Minggu, 06 November 2011

Pemandian Pengging


Pemandian Pengging : Umbul Sungsang dan Umbul Plempeng
Setelah ngambil air di Senjoyo (buat siraman anak teman kerja) perjalanan menuju Pemandian Pengging yang berada di Boyolali.
Dari ara semarang, setelah melewati kota boyolali lihat petunjuk menuju pengging, masuk ke kanan kira2/3km, tepat di pasar Banyudono ada pintu gerbang di sebelah kanan. Masuk saja.
Beruntungnya saat perjalanan memang hujan, tapi saat saya tiba di pengging cuaca lebih bersahabat. Yang saya Tuju adalah Umbul Sungsang, untuk alternatif lain, bila sobat ngajak anak/istri bisa ke Umbul Sewu, yang merupakan wisata permainan. Kalau umbul sungsang ini wisata ziarah
Hanya satu/dua orang yang saya temui disini, pengunjungpun rata2 dari sekitar saja. Hanya kadang-kadang dari luar kota. 

Mungkin kurang sentuhan saja, percantik tempat ini.
Jadi kenapa ga dilekola lebih maksimal lagi.
Tempat ini masih menjadi tempat ziarah bagi sebagian orang. 
















Seperti terlihat.  Di Umbul sungsang ada tempat semedi, aula pertemuan. Mata air yang muncul di umbul sungsang debitnya lumayang besar, jernih dan sejuk. Berada di sebelah kanan bawah tempat semedi dan persis di bawah pohon beringin.
 




Di dekat umbul Sungsang, ada pula umbul plempeng yang tertutup, ditulisan sic khusus wanita namun pintunya kok terbuka ya???hehehehe.

 





















Letak umbul sungsang persis di seberang Pasar Banyudono.
Jangan lupa kala berkunjung ke boyolali, mencicipi soto khas nya…. Ada banyak pilihan, Soto Seger, Soto Sedap, Oto Gobyos, Soto Rumput…., banyak penjual di tengah kota boyolali…
Yang saya pilih adalah soto sedap
Selamat mencoba!



CERITA TENTANG PENGGING:
Sumber dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Pengging

Ki Ageng Pengging

Kyai Ageng Pengging adalah penguasa daerah Pengging (pusatnya berada di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Boyolali sekarang) yang dihukum mati Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah karena dituduh memberontak.

Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenanga. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun.
Nama asli Andayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan Ratu Pembayun putri Brawijaya raja Majapahit (versi babad), yang diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.
Jaka Sengara kemudian menjadi Adipati/Raja Muda Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi. Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.

Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II

Serat Kanda mengisahkan, Andayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak.
Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.
Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syekh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

Keluarga Ki Ageng Pengging

Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syekh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.
Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir dan mendirikan Kerajaan Pajang. Pendirian Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri puteri raja Trenggana, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

Kematian Ki Ageng Pengging

Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dicurigai Raden Patah hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke Demak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.
Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh pemerintah Demak. Maka, Sunan Kudus pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.
Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan Sunan Kudus akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap Raden Patah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris Sunan Kudus.
Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan Sunan Kudus tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk Sunan Kudus.
Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius

Pemandian Senjoyo

Pemandian Senjoyo
Airnya Bening, Seger dan sejuk.
Pantes Saja Jaka Tingkir Mampir ke Sini

Senjoyo
Letaknya di Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang
(deket Terminal Tingkir Salatiga)

Sebenarnya perjalanan ini saya tidak merencanakan, karena seorang teman kerja minta tolong nyariin kekurangan air buat siraman anaknya, jadilah saya meluncur ke SENJOYO. Jumat, 4 November 2011 setelah Jumatan, saya berangkat dari Ungaran. Kondisi cuaca yang tak berahabat alias hujan tak menghalangi saya, sempat beberapa kali berhenti untuk memakai jas hujan, rute yang kulalui sangat mudah, Ungaran-Bergas, Bawen,Tuntang, JLS Saltiga. Saat melewati JLS Salatiga pemandangan sungguh mengagumkan, kuasa Illahi membuat alam begitu indah 
Bentangan kabut yang membentang dari gunung Telomoyo melewati lembah dan menuju Gunung Merbabu seperti gerbang selamat datang.
Kabut yang cukup pekat cukup menambah dingin, pen bekas patah kaki yang belum sempat saya ambil terasa ngilu, sambil memakai kaos kaki agar sedikit hangat saya mengabadikan kabut pekat yang turun itu
Keluar dari JLS, ambil kanan lihat petunjuk 
 Ikuti petunjuk ini, masuk ke kiri kurang lebih 3km.
Mata Air Senjoyo
berada di wilayah kabupaten Semarang Tepatnya di Desa Tegalwaton Kabupaten Semarang, tapi banyak juga masyarakat kota Salatiga yang memanfaatkan Air Senjoyo.
Bening, dan segar. Langsung nampak ketika melihat pemandian di kolam utama ini
Pemandagan sangat alami, ditambah ikan yang berkeliaran bebas terlihat jelas, dan tak takut dengan orang yang sedang berenang di kolam.

Mohon maaf ya, kamera yang saya bawa belum ada autofocusnya, jadi ikannya agak kabur.
Berbagai batuan berelief peninggalan kuno masih ada di Senjoyo. Konon Pemandian Senjoyo ini digunakan oleh para putri raja....



Ada pula patung yang di kanan kirinya ada tempat pembakaran dupa. Juru kunci Sendang Senjoyo, Mbah Jasmin (81) mengatakan banyak juga orang yang melakukan larung untuk membersihkan diri jasmani dan rohani di Sendang itu.
Mbah Jasmin yang merupakan generasi ketiga penjaga Sendang Senjoyo menuturkan, menurut legenda, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo.
Ada riwayatnya mengapa Senjoyo menjadi tempat kungkum. Konon, menurut legenda, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo.

"Rumiyin, sak derengipun nyuwita ing Demak, Mas Karebet kungkum ing mriki (Senjoyo), ndadar kanuragan—Dulu sebelum mengabdi di (Kesultanan) Demak, Mas Karebet merendam diri di sini untuk berolah kesaktian," tutur Mbah Jasmin.

Legenda Senjoyo dengan Mas Karebet-nya itu masih populer di tengah masyarakat sampai saat ini. Konon, katanya, air sendang yang biasanya tenang tiba-tiba menyembur deras. Jika dibiarkan, bisa terjadi banjir.
Bujangan dari Desa Tingkir itu cepat memotong rambutnya untuk menyumbat mata air yang menggila. Konon rambut gondrong Joko Tingkir menjadi penyaring mata air sendang hingga air mengucur bening sampai hari ini. Itu cerita rakyat tentang Senjoyo. Secara administratif, Senjoyo masuk wilayah Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tapi secara geografis lebih dekat dengan Kota Salatiga, yaitu sekitar lima kilometer ke arah timur kota.
 
Pohon pohon besar yang berusia ratusan tahun ada di sini.

Salah satu pohon yang unik dan tua (dikeramatkan), ada sesajen, serta disekeliling pohon itu tertata bekas batuan persis bahan yang digunakan untuk candi.
Dari cerita Mbah Jasmin, diketahui juga bahwa banyak peristiwa yang terjadi di Sendang berkaitan dengan situasi politik nasional. Ia mengisahkan, sebelum Presiden Suharto lengser, di Sendang Senjoyo terjadi peristiwa aneh, yaitu tumbangnya sejumlah pohon beringin di sekitar Sendang. Tidak itu saja, sesaat setelah kebakaran menimpa keraton Solo beberapa tahun silam, peristiwa serupa juga terjadi, saat itu terjadi hujan angin yang hebat dan sejumlah pohon beringin tumbang.
Peristiwa menarik lainnya, yaitu suatu hari Sendang Senjoyo pernah didatangi seorang perwira TNI yang mau berangkat tugas ke Aceh, padahal sebelumnnya perwira tersebut sudah naik kapal laut di Semarang tapi tiba-tiba berbelok mendatangi Sendang terlebih dulu dan berdoa agar dirinya selamat selama melaksanakan tugas. Bahkan ia sempat mengambil air Sendang untuk dibagikan pada anak buahnya yang juga bertugas di Aceh.


Senjoyo : mengambil air.
Sampai saat ini Pemandian Senjoyo masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, entah sekedar menikmati pemandangan, mandi dan berenang.

Kelebihan Senjoyo, walaupun Di musim kemarau  manakala beberapa daerah di Salatiga kesulitan air, Sendang Senjoyo tetap mengalir. Sendang itu terletak di Kelurahan Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Dari pusat Kota Salatiga, jaraknya sekitar 4 km. Sendang tersebut hingga kini merupakan sumber mata air bagi warga Salatiga dan Kabupaten Semarang yang tak pernah kering walau kemarau panjang. Aliran mata air tersebut juga digunakan untuk kepentingan pertanian di dua daerah itu. 

Mengambil air untuk konsumsi, bahkan mencuci baju.
Senjoyo : ga usah ditiru...
Malah ada pula seorang pengunjung (yang tampaknya masyarakat sekitar senjoyo) yang berburu ikan pakai senapan, padahal jelas-jelas ada larangan mengambil ikan.
Belum adanya Pengelolaan yang maksimal menjadikan Senjoyo ini hanya tampil seadanya. seperti yang sudah-sudah, jika ada potensi, pasti banyak yang rebutan.... tapi tidak memperhatikan kelestarian ini.. yang penting uang..uang..uang.
Beberapa pihak memanfaatkan air sendang untuk kepentingan air minum dan industri. Di sana tertancap pipa-pipa besi dari PDAM Pemkot Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, serta sebuah instansi militer. Selain itu ada pula perusahaan tekstil PT Damatex yang mengambil air untuk keperluan industri.
Beberapa link yang memberitakan tentang Senjoyo :
- : ratusan warga tegalwaton geruduk pdam 
- : Video perselisihan masyarakat dengan PDAM 
-: Sumber Air Senjoyo Butuh Perhatian dan Perawatan 

Kisah air di Salatiga berujung pada cerita perebutan kepemilikan. Jika dulu jadi milik publik seutuhnya, kini sebagian besar sumber air di situ dikelola negara lewat perusahaan air minum daerah. Ketika akses warga makin terbatas dan debit air menyusut akibat minimnya konservasi, konflik pun bermunculan. Siapa jadi korban?....
-: Main Sedot Tanpa Repot 
Senjoyo

Melanjutkan perjalanan ke Pengging…

Kamis, 03 November 2011

Candi Lawang


Candi Lawang : Sentuhan sedikit saja pasti menjadi mengagumkan
Candi Lawang
 Setelah dari Candi Sari, perjalanan langsung menuju Candi Lawang, masih berlokasi di satu kecamatan dengan Candi Sari, yaitu Kecamatan Cepogo. Tepatnya di Desa Gedangan. Sebenarnya rute yang saya lalui langsung dari Candi Sari, tapi resikonya sobat mesti harus tanya terus.
Maka saya mencoba menuliskan rute saya pulang, tentunya saya balik, karena banyak petunjuk menuju Candi Lawang setelah itupun relatif sangat mudah apabila sobat pingin juga ke Candi sari.
Tugu Dk. Narsopuro
Setelah sampai di Cepogo cari tugu ini 
Gerbang Pratjimohardjo






Tidak berapa lama melewati SMA N 1 Cepogo, kemudian Gerbang Pratjimohardjo. Ambil saja ke kanan. Melewati kantor Desa Paras Cepogo, kemudian SDN Negeri Paras III. 
Dusum Panderojo

Setelah itu sobat akan menemui gerbang di Dukuh Panderojo. 



Sesudah gerbang tadi ada tugu selamat datang Desa Sumbung (ada patung sapinya). Berturut-turut, kantor Desa Sumbung, SDN Sumbung I.

 
Setelah melewati pertigaan, Sobat akan menemukan petunjuk ke Candi Lawang. Di petunjuk tersebut, selain mencantukan keberadaan Candi Lawang, juga menuliskan arah ke TAPAK NOTO dan SUSUH ANGIN. Menurut masyarakat sekitar, ada tapak yang konon adalah jejak nabi, sedangkan SUSUH Angin adalah sumber angin yang sangat kencang (fenomena alam) berasal dari goa di lereng gunung. Sayangnya karena kurangnya informasi di awal perjalanan ini saya melewatkannya. Padahal tentu sungguh menarik tempat tersebut. Semoga masih ada waktu yang lain. Seperti papan petunjuk tersebut, jarak Candi Lawang hanya 500m saja, perjalanan mulai dengan tanjakan (saat saya kesini) aspal pun belum jadi masih berupa krikil, jadi harus berhati-hati agar tidak “kepleset”.
Arah ke candi lawang

Tidak berapa lama, sobat pasti menemukan petunjuk ini.






Sampailah 
Candi Lawang : sedikit nampak dari Jalan



Sesuai dengan namanya, yang terlihat dari jalan pun yang menjulang hanya pintunya saja (jawa:lawang)


lorong Candi Lawang
Pintu masuk berbentuk lorong ke Candi Lawang, Kok sempit ya???????

Candi Lawang

Candi ini lebih terlihat sedikit bentuknya dari pada Candi Sari. Candi Lawang merupakan Hindu, dengan adanya Yoni di dalam Candi, atap yang berbentuk ratna.

Candi lawang : Berlomba dengan ilalang
Berada di belakang rumah penduduk, Saat saya ke Candi ini tidak saya temui satupun orang yang bisa saya jadikan narasumber. Banyaknya ilalang di sela sela reruntuhan memperlihatkan Candi ini kurang diperhatikan.
Candi lawang : hanya pintu yang masih tersisa
Reruntuhan di sekitar Candi Lawang, merupakan Candi Perwara. Tak ada yang berbentuk, kecuali candi utama yang masih terlihat Lawangnya saja.
padmasara
Candi Lawang: Yoni unik
Di Candi Utama ada Yoni yang ada lubang saluran airnya, jika sekarang sic mungkin mudah, tapi pada jaman itu pakai teknik bagaimana yach????? Ada  juga Padmasara yang berada di reruntuhan di depan Candi Utama.
Beberapa relief masih terlihat jelas, 
 
Saat berkeliling lihat batu candi, pandangan terbentur pada 
Candi Lawang : Batu candi dipakai ganjal....
bagaimana tidak shock, hmmm mungkin pemilik rumah ini menyindir “mumpung ga dipakai ya dimanfaatkan dulu”…. Tapi membuktikan juga, Badan Purbakala Jateng ga pernah menengok candi ini lagi, kalau menengok liat hal tersebut mosok diam aja????
Candi lawang : Kucing bersantai
Dari semua hal yang kutemui dan kurasakan di candi ini, adalah ketenangan. Walau berada di tengah pemukiman penduduk dan bahkan berada dibelakang rumah terasa menenangkan berada disini. Terus terang saya betah merenung berlama-lama disini, sambil membayangkan bagaimana bentuk asli candi ini, bagaimana leluhur kita membangun PUZZLE batu ini satu persatu. Sampai Kucingpun ikut nyantai di sini.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, saat saya ingin pulang banyak bermunculan burung Gagak di sekitar Candi, setelah kuselidiki memang di sekitar candi, di atas pepohonan banyak sarang burung. Semoga Pemburu Burung tidak baca tulisan saya ini, karena mereka merusak ketenangan…. Dan suara Gagak menambah syahdu sore itu kala saya beranjak pulang.
.Bersiap Pulang, dan merencanakan lagi perjalanan mencintai candi selanjutnya…  
ciaaooo..


Tambahan : saat perjalanan Pulang saya banyak menemui Situs-Situs Peninggalan Kuno. Semoga lain hari secepatnya saya bisa berkunjung.
Cabean Kunthi

Situs Sumur Songo