Minggu, 27 November 2011

Candi Mendut : Peninggalan bersejarah yang religius


Candi Mendut
Perjalanan kali  ini sungguh beruntung, untuk kedua kalinya ada tugas mengikuti seminar bisa mampir ke candi, kalau saat itu ketika di Solo saya mampir ke prambanan, kali ini seminar di daerah Magelang jadi bisa mampir ke Candi yang berada di kawasan Borobudur.
tepatnya tanggal 23 November 2011, setelah mengikuti seminar di UMM Magelang sedikit kupaksakan untuk mengunjungi Candi di kawasan Borobudur.
Rute yang dilalui sangat mudah, sobat tinggal mengikuti jalur Semarang Jogja, ikuti papan petunjuk ke arah Candi Borobudur, karena Candi Mendut ini berada sebelum Candi Borobudur.
Candi Mendut tujuan pertama saya. Terletak di Desa Mendut, kecamatan Mungkid Kota Mungkid, Kabupaten Magelang,Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur dengan koordinat: 7°36′17.17″S 110°13′48.01″E. Candi Mendut adalah sebuah Candi yang berlatar belakang agama Buddha. 
Setelah membayar tiket masuk Rp. 3.300,-, dan memarkir motor lalu berganti sandal (saya saat sampai disini masih pakai sepatu pantovel, hehehhe) biar nyaman jika nanti bernarzis ria.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Candi Mendut : 48 stupa
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah, sedangkan tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
cerita Pancatantra dan Jantaka




Harītī
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa Dewata Gandarwa dan Apsara atau Bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan Jantaka. Dinding candi dihiasi relief Boddhisatva di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka. 

Di Tangga Candi Mendut, kita akan disambut penjaga Candi, di tangga bagian ataspun ada kepala naga di kanan dan kiri tangga.
 
       Di samping candi disetiap sisinya ada naga yang berlubang yang berfungsi sebagai saluran pembuangan air.
Dhyani Buddha Wairocana
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi. Sekarang di depan arca Buddha diletakkan pedupaan dan keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa menyulut sebuah dupa dan berdoa di sini.

Wajrapāņi

Awalokiteśwara

Boddhisatva Ksitigarbha







 

Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
Brahmana dan seekor kepiting.
Brahmana dan Kepiting
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini: Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan. Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman. Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.” Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka. Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.

Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
Angsa dan kura-kura
Angsa dan Kura-kura
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru. Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati. Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina. Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya: “Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya: “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian. Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa. Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan. Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu. Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
Dharmabuddhi dan Dustabuddhi
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.
Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

Dua burung betet yang berbeda.
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.

Parade Relief Candi Mendut


























Vihara Buddha Mendut
Arca Buddha sumbangan Jepang.
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
   Di sebelah kanan Candi Mendut, masih ada reruntuhan Candi Mendut, yang tampaknya dulu adalah sebagian atap yang sampai sekarang belum terpasang, juga ornament batuan yang dulu sebagai penghias candi seperti pagar, tempat sesaji dll.



Ditengah tengah suasana Candi yang saya nikmati, tiba tiba cuaca kurang bersahabat, tapi  security-nya baik hati, karena aku diperbolehkan berteduh. Beruntungnya hujan yang cukup deras hanya sebentar saja. Kembali kulanjutkan menikmati keanggunan Candi Mendut ini….
Setelah puas menikmati ekspedisi di Candi Mendut ini, perjalanan saya lanjutkan ke Candi Pawon, yang menurut informasi dari penjaga Candi Mendut tadi kurang dari 2km jaraknya ke Candi Pawon.
Sampai ketemu di Candi Pawon….

Minggu, 06 November 2011

Pemandian Pengging


Pemandian Pengging : Umbul Sungsang dan Umbul Plempeng
Setelah ngambil air di Senjoyo (buat siraman anak teman kerja) perjalanan menuju Pemandian Pengging yang berada di Boyolali.
Dari ara semarang, setelah melewati kota boyolali lihat petunjuk menuju pengging, masuk ke kanan kira2/3km, tepat di pasar Banyudono ada pintu gerbang di sebelah kanan. Masuk saja.
Beruntungnya saat perjalanan memang hujan, tapi saat saya tiba di pengging cuaca lebih bersahabat. Yang saya Tuju adalah Umbul Sungsang, untuk alternatif lain, bila sobat ngajak anak/istri bisa ke Umbul Sewu, yang merupakan wisata permainan. Kalau umbul sungsang ini wisata ziarah
Hanya satu/dua orang yang saya temui disini, pengunjungpun rata2 dari sekitar saja. Hanya kadang-kadang dari luar kota. 

Mungkin kurang sentuhan saja, percantik tempat ini.
Jadi kenapa ga dilekola lebih maksimal lagi.
Tempat ini masih menjadi tempat ziarah bagi sebagian orang. 
















Seperti terlihat.  Di Umbul sungsang ada tempat semedi, aula pertemuan. Mata air yang muncul di umbul sungsang debitnya lumayang besar, jernih dan sejuk. Berada di sebelah kanan bawah tempat semedi dan persis di bawah pohon beringin.
 




Di dekat umbul Sungsang, ada pula umbul plempeng yang tertutup, ditulisan sic khusus wanita namun pintunya kok terbuka ya???hehehehe.

 





















Letak umbul sungsang persis di seberang Pasar Banyudono.
Jangan lupa kala berkunjung ke boyolali, mencicipi soto khas nya…. Ada banyak pilihan, Soto Seger, Soto Sedap, Oto Gobyos, Soto Rumput…., banyak penjual di tengah kota boyolali…
Yang saya pilih adalah soto sedap
Selamat mencoba!



CERITA TENTANG PENGGING:
Sumber dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Pengging

Ki Ageng Pengging

Kyai Ageng Pengging adalah penguasa daerah Pengging (pusatnya berada di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Boyolali sekarang) yang dihukum mati Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah karena dituduh memberontak.

Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenanga. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan Andayaningrat dan Ratu Pembayun.
Nama asli Andayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan Ratu Pembayun putri Brawijaya raja Majapahit (versi babad), yang diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.
Jaka Sengara kemudian menjadi Adipati/Raja Muda Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi. Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.

Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II

Serat Kanda mengisahkan, Andayaningrat membela Majapahit saat berperang melawan Demak. Ia tewas di tangan Sunan Ngudung panglima pasukan Demak yang juga anggota Walisanga. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mendukung serangan Demak.
Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.
Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syekh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama Hindu, Buddha, dan Islam. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

Keluarga Ki Ageng Pengging

Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syekh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.
Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir dan mendirikan Kerajaan Pajang. Pendirian Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri puteri raja Trenggana, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

Kematian Ki Ageng Pengging

Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dicurigai Raden Patah hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke Demak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.
Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh pemerintah Demak. Maka, Sunan Kudus pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.
Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan Sunan Kudus akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap Raden Patah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris Sunan Kudus.
Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan Sunan Kudus tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk Sunan Kudus.
Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius

Pemandian Senjoyo

Pemandian Senjoyo
Airnya Bening, Seger dan sejuk.
Pantes Saja Jaka Tingkir Mampir ke Sini

Senjoyo
Letaknya di Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang
(deket Terminal Tingkir Salatiga)

Sebenarnya perjalanan ini saya tidak merencanakan, karena seorang teman kerja minta tolong nyariin kekurangan air buat siraman anaknya, jadilah saya meluncur ke SENJOYO. Jumat, 4 November 2011 setelah Jumatan, saya berangkat dari Ungaran. Kondisi cuaca yang tak berahabat alias hujan tak menghalangi saya, sempat beberapa kali berhenti untuk memakai jas hujan, rute yang kulalui sangat mudah, Ungaran-Bergas, Bawen,Tuntang, JLS Saltiga. Saat melewati JLS Salatiga pemandangan sungguh mengagumkan, kuasa Illahi membuat alam begitu indah 
Bentangan kabut yang membentang dari gunung Telomoyo melewati lembah dan menuju Gunung Merbabu seperti gerbang selamat datang.
Kabut yang cukup pekat cukup menambah dingin, pen bekas patah kaki yang belum sempat saya ambil terasa ngilu, sambil memakai kaos kaki agar sedikit hangat saya mengabadikan kabut pekat yang turun itu
Keluar dari JLS, ambil kanan lihat petunjuk 
 Ikuti petunjuk ini, masuk ke kiri kurang lebih 3km.
Mata Air Senjoyo
berada di wilayah kabupaten Semarang Tepatnya di Desa Tegalwaton Kabupaten Semarang, tapi banyak juga masyarakat kota Salatiga yang memanfaatkan Air Senjoyo.
Bening, dan segar. Langsung nampak ketika melihat pemandian di kolam utama ini
Pemandagan sangat alami, ditambah ikan yang berkeliaran bebas terlihat jelas, dan tak takut dengan orang yang sedang berenang di kolam.

Mohon maaf ya, kamera yang saya bawa belum ada autofocusnya, jadi ikannya agak kabur.
Berbagai batuan berelief peninggalan kuno masih ada di Senjoyo. Konon Pemandian Senjoyo ini digunakan oleh para putri raja....



Ada pula patung yang di kanan kirinya ada tempat pembakaran dupa. Juru kunci Sendang Senjoyo, Mbah Jasmin (81) mengatakan banyak juga orang yang melakukan larung untuk membersihkan diri jasmani dan rohani di Sendang itu.
Mbah Jasmin yang merupakan generasi ketiga penjaga Sendang Senjoyo menuturkan, menurut legenda, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo.
Ada riwayatnya mengapa Senjoyo menjadi tempat kungkum. Konon, menurut legenda, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo.

"Rumiyin, sak derengipun nyuwita ing Demak, Mas Karebet kungkum ing mriki (Senjoyo), ndadar kanuragan—Dulu sebelum mengabdi di (Kesultanan) Demak, Mas Karebet merendam diri di sini untuk berolah kesaktian," tutur Mbah Jasmin.

Legenda Senjoyo dengan Mas Karebet-nya itu masih populer di tengah masyarakat sampai saat ini. Konon, katanya, air sendang yang biasanya tenang tiba-tiba menyembur deras. Jika dibiarkan, bisa terjadi banjir.
Bujangan dari Desa Tingkir itu cepat memotong rambutnya untuk menyumbat mata air yang menggila. Konon rambut gondrong Joko Tingkir menjadi penyaring mata air sendang hingga air mengucur bening sampai hari ini. Itu cerita rakyat tentang Senjoyo. Secara administratif, Senjoyo masuk wilayah Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tapi secara geografis lebih dekat dengan Kota Salatiga, yaitu sekitar lima kilometer ke arah timur kota.
 
Pohon pohon besar yang berusia ratusan tahun ada di sini.

Salah satu pohon yang unik dan tua (dikeramatkan), ada sesajen, serta disekeliling pohon itu tertata bekas batuan persis bahan yang digunakan untuk candi.
Dari cerita Mbah Jasmin, diketahui juga bahwa banyak peristiwa yang terjadi di Sendang berkaitan dengan situasi politik nasional. Ia mengisahkan, sebelum Presiden Suharto lengser, di Sendang Senjoyo terjadi peristiwa aneh, yaitu tumbangnya sejumlah pohon beringin di sekitar Sendang. Tidak itu saja, sesaat setelah kebakaran menimpa keraton Solo beberapa tahun silam, peristiwa serupa juga terjadi, saat itu terjadi hujan angin yang hebat dan sejumlah pohon beringin tumbang.
Peristiwa menarik lainnya, yaitu suatu hari Sendang Senjoyo pernah didatangi seorang perwira TNI yang mau berangkat tugas ke Aceh, padahal sebelumnnya perwira tersebut sudah naik kapal laut di Semarang tapi tiba-tiba berbelok mendatangi Sendang terlebih dulu dan berdoa agar dirinya selamat selama melaksanakan tugas. Bahkan ia sempat mengambil air Sendang untuk dibagikan pada anak buahnya yang juga bertugas di Aceh.


Senjoyo : mengambil air.
Sampai saat ini Pemandian Senjoyo masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, entah sekedar menikmati pemandangan, mandi dan berenang.

Kelebihan Senjoyo, walaupun Di musim kemarau  manakala beberapa daerah di Salatiga kesulitan air, Sendang Senjoyo tetap mengalir. Sendang itu terletak di Kelurahan Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Dari pusat Kota Salatiga, jaraknya sekitar 4 km. Sendang tersebut hingga kini merupakan sumber mata air bagi warga Salatiga dan Kabupaten Semarang yang tak pernah kering walau kemarau panjang. Aliran mata air tersebut juga digunakan untuk kepentingan pertanian di dua daerah itu. 

Mengambil air untuk konsumsi, bahkan mencuci baju.
Senjoyo : ga usah ditiru...
Malah ada pula seorang pengunjung (yang tampaknya masyarakat sekitar senjoyo) yang berburu ikan pakai senapan, padahal jelas-jelas ada larangan mengambil ikan.
Belum adanya Pengelolaan yang maksimal menjadikan Senjoyo ini hanya tampil seadanya. seperti yang sudah-sudah, jika ada potensi, pasti banyak yang rebutan.... tapi tidak memperhatikan kelestarian ini.. yang penting uang..uang..uang.
Beberapa pihak memanfaatkan air sendang untuk kepentingan air minum dan industri. Di sana tertancap pipa-pipa besi dari PDAM Pemkot Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, serta sebuah instansi militer. Selain itu ada pula perusahaan tekstil PT Damatex yang mengambil air untuk keperluan industri.
Beberapa link yang memberitakan tentang Senjoyo :
- : ratusan warga tegalwaton geruduk pdam 
- : Video perselisihan masyarakat dengan PDAM 
-: Sumber Air Senjoyo Butuh Perhatian dan Perawatan 

Kisah air di Salatiga berujung pada cerita perebutan kepemilikan. Jika dulu jadi milik publik seutuhnya, kini sebagian besar sumber air di situ dikelola negara lewat perusahaan air minum daerah. Ketika akses warga makin terbatas dan debit air menyusut akibat minimnya konservasi, konflik pun bermunculan. Siapa jadi korban?....
-: Main Sedot Tanpa Repot 
Senjoyo

Melanjutkan perjalanan ke Pengging…