isterinta dan menghibur hatinya. Tapi ia tetap marah kepadanya dan bertanya kemana suaminya itu pergi malam anu dan malam anu. Suaminya menjawab, “Aku pergi ke Pangeran Sinjanglaga”. Dimajukannya kagi beberapa pertanyaa, mengapa Miruda tidak pulang kerumah. Miruda terus memberikan jawaban mengelak. Sang puteri mengemukakan satu pertanyaan lagi: Mengapa kau pulang tidak berbaju hari Jumat?” suaminya menjawab: “Aku berjudi di kampung cina dan kehabisan segala”.
Sekonyong-konyong datang seorang perempuan dari keraton, diutus oleh Puteri Urawan, untuk mengembalikan pakaian Astra-miruda yang ketinggalan karena terburu-buru, bersama sepucuk surat dalam bungkusan kertas dengan kembang. Dalam surat itu sang Puteri mengatakan, bahwa Miruda tidak memegang janji.
Isterinya mengingatkan Miruda, bahwa perbuatan itu bersahaja, tapi Miruda menenangkan hati istrinya.


Serat selanjutnya : Jaya Kusuma
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar