Tampilkan postingan dengan label Kerajaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kerajaan. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Agustus 2010

Kerajaan Salakanagara

Kerajaan Salakanagara

Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api)yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Urutan Raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa
Nama raja
Julukan
Keterangan
130-168 M
Dewawarman I
Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara
Pedagang asal Bharata (India)
168-195 M
Dewawarman II
Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra
Putera tertua Dewawarman I
195-238 M
Dewawarman III
Prabu Singasagara Bimayasawirya
Putera Dewawarman II
238-252 M
Dewawarman IV

Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
252-276 M
Dewawarman V

Menantu Dewawarman IV
276-289 M
Mahisa Suramardini Warmandewi

Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut
289-308 M
Dewawarman VI
Sang Mokteng Samudera
Putera tertua Dewawarman V
308-340 M
Dewawarman VII
Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati
Putera tertua Dewawarman VI
340-348 M
Sphatikarnawa Warmandewi

Puteri sulung Dewawarman VII
348-362 M
Dewawarman VIII
Prabu Darmawirya Dewawarman
Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
Mulai 362 M
Dewawarman IX

Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara
Referensi
1. Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.




Didahului oleh:
Tidak ada
Kerajaan Hindu-Budha
150 - 362
Digantikan oleh:
Tarumanagara



Kerajaan di Jawa


0-600 (Hindu-Buddha pra-Mataram)
Salakanagara · Tarumanagara · Sunda-Galuh · Kalingga · Kanjuruhan


600-1500 (Hindu-Buddha)
Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit ·Pajajaran · Blambangan


1500-sekarang (Islam)
Demak · Pajang · Banten · Cirebon · Sumedang Larang · Mataram Islam ·Kartasura · Surakarta · Yogyakarta · Mangkunagara · Paku Alam


 Sumber yang lain menceritakan :

Kerajaan Salakanagara

Salakanagara

Lalu sekitar 280 tahun sebelum masehi, hiduplah seorang bernama asoka yang memimpin kerajaan asoka di india. Dia disebut dalam sejarah dunia sebagai raja yang tercerahkan setelah sebelumnya melakukan peperangan dan agresi. setelah tercerahkan, dia berpaling pada agama, menjadi rahib, dan menitahkan para pengikut kepercayaannya untuk menyebarkan syiwa, wisnu, dan brahmana. salah seorang penyi'ar ajaran itu berasal dari marga warman, dan rombongan marga warman ini sampailah ke salakanagara.

di salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa salakanara diperintah oleh aki tirem. Menurut ayatrohaedi (kakaknya ajip rodisi), anak AKI tirem yang bernama pohaci larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga warman itu, yang bernama dewawarman. dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok salakanagara. dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak india, kerajaan itu diberi nama salakanagara. gelar yang disematkan kepada dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).


Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Raja-raja Tarumanagara :
Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)


Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa. 

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Jaman papajaran
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan roman raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: 

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

::Salah satu sumber tulisan ini diambil dari >>::Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

Keturunan Dewawarman (Purwayuga 5)
Kisah keturunan Dewawarman sebagai raja-raja Salakanagara dapat diungkap di antaranya dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 dan parwa III sarga I. Juga dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa-dwipa parwa I sarga 1 dan Pustaka Nagara Kretabhumi parawa I sarga 1 dan tersebar dalam beberapa sarga lain dalam bentuk urutan raja-raja di Jawa Barat. 

Ringkasan selanjutnya dari kisah di atas adalah sebagai berikut.

"Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak tertua laki-laki yang setelah menggantikan ke-dudukan ayahnya bernama Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la men­jadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90 sampai taliun 117 Saka atau 168 sampai 195 Masehi. Ia menikah dengan puteri keluarga raja Singala (Sri Langka).

Dari perkawinan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi Dewa­warman III dengan gelar Prabu Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 - 238 M). Dalam masa pemerintahannya terjadi serangan bajak laut dari negeri Cina yang dapat dihadapi dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan huhunean (painitran) dengan maharaja Cina dan raja-raja India. 

Permaisuri Dewa­warman III berasal dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan raja Ujung Kulon bernama Darma Satya-nagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238 - 252 M). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama Mahisasura-mardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174 - 198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani Mahisa suramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 M). Walau pun gerombolan bajak laut itu dapat ditumpas, Dewa­warman V gugur karena serangan panah dari belakang.

Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau sang mokteng samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun dari tahun 211 sampai 230 Saka (289 - 308 M). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai beberapa putera dan puteri.

Putera sulungnya yang kemudian sebagai Dewawarman VII memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308 - 340 M) bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua seorang puteri bernama Salaka Kancana Warmandcwi yang menikah dengan menteri kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat laki-laki, bernama Ghopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri kerajaan Calankayana di India.

Yang kelima seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Palawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skandamuka Dewawarman Jayasatru yang menjadi senapati Salakanagara.

Puteri sulung Dewawarman VII bernama Spatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sa­lakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari perkawinan puteri ini dengan Atwangga lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.

"Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah di Rajatapura Senapati Krodamaruta dari Calankayana ber­sama beberapa ratus orang anggota pasukannya bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Senapati Gopala Jayengrana yaitu putera Dewawarman VI yang keempat yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaru­ta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta ia merajakan diri menjadi penguasa Salakanagara.

Ahli waris tahta yang sah adalah Spatikarnawa Warmandewi puteri sulung Dewawarman VII. la belum bersuami. Karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekali pun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebahagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi Krodamaruta tidak lama berkuasa karena ia tewas tertimpa batu besar ketika berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi penguasa Salaka­nagara.

Kemudian Spatikarnawa Warmandewi dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya tahun 262 Saka (340 M). Dalam tahun 270 Saka sang rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut (senapati sarwajala) kerajaan Palawa. Lengkaradewi beserta suami dan puteranya datang di Rajatapura dalam tahun 268Saka (346 M) sebagai pengungsi karena negaranya telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.

Setelah pernikahannya, Rani Spatikarnawa Warmandewi memerintah bersama-sama suaminya yang sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya bewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348 -363 M).

Dalam masa pemerintahan Dewawaiman VIII kehidupan penduduk makmur-sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara pen­duduk ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati.

Mata pencaharian penduduk ialah berburu di hutan, berniaga, menangkap ikan di laut dan sungai, beternak, bertanam buah-buahan, bertani dan sebagainya.

Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandra kapala) dan patung Ganesha {Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera, jauh dari kesusahan dan mara bahaya.

"Dewawarman VIII mempunyai putera-puteri beberapa orang. Yang sulung seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Puteri yang amat cantik ini kelak diperisteri oleh Maharesi Jaya singawarman Gurudarmapurusa atau Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.

Yang kedua seorang putera bernama Aswawarman. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga, penguasa Bakulapura. Kemudian dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga.

Yang ketiga seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewa­warman VIII yang lainnya tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keturunannya kelak adalah Sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain tinggal di Yawana dan Semananjung.

Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahanda-nya wafat ia menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara. Akan tetapi ia menjadi bawahan raja Tarumanagara karena kerajaan ini telah menjadi besar dan kuat. Demikian pula Sang Aswawarman menjadi raja yang besar kekuasaannya di Bakulapura.

Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Spatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua bernama Candralocana puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semananjung dan Jawa Tengah.

Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi pcnguasa di Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas selama 233 tahun (130 - 363 M). Dewawarman VIII dianggap sebagai raja Salakana­gara terakhir sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.

(Sumber: rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat - Kerta Mukti Gapuraning Rahayu).

Minggu, 15 Agustus 2010

Kerajaan Kalingga


Kerajaan Kalingga

Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M). Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran yang menjadi cikal bakal kerajaan Mataram.
Ratu Shima atau Sima adalah nama penguasa Kerajaan Kalingga, yang pernah berdiri pada milenium pertama di Jawa. Tidak banyak diketahui tentangnya, kecuali bahwa ia sangat tegas dalam memimpin dengan memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri. Salah satu korbannya adalah keluarganya sendiri.
Syahadan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya,jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap setia lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu Shima, Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya tanpa ampun!. Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Ratu shima
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus, Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.


Cerita dari Cina:
Kerajaan Yang Sangat Makmur Ini Bernama Kerajaan Holing..

Letak Kerajaan Holing tidak dapat diketahi secara pasti, sebab tidak ada prasasti yg ditinggalkan..Namun demikian ada sumber berita dari China yang digunakan untuk menganalisis letaknya.Berita China dari dinasti Tang menyebutkan bahwa letak Holing berbatasan dengan Laut sebelah selatan, Ta-Hr-La(Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) disebelah timur dan To-Po-Teng I disebelah barat..Holing disebut dengan istilah Cho-Po(Jawa).Berdasarkan berita China tersebut dapat disimpulkan bahwa letak Holing ada di Jawa khususnya Jawa Tengah.

Negri Yang Makmur Dengan Ratu Yang Adil
Kerajaan Holing diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Ratu Sima yang sangat keras namun adil dan bijaksana.Kejujuran sangat di tanamkan pada rakyatnya.Pejabat kerajaan dan rakyat sangat taat pada aturan dari pemerintah di bawah kekuasaan Ratu Sima hingga rakyat menjadi makmur.
Berita tentang Ratu Sima yg adil beserta negrinya yang makmur dan rakyatnya yang jujur telah terdengar sampai China dan sampai di telinga Raja Ta-che.Raja Ta-che penasaran kenapa kerajaan Holing begitu terkenal akan kejujurannya hingga sampai terdengar di China yg terbilang sangat jauh dari jawa.Akhirnya Raja Ta-che ingin membuktikan kebenaran dari kejujuran rakyat Holing.Ia pun mengirim utusann ke Holing untuk membuktikan hal itu.Utusan Raja Ta-che diperintah untuk menaruh pundi-pundi emas secara diam-diam di tengah jalan dekat keramaian pasar.
Berhari-hari,Berbulan-bulan,hingga sampai tiga tahun..pundi-pundi itu berpindah dari tempatnya.tidak satupun orang yang menyentuh pundi-pundi itu.
Hingga sampailah pada suatu hari..Sang Putra Mahkota yaitu anak tertua dari Ratu Sima berjalan melewati pasar tersebut.ketika ia berjalan,tak sengaja kakinya menyenggol pundi-pundi tersebut.
Salah seorang warga melihat kejadian tersebut..akhirnya ia melaporkan kepada

pemerintah kerajaan akan kejadian tersebut.setelah laporan tersebut terdengar oleh Ratu Sima,Ratu Sima langsung memerintahkan kepada hakim untuk menghukum mati Sang Putra Mahkota yang tidak lain adalah anaknya sendiri.Ratu Sima menganggap itu hal itu termasuk dalam kejahatan pencurian.Peraturan Kerajaan kerajaan bagi pencuri adalah hukuman mati.karena Ratu Sima berpendapat bahwa mencuri itu berawal dari menyentuh barang tersebut hingga timbul keinginan untuk mencuri.
Beberapa Patih kerajaan tidak setuju dengan keputusan Ratu Sima.Mereka mengajukan pembelaan untk Sang Putra Mahkota kepada Ratu Sima.Pembelaan mereka yaitu, Sang Putra Mahkota menyenggol pundi-pundi tersebut karena tidak sengaja dengan kakinya.maka lebih baik cukup kakinya saja yang di potong,tidak perlu di hukum mati karena ada unsur ke tidak sengajaan
Setelah melalui perdebatan yang panjang..Ratu Sima akhirnya menyetujui pembelaan dari Patih kerajaan.Sang Putra Mahkota pun akhirnya hanya di hukum potong kaki.
Utusan Raja Ta-che kembali ke china setelah melihat kebenaran tentang Adilnya Ratu Sima yang mau menghukum anaknya yang telah melakukan kesalahan dan kejujuran rakyat Holing yang benar-benar luar biasa.
Pembuktian Raja Ta-che akhirnya di benarkan oleh utusannya.


 Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.

Sumber : 

Sabtu, 14 Agustus 2010

Kerajaan Medang

Kerajaan Medang

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.  Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana. Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain :
1.      Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
2.      Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
3.      Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
4.      Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
5.      Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
6.      Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
7.      Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Mataram Kuno


Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau.
Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna. Sanna juga dikenal dengan nama sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu sanna) dalam tahun 716 M.Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Medang di Jatim
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati.
Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya. Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Temuan di Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra. Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”.
Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana. Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’.
Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.
1.  Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
2.  Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
3.  Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4.  Rakai Warak alias Samaragrawira
5.  Rakai Garung alias Samaratungga
6.  Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7.  Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8.  Rakai Watuhumalang
9.  Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11.Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
15.Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
 .
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak diPrambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung
 Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja. Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang.
Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu. Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta. Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang. Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Bukti awal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.






Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran JawaBali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.








Kepustakaan
§  Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
§  Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
§  Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
§  Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
§  Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS