Senin, 01 Agustus 2011

PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V

(PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU)

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
    Perbedaan pendapat antara anak kandung (R.Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.
   Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.
   Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".
   Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik. Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "ki" (singkatan dari kihembu). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.
   Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V /Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.
   Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar candi menggung.
     Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan 'Pringgodani'. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". Dialog terjadi antara penguasa lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 
    Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 
   Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.
    Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. Candi kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
     Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu 
  Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam (ciptaan lain. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Saya kumpulkan dari berbagai sumber......
1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya

Candi Planggatan

Tersisa Reruntuhan 
Planggatan

Ketika perjalanan selepas Candi Sukuh, tepatnya di perempatan Sekitar kebun Teh, saat saya menikmati semilih angin, sejuknya mata memandang, tiba tiba ada seorang ibu yang menggendong anaknya, melambaikan tangan sambil mngucapkan “ minta tolong Bapak saya ikut sampai Ngargoyoso”, tanpa berpikir panjang, okelah…..
Seusia kakek saya, memang tidak ada angkot lewat jalur ini, jalan pun kayaknya berat. Beruntung saya diberi kesempatan untuk menolong. Sambil melaju pelan-pelan, saya ngobrol dengan kakek yang “bonceng”, saya juga menceritakan kesenangan saya mengunjungi candi-candi, Kakek itu Tanya sudah kemana saja? Apakah Candi Planggatan sudah? Wah…, langsung saja…..mumpung masih ada waktu (belum sore)… saya kumpulkan informasi selengkapnya dari kakek itu….
Ternyata jalurnya sama dengan jalur ke candi Sukuh, kakek itu juga bilang kalau ke Candi Planggatan jangan lupa mampir Ke Telaga Mardida. Oke lah kalau begitu….semangat ’45 nic…. Tepat di Terminal wisata Ngargoyoso Kakek itu turun, saya berketetapan hati untuk mencari sampai dapat. Mumpung saya masih di Karanganyar.
Ternyata memang di tempat parkir Candi suruh tadi ada papan petunjuk arah ke Candi Planggaran, langsung saja saya ikuti jalan tersebut, mohon berhati-hati karena selain jalan menurun juga rusak, tidak beraspal sama sekali. Saya sungguh salah bawa motor, Vixion yang menemani saya tidak cocok, tapi bagaimana lagi lha punya Cuma itu kok….hehehehe… lain kali mungkin bawa super moto…..hehehehe…. sahabat nanti ketemu dengan jalan dimana sebelah kiri itu banyak lubang-lubang gua…
lubang di kaki bukit Perjalanan ke planggatan
Mohon maaf saya tidak sempat bertanya apakah lubang berbentuk gua tersebut sudah ada sejak jaman dulu atau baru terjadi, jalanan sepi jadi tidak ada yang bisa saya tanya.
Sesampainya di jalan persimpangan berbentuk K, pilih serong kekiri, kearah Desa Tambak. Menuju tujuan kita yaitu Candi Planggatan. Ikuti jalan cor-cor an semen di desa tersebut, pada gang ke tiga langsung saja belok kanan. Sekitar 75m saja dari jalan tadi.
Sedikitnya informasi mengenai keberadaan candi ini menjadikan saya mengabadikan sisa sisa reruntuhan candi sesuai  feeling saya saja.
menggambarkan relief Candi ini (mungkin)
Situs peninggalan Majapahit di lereng gunung lawu. Lokasi situs ini di Dsn.Tambak, Ds.Planggatan, Kec.Ngargoyoso - Kab.Karanganyar atau sekitar 6 km dari candi sukuh.  
Candi Planggatan hanya tinggal reruntuhannya saja, dimana ada beberapa pohon besar tumbuh diatas bebatuan gundukan batu yang merupakan batuan candid an bagian inti candi. Relief – relief candi tersebar di beberapa tempat, menyembul diantara tanah atau tersembunyi di balik batuan padas yang besar. Dan adanya yoni kecil yang rusak menandakan bahwa tempat ini adalah peninggalan Hindu
relief Planggatan ini mirip dengan candi di Jawa Timur




Yoni yang rusak
perlu penanganan
Relief wayang
     Sejarah :
Situs ini termasuk peninggalan dari Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit sebelum moksa. Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berpindah dari Jawa Timur ke Gunung Lawu, sebelumnya Brawijaya sempat beristirahat dan membuat singgahsana di sekitar Rawa Pening Kab.Semarang yg saat ini disebut Candi Dukuh.
    
Kondisi situs :

Sebagian besar batu2 belum digali dan hanya nampak beberapa batu2 dan batu berelief yang masih setengah terpendam. Menurut juru pelihara situs ini, lokasi situs ini dulunya adalah tanah bengkok milik warga desa yang ditanami rumput gajah untuk keperluan pakan ternak warga. Setelah diketemukan situs ini maka status kepemilikan tanah di ambil alih oleh pihak BP3 Jateng dan tempat ini pun ditetapkan sebagai Cagar Budaya


 Diantara beberapa relief yang ada salah satunya menggambarkan sengkalan memet (sandi angka tahun) berupa Gajah Wiku, yaitu sosok setengah gajah, setengah manusia dengan belali ke bawah dan memakan bulan sabit dengan pakaian seorang wiku/ pendeta. Relief ini dibaca “Gajah wiku mangan wulan” dan diartikan 1378 caka atau sama dengan 1456 Masehi. Selisih 19 tahun dengan Candi Sukuh yang selesai tahun 1437 Masehi.
Disamping kanan relief gajah Wiku ini, terdapat prasasti berhuruf dan berbahasa kawi sebanyak empat baris yang berbunyi :
"padamel ira ra
ma balanggadawang
barnghyang punu
n dah nrawang"
Terjemahannya :
"Pembuatannya Rama Balanggadawang bersamaan dengan Hyang Panunduh Nrawang" 
Sayang sekali, relief gajah wiku kurang jelas akibat tertutup tanah dan relief di Candi Planggatan yang tipis dan serupa dengan relief – relief di Jawa Timur. Hal ini tak begitu mengherankan karena Candi Planggtan sendiri di bangun oleh prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit sebelum moksa ke Gunung Lawu.
Situs/ Candi Planggatan ini masih digunakan oleh masyarakat sebagai tempat dilangsungkannya upacara Bersih Desa, selain juga dikeramatkan. Candi Planggatan juga masih ada usaha untuk selalu membersihkan, jadi tidak terkesan benar-benar diabaikan, tapi mungkin saja hanya oleh warga sekitar. Tampaknya belum tersentuh usaha ekskavasi dan eksplorasi reruntuhan candi untuk merenkontruksi Candi Planggatan ini.
Seperti pesan Kakek tadi, saya melanjutkan menuju Telaga Mardida, kita keluar lagi kearah perempatan berbentuk K, kita ambil serong kanan. Kalau lurus pun juga bisa namun agak jauh sedikit. Jalanan masih sama, tidak sebagus masuk Desa Tambak tadi. Bahkan batu-batuannya malah besar, jadi sayya harus berhati-hati, karena tipe roda motor saya bukan untuk kondisi jalan seperti ini. Dari planggatan kurang dari 2km saja.
Ketika saya berada di Telaga Mardida ini, ada dua orang anak yang tertarik dengan apa yang saya lakukan, mendekat dan meminta untuk ikut difoto…IMG_8199. Saya menjelaskan saya seorang penikmat candi sukuh,ceto dan planggatan, dua adik-adik ini bilang : ada satu lagi kak, didekat Tawangmangu sana ada Candi Menggung… kakak lewat jalan tembus kea rah Tawangmangu. Wah, sayang… selain waktu sudah merayap sore hari, tenaga dan logistikpun sudah terkuras. Jadi dengan agak menyesal saya bilang mungkin laen kali… lagi-lagi keramahan seperti ini saya dapat…
Semoga semakin banyak keramahan-seperti ini….
Sampai ketemu lagi di perjalanan selanjutnya….

Minggu, 31 Juli 2011

Candi Gondosuli

Misteri Kemegahan yang tersembunyi…..
Gondosuli
        Perjalaan lebih mudah dari pada menemukan Candi pringapus (Perjalanan sebelum ini). Setelah Puas di Candi Pringapus, di Pringapus karena peta yang saya persiapkan lupa tertinggal, saya bahkan harus berulangkali Tanya arah kepada orang yang saya temui.
Di perjalanan yang kedua adalah Candi Gondosuli, masih di Kabupaten Temanggung. Dari Candi pringapus keluar kea rah kota Temanggung, kira-kira ± 5km cari saja papan petunjuk kearah Bulu. Tandanya adalah setelah papan nama tersebut ada trafict light dan POM BENSIN. Ambil kiri, kemudian terus saja ikuti jalan… Trafict light dari wonosobo ambil kearah kanan. (kalau dari semarang/magelang sebaliknya).
Dari Trafict Light kira kira ±2 km melewati areal persawahan sampailah di perkampungan. Yaitu desa Gondosuli. Apabila ada pertigaan ambilah arah ke kanan yang nanjak, dengan jalan berbatu… setelah itu ketemu perempatan ambil ke kanan…masih dengan jalan berbatu…. Sebelah kanan ada tanda pohon nangka di sebelah kanan, dan ada makam Kyai Rofi’i, maka sahabat sampailah di Candi Gondosuli…..
Jujur saja untuk sampai di Candi ini, saya hanya Tanya dua orang, berbeda dengan Candi Pringapus…. Tak terbilang berapa orang…hehehehehe… tapi pantang malu daripada tersesat….
Kata pertama yang terucap …… “AAaaaaaccchhhh… kenapa dibiarkan begini…. Gondosuli oh Gondosuli… dirimu hanya bisu menjadi saksi ditelantarkan anak cucumu…. Ah jadi sedih….”  
Tertegun melihat keadaan Gondosuli

Sesudah mengabadikan beberapa arca yang masih tertinggal (banyak yang dicuri…) 
Yoni
ada Yoni, Beberapa lumpang, Kala, Nandi, Stupa, Lingga Yoni, dan banyak jenis yang tertumpuk walau teresan ditata seadanya.
Nandi




















Lumpang
kala
saya tertarik oleh keberadaan Batu besar di samping candi… Ternyata Batu Prasasti Gondosuli, Ukuran Batu ini sekitar 50cm x 211cm , berjenis batu Andesit. Di Prasasti ini bertuliskan huruf Jawa Kuno, dengan bahasa melayu kuno pula yang terdiri dari 14 baris.
 Menurut Informasi, prasasti Gondosuli ini memuat informasi mengenai :
1.      Menyebutkan Tokoh Suci Dang Karayan Pu Palar
2.      Adanya Bangunan Suci Sang Hyang Wintang ( Nama Asli Candi Gondosuli)
3.      Sengkalan di Sangaha Alas Partapan = tahun 754 C – 832 M
4.      Kekuasaan Raja yang Luas ( Rakai Pikatan), dan Sanak Saudara yang banyak.


            Prasasti Gondosuli terletak di Desa Gondosili Kecamatan Bulu, sekitar 13 km arah barat kota Temanggung, dengan memiliki Luas keseluruhan situs ini sekitar 4.992 m2. Pada tahun 832, sesuai dengan candrasengkala yang ada, Prasasti Gondosuli menjadi saksi bisu kejayaan Dinasti Sanjaya, terutama di masa pemerintahan Rakai Patahan (Rakaryan Patapan Pu Palar) sebagai raja di Mataram Hindu (Mataram Kuno). Nama Rakai Patapan juga dapat dijumpai dalam Prasasti Karang Tengah yaitu ditulis pada tahun 824.
Prasasti Gondosuli
Saat sedang mengabadikan Prasasti ini, saya didatangi penduduk yang tertarik keberadaan saya disitu. Dengan ramah, Bapak itu mengenalkan diri : Bapak Azis…(H4), tanpa dinyana…bapak itu bercerita panjang lebar mengenai keberadaan candi ini…. Mulai dari kebanggaannya atas bangunan candi yang dulunya megah walau kini hanya reruntuhan saja. Ada beberapa hal yang menarik yang harus saya ceritakan kembali, sesuai penuturan Bapak Azis tersebut…
-          Dulunya banyak arca dengan relief yang menarik, unik…. Sayang banyak orang yang mengambilnya…. Yang paling menarik adalah arca Kala memakan Bayi manusia,
-          Seumpama Candi Gondosuli dipugar sepenuhnya, dan pemerintah benar-benar mau merenovasi ini, (menurut Bapak Azis) Candi ini akan sejajar luasnya dengan candi Borobudur…. (yang benar pak…????) tapi saya tidak akan membantahnya…karena saat bercerita (Bapak Azis bersemangat dan raut muka yang yakin sepenuhnya) … bahwa gapura candi itu berada jauh di bawah candi dekat sungai (dilewati saat masuk desa Gondosuli)
-          Pernah kejadian, suatu pagi seorang penduduk membawa Lumpang (H5) untuk menumbuk padi, beberapa hari setelah selesai, Lumpang itu kembali lagi ketempat semula.
-          Barang Siapa bisa membaca tulisan di Batu prasasti Gondosuli, maka akan mendapatkan anugrah Harta Karun yang tersimpan di dalam Batu ini, di bagian belakang batu ini memang terlihat retakan batu yang sekilas memang terlihat layaknya sebuah pintu, yang konon katanya akan membuka sendiri saat  ada orang yang bisa membaca tulisan jawa kuno tersebut. ADA YANG BISA???????
Sungguh sayang kesemuanya itu hanya dinikmati dengan cerita, bukan dengan wujud asli kemegahan candi Gondosuli….. entah mitos atau memang kebenaran semua itu masih misteri.



Jumat, 29 Juli 2011

Candi Pringapus

The Secret of Green Gold
Temanggung
Candi Pringapus
         Hari Kamis pagi, tanggal 28 Juli 2011 ini, akhirnya dengan nekad ku lanjutkan ekplorasi kemegahan candi. Kali ini yang kutuju adalah candi yang berada di Kedu, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Temanggung. Tak banyak memang orang yang mengetahui jika Temanggung juga memiliki peninggalan beberapa Candi.
View di jalus Sumowono-Temanggung
Jam 9 tepat saya berangkat dari rumah. Jalur yang ku pilih dari Semarang ke Temanggung melalui Sumowono, informasi yang saya peroleh jalur ini menarik. Tidak salah saya memilih jalur alternatf ini, selain tidak macet, udara sejuk juga pemandangan yang menakjubkan, di jalur ini kita akan di temani di kanan kiri kita gunung (G. Ungaran, G. Etean, dan G. Sulunder, G. Swakul, G. Senggrang, G. krincingan perbukitan dan lembah yang landai yang menghijau ….
Bahkan saya sempat bersenandung OST nya Ninja Hatori…. Mendaki gunung …♫♪♪♫….lewati lembah…, namun bagi yang belum pernah lewati jalur ini, saran saya kecepatan jangan melebihi 60km… banyaknya tikungan pada saat turunan maupun tanjakan harus membuat kita waspada, apalagi bila belum terbiasa…---- bahkan saya alami sendiri : saya hampir saja  keluar jalur ketika konsentrasi saya pecah sebentar, di tikungan dekat masjid Kaloran.… awas jangan ditiru, bahaya!----
Dari Sumowono, di pertigaan Desa Lanjan ambil yang kanan, apabila kita kekiri menuju Pingit. Setelah beberapa saat kemudian kita melewati Desa Candigaron dan Desa Kemitir. Setelah itu kita memasuki wilayah Kabupaten Temanggung. Desa yang pertama kita temui adalah Kalimanggis, Janggleng dan (Kec) Kaloran. Berturut-turut kemudian Dakaran, Tegowanu, Gandulan, Banyuurip. Di Perempatan Kertosari (Kec. Temanggung) 2 pilihan jalan bisa langsung kiri ataupun ikut jalur saya …. Saya langsung lurus lewat kota. karena selain saya ingin tahu dulu Candi Gondosuli (tujuan ke2 saya).
Lurus terus saja ambil arah Wonosobo,  apabila sahabat sudah sampai di terminal Bus Temanggung ambil kanan kearah Weleri menuju Kecamatan Ngadirejo. Bila sudah sampai di daerah Ngadirejo,  cari petunjuk disamping.
Dari pertigaan tersebut, sahabat ambil kiri, setelah 200meter akan ketemu petunjuk lagi (A3). 
Ambil kiri lalu ikuti jalan kampung beraspal tersebut, kira kita kurang dari 100m, ketemu jembatan yang posisi jalan menurun, kemudian naik lagi, disebelah kiri kita ada gang yang berada di bawah rimbunan pohon bambu, sahabat ambil kiri lagi, masuk kampung. Yaitu d Desa pringapus, tandanya adalah jalan yang sahabat lalui berupa jalan batu yang ditata rapi. Saat memasuki jalan ini, pelan-pelan saja, sambil menikmati keramahan para penduduk. Banyaknya jemuran emas hijau alias tembakau di jalan membuat saya harus berhati-hati saat melaju.  
Lalu sampailah….. 



Keramahan Bapak Daryono, sang juru kunci  menyambut saya. Dengan meminta izin mengabadikan kemegahan Candi Pringapus ini. saya mulailah 'Menikmati" misteri Candi Pringapus.
sisi depan
Secara Administratif, sama dengan nama Candi, Desa pringapus Kecamatan Ngadireo Kabupaten Temanggung. Sekitar 2 Km arah barat laut ibu kota  Temanggung. Dulunya Di Samping Candi Pringapus juga berdiri Candi Perot, akan tetapi saat ini hanya tinggal reruntuhannya saja disekitar candi Pringapus. 
Relief yang indah di pahat disetiap sisi candi bahkan sampai atap candi (sayangnya stupa atap candi belum terpasang, masih di bawah. 
dewa-dewi
Relief di setiap sisi Candi adalan Dewa Dewi yang indah.... Mengagumkan hasil pahatan leluhur kita.
sisi belakang
atap candi

hiasan naga
Stupa Candi Pringapus 
nandi
         Di Pintu masuk Candi pun indah terlihat dua naga  yang siap menyambut kita, pun demikian tidak kalah anggun arca Nandi di dalam Candi. Menurut Bapak Daryono, masih banyak Pengunjung yang perhatian terhadap Candi Pringapus ini. walaupun sekitar tahun 98 Candi ini sempat kelilangan salah satu arca yang berharga berupa naga seperti barongan .... 
Yoni Candi Perot

sebagian reruntuhan candi perot 
sebagian reruntuhan candi perot
          Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. 
Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya arca-arca bersifat Hindu yang erat kaitannya dengan Dewa Siwa. Sebagaimana lazimnya candi-candi Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi dan letak arca-arcanya selalu menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata angin. Pintu utama candi menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala dan Nandi. Kala adalah anak Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan kekuatan alam yang dahsyat. Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat mengalahkan semua dewa. Sedangkan Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa, sehingga dalam satu perwujudannya Siwa disebut Nandi Cwara.
Berpose didepan Arca Durga tanpa Kepala
Pada bagian lain terdapat Durga Mahesasuramardhini. Durga merupakan salah satu perwujudan Uma sebagai dewi cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga, Uma menurut legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang mengganggu para Brahmana. Di dalam candi juga terdapat Yoni yaitu salah satu perwujudan Uma (Istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau perwujudannya (biasanya Lingga) persatuan lingga dan Yoni merupakan simbol penciptaan alam semesta sekaligus simbol kesuburan. Sebagai saksi kebesaran sejarah masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa Kala berdagu seperti Kala tipe Jawa Timur.


Informasi mengenai Candi Pringapus didapat dari adanya Prasasti Tulang Air yang berangka Tahun 772 Saka / 850 M. Prasasti berbahasa Jawa Kuno ini dikeluarkan pada Masa Mataram Kuno. Raja yang berkuasa saat itu adalah Rakai Pikatan, yang juga membuat Candi Prambanan. Isi dari Prasasti Tulang air tersebut adalah : Penetapan sima oleh Pejabat Kerajaan Mataram Kuno Rakai Patapan Pu Manuku yang berada di bawah kekuasaan Rakai Pikatan. Sima berarti sebuah bangunan suci, yang terletak di Desa Tulang Air.
Beberapa Ahli arkeolog dunia pernah meneliti dan mencatat informasi mengenai Keberadaan Candi Pringapus ini, diantaranya Junghuhn 1844; Hoopermans 1865; Veth 1878 Knebel 1865. Candi Pringapus pernah dipugar pada tahun 1930 oleh Dinas Purbakala.

Selanjutnya….

 Perjalanan saya lanjutkan ke Candi Gondosuli.....

catatan " Perjalanan ini saya tempuh sejauh 152km dengan BBM PP 40rb...

Hargai Warisan leluhur..!







(rute Sebenarnya/Kejadian Sebenarnya)
                Saya sempat tersesat, tidak terhitung jumlahnya saya bertanya kepada penduduk sekitar, bahkan sebelum saya bertanya pada seorang kawan (seto wonosobo), saya sampai jauh 'keblablasen' sampai daerah Kledung Perbatasan dengan wonosobo. perjuangan belum selesai di situ saja, ketersesatan saya, dengan peta yang terlupa, saya nekad saja mencari berdasarkan ingatan daerah yang harus saya cari, Untung masih ingat daerah Ngadirejo, dimana posisi Candi pringapus itu berada. masih salah lagi, karena setiap saya tanya, dengan pertanyaan ... Dimana kah keberadaan Candi itu ? (tentunya dalam bahasa jawa)... dengan snang hati mereka menunjukkan arah CANDISARI...... beda jauuuuhhhh.... cuma ketika terakhir saya tanya ternyata memag di Desa Candi Sari dulunya ada sebuah candi, sudah hilang karena batuan-batuan serta arca banyak yang dicuri. dan CandiP ringapus berada di Sebelah Desa CandiSari... Foto dibawah adalah saat menemukan Keberadaan Candi ini setelah berputar2 cukup lama saya ambil  foto masih diatas motor .....dengan perasaan legaaaaaaaaa- Pokoknya harus nekad saja tanya siapa saja dan jangan tanya satu kali.... itu pesan saya...hehehe 'Wassalam ...
Candi Pringapus....

Minggu, 24 Juli 2011

Ramalan Sabdo Palon

Ramalan Sabdo Palon

( Terjemahan bebas bahasa Indonesia )
Sapda Palon di Candi Cetho

1.
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2.
Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3.
Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4.
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6.
Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9.
Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10.
Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11.
Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12.
Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13.
Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14.
Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15.
Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16.
Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.