KERAJAAN SUNDA
Situs peninggalan kerajaan Sunada |
Kerajaan
Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan
1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa
Barat sekarang).
Etimologi
Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah
pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota
dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya
daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda"
tersebut itu Banten. Di sekitar tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama
"Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang
sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan
yang letaknya paling barat di pantai utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu
ke Banten. Peta Portugis yang paling lama mengenai kawasan ini menyebut
"Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai
utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda",
kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten
sekarang.
Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama
menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat.
Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam
perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang
Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian
pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh". Gambar ini sama
dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.
Prasasti
Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan
ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang "raja
Sunda" menduduki kembali tahtanya. Penggunaan bahasa Melayu ini
menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya. Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan
Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak,
di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.
Menurut naskah Wangsakerta,
naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber
sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang
meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.
Wilayah
kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga
Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di
Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci
Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di
Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung
dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Historiografi
PadrĂ£o Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk
memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan
awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II
tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun,
bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya
sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan
Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan
kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti
tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin
Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara
(358-669 AD ).
Prasasti Batu Tulis |
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah
batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa
Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta,
dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952
(1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon,
hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri
Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang
Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda.
Dan tidak ada seorang pun
yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober
1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah
selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina
tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur
perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Ruguamengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang
yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang
negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di
"Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai.
Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka
dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon
kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan
rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain
katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang
tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi
kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu,
tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
Ini adalah salah
satu makam anggota kerajaan sunda yang bernama kerajaan Galuh,
terletak
di dalam hutan Ciung Wanara, Ciamis, Tasikmalaya.
|
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a,
sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk
mencapai Kalapa, mereka
kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan
187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan
ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya
menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan
Banten. Salah satu penjelajah itu
adalah Tomé Pires dari
Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda
luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan
Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan
bahwa kerajaan Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan
di masa Pires Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.
Berdiriya
kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum
berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara.
Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa
Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan DĂ©wi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. DĂ©wi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang
kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya
mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara,
serta mendirikan Kerajaan
Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitu sungai
Citarum (Sunda di sebelah barat,
Galuh di sebelah timur).
Federasi antara Sunda dan
Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih
muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini
lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat
Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M
dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan
Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk
melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan
Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan
kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari DĂ©wi
Sudiwara, yaitu Rakai
Panangkaran. Rarkyan Panaraban
berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan
pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di
Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya)
menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari DĂ©wi Kancanasari, keturunan Demunawan dariSaunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama
17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan
kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak
perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus
(dengan gelar Prabu
Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa
selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus,
kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera
dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara
iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus
(dengan gelar Prabhu Gajahkulon)
sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh
ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar
dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke
putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera
sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai
Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan
Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan
kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam
orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera
Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan
oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai
putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan
Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya,
Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu DĂ©wasanghyang
(1012-1019). Dari DĂ©wasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke
cucunya yang membuat prasasti Cibadak,
Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguhdari
Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada
putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122
tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan
Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya
(Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun
ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa
selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya,
Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian
oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai
anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu
Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa
(1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu
Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora
(1357-1371).
Prasasti Kawali |
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke
putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang
Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah
sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa
dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang
lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu DĂ©waniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah
Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli
warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih
(putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian
Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra
(1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu
Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab
setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu
Surya Kancana dan Kerajaan
Pajajaranruntuh.
Arkeologi
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut
"arca Caringin" karena pernah
menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan
ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal
abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan
pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang
diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam
reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Prasasti Kerajaan Sunda Ada di
Ciamis
SITUS Astana Gede Kawali, di Kabupaten
Ciamis, merupakan prasasti yang mampu mengungkap Kerajaan Sunda yang sempat
berdiri dan berkuasa, terutama di wilayah Priangan Timur.
Nama-nama raja yang sempat berkuasa di
Tatar Sunda semuanya sudah terangkum dalam batu bertulis yang kini masih
berdiri tegak di Astana Gede.
Terletak di kota Kawali, Situs Astana Gede
yang memiliki nilai sejarah kini nyaris terlupakan dan tak terurus. Pemda
Kabupaten Ciamis kehilangan rasa untuk mempromosikan obyek wisata ini supaya
bisa dikenal pengujung.
Keengganan pemda merias obyek sejarah ini,
terbukti dari jumlah pengunjung yang semakin hari terus menurun. Ditambah, tak
sedikit masyarakat Tatar Sunda tak mengetahui secara pasti mengenai hubungan
Situs Astana Gede dengan kondisi Kerajaan Sunda tempo dulu, termasuk
hubungannya dengan Kabupaten Ciamis.
“Mahayuna
hayuna Kadatuan… Pakena Gawe …. Jaya dina Buana.” Itulah ungkapan kalimat
berbahasa Sunda kuno yang kini dijadikan lambang keagungan Kabupaten Ciamis.
Semboyan kalimat yang hingga kini terus
menempel di lambang DT II Ciamis merupakan lambang yang diambil dari penggalan
kalimat yang ada di Prasasti Astana Gede.
Melihat fakta sejarah seperti itu, sangat
pantasn jika Pemda Kabupaten Ciamis terus melakukan promosi mengenai obyek
wisata sejarah tersebut.
Berdasarkan sejarah, tahun 1333-1482
Masehi, di kota Kawali berdiri Keraton Kerajaan Sunda yang diberi nama Keraton
Surawidesa, dengan Raja Wastu Kancana.
Kabar ini pun tertulis di prasasti
Ciaruten Bogor dan prasasti Kebantenen yang menyebut-nyebut nama Rahyang
Niskala Wastu Kancana.
Raja ini meninggal di Nusa Larang, yang
kini makamnya ada di Nusa Gede di tengah-tengah Situ Panjalu.
LIMA KERAJAAN SUNDA
Dalam sejarah Kasundaan, ditegaskan, ada
lima kerajaan Sunda besar di Jawa Barat. Di antaranya Kerajaan Salakanagara di
Pandeglang Banten (130-360 M), Kerajaan Prabu Lingga Buana. Raja ini memiliki
empat putra, dan yang hidup hanya dua masing-masing seorang putri bernama Dyah
Pitaloka atau Citraresmi, sedang seorang lagi bernama Wastu Kencana (bungsu).
Citraresmi, seorang perempuan yang cantik
jelita diam-diam akan dipersunting Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit.
Ketika keluarga kerajaan Kawali akan
mengantar puterinya ke Majapahit, di luar dugaan ketika tiba di Tuban, Kerajaan
Majapahit yang dipimpin langsung Patih Gajah Mada, tiba-tiba menyerang
rombongan dari Kawali hingga semuanya tewas.
Selang beberapa hari, abu petinggi
kerajaan termasuk Citraresmi dikirim ke Kerajaan Kawali. Sejak itulah, Prabu
Lingga Buana bergelar Prabuwangi. Penyerangan yang dilakukan pasukan Majaphit
berdasar para ahli sejarah akibat adanya perbedaan budaya.
Rombongan penganten dari Kawali yang akan
mengantar pernikahan puteri raja Dyah Pitaloka dalam bentuk seserahan
disalahartikan oleh pasukan Majapahit.
Pihak Majapahit menyangka rombongan itu
akan menyerang kerajaanya, hingga pasukan dari Kawali pun disikat habis. Saat
petinggi kerajaan Kawali meninggal, tampuk pemerintahan diambilalih Mangkubumi
Soradipati (1357-1371 M).
Kemudian kursi kerajaan pun diberikan ke
Wastu Kancana (1371-1475 M). Raja ini berkuasa hampir 127 tahun. Perjalanan
kerajaan Kawali semuanya tersirat dalam prasasti yang kini ada di Astana Gede.
BATU TELAPAK KAKI, Obyek wisata yang bisa
dilihat di antaranya dua buah prasasti besar, batu telapak kaki dan tangan,
tiga buah batu mahir, tiga makam raja, dan 400 meter ke arah utara terdapat
kolam kecil berair bening yang disebutkan dalam sejarah tempat mandinya
keluarga raja.
Kolam kecil yang terkenal dengan sebutan
Cikawali, dari dulu hingga sekarang debit airnya tak pernah menurun alias
tetap.
Merunut perjalanan sejarah, kerajaan
Kawali merupakan tempat wisata yang memiliki nilai sejarah cukup besar. Sayang,
tempat ini kini nyaris terlupakan dan generasi muda saat ini banyak yang tidak
tahu perihal Prasasti Asatana Gede.
Tempat sejarah ini kini nyaris terlupakan
dan hanya dikunjungi wisatawan ketika Lebaran tiba. Padahal obyek ini sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi obhek wisata yang berani bersaing dengan
objek wisata sejarah lainnya yang ada di Indonesia. Siapa yang bersalah?
Wallohu alam.
Yang jelas bangsa yang besar adalah bangsa
yang mau mengakui sejarah termasuk melestarikannya.
Untuk menikmati hutan seluas 4 hektar, pengujung bisa menggunakan kendaraan roda dua dan empat. Setelah tiba di kota Kawali, kita tinggal meneruskan perjalanan menuju Astana Gede yang hanya berjarak 1 km dari kota Kawali ke arah selatan.
Untuk menikmati hutan seluas 4 hektar, pengujung bisa menggunakan kendaraan roda dua dan empat. Setelah tiba di kota Kawali, kita tinggal meneruskan perjalanan menuju Astana Gede yang hanya berjarak 1 km dari kota Kawali ke arah selatan.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin
Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1)
Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2)
Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3)
Tamperan Barmawijaya
(732 - 739)
4)
Rakeyan Banga (739 - 766)
5)
Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang (766 - 783)
6)
Prabu Gilingwesi
(menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7)
Pucukbumi Darmeswara
(menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8)
Rakeyan Wuwus Prabu
Gajah Kulon (819 - 891)
9)
Prabu Darmaraksa (adik
ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10)
Windusakti Prabu
DĂ©wageng (895 - 913)
11)
Rakeyan Kamuning Gading
Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12)
Rakeyan Jayagiri
(menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13)
Atmayadarma Hariwangsa
(942 - 954)
14)
Limbur Kancana (putera
Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15)
Munding Ganawirya (964 - 973)
16)
Rakeyan Wulung Gadung (973
- 989)
17)
Brajawisésa (989 - 1012)
18)
DĂ©wa Sanghyang (1012 - 1019)
19)
Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20)
Sri Jayabupati (Detya
Maharaja, 1030 - 1042)
21)
Darmaraja (Sang Mokténg
Winduraja, 1042 - 1065)
22)
Langlangbumi (Sang
Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23)
Rakeyan Jayagiri Prabu
MĂ©nakluhur (1155 - 1157)
24)
Darmakusuma (Sang Mokténg
Winduraja, 1157 - 1175)
25)
Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26)
Ragasuci (Sang Mokténg
Taman, 1297 - 1303)
27)
Citraganda (Sang Mokténg
Tanjung, 1303 - 1311)
28)
Prabu Linggadéwata
(1311-1333)
29)
Prabu Ajiguna
Linggawisésa (1333-1340)
30)
Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350)
31)
Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32)
Prabu Bunisora (1357-1371)
33)
Prabu Niskalawastukancana
(1371-1475)
34)
Prabu Susuktunggal
(1475-1482)
35)
Jayadéwata (Sri Baduga
Maharaja, 1482-1521)
36)
Prabu Surawisésa (1521-1535)
37)
Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543)
38)
Prabu Sakti (1543-1551)
39)
Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40)
Prabu Ragamulya atau
Prabu Suryakancana (1567-1579)
Hubungan dengan kerajaan
lain
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak
terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan
Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya
lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat
dalam sumpahnya Gajah Mada.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang
dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan
politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi
bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang
ADALAH seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Secara luar biasa, ia mencatat lebih kurang 450 nama geografis yang masih banyak dapat dikenal hingga sekarang. Catatan dalam lembar-lembar lontar yang sekarang tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris itu, diakhiri dengan suatu persiapan perjalanan spiritualnya ke Nirwana, di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur.
Dari beberapa penggalan sajaknya, di antaranya ia menulis sebagai berikut,
Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ ser mangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing / padanan deung pakayuan dan seterusnya.
Walaupun belum ada
kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu,
tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya
tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Situs tersebut merupakan suatu
"bangunan" yang disusun dari tumpukan kolom-kolom bebatuan yang
dibangun berundak-undak, berada di puncak bukit kecil yang dikenal sebagai
Gunung Padang.
Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli Arkeologi sebagai situs Megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini, sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari jalan negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi kendala pertama para calon pelancong.
Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli Arkeologi sebagai situs Megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini, sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari jalan negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi kendala pertama para calon pelancong.
Mendekati lokasi
situs, kendala lain sudah menghadang pula, tidak adanya penunjuk arah menuju
lokasi situs, dan jalan perkebunan teh yang rusak atau berlapis batu tajam.
Menyadari banyaknya kendala pengembangan di balik potensi wisata yang luar
biasa ini, Balai Pengelolaan Purbakala dan Nilai-nilai Sejarah Tradisional
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, pernah mengadakan kegiatan positif
berupa "Bakti Wisata" yang diikuti oleh masyarakat dan mahasiswa.
Kegiatan itu, diharapkan dapat merintis pengembangan ke arah wisata yang lebih
baik dan menarik perhatian serius penanganan situs yang menjadi jalur budaya
Megalitik Asia-Pasifik ini (Pikiran Rakyat, 26 Mei 2005).
Tetapi, bagi para
pelancong yang ingin mendapatkan nilai lebih dari aktivitas berwisatanya,
rasanya kendala tersebut justru menjadi bagian dari perjalanannya yang akan
menjadi catatan pengalaman yang mengasyikkan.
Batu Andesit Basaltis
Situs arkeologi ini,
sebenarnya sangat menarik pula jika dipandang dari sudut geologi. Hal ini
karena batu penyusun konstruksi situs, dari segi geologi mempunyai cara
terbentuk yang khusus. Selain itu, secara geografis, posisi Gunung Padang
terhadap gunung-gunung lain di sekitarnya, terutama Gunung Gede, mungkin dijadikan
kriteria pemilihan bukit oleh arsitek prasejarah pembangun situs ini.
Jika kita telah
mencapai situs ini, kesan keagungan dan kehebatan masyarakat purbakala langsung
menyergap suasana. Perasaan ini begitu kuat ketika sampai di pelataran pertama
setelah mendaki tangga-tangga batu setinggi lebih kurang 30 meter dengan
kemiringan hampir 40 derajat. Batu-batu berbentuk kolom poligonal ini, dipasang
melintang sebagai tangga sejak kaki bukit. Di puncak bukit, pada pelataran
pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri,
Sehingga benar-benar
seperti suatu tempat check in.
Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu. Banyak kolom batu mempunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan permukaan yang halus. Orang awam, bisa terkecoh menganggap batu-batu ini adalah buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses alamiah bisa membentuk kolom batu yang berpermukaan halus dengan sendirinya.
Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu. Banyak kolom batu mempunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan permukaan yang halus. Orang awam, bisa terkecoh menganggap batu-batu ini adalah buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses alamiah bisa membentuk kolom batu yang berpermukaan halus dengan sendirinya.
Kolom batu poligonal
terbentuk ketika aliran magma membeku. Sama halnya dengan terbentuknya
retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering. Begitu pula yang terjadi
pada cairan magma yang mengalir ke luar permukaan bumi sebagai aliran lava.
Ketika membatu, proses-proses fisik akan membentuk suatu retakan-retakan
pendinginan berbentuk kolom-kolom poligonal tersebut.
Proses demikian,
adalah proses yang sama yang membentuk tangga-tangga segi enam raksasa di
Irlandia yang terkenal sebagai The Giant Causeway, atau kolom-kolom tinggi di
Devil's Tower di Ohio, Amerika Serikat, atau kolom batu yang menghiasi
dinding-dinding galian batu di G. Selacau dan Lagadar, Cimahi Selatan. Semuanya
terjadi pada saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya
berjenis batu andesit atau basaltis.
Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21 juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21 juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Dengan sangat cerdas,
arsitek Megalitik yang diperkirakan hidup sekira 2.000 - 1.000 tahun yang
lampau, telah memilih tempat yang cocok dari sisi ketersediaan sumber daya batu
in-situ.
Mengarah ke Gunung
Gede, ketakjuban kita terhadap hasil karya para leluhur masyarakat Jawa Barat
purbakala itu, akan semakin bertambah ketika kita terus mengamati susunan batu
demi batu, serta lingkungan sekitarnya. Sang arsitek telah memilih bukit ini,
mungkin dengan survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh. Pemilihan bukit
sedemikian rupa, sehingga selain adanya sumber batu yang tersedia untuk
membangun tempat pemujaan ini, arah memanjang situs begitu tepat menghadap ke
arah Gunung Gede (elevasi 2.958 m)!
Persis arah 10
derajat utara-barat pada kompas, panjang situs tepat mengarah ke gunung yang
memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh
masyarakat Kerajaan Pajajaran. Gunung Gede, mungkin juga di anggap sama suci
dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Menariknya, dengan
latar belakang Gunung Gede yang jauh di utara, situs ini juga menghadap
terlebih dahulu pada satu bukit yang bernama Pasir Pogor di depannya.***
Siapa yang menghargai sejarah kalau bukan kita