Jati-pitutur
dan Pitutur-Jati
(09)
Dari batu yang
pecah itu keluar dua orang. Mereka itu membawa kedua anak tersebut kepada raja,
yang mengenali pendatang baru itu sebagai penjelmaan kembali Jati-pitutur dan
Pitutur-jati. Raja member mereka nama Jurudeh (juga disebut Dojok atau
Sadulumur) dan Prasanta. Kini raja menyuruh buatkan Panji sebuah tempat tinggal
di Utara pasar besar. Tempat kediamannya ini disebut Kasatriyan. Setelah itu
raja mendapat anak lagi, mula-mula seorang putra bernama Panji-anom,
Lempung-karas atau Carang-waspa. Kemudian seorang puteri bernama Dewi
Kanistren, tapi anak ini pada hari ketujuh setelah lahirnya, diberikan kepada
patih Kudana-warsa. Yang bungsupun seorang perempuan, disebut Ragil-kuning atau
Onengan. Dari saudaranya pria yang banyak, yang tinggal pada Panji hanya Punta,
Kertala, Lempung-karas dan Onengan beserta dua orang pria yang keluar dari
batu.
Panji mnegrjakan
pertanian. Apabila masa panen disuruhnya panggil semua perempuan Jenggala Manik
untuk itu. Semua perempuan dari seluruh kerajaan, tua dan muda, berdatangan
untuk mencabut padi, bahkan juga nyonya-nyonya Gambir(an), Gang Pinggir dan
Gang Tengah. (Ketiganya nama-nama kampung dari Betawi), dating. Musik gamelan
dan lain-lain, permainan hiburan meramaikan pesta panen ini.
Janda yang dulu
miskin tapi saat ini sudah menjadi kaya itu, menyuruh kedua anak angkatnya ikut
memotong padi, karena ia takut pangeran akan marang bila mereka tidak serta.
Tapi anak-anak itu menolah, katanya tidak biasa memotong padi, lagipula janda
itu banyak padinya didalam lumbung. Karena keingkarannya anak-anak itu diusir
dan merekapun pergi. Tapi baru saja mereka berangkat, semua harta milik janda
itupun lenyap. Sri dan Unon kini berjalan ke timur, ke jurusan persawahan
Panji. Setelah sampai di sawah, kedua anak gadis itu kaget karena bertemu
dengan babi Kamandalu (dalam Manikmaja :
Kala Gumarang dan dalam cerita Sri-sedana : Celeng Damalung). Atas pertanyaan
mereka apa mau binatang itu, mereka mendapat jawaban : aku hendak membinasakan
sawah Panji. Sri melarang binatang itu melakukan pekerjaan itu, tapi binatang
itu tetap berkeras. Akhirnya binatag itu dibunuh oleh Sri dengan Sadak (Daun
Sirih yang digulung dengan kapur didalamnya). Darahnya memancar kemana-mana dan
itulah asal segala penyakit padi.
Waktu berjalan di
pematang sawah, Sri terinjak duri. Ia marah. Ia duduk diatas keranjangnya yang
terbalik dan dicobanya mengorek duri itu keluar dari kakinya.
Tiba-tiba sawah
Panji berobah dari hutan, binatang liar berlarian kian kemari. Mereka
berlari-lari kemana-mana dengan tidak memperdulikan pakaian dan perhiasannya.
Senanglah hati penjahat-penjahat Cakrajaya Ang, yang keluar untuk menggarong.
Panji bertanya
pada Prasanta, apa sebab kekacauan itu. Prasanta tidak dapat menjawab. Lalu
diadakan penyelidikan dan Panji menemukan kedua gadis itu, yang seorang sedang
menarik duri dari kakinya. Panji menolong menariknya, dan setelah duri itu
keluar, gadis itu membalikkan keranjangnya lagi dan hutan itu berubah kembali
lagi menjadi sawah seperti dulu. Panji berniat mengambil gadis itu sebagai
istri. Prasanta disuruhnya pulang lebih dulu ke keraton, untuk mengatakan
kepada raja. Bahwa Panji akan kembali dengan bakal istrinya.
----Tamat----
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi
kebudayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar