Kamis, 06 April 2017

Menelusuri Jejak Peradaban Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung

 Sumur Blandung, kaloran Kab. Temanggung
Kamis, 6 April 2017. Dan Ritual Blusukan berlanjut. Kali ini tanpa rencana sama sekali. Saat rekan blusukan yang sempat vakum cukup lama menghubungi (nawari) destinasi luar kota, maka tak mampu saya tolak. Yang saya sesali, setiap blusukan dengan rekan yang satu ini, saya selalu terlupa, tak membawa jaket. Kepalang tanggung, jika memilih destinasi lokal, saya tak diberi informasi oleh si bocah nakal. (hehehehe)
Kami kemudian mencoba membuka memori HP, memilah kemungkinan destinasi yang menarik, dan akhirnya Kaloran-Temanggung menjadi pilihan kami. Informasi yang cukup lama dari rekan blusukan membuat kami penasaran. Beberapa destinasi di satu ar3a tersebut. (Ternyata kemudian, baru saya ketahui informasi berawal dari tangan pertama : Kang Adji Negro, seorang senior blusukan) Begitu detail petunjuknya sangat menantang kami untuk menyusuri jejaknya.
Singkat kata, perjalanan dimulai dari kota Salatiga terlebih dahulu, kemudian  melaju menuju Kaloran-Temanggung melalui Sumowono melalui Tuntang-Bawen, dan mampir di Ambarawa untuk membeli bekal serta mencoba mencari jaket di awul-awul, pikir saya murah eh mahal juga. Perjalanan berlanjut tanpa jaket namun sudah dapat jas hujan plastik beli di ***mart. Melewati Bandungan hawa dingin sudah mulai meresap kulit, masuk sumowono bekunya udara menembus tulang, pen dikaki sudah mulai menggeliat. Tapi rasa malu mengalahkan segalanya.
Siksaan dinginnya pegunungan bertambah saat kami memasuki perbatasan Sumowono – Kaloran. Kabut ditambah hujan deras yang tumpah dari langit. Sempat berteduh sejenak di gubuk kosong di pinggir jalan, kemudian kami memutuskan tetap menerjang, karena tipe hujan yang kami hadapi adalah hujan yang betah berlama-lama.
Masjid Dusun Ngabeyan, Desa Tegowanuh
Sekitar satu kilometer setelah umpak pinggir jalan Kaloran”, bunyi informan tersebut meyakinkan. (Beberapa tahun lalu saya dan rekan lain pernah menelusuri jejak purbakala di sini : Umpak Kaloran“Istana Wurung”.
Kami menghitung di speedometer motornya Lek Suryo angka bertambah 1. Kemudian kami bertanya pada warga…. “Wah kelewat jauh mas, setelah dusun ini nanti tanya lagi aja”, jawab warga itu mengoreksi. Kami balik lagi melewati umpak pinggir jalan (yang kedua kalinya), kemudian sekali lagi bertanya… “Ooo sebelum jembatan 1km dari sini, ada tugu ambil kiri”, petunjuk warga yang kedua. Tanpa kami menyebut nama informan awal, hehehehe sebelum atau sesudah 1 km petunjuk sangat fatal… karena hujan deras dan saya menggigil kedinginan. Telak kami dikerjai…. Kami tertawa tapi tak bisa… menahan dingin. #@$@#$@**!
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Mengikuti petunjuk warga tersebut, kami kemudian ambil kiri tepat di sebuah tugu. Ketemu dengan sekolah MI lalu ambil kanan, dan sekali lagi masjid ambil kiri. Tak usah bingung, kanan atau kiri memang petunjuk mudah adalah masjid. Saat kami cari masjid yang kedua ini kami ketemu lagi dengan warga yang kami tanyai sebelumnya. “Masuk gang depan masjid (yang kedua) itu mas, nanti Sumur Blandung nya ada di samping masjid” jelas beliau.
Situs berada di Samping Masjid Dusun Ngabeyan Desa Tegowanuh Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung.
Mata Air : Sumur Blandung
Entah kami disambut atau tidak, saat sampai dilokasi. Hujan tiba-tiba berhenti. Namun kami kemudian ragu karena tepat saat itu, adik adik dari TPA juga selesai, jadi mungkin buka pengaruh kedatangan kami… heheheh.  Tanpa menyia-nyiakan kesempatan kami kemudian mengeskplor detail situs Sumur Blandung ini. 
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Sumur Blandung berada di bawah beberapa pohon yang cukup besar, terlihat pula beberapa bekas akar pohon tua yang sangat besar yang mengelilingi mata air Blandung. 
Sekitar 10 menit kemudian setelah santri TPA dan para ustadnya pulang, eh hujan bukan lagi di tumpahkan namun serasa hujan itu diguyurkan oleh Dewa Hades. Tunggang langgang kami menyelamatkan diri serta barang bawaan kami. Padahal belum sempat foto kenangan di lokasi. Hehehehe.
Sumur Blandung, Kaloran Kab. Temanggung
Beberapa waktu, antara hujan deras dan gerimis kami tetap menunggu dengan kondisi yang payah, (baca= baju basah) kedinginan hanya air putih, gorengan sisa beli saat transit di depan kec. Kaloran saat menggali informasi lewat telp dan beberapa batang rokok yang basah. 
Tak bermaksud lebay, tapi ini kenyataan. Kami kedinginan. Dan kami sepakat kali ini hanya satu saja destinasi. Yang kami tunggu tiba :
Close up :












 Adapun cerita lain tentang Sumur Blandhung ini, saya belum dapat. Ada warga yang kebetulan lewat, seorang Kakek tak tahu menahu, malah menunjukkan arah kediaman juru kunci Sumur Blandung, "beliau pasti tahu", katanya. 
Sambil saya publish-kan, saya sedang nunggu balasan dari Kang Adji negro perihal ihwal cerita Sumur Blandung ini.
Dan keyakinan kami, suatu saat pasti bisa menyusuri jejak informasi detail kang Adjie Negro di lain waktu di lain kesempatan yang lebih baik. Semoga.

Suryo Wibowo : Sumur Blandung Kaloran
 Maturnuwun atas boncengannya…, Blusukan luar kota selalu “merindukan adrenalin jam 5”. Yang mudeng pasti tertawa. Jika bingung lupakan saja. heheheheh. 
Salam Peradaban!.
 
Cuplikan lagu yang menemani saya saat mengetik cerita perjalanan kali ini :

Menang dari areng, kalah dadi awu
Marang sedulur hei rasah do padu
Ora sanak ora kadang yen mati melu kelangan
Agegaman kamanungsan migunani tumraping liyan

(Sedulur-Hip Hop Foundation)

Kamis, 30 Maret 2017

Jejak Peradaban di Gundi Kecamatan Suruh

Gundi Suruh Kab. Semarang

Kamis, 30 Maret 2017. Ritual Kemisan tetap berlanjut. Kali ini setelah rekan-rekan mundur balik kanan tak jadi karena ‘awan menggumpal hitam dilangit’… ternyata kabar gembira datang dari rumah. Istri saya nawari “blusukan ki ngejak”, Kesempatan tak kan gampang terulang pikir saya. Hehehehehe.
Awalnya kemisan ini target saya menelusuri informasi keberadaan struktur batuan candi di lereng timur Gunung ‘Karoengroengan”. Namun Langit hitam sedikit banyak mempengaruhi tujuan kali ini. Apalagi blusukan special dengan “mbokne cah2”.  Mantaplah tekad saya untuk menelusuri informasi dari kawan FB, maturnuwun mas Sri Widodo, dengan Panduan di whatshapp-nya. Sampai share lokasi-gmaps dikirim ke saya.
Tujuan nya adalah ke Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, di sebelah tenggara Kota Salatiga, Disepanjang perjalanan antara Ungaran-Salatiga kami menerjang hujan, Melewati JLS-Terminal Tingkir kemudian ambil kanan arah ke Suruh. Untungnya blusukan dengan istri, karena belum makan siang ndredek juga apalagi di sepanjang jalan hujan dan dingin menusuk tulang sepanjang JLA (Kabut merbabu turun). Istirahat sebentar di ****mart tingkir untuk makan siang bekal yang dibawakan istri. Baru kali ini.. hehehe.
Bekal Makan Siang
Dari Tingkir, tak sampai 15 menit kami menyusuri petunjuk arah (hasil share lokasi pesan whatshapp Mas Sri Widodo). Mempermudah perjalanan saya kali ini. Di Suruh sendiri, saya kebetulan pernah menelusuri jejak peradaban ; Yoni masjid Kauman, Yoni Masjid Karangasem dan masjid Mplantungan Desa Kradonlor (semuanya di wilayah kecamatan suruh). Awalnya niat saya saat menuju Suruh kali ini menelusuri 2 informasi, selain dari Mas Sri Widodo, juga informasi dari Mas Artdie.  Namun bagaimana nanti tergantung situasi.
(Bila butuh petunjuk arah WA saya, 081805803200+ saya share lokasi) Saya merasakan sendiri… tanpa sama sekali bertanya sudah sampai ke tujuan.
Berada di depan Masjid Jami’ Al Huda Klengkong Jl. K. Dasuki No. 56. Desa Gundi Kec. Suruh.
Watu purbakala di Gundi Suruh
Awalnya, dari gambar pemberian mas Sri Widodo saya meyakini peninggalan ini berwujud Yoni. Namun seketika langsung ragu menggelayuti.
Saat asyik mendokumentasikan batu peninggalan ini, seorang warga tertarik dan mendekat penasaran. Kujelaskan sambil bertanya asal muasal dan sejarahnya… dan kebingungan saya malah bertambah, karena ternyata di bagian atas dulunya ada 2 lubang. Kemudian di semen oleh warga, entah, beliau juga tak tahu alasan kenapa disemen, dua lubang itu ditutupi. Di penampang atas tersebut ada bagian sedikit menonjol diatasnya kira-kira 10cm berbentuk persegi mengikuti bagian tubuh batu peninggalan ini. Namun yang tersisa hanya sedikit.. terlihat usaha perusakan, gompal di beberapa sisi.
 Ciri-ciri badan Yoni khas ada di batu ini. Keberadaan cerat juga menambah bukti itu. Tapi saya masih ragu.
Jare Mbah buyut, watu ini gaweane wong kerajaan masa hindu, dek mbiyen panggonane ning pinggir sawah pinggir deso kono, sawah kui jaman mbiyene akeh omah” beliau menuturkan sambil menujuk arah.


Bekas Lubang yang di semen
“Aku yo tau krungu, ono warga nemu patung, nanging naming tugelan sirah, sing duweni rai jumlahe papat, banjur disimpen ning omah. Mung sayange ndadekake atine warga mau ora tenang, sering keganggu. Akhire sirah patung mau di balekno, Cerito kui wis suwi awit aku jeh nom.” Jelas Kakek tersebut dalam bahasa jawa, kurang lebih dan sengaja tak saya translate.


Kepala arca dengan 4 wajah…. Dan itu caturmuka… Brahma… bathin saya tercekat…..  Saya mencoba menggali informasi  keberadaan warga yang menemukan tadi.. namun informasi beliau sudah terputus karena memang sudah cukup lama kejadian itu.
Desa gundi Kec. Suruh

Pengetahuan beliau sungguh mengejutkan bagi saya, ketika umumnya, masyarakat menngikuti saja apa mitos, legenda dan jarene wong tuwone, bahwa batu-batu seperti ini banyak orang yang menyebut tinggalane mbah wali. Beliau malah meyakinkan saya bahwa ini tinggalan masa hindu. 

Saat kami asyik berbincang, beberapa warga yang lewat pun nampaknya tahu ini apa… walaupun belum tepat… ada yang menyebut prasasti ada yang menyebut watu candi. 
Namun itu sudah cukup melegakan… bukan paham kelirumologi dan ikut-ikutan. Semoga dengan mengerti ini apa, tanpa bermaksud menduakan menguri-uri HASIL BUDAYA tidaklah ada ruginya. 


bersama kakek informan
Justru bisa menjadi pengalaman hidup.
Setelah beberapa waktu, kemudian kami berpamitan. 
Sungguh sayang informasi dari mas Artdie belum bisa saya telusuri. 
Jejak peninggalan di Suruh memang sungguh meyakinkan hati saya akan adanya sebuah peradaban yang malah mungkin lebih ramai dari Suruh yang sekarang.

     Menguntungkan sekali mendapat pasangan berjiwa penjelajah... hehehhee

Salam Peradaban! 

sasadara manjer kawuryan : Gundi Suruh
nb : Tambahan
(Kamis, 4 Januari 2018)
Kedua kalinya saya kesini dan berkesempatan membuat video...

Kamis, 23 Maret 2017

Legenda Gebugan : Mbah Penanggalan, bonus pemandangan lereng gunung Ungaran

    Kamis, 23 Maret 2016. Ritual kemisan berlanjut. Ditengah pengawasan, kami tetep blusukan, haghaghaghag.... i Can't Stop, lah pokoke. 
      Tujuan utama kami, menelusuri jejak peradaban di Bengkle, Gebugan - Lempuyang Mundingan - Bergas. "Apapun hasilnya, ada atau tidak sing penting blusukan", Mbah eka bertekad. Saya meng-amin kan. Lha saya hanya membonceng kok.. wkwkwwkwk.
      Jalur kami melewati beberapa situs peninggalan peradaban masa lalu : Seperti Lingga di Masjid Gebugan dan punden berundak mbah Dul Jalil.
Makam Mbah Penanggalan
Untungnya kami kesasar (tersangka adalah sang driver, soalnya saya membonceng, wkwkwkwk)… jadi bisa singgah dan menulis kisah ini.
Warga menyebut batu yang ada di sisi kanan makam (dari arah pintu masuk) dengan ‘Watu Dakon’, namun tak ada yang mengetahui bagaimana sisik meliknya secara jelas. 
"Hanya Mbah Penanggalan adalah sesepuh Desa Gebugan, atau yang bubakyoso, banyak yang berziarah ke makam beliau, yang dipercaya adalah salah satu penyebar islam di daerah ini."

Makam Mbah Penanggalan Gebugan
 “Mbah Penanggalan adalah salah satu murid dari Mbah Kyai Hasan Munadi yang kesaktianya tersohor. Sebutan mbah penanggalan, karena beliau memiliki kemampuan membuat penanda kapan sebuah acara dilaksanakan”, (sumber wawancara Mbah Eka WP dengan seorang kakek warga sekitar yang dia temui disawah, di blusukan sebelumnya). 
Watu Dakon, Makam Mbah Penanggalan


Kesaktian yang lain, pohon tua dan berukuran besar ‘growang’ di batang bagian bawah, hingga 3 orang dewasa bisa masuk kedalamnya,  di depan makam beliau itu, dulunya adalah tongkat beliau”, tambah kakek tersebut seperti yang diceritakan kepada saya.
Watu Dakon
Yang tersisa memang hanya secuil, namun bagi saya sangat berarti. 
Menjadi sebuah penanda menghadirkan bukti sejarah masa lalu.
Imajinasi saya, ketika ini utuh, seperti membayangkan bola golf, dimana ada cekungan-cekungan jumbo (mirip di depan gerbang golf Jatingaleh) Apakah mungkin cekungan - cekungan tersebut untuk menaruh berbagai macam sesajen? 
Dugaan, rekaan …entahlah….
Setelah mendokumentasikan barang sejenak, kami melanjutkan, walaupun godaan eksotis batuan di sisi kiri dan pohon tua berongga untuk ber-selfie lumayan besar, namun saya lewatkan,  auranya memperingatkan saya.
Kami melaju pelan menyusuri jalan yang tak mulus… tiba-tiba mbah Eka terpekik.
 "Kui Lumpang, kui lho!!!", karena suaranya pula, para muda dan warga yang di pinggir jalan menoleh kepada kami.
Lumpang tersebut didepan rumah seorang warga, karena pekikan tersebut sang empunya kemudian keluar rumah karena penasaran.
Wonten menopo mas”, selidik curiga. 
Setelah berbasa-basi menjelaskan siapa kami, Pecinta Situs dan Watu Candi. 
Kemudian luruh kecurigaan di wajah beliau.
Bahwa didepan rumah beliau ada lumpang kuno, stuktur batu candi dan lain sebagainya”, membuat beliau tambah tercengang. 
Kami juga hubungkan dengan keberadaan masjid Jami' Baitul Muqqorobiin desa Gebugan dimana mempunyai sejarah panjang, beliau tambah berbinar. 
Pesan kami kepada beliau, “Watu-watu candi niki ampun di katutke ndamel pondasi nggeh!”.
Karena hanya edukasi seperti ini yang bisa kami lakukan, kami tak mampu berbuat lebih, siapakah kami?
Rencana kami dari awal, ingin menyusuri pemandangan alam pegunungan dari Desa Gebugan Dusun Bengkle - Dusun Cemanggal - Desa Munding sambil menelusuri jejak purbakala yang barangkali masih tersisa. 
Beberapa warga menggelengkan kepala saat kami tanyai, 'ada atau tidak peninggalan kuno disekitar disini". (hampir semua istilah macam kami gunakan, lumpang, kenteng, lesung, reco, bahkan masjid wurung atau tinggalane mbah wali juga kami utarakan, namun nil. 
Malah di tunjukkan arah dimana ada gua jepang, ada masjid keramat, ada tempat mistis…. "Oh no!.." bukan itu yang kami cari. 
Ada juga Curug Selawe, curug yang masih jarang orang tahu di ceritakan kepada kami… 
Namun bagi kami blusuker… lokasi wisata seperti itu hanyalah bonus. Walaupun tanpa informasi pasti, kepalang tanggung, kami tetap melaju. Niat awal memang blusukan menikmati alam pegunungan, sambil merekontruksi kemungkinan sebaran situs sekitar area ini.
Gua Jepang Mundingan
Jalan berliku, naik turun sepadan dengan indahnya alam serta sejuknya udara segar yang kami hirup.
Kami mampir pula di Gua Jepang yang menunggu entah dengan kesabaran atau tidak, untuk dibangkitkan kejayaan sejarahnya; posisi Gua Jepang Mundingan ada di pinggir jalan.
Kami disuguhi pemandangan yang alangkah aduhainya, sangat jelita dan mempesona bisa diibaratkan seorang gadis.
 Benar-benar belum terjamah, masih asri. Alam yang indah… gugusan bukit, awan yang berlomba dengan puncak beberapa gunung nampak menakjubkan. Gunung Ungaran, juga Gunung Merbabu dikejauhan adalah puncak dari kebisuan saya untuk mengomentari begitu indahnya. Surga bagi penikmat alam raya. Saya yakin, penatnya kesibukan di perkotaan akan langsung lenyap melihat bentangan alam yang tak tergambarkan ini.

eka Wp : Partner in crime
Sayangnya akses jalan sangat parah… terutama di bagian turunan maupun tanjakan, kami berseloroh, “Gulo kacang ae ra separah iki…”

Pemandangan Indah : Telaga Melik Munding Bergas.
Penyiksaan selama perjalanan, terbayar lunas dengan bayaran keagungan ilahi seperti ini… dan yang sangat saya sesali, saya menangis batin membawa kamera SLR, tanpa memori card nya.
 Sesungguhnya, keindahan yang ada difoto-foto saya tadi tak ada 1% nya dibandingkan kondisi sebenarnya!!!

Salam peradaban.



Mari ketahui, lestarikan....










*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang diselengarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah".

Rabu, 22 Maret 2017

Watu Lumpang Seleses : Jejak Peradaban tanah silam.

Watu Lumpang Seleses

 Rabu, 23 Maret 2017. Kali ini berawal dari ketidaksengajaan melihat sebuah postingan dari Tapak…., di Grup Ambarawa tentang watu Lumpang. Segera saya kumpulkan beberapa informasi keberadaan watu lumpang tersebut dari komentar dari postingan tersebut. (Kalimat ini atas perkenan ijin dari beliau mas Tapak Sakti: masih menunggu permitted). Kenapa saya sangat ingin langsung menelusuri lokasi? Jawabanya, Karena beberapakali saya menelusur sumber Air Seleses ini hasilnya nihil. Dibeberapa naskah sebelumnya pernah saya tulis, dan yang paling mencolok adalah telah hilangnya Golek Kencono : diduga Arca dewa Siwa dari kawasan di mata air seleses ini.
Ketika saya mendapati informasi keberadaan ‘teman’ lain yang mungkin saja berkaitan dengan keberadaan golek kencono tadi maka saya tak menunda waktu. Di area ini, tak terlalu jauh ada beberapa tinggalan seperti struktur bangunan suci (=candi), juga yoni menjadi bukti nyata, sebuah peradaban yang luhur masa itu yang bersemayam disini.
Dan kebetulan saat saya berkomentar di status tersebut, ada rekan merespon “sang absurb” Mbah Eka, = status e belum jelas tapi dedikasi atas pekerjaane saya akui joss gandhoss..--- end. Singkat cerita kami janjian di Perpusda Kab. Smg (alun2 lama Ungaran) –tempat kerja saya---. Start  jam 3 sore, walaupun langit gelap berarak, namun tak menyurutkan semangat kami. Melalui jalur belakang, setelah melewati dusun demi dusun sampailah kami di depan sebuah pabrik (Tahu mungkin), di bawah sumber mata air Seleses (Yang entah mulai tahun berapa sudah diambil PDAM, dan hanya menyisakan beberapa puluh debit air untuk pertanian). 
Berbekal Informasi, “Didekat PDAM, dibelakang POS Satpam.” Dari gambar yang diposting juga menambah pelengkap petunjuk bagi kami. 
Di pinggir kali, dibawah pohon kresen kami turun....
Berada di sungai yang jernih. Dan beberapa detik kemudian setelah kami meminta ijin security, kemudian kami telusuri tepian sungai di samping kanan Pos satpam.
Dan Ketemulah, 
Watu Lumpang Seleses
Berada di lereng sungai, diantara bebatuan alam dan ditutupi rumput liar, maklumlah banyak orang yang tak mengetahuinya…. Hehehe security yang kami minta ijin saja malah tanya, “Apa iya ada mas?”, hehehehe. (seperti yang Mbah Eka ceritakan ulang kepada saya.). Untung Mbah Eka bawa pisau lipatnya, setelah saya bersihkan secukupnya mulailah kami mencoba secara detail mendokumentasikan gambar Watu Lumpang Seleses.
Watu Lumpang Seleses
Beruntungnya, tas ransel saya ada meteran, untuk mengetahui dimensi lumpang ini, bejo double… kamera Nikon bernomor seri kantor masih di Tas Ransel, karena sebelumnya mendokumentasikan kegiatan di Perpus Ambarawa. Keberuntungan saya berlipat-lipat dengan satu titik cerah di seleses ini.
Watu Lumpang Seleses
Bentuk Lumpang tak bulat sepenuhnya, melihat dari cirri fisik lumpang nampaknya beberapa mengalami kerusakan sehingga membentuk sudut bukan bulat sepenuhnya. Dugaan saya terbentur batuan yang hanyut karena banjir. Perdebatan lumayan seperti debat pilkada terjadi antara saya dan mbah eka insitu atau Lumpang ini hanyut terbawa aliran = posisi asli diatas, dibukit yang sama dimana golek kencono’ berada.

Watu Lumpang Seleses

Setelah kami nongkrong agak lama disertai berbagai pandangan dan ilmu kira-kira, kesimpulan sementara dari berbagai asumsi, berbagai argumen lumpang ini insitu, alias dari dulu dilokasi ini.. 
Tapi pasti berkaitan dengan beberapa peninggalan di area Seleses ini. 
Watu Lumpang Seleses
---sekali lagi kami mohon kiranya dimaklumi, pengetahuan kami hanya tak sedalam laut atlantik (rodo lebay)--- mohon pencerahanya para ahli.
Adapun berbagai dugaan fungsi lumpang pada masa lalu, tak akan saya bahas disini, para ahli pasti lebih tahu… hehehehe.
Batu-batu yang berlimpah disungai ini, dan Lumpang diantaranya, 
Rasa penasaran yang rasanya ingin keluar dari angan-angan, kemudian kami mencoba menyusuri hulu sungai, karena kami yakin tak hanya watu lumpang ini saja. Untuk kali ini kami tak menemui hasil, namun keyakinan kami suatu saat akan berjodoh. Tapi keanehan yang kami lihat, hulu sungai ini tak ada aliran air… maaf kami terlupa mendokumentasikan hulu sungai dimana berada di area mata Air Seleses yang suasanya sungguh ‘berbeda” dengan puluhan pohon besar dan tua-nya… Artinya ; walaupun air sudah disedot habis PDAM, pohon-pohon besar ini tetap menjaga aliran air untuk pertanian warga. Yang Kuasa memang adil… Semoga manusia tetap adil untuk merawat pohon pohon ini.  
Di Gerbang batu Seleses, berlatar belakang Mata Air Seleses.
 Karena waktu durasi masih longgar, kami mencoba melanjutkan ke satu daerah bernama Si Petir-Sikreo, dimana ada beberapa Arca yang terpendam di lumpur sawah. ---Tunggu saja naskahnya--- Karena masih terpendam dan padi nya belum panen.
Berduet Blusukan, Mencoba merekontruksi jejak masa tersilam. 



















Salam Peradaban !