Senin, 01 Agustus 2011

Candi Sukuh

Eksotis
Candi Sukuh
Satu Lagi Mahakarya Leluhur, Candi Sukuh, sudah lama saya mendengar keunikan Candi Sukuh ini, tapi baru 27 Juli 2011 setelah mendapatkan cuti dari tempat kerja, akhirnya  terwujud juga keinginan untuk mengunjungi candi ini.
Persiapan sudah 100%, mulai dari logistik, Peta wisata Kabupaten Karanganyar yang kudapat dari seorang teman. Kecuali motor yang sedikit ‘tidak sehat’ tidak ada hambatan yang berarti. Saya berangkat jam 9 pagi, melalui jalur Semarang-Ungaran-Lingkar Salatiga-Boyolali-Solo-Karanganyar.
Entah kenapa Jalur Solo ini selalu ‘menakutkan’ bagi saya, saya selalu kebingungan….aneh… padahal peta sudah ditangan, melalui komentar status FB mas Erwan juga membantu saran jalur Ke Candi tidak ketinggalan pula seorang sahabat juga siap memandu melalui ponselnya…. Tapi ada perasaan tidak PD saat melalui Jalur ini.
Setelah sesampainya di Batas Boyolali – Sukoharjo, perjalanan kurus terus, melalui pusat kota Solo, adanya papan petunjuk arah ke Tawangmangu sangat membantu saya saat ‘Solophobia’ saya muncul…. Setelah Menyeberangi Sungai Bengawan Solo yang anggun itu, melewati Pertigaan palur terus saya mengendarai menuju Kabupaten Karanganyar. Saya juga melewati pula kota Karanganyar lurus terus mengikuti petunjuk arah Tawangmangu. (Sebagai informasi Keberadaan Candi ini memang berada satu jalan kearah Tawangmangu…) Sesampainya di pertigaan Karangpandan ambil arah sebelah kiri, Ada Petunjuknya ( seperti di gambar) . Kalau lurus menuju Wisata Tawangmangu.
Setelah pertigaan Karangpandan kemudian ikuti jalan tersebut sampai menemukan petunjuk ini 
Ikuti petunjuk tersebut ambil kanan, jalanan yang akan dilalui sangat menanjak, mengingatkan saya pada Jalan Ke Candi Gedongsongo. Didekat candi ini juga ada air terjun Jumog, jaraknya sekitar 2km dari candi.

Akhirnya sampai juga….

Menyerupai peninggalan kuno di Meksiko, begitu benak saya saat pertama kali masuk Candi, tentunya saya membayar dulu tiket masuk Rp. 3000,-+ parkir Rp. 2000,-(belakangan). Tidak saya sia-siakan waktu, saya langsung genggam perlengkapan memotret yang saya punya. Canon EOSD1000 tercinta berikut Tripod Exell150S, yang setia menemani saya. Sepintas keadaan Candi Sukuh ini masih tersentuh perawatan. 




Secara Administratif Candi Sukuh terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Terletak di Lereng Gunung Lawu pada Ketinggian 910m Diatas Permukaan Laut. Ditemukan oleh Johnson pada Tahun 1815 saat pemerintahan Gubernur Jendral Raffless.
Inventarisasi Candi Sukuh pertamakali dilakukan oleh Verboek tahun 1889 dilanjutkan oleh Knebel pada 1910. Usaha pelestarian Candi Sukuh dilakukan oleh Dinas Purbakala pada Tahun 1915.
Candi Sukuh didirikan pada masa kerajaan Majapahit abad 15M, Yang berkuasa saat itu adalah Ratu Suhita 1429-1446 M. Candi Sukuh menghadap kearah terbenamnya Matahari dan dibangun dengan tiga teras bangunan. Setiap tingkatan teras menggambarkan tingkatan menuju kesempurnaan kehidupan.
Terdapat pula relief yang melambangkan ketiga dunia. Yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah dan Dunia Atas. Dunia Bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci, Dunia Tengah dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala. Sementara Dunia Atas di tasbihkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk menuju kesempurnaan hidup di Nirvana.
Semuanya itu merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau RUWAT. Ruwat adalah salah satu sarana untuk meningkatkan derajat seseorang menuju tingkatan yang lebih suci yaitu hilangnya mala dalam diri atau moksa.
Gapura / Punden Berundak
Halaman I

Halaman ini merupakan teras paling bawah, yang terdapat gapura masuk berbentuk Paduraksa. Siapapun yang masuk ke Candi ini, diingatkan bahwa kehidupan ini tidaklah mudah. Kesulitan hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia. Pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan manusia akan sulitnya kehidupan.
gapura abang wong














kala berdagu










pintu gapura




Di Gapura ini terdapat Sengkalan yang menandakan dibuatnya Bangunan suci ini, Sengkalan “Gaporo Buto Abang Wong” juga tertulis huruf  jawa kuno = 1359 saka/1437M. Relief tersebut menggambarkan seorang manusia yang ditelan raksasa.





Halaman II

Halaman II Candi Sukuh

relief pande besi
Halaman semi sakral, dimana umat manusia disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian menggunakan air suci atau amrta, adanya relief Pande Besi menggambarkan ini. Karena pada masyarakat jawa kuno golongan ini (Pembuat Pande Besi/Empu) memiliki status khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis, mereka mampu memberikan air bertuah yang suci = amrta.


      Halaman III
Halaman sakral, dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief yang menggambarkan sebuah cerita penggambaran kehidupan.
-          Relief Sudamala
Mengisahkan pembebasan Dewi Uma yang dikutuk oleh dewa Siwa karena berbuat salah. Dan diharuskan hidup didunia sebagai raksasa. Dewi Uma dibebaskan dari mala (kutukan) oleh Sudamala (Sadewa) dengan upacara Ruwatan sehingga dapat menjelma kembali menjadi Dewi Uma Yang Sangat Cantik dan kembali ke Khayangan.
 
-          Relief Garudeya
Menceritakan pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda dengan menggunakan air amrta. Winata- Ibu Garuda – menjadi budak Kadru- ibu para naga- karena kalah bertarung tentang warna ekor kuda Ucchaisrawa yang keluar selama pengadukan lautan susu (samudramanthana)
-          Relief Bima Suci
Drona memerintahkan Bima mencari air kehidupan di Gunung Candradimuka, dalam perjalanan Bima bertempur dengan dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Kedua raksasa tersebut kalah dan menjelma menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemudian Bima melanjutkan perjalanan menuju samudera dan bertemu Dewaruci. Menyatu melalui telinganya dan menemukan hakekat air penghidupan.




-          Relief Ramayana
Mengisahkan percintaan antara Rama dan Sinta yang menghadapi banyak ritangan. Ketika mereka mengembara, Sinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Atas bantuan Laksamana dan pasukan Kera, Anoman sang pemimpin pasukan kera. (img_arwana) Rama berhasil membebaskan Sinta dan mengalahkan Rahwana. Sinta membuktikan kesuciannya dengan membakar diri hidup-hidup, seketika api berubah menjadi teratai.
-          Relief Swargarohanaparwa 
Menceritakan perjalanan Pandawa menuju surge setelah perang Bharatayudha. Dalam perjalanan itu Drupada meninggal terlebih dahulu, diikuti Arjuna, Sadewa, Nakula, Bima. Hanya Yudhistira yang tertinggal. Ia kemudian didatangi dewa Indra, diajak menuju surge dengan keretanya, akan tetapi Yudhistira menolak kecuali dengan anjingnya boleeh ikut serta. Sesampainya disurga Yudhistira melihat Kurawa dalam kesenangan dan Pandawa dalam Kesengsaraan. Ia memilih bergabung dengan saudaranya. Seketika tempat tersebut menjadi surga.
 
-          Relief  Bima
      Menggambarkan Bima yang sedang membunuh raksasa dan terdapat tulisan dalam huruf kawi ‘pedamel rikang buku tirta sunya’ = 1361 Saka (1439 M).
-          Samuderamanthana
Pengadukan lautan susu yang dilakukanoleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan air kehidupan/ amrta. Pengadukan tersebut mengunakan Gunung Mandara dengan Naga Besuki sebagai pemutarnya,kura-kura Akupa yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu menyelam ke dasar laut menjadi pondasi agar gunung mandara tidak tenggelam.
kura-kura 

Pembagian Ketiga Dunia :
a. Dunia Bawah = kura-kura 
b. Dunia Tengah = Gunung
c. Dunia Atas = lingga

lingga-yoni-gunung

-          Prasasti pada Arca Garuda
Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti berangka tahun 1363 saka (1441M) dan 1364 saka (1442M)
-          Beberapa Relief & Arca Perlambang Kehidupan Pria dan Wanita





MITOOOSSS
Pada teras ketiga, terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Ada yang tertarik untuk Tes? hehehehehe

-          Gambar dari atas Candi Utama , perlu perjuangan yang gigih untuk naik ke atas candi, ada 24 undakan dengan tinggi @40cm, tapi cukup terpuaskan saat berada di atas candi. Pemandangan sungguh indah, juga bisa memandangi seluruh area candi….






saluran pembuangan air di Candi Sukuh

-          Candi ini sudah memiliki sistem pembuangan air . Hebat kan?






Candi Perwara
-          Reruntuhan yang diperkirakan Candi Perwara




-          Penataan jalan keluar lewat belakang candi, dulunya sudah membuktikan tata bangunan yang baik dan sedemikian rapi








Saya sebelum perjalanan selanjutnya….



Sampai ketemu lagi...

PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V

(PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU)

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
    Perbedaan pendapat antara anak kandung (R.Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.
   Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.
   Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".
   Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik. Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "ki" (singkatan dari kihembu). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.
   Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V /Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.
   Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar candi menggung.
     Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan 'Pringgodani'. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". Dialog terjadi antara penguasa lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 
    Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 
   Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.
    Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. Candi kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
     Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu 
  Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam (ciptaan lain. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Saya kumpulkan dari berbagai sumber......
1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya

Candi Planggatan

Tersisa Reruntuhan 
Planggatan

Ketika perjalanan selepas Candi Sukuh, tepatnya di perempatan Sekitar kebun Teh, saat saya menikmati semilih angin, sejuknya mata memandang, tiba tiba ada seorang ibu yang menggendong anaknya, melambaikan tangan sambil mngucapkan “ minta tolong Bapak saya ikut sampai Ngargoyoso”, tanpa berpikir panjang, okelah…..
Seusia kakek saya, memang tidak ada angkot lewat jalur ini, jalan pun kayaknya berat. Beruntung saya diberi kesempatan untuk menolong. Sambil melaju pelan-pelan, saya ngobrol dengan kakek yang “bonceng”, saya juga menceritakan kesenangan saya mengunjungi candi-candi, Kakek itu Tanya sudah kemana saja? Apakah Candi Planggatan sudah? Wah…, langsung saja…..mumpung masih ada waktu (belum sore)… saya kumpulkan informasi selengkapnya dari kakek itu….
Ternyata jalurnya sama dengan jalur ke candi Sukuh, kakek itu juga bilang kalau ke Candi Planggatan jangan lupa mampir Ke Telaga Mardida. Oke lah kalau begitu….semangat ’45 nic…. Tepat di Terminal wisata Ngargoyoso Kakek itu turun, saya berketetapan hati untuk mencari sampai dapat. Mumpung saya masih di Karanganyar.
Ternyata memang di tempat parkir Candi suruh tadi ada papan petunjuk arah ke Candi Planggaran, langsung saja saya ikuti jalan tersebut, mohon berhati-hati karena selain jalan menurun juga rusak, tidak beraspal sama sekali. Saya sungguh salah bawa motor, Vixion yang menemani saya tidak cocok, tapi bagaimana lagi lha punya Cuma itu kok….hehehehe… lain kali mungkin bawa super moto…..hehehehe…. sahabat nanti ketemu dengan jalan dimana sebelah kiri itu banyak lubang-lubang gua…
lubang di kaki bukit Perjalanan ke planggatan
Mohon maaf saya tidak sempat bertanya apakah lubang berbentuk gua tersebut sudah ada sejak jaman dulu atau baru terjadi, jalanan sepi jadi tidak ada yang bisa saya tanya.
Sesampainya di jalan persimpangan berbentuk K, pilih serong kekiri, kearah Desa Tambak. Menuju tujuan kita yaitu Candi Planggatan. Ikuti jalan cor-cor an semen di desa tersebut, pada gang ke tiga langsung saja belok kanan. Sekitar 75m saja dari jalan tadi.
Sedikitnya informasi mengenai keberadaan candi ini menjadikan saya mengabadikan sisa sisa reruntuhan candi sesuai  feeling saya saja.
menggambarkan relief Candi ini (mungkin)
Situs peninggalan Majapahit di lereng gunung lawu. Lokasi situs ini di Dsn.Tambak, Ds.Planggatan, Kec.Ngargoyoso - Kab.Karanganyar atau sekitar 6 km dari candi sukuh.  
Candi Planggatan hanya tinggal reruntuhannya saja, dimana ada beberapa pohon besar tumbuh diatas bebatuan gundukan batu yang merupakan batuan candid an bagian inti candi. Relief – relief candi tersebar di beberapa tempat, menyembul diantara tanah atau tersembunyi di balik batuan padas yang besar. Dan adanya yoni kecil yang rusak menandakan bahwa tempat ini adalah peninggalan Hindu
relief Planggatan ini mirip dengan candi di Jawa Timur




Yoni yang rusak
perlu penanganan
Relief wayang
     Sejarah :
Situs ini termasuk peninggalan dari Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit sebelum moksa. Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berpindah dari Jawa Timur ke Gunung Lawu, sebelumnya Brawijaya sempat beristirahat dan membuat singgahsana di sekitar Rawa Pening Kab.Semarang yg saat ini disebut Candi Dukuh.
    
Kondisi situs :

Sebagian besar batu2 belum digali dan hanya nampak beberapa batu2 dan batu berelief yang masih setengah terpendam. Menurut juru pelihara situs ini, lokasi situs ini dulunya adalah tanah bengkok milik warga desa yang ditanami rumput gajah untuk keperluan pakan ternak warga. Setelah diketemukan situs ini maka status kepemilikan tanah di ambil alih oleh pihak BP3 Jateng dan tempat ini pun ditetapkan sebagai Cagar Budaya


 Diantara beberapa relief yang ada salah satunya menggambarkan sengkalan memet (sandi angka tahun) berupa Gajah Wiku, yaitu sosok setengah gajah, setengah manusia dengan belali ke bawah dan memakan bulan sabit dengan pakaian seorang wiku/ pendeta. Relief ini dibaca “Gajah wiku mangan wulan” dan diartikan 1378 caka atau sama dengan 1456 Masehi. Selisih 19 tahun dengan Candi Sukuh yang selesai tahun 1437 Masehi.
Disamping kanan relief gajah Wiku ini, terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa kawi sebanyak empat baris yang berbunyi :
"padamel ira ra
ma balanggadawang
barnghyang punu
n dah nrawang"
Terjemahannya :
"Pembuatannya Rama Balanggadawang bersamaan dengan Hyang Panunduh Nrawang" 
Sayang sekali, relief gajah wiku kurang jelas akibat tertutup tanah dan relief di Candi Planggatan yang tipis dan serupa dengan relief – relief di Jawa Timur. Hal ini tak begitu mengherankan karena Candi Planggtan sendiri di bangun oleh prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit sebelum moksa ke Gunung Lawu.
Situs/ Candi Planggatan ini masih digunakan oleh masyarakat sebagai tempat dilangsungkannya upacara Bersih Desa, selain juga dikeramatkan. Candi Planggatan juga masih ada usaha untuk selalu membersihkan, jadi tidak terkesan benar-benar diabaikan, tapi mungkin saja hanya oleh warga sekitar. Tampaknya belum tersentuh usaha ekskavasi dan eksplorasi reruntuhan candi untuk merenkontruksi Candi Planggatan ini.
Seperti pesan Kakek tadi, saya melanjutkan menuju Telaga Mardida, kita keluar lagi kearah perempatan berbentuk K, kita ambil serong kanan. Kalau lurus pun juga bisa namun agak jauh sedikit. Jalanan masih sama, tidak sebagus masuk Desa Tambak tadi. Bahkan batu-batuannya malah besar, jadi sayya harus berhati-hati, karena tipe roda motor saya bukan untuk kondisi jalan seperti ini. Dari planggatan kurang dari 2km saja.
Ketika saya berada di Telaga Mardida ini, ada dua orang anak yang tertarik dengan apa yang saya lakukan, mendekat dan meminta untuk ikut difoto…IMG_8199. Saya menjelaskan saya seorang penikmat candi sukuh,ceto dan planggatan, dua adik-adik ini bilang : ada satu lagi kak, didekat Tawangmangu sana ada Candi Menggung… kakak lewat jalan tembus kea rah Tawangmangu. Wah, sayang… selain waktu sudah merayap sore hari, tenaga dan logistikpun sudah terkuras. Jadi dengan agak menyesal saya bilang mungkin laen kali… lagi-lagi keramahan seperti ini saya dapat…
Semoga semakin banyak keramahan-seperti ini….
Sampai ketemu lagi di perjalanan selanjutnya….