Tampilkan postingan dengan label candi dukuh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label candi dukuh. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Oktober 2011

Candi Dukuh : Kecantikan yang disembunyikan


Beautiful hidden

Candi Dukuh

Jumat 21 Oktober 2011, ku bulatkan tekad untuk ekspedisi lagi ke Candi, dah lama banget, terakhir ke Candi Sukuh beberapa bulan lalu. Kali ini Candi Dukuh di daerah Banyubiru, tepatnya di dekat Rawa Pening, yang terkenal dengan Legenda Baru Klinting itu. Modal nekad, begitu lah perjalanan kali ini. Karena saya merasa tidak terlalu jauh, maka dengan Rp. 50.000,- pun sudah sisa. Akan saya buktikan nanti.
bukit cinta
Berangkat dari tempat kerja, di Ungaran. Tepatnya Jam 1 siang setelah shalat Jum’at. Kali ini Saya memakai motor pinjaman, “maaf ya, lain kali kau yang menemani lagi :to my vixion”. Perjalanan kali ini relatif dekat, melalui jalur Ungaran-Bergas-Bawen-Jalan Tembus/Alternatif Gembol-Ambarawa, sampai di Pasar Ambarawa Belok Kiri (ada Tugunya) - ketemu lapangan Turonggo-ambil kanan-100 meter kemudian ambil kiri. Setelah Lapangan Turonggo/komplek militer ini, kita akan menelusuri hamparan sawah dan genangan air luapan dari rawa pening yang menghijau, angin semilir serta pemandangan yang luar biasa menyejukkan mata.
Petunjuk arah
Pintu Gerbang Candi Dukuh
Kira kira 5 km, perjalanan kita akan ketemu dengan obyek wisata BUKIT CINTA  di sini sahabat bisa melepas Penat, Taman yang asri, wisata keliling Rawa dengan perahu Sewaan bahkanjuga bisa memancing ataupun menikmati ikan bakaran segar  asli rawa pening  bisa dinikmati disini.
Setelah melewati Bukit Cinta, sahabat terus saja , kira kira ±200m sebelah kanan ada petunjuk . Masuk saja ke kiri, ikuti gang/jalan beraspal… kira-kira 500m ketemu dengan pintu gerbang Candi Dukuh dari Jauh sebenarnya sudah terlihat bukit, dimana berada Candi Dukuh ini, letaknya tepat di pinggir sawah disebelah Rawa Pening.
Rawa Pening dari Candi Dukuh
Setelah sempat permisi dengan rumah dideket gerbang tersebut, sambil minta ijin parkir motor dihalamannya, mulailah saya menikmati Candi dukuh ini….langsung disuguhi dengan jalan setapak yang menanjak. Setelah “ngos2 an”, untungnya saya tadi tidak lupa membawa bekal air minum…. (saran saya jangan lupa membawa bekal yang banyak heheheheh).  Dalam perjalanan melalui jalan setapak ini, kita akan disuguhi keindahan Rawa Pening dari atas…maaf kalau harus dapat spot gambar yang bagus harus naik pohon, jadi ya seadanya ya…, walau kurang menggambarkan keindahan pemandangan dari sini tapi apa salahnya?
Tak beberapa lama kemudian, sampailah di Candi Dukuh Ini…., Terletak di atas bukit, di Dusun Dukuh, Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang.
Candi Dukuh
Kosong melompong, tidak ada penjaga maupu juru kunci, jadilah saya pake jurus andalan saya…hehehehe, tapi bukan ajaran Sinto Gendheng lo ya… wekekek : “Hiaaattt....Jurus Melompat pagar, untung pagarnya rendah,…. Namum sedikit membawa malapetaka…. Celana saya robek, kesangkut pagar….. Maaf ya prabu, (Brawijaya V, maksud ku), saya masuk Candi tapi pake cara illegal…hehehhe… sempet terlintas dalam pikiran saya, ini jadi pertanda bahwa saya tidak boleh masuk. Tapi  karna dalam hati sudah menggebu ingin menjelajahi setiap inci Candi, ya kuteruskan langkahku.. “ dengan sedikit pengulangan Ritual mau masuk candi, saya biasanya mengucapkan: “Mbah, nyuwun pangapunten, kulo putune ajeng mlebet candi, nyuwun ijin njihh, kulo mboten gadhah niat elek, naming kulo niku tresno kaliyan candi.
lantai Bawah di Candi Dukuh
Mulailah jepret sana jepret sini. Sedih, kalau melihat candi ini, hanya tinggal reruntuhan disana-sini, tidak utuh, bagaikan susunan Puzzle yang tidak bisa diselesaikan….
Sebenernya memang ada upaya untuk merawat dan menjaga kelestarian Candi Dukuh ini. Namun hanya sampai disitu saja, tidak ada upaya penggalian sejarah merenkontruksi kembali candi ini. Yang tersisa dari candi ini hanya bentuk dasarnya saja, yang kira-kira (tampak) Candi dengan dua lantai. 
Lantai bawah terdapat dua lingga yang diletakkan berdekatan, diletakkan pula beberapa potongan batu penysun candi, misalnya batu berelief, stupa atap candi, potongan relief dewa dan  lain-lain. 
Candi Dukuh: Relief atap
Candi Dukuh : Stupa atap
relief dewa 
Relief dewa, saat saya kesana, ga melihatnya, ....... gambar di blog ini saya ambil dari (http://tarabuwana.blogspot.com/2010/03/candi-dukuh.html), padahal belum lama, kalau melihat keterangan blogtersebut maret 2010.....
Candi Dukuh : Kala ini harusnya di pintu kan?
Candi Dukuh : Relief samping candi
Candi Dukuh : masih sering u beribadah

Di lantai dua, terlihat menyerupai makam
Candi Dukuh lantai atas : menyerupai makam
sudah mulai bergeser....
Ketika naik ne lantai dua ini, perasaan aneh/ mistis menyergap saya…. Lumayan keder, karena saat disini harum kemenyan masih terasa banget. Sementara itu terlihat di bagian kanan menunggu waktu runtuh… siapa yang mesti bertanggungjawab??
Saat ke Candi dukuh, penjaga/juru kunci sudah pulang, jadi saya urung mendapatkan cerita-cerita masa lalu, tapi melalui  blog ini saya ingin mengucapkan rasa terimakasih dan respect. Semoga dari saya yang sedikit itu sampai ke penjaga candi.





 
Candi Dukuh: Gulo Kelopo
Setelah lama, menikmati candi Dukuh, menyudahi ekspedisi kali ini, saya tinggalkan pula sedikit oleh2 lalu saya beranjak, saat perjalanan turun, surprise sekaligus bertanya - tanya. Ada bendera merah putih yang dipasang di dekat jalan masuk--- Jaman Kerajaan Majapahit terkenal dengan simbol kerajaan GULO-Kelopo. Gulo =merah, Kelopo = putih.  Saat mengambil gambar ini, ada perasaan aneh lagi yang mengganggu saya, tapi semoga kejadian aneh itu hanya perkenan tuan rumah yang mengantar pulang tamunya.
Candi Dukuh : Dampar kah?
Beberapa meter dari pintu keluar, ada batu candi yang terpisah, yang dekat dengan lereng bukit ini, dengan pemandangan langsung ke Rawa Pening, kalau sekarang mungkin menara pantau/ bahkan dampar dari Prabu Brawijaya V siapa Tahu? ...
pecel keong
Potensi, Candi dukuh sebenarnya mempunyai wisata sejarah yang tinggi. Di area yang tidak terlalu jauh ada beberapa tempat wisata, sebut saja Bukit Cinta dan Pemandian Muncul, kulinernya pun lumayan banyak; ada wader goreng khas rawa pening, welut goreng, dan yang paling menjadi klangenan adalah Pecel Keong.


Jarak antar 3 wisata ini kurang dari 2 kilo saja, bukankah ini rangkaian yang menarik, Bukit cinta wisata Pemandangan, Diteruskan Wisata Sejarah di Candi Sukuh, setelah itu Wisata Air di Pemandian Muncul, setelah Lapar makan dec Pecel Keong ……
=
Candi Dukuh : Melanjutkan perjalanan
kalau digarap, tapi entah kapan.....
(Tukul bilang Ngimpiiiiii....)

Namun sayang, sama sekali tidak ada tindakan nyata….. siapa harusnya bertindak.... anda sendiri yang tahu jawaban....nya
Sampai ketemu di candi-candi lainnya….

Biaya Perjalanan ini :
-     Bensin                                   : Rp. 10.000,-
-     Rokok+Uang(penjaga)         : Rp. 20.000,-
-     Pecel Keong + Es Degan      : Rp. 18.000,-
-    Air Minum botol                    : Rp.   2.000,-
                                                       ----------------- +
TOTAL                  Rp. 50.000,-

TIDAK perlu banyak biaya kan untuk ikut mencintai candi ?


Kisah yang menceritakan tentang riwayat candi ini:

PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V
( PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU )

Perbedaan pendapat antara anak kandung ( R.Patah ) dan Bapak ( Brawijaya V ) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.

Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap ( marak sowan ) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang ( batu )" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika " Rajamala " dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan ( susuh angin ). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan " jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya ".

Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang " lawe " ( bermakna laku gawe ) menjadi bahan lurik. Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif " modang " ( bermakna ngemut kadang ). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan ( laku gawe ) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan " ki " ( singkatan dari kihembu ). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/ Pamungkas dengan ' Sabdo Palon ' dan ' Naya Genggong ' yang ada di dalam dirinya. Siapa Sabdo Palon dan Naya Genggong ? ( baca buku " Brawijaya ?" )

Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara ( Brawijaya V / Pamungkas ) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.

Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar candi menggung.

Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan ' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan ' Pringgodani '. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar ' Panembahan ', sehingga menjadi ' Ki Ageng Panembahan Kaca Negara ". Dialog terjadi antara penguasa lawu ( disebut Eyang Lawu ) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan " Dwi jalmo Ngesti Sawiji ", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi ' Sunan Lawu ', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 

Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 

Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil ' gunung ', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil ' segara '. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.

Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai ' Sang Balanggadawang ' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan ' sangkan paraning dumadi '. Candi kethek ditemukan pertama kali oleh penulis di tahun 1997, setelah selama tiga hari melakukan ritual spiritual di candi cetho. Dengan dibantu beberapa anggota Brigif VI, warga karanganyar dan disaksikan juru kunci candi cetho. Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.

Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata ( materiil ) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu ( lihat logo keraton lawu di kiri atas halaman website ). Selama lebih dari dua puluh tahun penulis melakukan penelitian dengan pendekatan imateriil. Sehingga mendapat nama dan gelar dari Eyang Lawu sebagai ' Ki Ageng Panembahan Darmo Sasmito '.

Tiga buah buku ditulis oleh penulis dengan judul " Brawijaya ? ", " Kilisuci " dan " Kunti Talibrata " berdasarkan pengetahuan yang didapat disekitar lawu. Buku yang sedang di garap dan di tulis hingga 75 % adalah misteri relief dan artefak gapura candi Sukuh, dengan judul " Terlahir kembali ". Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil.

Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam ( ciptaan lain ). Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta. (http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html)