(PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU)
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Perbedaan pendapat antara anak kandung (R.Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.
Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.
Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan 'Pringgodani'. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". Dialog terjadi antara penguasa lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana.
Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri.
Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.
Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. Candi kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu
Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam (ciptaan lain. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.
Saya kumpulkan dari berbagai sumber......
1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya