Senin, 17 Agustus 2009

Pembalasan Nyoman Dwipa


--012--
BASTIAN TITO
Pendekar Kapak nagageni 212
WIROSABLENG



KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu
masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi
dipecah oleh derap kaki kuda yang
ditungganginya. Sesampainya di depan pura
besar yang terletak dipersimpangan jalan
seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena
hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk
menghangati perutnya dengan secangkir kopi
lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa
jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam
kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik
kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup
minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata seorang laki-laki sambil
memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau." menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua begini, ampun . . . " Dicabutnya
rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal beberapa saja sedang kedua
pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa.
Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu dengan dia. Nantilah .... kalau kau lihat
anak gadisnya I Krambangan itu hem ... Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga ketika dia
muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi kata-katanya sementara

tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat ... meski aku belum pernah lihat bidadari, tapi aku yakin mungkin dia
lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di bawah dan
langsing di tengah-tengah. Matanya . . . hem ... pernah kau lihat bintang timur? Sepasang mata anak gadis I Krambangan itu
lebih bagus dari bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis macam pauh di
layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring, hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti
lebah bergantung ... pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok melekat pada darinya. Dan kalau dia
tersenyum sobatku, hem ... rasa di awan kita melihatnya ..."
"Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak gadis I Krambangan itu
mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat pekerjaan!"
Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan anak gadis I Krambangan itu
sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua tadipun
masih punya minat untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai. Matahari telah agak tinggi. Dihabiskannya
kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang dimakannya orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi
kudanya dengan tidak tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan rumahnya. Penunggang kuda ini
berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya. Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan.
Rumah itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti dan turun dari kudanya, pintu muka
terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih keluar, ketika melihat orang yang turun dari kuda ini, orang itupun berseru
gembira, "Made Trisna!"
"I Krambangan!"
"Sahabat lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau bisa tahu aku tirggal di
sini?"
"Secara kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang menerangkan bahwa kau pindah dan
menetap di sini."
"Oh⁄.." I Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat. Tadinya aku hendak ke ladang.
Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara panjang lebar!"
Kedua sahabat lama itupun naik kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke timur maka Made Trisna
mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya.
"Sahabatku I Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud kedatanganku ini membawa
pula satu maksud yang sangat baik."

"Gembira sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih ingat dengan Tjokorda Gde
Anyer."
"Oh, siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!"
"Nah justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."
"Hem, begitu? Sangkut paut bagaimana, Made?"
"Dialah yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat."
"Ah, aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada tinggi dan rendah tak ada bangsawan dan
rakyat jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku kemari untuk tolong menyampaikan salam hormat di mana dia berhajat untuk
meminang anakmu . . ."
"Maksudmu Ni Ayu Tantri?"
"Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."
I Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde Anyer mempunyai hasrat baik
untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma punya seorang anak ⁄"
"Betul namanya Tjokorda Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari anak gadismu. Ringkas kata, kalau
anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari."
Sejak sepuluh tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde Anyer. Sewaktu anak Tjokorda
Gde Anyer masih kecil dia memang pernah melihatnya dan menurut pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya, mukanya
senantiasa pucat macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal luar biasa. Tapi itu dulu selagi masih kanakkanak.
Sekarang sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah berubah dan parasnya menjadi gagah.
Karena I Krambangan lama tak bersuara maka berkatalah Made Trisna,
"Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra pemuda gagah anak bangsawan dan
kaya raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan bahagia!"
"Memang betul kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat perbedaan darah turunan antara
kami dan dialah maka rasanya agak malu juga aku menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin berbesan dengan
orang bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."
Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I Krambangan. Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda
Gde Anyer yang tak mau membeda-bedakan di antara manusia."
Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa lamanya.
Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia mengambilnya jadi kawan

hidup ...?"
"Kau keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung sebatang rokok kaung. "Kecantikan paras
anak gadismu laksana bunga harum semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum ke sini aku
mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di situ sudah bicara tentang kecantikan paras anakmu.
Bayangkan!"
I Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur sebuah pedati menarik tumpukan
kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan.
"Walau bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde Jantra sendiri belum pernah
bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-tahu pemuda itu kecewa dan
menyesal ⁄"
"Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan ayahnya sampai memaksaku
agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I Krambangan menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu barang seminggu dua minggu
untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku sendiri pada dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula
pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi tahu."
Made Tisna manggut-manggut.
"Aku yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua minggu terlalu lama sobat, biar
aku datang minggu depan kemari untuk meminta jawabanmu. Akur..."
"Baiklah Made. Karena istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah kita masuk." Kedua orang itu berdiri
lalu masuk ke ruang tengah.

2
SEPERTI yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke Klungkung menemui I Krambangan untuk
meminta kabar atau jawaban mengenai pinangan yang disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I Krambangan akan
menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah sahabatnya itu langsung Made Krisna menanyakan
persoalan.
"Minumlah dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made Trisna sudah meneguk minuman
yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka persoalan.
"Seperti yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran Tjokorda GdeAnyer. Bukan saja
menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu penghormatan yang luar biasa mengingat dia bangsawan kaya raya mau
mengulurkan tangan pada keluargaku bangsa rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia terkejut dan hampir tak
percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran itu. Namun setelah kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu
persoalan, Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan lamaran satu minggu yang lalu
itu."
"Persoalan apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.
"Dua tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan hati sendiri. Kau tentu mengerti
maksud ucapanku ...."
"Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?"
I Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana untuk menikah sesudah Hari Raya
Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak bisa
memaksa Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu besar dosanya memutuskan tali
kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan hubungan kasih anakku."
Lama Made Trisna termenung. Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak kawatir, sahabatku. Masakan Dewadewa
di kayangan tidak akan merakhmatimu. Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra berarti kita
membuat satu kebajikan dan pahala besar?"
"Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda yang dikasihinya? Aku sebagai
orang tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah kau sudah terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer? Apakah kau terangkan pula
orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya itu?"
"Sudah." jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk mau menerima lamaran tersebut.

Tapi sia-sia belaka, Made."
Untuk kedua kalinya Made Trisna termenung.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau tak melihat cara atau jalan
lain agar Tantri menyetujui perjodohannya dengan Tjokorda Gde Jantra?"
"Sudah kutempuh berbagai cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang sudah diberikan pada seorang lain
yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun pernah muda ..."'
"Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan bagaimana anakmu tidak
berbakti padamu ...?"
I Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya. Tapi dia tersenyum sewaktu
menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi aku juga bisa melihat sampai batas-batas mana seorang tua bisa mencampuri
urusan pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap sebagai satu keingkaran atau satu kenyataan
bahwa dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya mengenai. urusan
pribadinya. Apalagi urusan yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan istriku menyetujui lamaran Tjokorda Gde Anyer.
Tapi kita musti sadar pula bahwa bukan aku atau istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde Anyer yang akan dijodohkan dan
akan menempuh hidup baru berumah tangga itu, tapi Tantri."
"Betul, betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I Krambangan itu menggejolakkan hatinya. "Betul
sekali apa yang kau katakan itu, sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih belum terbalik. Kita orang-orang tua
mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan kalau sudah besar membuat dia berbakti pada kita, mengikuti
apa mau kita karena niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih belum terbalik sahabatku.
Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya anak kita, justru anaklah yang harus patuh dan mengikuti kemauan
orang tuanya!"
"Menyesal sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I Krambangan. "Bagaimana pun aku tak merasa
dunia ini telah terbalik hanya karena aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada anakku. Dan aku
juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk berlaku seperti itu. Tapi harus disadari Made, dunia
kita di masa lalu tidak sama dengan dunia orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang tak sama pula dengan dunia
orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan kehendaknya jaman . . . "
"Dimana orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana anak-anak sanggup mengatur
orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur diri mereka? Sungguh lucu jaIan pikiranmu. Jika memang itu
pendirianmu, memang sungguh berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau kau sampai mau
menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika perjodohan ini jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan

sebuah rumah gedung dan disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu memikirkan, kau hanya
ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh Tjokorda Gde Anyer. Tentang anakmu ... dia akan hidup
bahagia bersama Tjokorda Gde Djantra!"
"Memang sudah kubayangkan betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan anak Tjokorda Gde Anyer.
Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made Trisna menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau aku boleh bertanya," katanya, "siapa
gerangan pemuda yang dikasihi oleh anakmu itu? Apakah dia tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya sawah ladang
berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya harta bergudang-gudang, hingga mata dan hati anakmu tak
dapat dialihkan kepada yang lain lagi?"
"Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi Tantri, sawah ladang atau ternak
atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman Dwipa."
Rasa putus asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah menjadi kejengkelan dan rasa muak
yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu memang tak bisa aku memaksa. Tapi
terus terang kukatakan bahwa sebagai manusia hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau menerima lamaran Tjokorda Gde
Anyer."
"Terserahlah kau mau bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan. "Mungkin aku memang orang tolol.
Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa diganggu gugat!"
Made Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I Krambangan!
***
Denpasar sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar yang sangat indah bangunannya terdapat
di sana. Di tengah-tengah kota terdapat sebuah gedung besar yang atapnya berbentuk candi. Tak ada satu orangpun di Denpasar
yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan penduduk yang tinggal di pinggiran kotapun tahu bahwa itu
adalah gedung kediaman bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer.
Waktu itu hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di pintu gerbang gedung, langsung masuk
ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer. Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda Gde Djantra sudah
muncul pula hingga dapatlah ia memberi keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.
Betapa terkejutnya bangsawan dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made Trisna, tatkala mengetahui
bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak perduli alasan apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata
ini adalah merupakan satu penghinaan besar!

"I Krambangan manusia tak tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer. Lalu dia berpaling pada anaknya
dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang jauh lebih cantik
dari anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya raya!"
Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat macam orang mau mati besok, saat
itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi hatinya benar-benar sudah terpaku
pada gadis itu hingga tak mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan ayahnya.
"Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan memberi malu yang kedua kalinya.
"Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain."
"Kenapa tidak sanggup? Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau ambil jadi istri sekaligus!"
Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.
"Walau bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik dengan jalan burukpun bisa. Rasa
malu yang kita terima akan kubalas malam ini juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ.
Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga apa yang bakal
dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna, "Kalau betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde
Djantra, kurasa tak ada salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."

3
HARI itu sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti kemendungan. Gumpalan awan hitam datang
bergulung-gulung tiada hentinya dari arah barat. Menjelang senja angin keras mulai bertiup, menerbangkan debu di segala
pelosok, membuat kota tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di ufuk barat maka hujan deraspun
turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru angin. Setiap telinga yang mendengarnya merasa ngeri. Sekali-sekali
menggelegar guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan selokan di seluruh kota telah luber oleh air hujan,
sungai-sungai kecil banjir menerpa segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda sebentar lalu turun
lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas dan mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum!
Dalam lebatnya curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana malam yang sangat dingin itu,
dari jurusan timur laksana bayangan setan, kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di
persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi kecepatan kuda masing-masing. Air hujan
dan lumpur bercipratan di belakang kaki-kaki ke empat binatang itu.
Hampir mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan berkata, "Yang itu rumahnya!
Pergilah, aku menunggu di sini."
Tiga penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar yang berwarna hitam dan menutupi
paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata ke bawah kemudian ketiganya segera bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk
tadi.
Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap, tak satu lampupun yang
menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak dalam kehangatan selimut masing-masing.
Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah meneliti keadaan sekeliling mereka langsung ketiganya menuju ke pintu depan.
Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka. Hampir tanpa suara sedikitpun ketiga orang itu
masuk ke dalam rumah. Mata mereka terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah ketiganya bergerak.
"Kurasa yang ini kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului kawan-kawannya maju ke pintu dan
mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main, tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang terbaring
bergelung diatas tempat tidur.
"Biar aku yang masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu. Pintu itu mengeluarkan suara
berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus
siap untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat tidur.
Tiba-tiba orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut yang menutupi sebagian wajahnya

terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini segera membentak, "Siapa kau?!"
"Keparat! Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara dua orang kawannya yang berdiri di
ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut sekali. Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas pembaringan itu adalah Ni
Ayu Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata sekali suara laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di
situ adalah ayah dari gadis itu!
"Maling rendah! Kau berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah suara bentakannya I
Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke dalam kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu melompat
menyambar sebilah parang yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata itu satu pukulan menyambar
dari samping!
I Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan sendirinya memiliki ilmu silat yang cukup
bisa diandalkan, apalagi kalau cuma menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan cepat dia melompat ke
samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!
Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun ternyata memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan
mudahnya dia mengelakkan serangan I Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu jotosannya melanda dada I
Krambangan.
Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan dadanya sakit bukan main. Tapi
karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan baik untuk menyambar parang. Cuma dia
masih kurang cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua pasang tangan yang kuat-kuat telah
mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan yang amat keras mendarat di
keningnya. I Krambangan coba mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi pukulan itu terlalu keras.
Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai tanpa sadarkan
diri!
Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari tidur masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu
Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi karena malam itu ibunya diserang demam panas, si
gadis sengaja tidur bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.
"Ada apa, nak ...?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
"Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah ... Biar aku lihat keluar."
Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat. Kalau kau keluar...."
"Tapi ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini berkata demikian pintu kamar itu
terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki
bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!

***
Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh berita yang disampaikan dari
mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik yang belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap
diculik orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-malaman itu telah berusaha mencari jejak si
penculik, namun sia-sia belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah gerombolan
rampok yang bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu memang selalu mengenakan kain hitam penutup muka bila
menjalankan kejahatannya.
Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan menunggangi kuda pagi itu dia
berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer.
Akan Tjokorda Gde Anyer ketika melihat kedatangan I Krambangan berubahlah parasnya. Tapi seseat kemudian
bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak disangka-sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan
masuk."
"Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."
"Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri ..."
"Jangan bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan pula dengan suara keras. "Panggil
anakmu! Aku ingin bicara dengan dia!"
Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti dirimu.
Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu, dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan
anakku. Dalam pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang keluar dari dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan lain Made Trisna. Dia tak
dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan. Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun
lantas tertawa dan menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini melainkan memandang menyorot pada
Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah.
"Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi biang ketidak beresan ini!"
"I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah terjadi sampai kau bicara begini rupa!"
"Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada pertama kali aku melihat air
muka kalian! Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah memasuki rumahku dan menculik Ni Ayu
Trisna!"
"Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak gadismu? Sungguh tuduhan yang
sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan dimana
anakmu itu?"
"Dia tak ada di sini, I Krambangan."
"Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu Trisna!"
"Jangan menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun lamaranku ditolak apa perlunya
anakku menculik anakmu? Sepuluh gadis-gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde Djantra!"
I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!"
"Sejak siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya
pada Made Trisna."
"Dengar Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam. "Jika aku mendapat bukti-bukti dan
kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia!
Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!"
Habis berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera meninggalkan gedung itu.



Selanjutnya Download di :PembalasanNyomanDwipa

Selasa, 11 Agustus 2009

PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

edisi: 006
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO

SATU
SAMPAI menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah
Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan
meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati
hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati
permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut
mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana
Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan kursi paling depan,
tepat dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana
Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning
Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah
dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana
perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam pesta
perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta
perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulangtulang
sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang.
Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang
tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan
Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal
menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri
masing-masing berdiri dari kursi mereka dan disertai beberapa orang
lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam
rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah,
dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat
ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyibunyian
dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak
pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi
manusia tadi melompat ke atas taron tanpa menimbulkan suara
sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser!
Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi.
Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu
terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal
itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga
menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam
dengan bunga besar-besar berwarna kuning. Pada belakang kain penutup
kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh
seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali.
Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak.
“Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan
batang lehermu!”
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak
suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta membuat liang
telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal
tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang
duduk terhenyak tidur di kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si
jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.
Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri pemuda di atas taron itu
berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh
ketegangan. Yang memiliki senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke
dalam, cepat!”
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, “Wiri,
cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”
Rana Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui
siapa adanya manusia bergelar “Pendekar Pemetik Bunga” itu segera
memegang lengan istrinya lalu membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah
Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.
Namun baru saja mereka bergerak satu langkah, pemuda jubah
hitam di atas taron membentak garang.
“Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti mampus!”
Semua yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah kea rah panggung,
besannya – Rantas Madan – memegang lengannya dan berbisik, “Jangan
tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan
berbahaya. Biar aku yang bicara…”
Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan
panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin.
“Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga.
Kalau kau ke sini hendak memberikan restu ucapan selamat keada puteri
dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima kasih.”
 “Ah..,” Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada
kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam
karena tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya
memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung
bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang tua, kau sedikit lebih ramah dari besanmu,” kata Pendekar
Pemetik Bunga pula.”Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih
ucapan selamat tapi sebaliknya.”
Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelakgelak.
“Aku datang untuk menjemput puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia
sudah ditakdirkan menjadi milikku!”
Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar
Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan.
Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak dapat lagi menahan hati dan luapan
amarahnya.
“Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan
batok kepala sintingmu itu!”
Pendekar Pemetik Bunga mendengus.
“Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!”
bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Lakilaki
ini tidak memiliki ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu
kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar dia sudah menjajakinya sampai
tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya melompat ke
atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga
menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah
melihat dan mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya memiliki
ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung,
begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu
silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun serangan yang
dilancarkannya menimbulkan angin deras.
“Huh, segala silat picisan. hendak diandalkan!” ejek Pendekar
Pemetik Bunga. “Makan sikutku ini, Ki Lurah!” Manusia ini kelihatan
menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar suara, “ngek!”
Suara itu keluar dari mulut Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini
terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus
jatuh ke bawah panggung bersama alat bunyi-bunyian itu dengan
menimbulkan suara hiruk pikuk.
 Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangun lagi alias
pingsan. Dua tulang iganya telah hancur remuk di makan sikut Pendekar
Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.
Tapi sebelum dia bergerak, mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat
memegang bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke
panggung tapi di atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadaphadapan
dengan Pendekar Pemetik Bunga!
“Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke
muka. Pemuda yang diserang rundukkan kepala. Begitu pukulan gong
berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng
Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat serangannya lewat
serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap memiringkan
tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong
pukulan lawan!
Secara ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan
menang melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya bagi seorang yang
menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut yang
keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak
menarik pulang serangannya!
“Ageng Comal!! Lekas tarik tanganmu!” teriak seorang dibawah
panggung berteriak memberi peringatan.
Tapi, “Braak!”
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling
pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya
sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka pucat den semua mulut melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu
merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkahpun!
Di lain kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung.
Orang itu adalah Rantas Madan yang sudah sejak tadi tak dapat lagi
menahan hati panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang
tua itu.
“Kau juga mau cari penyakit hah?!” hardiknya.
“Selagi masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu
pasti kuperingan!,” kata Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa
mengekeh.
“Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja
ditantang demikian rupa membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin
berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki ini yang
pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka.
Dalam jarak satu meter saja serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran
yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.
Yang diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda
dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi,
Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan melambaikan tangan
kirinya ke muka. Setiup angin keras yang menggetarkan panggung bersuit
memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta merta
buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima
tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan cekatan Ki I.urah Rantas Madan jungkir balik di udara
kemudian dengan gerakan kilat menukik dan menghantamkan tangan
kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik Lembah!”
Pemuda bertempang gagah tapi buas garang itu terkejut sekali
sewaktu merasakan angin panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia
rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan pukulan jarak
jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke
atas, melabrak dan membobolkan atap panggung, lenyap dari
pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya sembilan
tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih
dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan
beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten
perempuan itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung den
seorang lainnya, menahan mereka.
Rana Wulung seorang pemuda terpelajar yang tak kenal satu jurus
ilmu silatpun! Namun menyaksikan kematian ayah serta mertuanya itu
gelaplah pemandangannya! Keris perhiasan penganten yang tersisip di
pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya
hampir terserandung!
“Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?!” teriak
Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh kau keparat!” bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di
tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada
Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang
dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah
dan jari telunjuk tangan kanannya!
Suata tertawa Pendekar Pemetik Bunga kernudian terdengar
mengumandang diseantero panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana
Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke
muka.
“Edan betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Masih tak melihat
tingginya gunung dalamnya lautan!” Dan manusia ini segera menyongsong
serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat,
dalam posisinya seperti saat itu sebenarnya dia masih sanggup dan punya
kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke
samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang persilatan dan
kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin dekat
menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi pasti robeklah perut Rana Wulung. Ning
Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh
pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun
yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal
menemui kematiannya pada hari pernilahannya itu!
Tapi....

-- == 0O0 == --

lanjutannya downlod sendiri ya..... Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga-WiroSableng