Rabu, 28 Maret 2012

Ditemukan Perahu Tertua di Indonesia Dari Zaman Mataram Hindu Pada Abad-7

Beberapa tahun lalu tepatnya pada hari Sabtu tanggal 26 Juli 2008, dipagi hari sekitar pukul 7:30 pagi, beberapa warga di desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah sedang membuat tambak garam. Mereka menggali dengan cara memacul tanah di daerah pesisir tersebut.

Lokasi berada sekitar 400 meter dari pantai yang sekarang, yang mungkin dahulunya wilayah situs ini masih merupakan pinggir pantai. Lalu, secara tidak sengaja mereka, para penggali tambak garam tersebut menemukan bangkai perahu kuno yang kemudian wilayah situs itu dikenal dengan nama Situs Kapal Punjulharjo


Dari hasil identifikasi, jenis kapal berasal dari sekitar abad ke 7 dan 8 setara dengan pembangunan Candi Borobudur. Ini adalah penemuan kapal kayu yang paling komplit dan bisa jadi yang tertua di Indonesia!


Dan penemuan tersebut terlengkap di Asia Tenggara karena kondisi kapal tersebut pada lambung bawahnya masih utuh, dibanding temuan di sejumlah wilayah lain seperti di Sumatera dan juga di negara lain seperti di Malaysia dan Filipina.


Perahu Punjulharjo memberi pengetahuan bagaimana teknologi itu digunakan, mulai dari papan-papan yang dilengkapi dengan tambuku yaitu tonjolan pada bagian dalam dengan lubang-lubang untuk mengikat berbentuk kotak.


Juga ditemukan materi lain pembentuk perahu seperti gading-gading gajah yang membuat bentuk melengkung dibagian lunas perahu, ikatan antara papan dengan gading pada tambuku, bagian haluan, bagian buritan, lunas, dan ditempat lainnya.



Bersamaan dengan perahu kuno tersebut, didalamya juga ditemukan pula kapak, tulang, tongkat ukir, tutup wakul dari kayu, pecahan mangkuk dan tembikar lainnya, juga tempurung kelapa serta kepala patung dari batu.


Dengan keberadaan tersebut sudah pasti Situs Kapal Punjulharjo merupakan aset Nasional, bukan hanya daerah, dan merupakan benda cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan.


Seperti yang dikatakan oleh peneliti dari Perancis yang ikut meneliti, Prof. Pierre Y Manguin, bahwa Situs Kapal Punjulharjo sangat spektakuler, terutuh yang pernah ada.



Perahu tersebut juga bukan karena karam atau tenggelam, melainkan ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja. “Mungkin karena sudah tua pada waktu itu”, jelas Manguin.



“Oleh karenanya, bangkai perahu tersebut tidak mudah hancur karena rendaman air laut seperti pada situs perahu-perahu kuno ditempat lain”, tambahnya.

Sepakat dengan Manguin adalah Siswanto, Kepala Balai Yogyakarta. Siswanto menambahkan, hasil uji sampel itu juga mengukuhkan perahu itu sebagai situs arkeologi kelautan tertua dan terutuh yang pernah ditemukan di Indonesia.


Pasalnya, situs perahu sebelumnya hanya tinggal beberapa papan dan tidak berbentuk perahu utuh seperti di Punjulharjo, Rembang ini. Pada tahun 2009 lalu, para peneliti kembali melakukan penelitian lanjutan disitus tersebut.



SITUS KAPAL REMBANG LEBIH TUA DARI BOROBUDUR
Lokasi temuan perahu kuno di desa Punjulharjo yang kemudian dinamakan Situs Punjulharjo sejak tanggal 17-25 Juni 2011 lalu, untuk kesekian kalinya telah diteliti kembali oleh tim dari Balai Arkeologi Jogyakarta yang masih melibatkan seorang arkeolog dari Perancis tersebut.

Penilitian difokuskan pada desain dan teknologi yang digunakan untuk membuat perahu, guna menentukan dari mana asal perahu.


Ketua Tim Peneliti Novida Abas ditemui di sela-sela kegiatan menjelaskan perahu situs Punjulharjo termasuk kuno. Dari hasil carbon dating diketahui berasal dari abad ke-7 atau 1.300 tahun yang lalu.



“Penelitian lebih fokus seputar desain grafis perahu sedetail-detailnya untuk selanjutnya akan dilakukan rekontruksi bentuk aslinya,”ujar Novida.




Sementara itu arkeolog Perancis Pierre Manguin saat ditemui menjelaskan perahu yang ditemukan identik dengan temuan perahu lain di wilayah Asia Timur dan Tenggara sehingga dinamakan Perahu Nusantara.

Situs Punjulharjo menurutnya spektakuler seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena perahu yang ditemukan masih cukup utuh sehingga membantu tim peneliti mengungkap daerah asal dan tujuan perahu berlayar.


“Seperti yang kami teliti beberapa temuan sebelumnya, biasanya perahu tenggelam dan menyiskan potongan papan saja. Situs Punjilharjo spektakuler karena masih utuh,” ungkapnya.



Novida sendiri menambahkan, tim peneliti yang dipimpinnya hanya melakukan uji konstruksi dan usia perahu. Sedangkan pengangkatan dan rekonstruksi akan dilakukan tim lain yang kompeten di bidangnya.


Kepala Balai Yogyakarta, Siswanto saat dihubungi terpisah menjelaskan perahu kuno berusia jauh lebih tua dibandingkan Candi Borobudur yang dibangun pada sekitar abad ke-9 Masehi.


Beberapa bulan lalu, sampel kayu perahu yang dikirim ke Amerika untuk diteliti melalui teknologi carbon dating telah keluar. Hasilnya laboratorium menyatakan positif sampel itu berasal dari abad ke 7 Masehi atau sekitar era Mataram Hindu.



Siswanto menambahkan, hasil uji sampel itu juga mengukuhkan perahu itu sebagai situs arkeologi kelautan tertua dan terutuh yang pernah ditemukan di Indonesia.





Rabu, 18 Januari 2012

Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan
         Kebetulan, Sabtu 14 Januari 2012 bersama seorang rekan kerja ada keperluan di daerah Salatiga. langsung terlintas dalam pikiranku mampir ke Prasasti Plumpungan berada. Letaknya berada di perbatasan Salatiga-Kabupaten Semarang, tepatnya di Kecamatan Pabelan.
      Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
     Rute menuju Prasasti Plumpungan cukup mudah, walau saya dari Salatiga, tapi yang akan ku berikan rute dari Semarang. Jika sahabat dari Salatiga ikuti jalan dari simpanglima salatiga ke arah Bringin, pasti sampai.
     Dari Ungaran, kira-kira 15km ke arah Solo. Kita akan sampai di Jembatan Tuntang, sebelah kanan pemandangannya Rawa Pening, Sobat ambil kiri menuju Bringin. perjalanan kira-kira 4km, melewati jalan berliku... (banyak pula penjual durian di sepanjang jalan).
      Setelah ketemu penunjuk jalan/ tugu Karanglo Bringin, sobat ambil kanan sampai ada petunjuk lebih lanjut. 100m dari petunjuk ini sampailah di Prasasti Plumpungan berada.
Melewati Station Toentang
     Prasasti Plumpungan, merupakan tanda cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5m.
    Berdasar tulisan diprasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu itu Salatiga merupakan daerah perdikan. Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
         Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.


Di depan Prasasti Plumpungan

 Sampai Jumpa di Perjalanan Mencari Batu Selanjutnya......

Kamis, 08 Desember 2011

Jangkar Dampo Awang : Puzzle sejarah masa lalu

Jangkar Dampo Awang

Hari Selasa tanggal 2 Desember 2011 saat berkunjung ke Perpustakaaan Rembang, yang kebetulan di belakang perpustakaan Rembang adalah Pantai Kartini, (bukan yang di Jepara lho ya…) yang sekarang lebih dikenal dengan Pantai Dampo Awang. Dulu saya sempat keranjingan dengan pantai, tapi tak tahu mengapa saat itu tiba-tiba kurang suka pantai… tapi tak mengapalah pikir saya, mumpung saya bisa ke Pantai gratis….heheheheh.
Ketika berjalan menuju pantai saya dikejutkan dengan Jangkar yang teramat besar, dan berada di sebuah tempat buatan (taman) yang ada pelidungnya serta bertuliskan “JANGKAR DAMPO AWANG”… aha!!!…bukankah itu peninggalan sejarah , batin saya waktu itu…. Segera saja saya mendekat dan mengamati dari dekat, juga tidak lupa mencermati diaorama Dampo Awang.
 Sekitar tahun 1950, Jangkar yang berada di Pantai Taman Kartini Rembang ini awalnya ditemukan teronggok dibelakang gedung LP Rembang. Awalnya diduga bagian kapal jepang sisaa Perang dunia ke II.
Sementara Jangkar Dampo awang yang kedua ini ditemukan pada akhir bulan April 2011 oleh para Nelayan dari Desa Regunung, Jangkar yang berukuran tinggi 4 m dan berat sekitar 4 ton ini ditemukan di gugusan pulau karang Masaran yang berjarak sekitar 2,5m dari bibir pantai.
---- Yang saya sajikan kali ini yang pertama, dan berada di Belakang Kantor Perpustakaan Daerah kabupaten Rembang---
ukuran sebenarnya besar banget.. buktikan saja!

Di bawah Jangkar, dibuat kolam yan di pelihara lele (super) dumbo, besar banget.... kata teman dari rembang, lele itu sangat ganas (baca: karena jarang diberi makan, jdi kelaparan, mungkin )... hati -hati kalau bermain air. di beri lele di kolam ini, hanya sebagai pelengkap saja, untuk memperindah. jadi bukan hewan bawaan  Ceng Ho dari negerinya...hehehhe, iyalah lele dimanapun ada kok.....

Menurut cerita, Laksamana Cheng Ho yang diduga pernah berlabuh di Rembang semasa ekspedisi Kaisar Yongle, kaisar ketiga semasa Dinasti Ming sekitar 1403-1424.
Di kalangan masyarakat, juga ahli sejarah, kisah pendaratan Laksamana Cheng Ho di Rembang masih menimbulkan kontroversi, terutama tujuan berlabuhnya kapal besar yang dimiliki laksamana kepercayaan kaisar China itu.
            Dalam legenda yang berkembang di masyarakat lokal, Laksamana itu dikisahkan menantang dan bertarung dengan salah satu sunan, yakni Sunan Bonang. Namun dalam sejarah yang berkembang, hampir semua misi pelayaran armada China sepanjang sejarah pada 1400 dan seterusnya merupakan perjalanan persahabatan di semua daerah tujuan, tak terkecuali pelayaran Laksamana Cheng Ho. Entah yang bernar yang mana....----pusiing---
    Di Sebelah kanan Jangkar Dampoo Awang ini ada kisah perjalanan Dampo Awang di Rembang yang dibuat kartunnya.....:
Legenda Dampo Awang
Sunan Bonang
Dampo Awang
Santri Sunan Bonang

Peta Bonang

Jangkar Dampo Awang
Legenda Dampo Awang

Prajurit Dampo Awang









Jangkar Dampo Awang....


Saat perjalanan pulang menyempatkan diri beli oleh2 di Dewa Burung…….
Khas Rembang : sirup Kawista

Minggu, 27 November 2011

Candi Pawon : Kehebatan Arsitektur Nenek Moyang yang Sering Terlewatkan


Candi Pawon 
Candi Pawon : cantik
 Ketika selesai di Candi Mendut, kembali cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan deras terpaksa membuatku berteduh barang sebentar, siapa tahu seperti tadi yang hanya sebentar, tapi ternyata cukup lama. petunjuk yang saya terima tadi sebenarnya cukup jelas, tapi saya kok ya masih saja kesasar. “Setelah Candi Pawon, terus saja, ketemu jembatan bercabang yang satunya tidak terpakai ambil kiri”, begitu kata bapak penjaga tadi, tapi ku ga teliti, setelah Candi Mendut ada Jembatan dan ada belokan ke kiri….ternyata bukan itu, tapi saat saya kesasar saya jadi melihat keganasan Kali Progo ketika lahar dingin melewati kali itu, jembatannya sampai putus.
Masih dengan hujan yang membasahi jalan2 dan mantol saya, terpaksa balik arah, karena memang salah jurusan, setelah ketemu jembatan yang benar benar bapak penjaga itu maksudkan, saya berjalan pelan-pelan. Ada 3 Cabang jalan, kalau lurus ke arah Candi Borobudur, sementara ke kanan menuju Purworejo/ kota Magelang. Sementara jalan ke kiri (dengan) jalan yang lebih kecil karena masuk perkampungan, ambil ke kiri ini, karena dari jalan pun sudah terlihat stupa Candi Pawon.
Mulaiah......
Sama dengan Candi Mendut, ketika masuk kita musti membayar Rp. 3.300,- selain ada fasilitas asuransi tentunya bea masuk tadi juga sebagai dana untuk perawatan candi ini. Ga salah juga bila kita ga terima uang kembaliannya. Biar Bapak Penjaganya semangat.
Hujan gerimis menyambut saya, seakan Candi Pawon menguji kenekadan saya berkunjung ke Candi Pawon.
Candi Pawon memang lebih “kurus” dari Candi Mendut, tapi bagi saya tidak kalah cantik dari Candi Mendut. Candi Pawon dipugar tahun 1903. (dari berbagai sumber) Asal usul nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya kecuali J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa yaitu Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata  Sansekerta vajra = "halilintar" dan anala = "api".
Di tangga masuk, kita akan disambut arca hewan (kalau saya tidak salah lihat) hewan penjaga candi hmmm mirip anjing, tapi sayangnya hanya tersisa yang sebelah kanan saja, sebelah kirinya raib. 


 
Di pintu masuk Candi Pawon juga dihiasi Kala.






Candi Pawon : di dalam candi
 Di dalam bilik candi ini kosong, sudah tidak ditemukan lagi adanya arca.  Hanya ada tempat menaruh (mungkin) arca di masa lalu. Yang lebih penasaran lagi, di candi ini ada lubang udara di sisi kanan,kiri dan belakangnya, apa mungkin benar dulunya Candi ini menjadi tempat perabuan Raja? Achhh… saya jadi merinding. 
 


 
Banyak orang mengira Candi Pawon merupakan sebuah makam, namun setelah diteliti ternyata merupakan tempat untuk menyimpan senjata Raja Indera yang bernama Vajranala. Candi ini terbuat dari batu gunung berapi. Ditinjau dari seni bangunannya merupakan gabungan seni bangunan Hindu Jawa kuno dan India. Candi Pawon terletak tepat di sumbu garis yang menghubungkan Candi Borobudur dan Candi Mendut
Tidak bermaksud mengada-ada, memang ketika masuk ke dalam bilik candi ada perasaan aneh yang menyergap saya, entah karena saya sendirian, ditambah gelap dan hujan atau ada sesuatu yang ingin menyambut saya entah saya tak mau menyimpulkan, yang pasti saya menikmati suasana di dalam candi ini. 
----Saat saya menenangkan diri, suasana hati benar-benar tenang.----
 Candi pawoni tak kalah mengagumkan, adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).
Kinari merupakan gambaran makhluk setengah manusia setengah burung. Kinari digambarkan berkepala manusia berbadan burung. Tata gerak kinari pada masing-masing sisi berbeda satu dengan yang lain. Melihat ornamen-ornamen yang ada, diduga kuat Candi Pawon merupakan bagian dari candi Borobudur. Hal ini didasarkan pada relief-relief yang terdapat pada Candi Pawon yang merupakan permulaan relief Candi Borobudur.
Letak Candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750m dari candi Borobudur dan 1150 m dari Candi Mendut.  7°36′21.98″S 110°13′10.3″E tepatnya di dusun Brojonalan Desa Wirogunan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai nama lain Candi Brajanalan. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya, kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat bahwa Candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi  Borobudur.




Setelah cukup puas menjelajahi setiap sudut Candi Pawon, akhirnya ku beranjak pulang, karena hujan sudah mulai reda. Tapi ketika saya baru melangkah hujan kembali deras, bahkan sepertinya air dimuntahkan dari khayangan ke Mayapada. Beruntung kedua kalinya saya di persilahkan, berteduh di pos Jaga. 

Bersama Bpk. Kusnadi
Bapak Kusnadi namanya, dengan ramahnya menceritakan suka-dukanya menjadi penjaga Candi Pawon. Ketika ngobrol, saya mendapatkan hal yang cukup menggiriskan, “Yang mengunjungi Candi Pawon ini dari 100 wisatawan luar negeri kurang dari 5 orang wisatawan dalam negeri”….. miris!, saat Merapi bangun dari tidur alias meletus kemarin, kata bapak Kusnadi Candi Pawon ini tertutup abu yang cukup tebal.
Sungguh bangsa yang tidak menghargai bangsanya sendiri…. ♫♪♫itulah Indonesia♫♪♫! Cita2 Gajahmada sia sia…(ups kok jadi ‘gladrah’)
Karena sudah jam 5, hujanpun sudah agak reda akhirnya ku berpamitan. Terimakasih kepada Bapak Kusnadi. Semoga masih semangat…
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya....
(untuk Borobudur---saya masih menunggu Jagad Pramudhita besar : http://www.facebook.com/profile.php?id=100002886269049 ----)