Tampilkan postingan dengan label prasasti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prasasti. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Juni 2018

Dolan ke Prasasti Mantyasih, Magelang

Prasasti Mantyasih, Magelang
      Jumat, 29 Juni 2018. Sebelum dan sesudahnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih, Matursembahnuwun Pak Budi Susilo. Terlihat dari jejak digital di messenger saya, ternyata sudah tahun 2017 yang lalu saya berkenalan dengan Pak Budi. Namun baru hari ini bisa bersilaturahmi. Setelah beliau memposting hasil blusukan ke yoni situs Mlandi, Mertoyudan. Sebenarnya tujuan utama saya kali ini bukan blusukan tapi ingin silaturahmi, menambah seduluran. Untuk blusukan itu hanya bonus, dan satu destinasipun pun sudah cukup beruntung. Beberapa hari sebelumnya setelah berkomunikasi, saya segera menyiapkan diri. Akhirnya hari ini Jumat pukul 9 lebih sedikit saya berangkat sendirian. Ya sendiri tanpa partner lagi, tapi apa boleh buat.. blusukan harus tetap berjalan, walaupun tentu saja tak enak sama sekali. 

      Jam 11 saya sampai di tempat kerja beliau di SLB Magelang, lokasinya tepat didepan SMPN 9 Magelang. Shalat Jumat, terlebih dulu kami ngobrol ngalor ngidul berbagai hal. Namun yang paling utama tentu saja tentang suka - duka blusukan. Dan sursprisenya lagi beliau ternyata adalah seorang pegiat literasi pula. Dimana juga ada garis merahnya dengan pekerjaan sehari-hari saya. Maka saya putuskan untuk pulangnya mampir, ingin belajar dengan beliau.”Nanti sambil menuju rumah, kita mampir beberapa situs”, ajak Bapak Budi Susilo. 
      Singkat cerita, kemudian saya mengikuti Bapak Budi Susilo sebagai guide kemanapun beliau melaju. Jujur saja saya tak tahu berapa destinasi kali ini (Saya tak memaksa harus banyak : sekali lagi tujuan utama adalah silaturahmi). 
      Dari SLB, kemudian kami meluncur, ternyata memasuki daerah yang yang bernama Meteseh. Dan tanpa saya sadari selama ini….. Prasasti Mantyasih ada di sini. “Meteseh, secara harfiah berasal dari kata Mantyasih. Prasasti ini juga menjadi dasar penetapan hari jadi kota Magelang”, jelas Bapak budi mengawali percakapan kami saat tiba dilokasi. 
     Prasasti Mantyasih (atau replikanya saja--- saya kurang tahu—yang asli dimana?), sudah diperhatikan oleh pemerintah, dengan dibangun-nya kompleks situs menjadi sebuah pusat kegiatan seni-budaya. 
cerita di Prasasti Mantyasih
      Dalam papan narasi Prasasti Mantyasih yang ada di sisi kanan Prasasti, menempel di tembok, “Prasasti Mantyasih ditulis pada zaman hindu pada masa pemerintah Rakai Watukura Dyah Balitung (899-910M), Ditulis desa Mantyasih dan desa glangglang, dimana saat ini menjadi Desa Meteseh dan Magelang. Disebut pula angka tahun 829 caka bulan Caitra tanggal 11 Paro – Gelap Paringkelan Tungle. Pasaran Umanis (legi) Hari Senais Scara (Sabtu) dengan kata lain, hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini ditulis pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai desa Perdikan atau daerah bebas Pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Selain itu disebut pula Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (dikemudian hari dikenal dengan Sindoro – Sumbing) 
Prasasti Mantyasih
    Disumber yang lain yang saya baca (Tapi mohon maaf karena hobi saya mengumpulkan artikel sejarah, tapi khusus yang ini terlupa mencantumkan sumber, semoga yang membuat bisa konfirmasi agar saya gak berdosa…heheheh) Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu,[1] adalah prasasti berangka tahun 907 M[2] yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno. Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih". 
      Tulisan Prasasti Mantyasih di replika yang ditaruh dikanan-kiri Batu Prasasti, 
     Watu Lumpang yang digunakan sebagai pusat kegiatan penetapan tanak perdikan Mantyasih, 





Watu Lumpang Meteseh, 

Video Amatir menunggu ya…. (edit dan Upload)…   
Budi Susilo di Prasasti Mantyasih 
     Setelah cukup kami kemudian melanjutkan penelusuran seru hari ini, (seru karena ternyata diluar ekspetasi.. bonus berlimpah destinasi. Bersama Bapak Budi Susilo. 
Sasadara MK di Prasasti Mantyasih 


























       Salam Pecinta Situs dan Watu Candi 
      Lanjut ke penelusuran kedua : Situs di Halaman Gedung Museum BPK RI Magelang. 

#hobiku blusukan

Kamis, 13 Juli 2017

Situs Watu Lawang Desa Samirono, Getasan Kabupaten Semarang

Watu Lawang

 Dari Situs Turusan Salatiga kemudian kami  melanjutkan destinasi ke Yoni Situs yang berada di Dukuh wilayah Kecamatan Sidomukti, setelah ketemu dengan clue / petunjuk... : "Yoni berada di samping makam", bunyi info tersebut. Karena kami bertiga; Saya, Lek Wahid, Suryo Dona kompak dredrek alias kelaparan  karena memang sudah jam makan siang. 
Mie Ayam Dukuh Salatiga

 Akhirnya, makanan wajib kami pilih Mie Ayam plus Es Jeruk, di Mie Ayam yang berdekatan dengan Makam Dukuh, yang mungkin info tersebut maksud... beruntungnya.... mie ayam ini ternyata syukuran kuda besi barunya Lek Wahid. Hehhee... kalau sudah rezeki takkan kemana...
 Beberapa saat kemudian setelah badan sudah stabil alias tidak ndredek lagi, kami langsung membagi tugas menelusuri makam. Saya dan Lek suryo di makam sebelah kiri sementara lek Wahid di makam sebelah kanan jalan (dari arah JLS). 
 Masing - masing juru kunci menggelengkan kepala saat kami tanyai, tapi kemudian memberi info kemungkinan dimakamkan lain, yang berada di tengah tegalan dimana setelah perumahan ada gang ambil kanan. 
Watu Lawang
 Di makam ini pun, walaupun kami sudah menelisik setiap sudut makam namun nihil. Bagi saya pribadi, entah kedua rekan saya, nampaknya info ini memang setengah hati terlihat dari nanggungnya info yang diberikan.
 Karena kurang jelas, kemudian, kami memutuskan untuk berganti destinasi blusukan awalnya ada info prasasti di daerah tuguran dekat terminal tingkir Salatiga, namun lagi lagi informan juga tak rela, malah memberikan petunjuk menuju Waktu lawang yang berada di Getasan Kabupaten Semarang. 
watu Lawang
 Dari Tingkir gang setelah JLS kami ambil kanan, dari warga yang kami tanya sebenarnya kami melewati Tuguran, namun entah kami malah disuruh berganti destinasi....
 Lurus terus, ternyata jalan ini tembus Getasan-Kopeng. Kemudian cari papan petunjuk Waktu Lawang, dari pertigaantepat dimana petunjuk nama dusun, hanya 100m saja watu lawang. 
 Situs berada di depan rumah warga, namun sepertinya rumah kosong. Saat tahun 2017 ini, kebetulan Disamping Situs berada adalah Bapak Kadus, lek Wahid yang kebetulan paling muda kami dapuk untuk menggali informasinya, sementara kami yang seusia berselfie ria... hahahhahaha.


 "Waktu ini replika, alias tiruan. Dulu yang asli dan ada tulisan (inkripsi) , digepuk warga. Sudah lama sekali. Yang asli peninggalan batu kotak yang dijadikan lantai teras rumah", cerita lek wahid selepas kembali dari rumah Pak Kasus.
 Sayang sekali tetenger desa malah digepuk, dimusnahkan, apa penyebab digepuk Pak Kasus Tak mengetahuinya, konon digepuk saat jaman mbah buyut nya.
Dari rekan lain, ada sumber yang mengatakan masih punya foto inkripsi asli Prasasti Watu Lawang ini, namun saya pribadi tak mengetahuinya. Mungkin saja watu lawang yang sekarang memang replika, namun yang asli berada di museum.
Video amatir di situs Genangan, 



Salam peradaban
Di Watu Lawang : Suro Dona, Saya Dan Lek Wahid



























Mari lestarikan ...., 
Watu Lawang

Blusukan berlanjut ke Gedangan Tuntang.

Kamis, 11 Desember 2014

Prasasti Sojomerto, Reban Batang

Prasasti Sojomerto
“Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa dari yang mulia Dapunta SelendraSantanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya,Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.”

****

        Tawaran untuk menghadiri pembukaan Pameran Buku Di Pekalongan, 2 Desember 2014 sulit untuk ku tolak, pikirku sekalian mampir Batang... ada janji dengan seorang Karib yang lama ta bertemu adalah Kang Rahwan yang sekarang kebetulan pindah ke dinas yang ngurusi Situs di Batang..(Dulunya beliau di Perpustakaaan daerah Kab. Batang).
    (Bukan) Singkat cerita, Rute Perjalanan kali ini ku lalui lewat Gunungpati - Boja - kaliwungu - Batang - Pekalongan. Acara Pembukaan Pameran Pekalongan selesai sekitar jam 12 siang. kemudian ngobrol dan dijamu sate kambing oleh Brother Egih Sugiharja (lumayan bro dadi panas semangatq blusukan.. hahahah)  dan bersama pula Sista Yusti Hudadiana : (GGMU).... ono kuliner aneh (tapi ga berani nyoba.... lha kelaparan....wediku neg ga cocok : Gule Kacang Ijo.... di Lapangan Soronegen Kota Pekalongan
Egih, Yusti, saya.

       Selain silaturahmi.... kumanfaatkan pula belajar di Perpus pekalongan yang sekarang sudah sangat modern.... wah jadi ngiri dengan perpustakaan digitalnya---end---.
      Saat Ngobrol itulah saya sempatkan untuk berkomunikasi dengan kang Rahwan Astyo Wibowo,karena memang saya utang janji untuk silaturahmi sekaligus ingin minta tolong guide blusukan ke sojomerto dan tentu nya bisa pula situs yang lain, karena mas ku yang satu itu sekarang yang ngurusi situs pula.... sungguh harapan saat itu sangat besar...
     Namun apalah daya, ternyata beliau mendapat tugas dari kantor untuk tes...(mungkin kenaikan jabatan : amin!..) dan dengan waktu selesai nya menurut kang rahwan itu sekitar jam 3. Dilema bagi saya, karena sebisa mungkin jam 5 harus sudah sampai lagi di Gunungpati.
       Apa boleh buat, walau mengecewakan kang Rahwan namun 'Show Must Go on".... putar otak..... akhirnya jadilah saya nembak Bro Egih untuk Menggambarkan peta lokasi.... entah kebetulan/ ngepas2 kan...(hahaha) bro egih ijin sama kantor untuk pulang gasik dan memberikan pedoman jalan terdekat dari rumahnya...di daerah Batang pula.
    Tanpa diduga (Saya merasa dimudahkan).... saat di rumah Bro egih...ada tetangga yang memberikan rekomendasi agar aku lewat rute Jalur Pantura saja. (Arahan Bro Egi kata beliau terlalu jauh..lewat jalur tengah).... Ancer2nya Setelah kota Batang... Cari terminal Banyuputih...

       Masuk jalan di samping terminal Banyuputih... Kemudian lurus lewati Limpung..(Jalan relatif sudah bagus, namun sobat hati2 banyak yang ngebut... dan ugal2an terutama pelajar) melalui Jalur Limpung - Bawang. sampai ketemu dengan Reban.. sampai dengan Kecamatan Reban disitulah Dusun Sojomerto berada.... Dimana berdiri Prasasti Sojomerto yang melegenda itu.

    Hujan Gerimis mengiringi blusukan saya kali ini.. tantangan berat... saya lupa bawa jas ujan (celana)... namun kepalang basah... terjang terus.... (kehujanan dari batas kota Batang. 

     Petunjuk yang paling mudah, cari saja SD Sojomerto 01
     Selain hadangan hujan.... Letak Prasati Sojomerto pun minim petunjuk... (neg ono kang Rahwan ta protes ki).... jadilah.... saya hampir setengah jam muter2 nyari petunjuk itu.... = kesasar. Hikmah dari Kesasar itu saya jadi tahu..... Air yang melimpah...daerah tinggi nan subur....wajar bila Syailendra bermula disini... Sungguh suatu daerah yang bikin ngiri...jauh dari polusi dan kebisingan...sungai dan saluran air depan rumah warga bebas sampah dan bening....

         Akhirnya hujan mereda dan nampak seseorang untuk ditanya.... haha.. Kata Ibu itu. petunjuknya papan penjual Madu : 
(saya ambil gambar papan nama "Madu" dari dalam gang..) 
     Prasasti ini berada ditengah perkampungan dan Masuk Gang... yang hanya cukup untuk motor....  perempatan gang ambil kanan... ketemu pos kampling ambil kanan lagi.. 10m dari pos kampling, berada di pekarangan seorang warga Prasasti Sojomerto berdiri Gagah!
Prasasti Sojomerto : Di Halaman Rumah Seorang Warga
Sojomerto : dari samping
       Prasati Sojomerto beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi.   










Prasasti Sojomerto
   Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. 
     Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia (sumber : wikipedia)









Bunyi Prasati Sojomerto
  1. ... – ryayon çrî sata ...
  2. ... _ â kotî
  3. ... namah ççîvaya
  4. bhatâra parameçva
  5. ra sarvva daiva ku samvah hiya
  6. – mih inan –is-ânda dapû
  7. nta selendra namah santanû
  8. namânda bâpanda bhadravati
  9. namanda ayanda sampûla
  10. namanda vininda selendra namah
  11. mamâgappâsar lempewângih

------

     Papan nama Prasasti Sojomerto "HANYA ORANG TERTENTU YANG MASIH BISA MEMBACA...!... hahahaha.... (tertawa sedih maksudku kang Rahwan)



Save This..
Not Only a Stone
Di Prasasti Sojomerto
Salam Pecinta Candi.!!
Sampai ketemu di Situs yang lain...

Selasa, 22 Juli 2014

Prasasti Ngrawan

Prasasti Ngrawan
       17 Juli 2014, bersama penunjuk arah Juragan Setyo Widodo (Pamong budaya Getasan) yang bersedia  menjadi guide dadakan jadilah meluncur ke Prasasti Ngrawan.
     Arah ke Prasasti Ngrawan sebenarnya cukup mudah, jika jeli sahabat akan menemukan papan petunjuk arah di pinggir jalan menuju Kawasan Wisata Kopeng.
   Ikuti jalan masuk tersebut, melewati SMPN 1 Getasan... jika menemukan tanda tulisan "KALIPANCUR" sebaiknya sobat tanya lagi, Prasasti sudah dekat.

Prasasti Grawan
        Prasasti Ngrawan, berada di Ngrawan Kecamatan Getasan kabupaten Semarang. Tepatnya di Kaki Gunung Telomoyo. barangkali itu juga kenapa diberi nama, (yang bisa ) Ngrawan;  diartikan daerah yang rawan (longsor). karena memang di lereng lereng banyak sekali batuan besar.
      Prasasti ini sudah lumayan(walaupun sedikit saja) diperhatikan dengan dibangunnya pagar dan atap serta sudah ada papan peringatan. Namun usaha untuk menggali lebih dalam prasasti ini nampaknya terhenti.
      Prasasti Ngrawan sampai saat ini belum diketahui informasi mengenai siapa pembuatnya, jaman apa dan bagaimana isinya, karena tulisannya sudah tidak jelas.
Prasasti ngrawan
     Konon, daerah ini dulu adalah pemukiman dan  daerah ini (ngrawan) sudah ada sejak dulu. Namun ketika terjadi bencana. Masyarakat pindah. jadi uniknya Prasasti ini tetap bernama Ngrawan. Tapi Desa Ngrawan sendiri sudah pindah ke tempat yang lebih aman. (Sumber pamong desa)
     
Selain Prasasti  adapula : 
lumpang
sisa2 saluran air
batu Candi terpendam 
 Prasasti Ngrawan pada saat bulan Rejeb masih digunakan untuk ritual budaya grup seni 'Topeng'. Selain itu masih digunakan untuk 'ziarah' ; terbukti masih ada sisa-sisa pembakaran kemenyan. 


nyepi u wangsit juga
SALAM PENYUKA CANDI
Save This
Not Only a stone!!
    
kika : saya, Setyo widodo (Pamong Budaya Getasan dan Mr. Pman.)


Rabu, 18 Januari 2012

Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan
         Kebetulan, Sabtu 14 Januari 2012 bersama seorang rekan kerja ada keperluan di daerah Salatiga. langsung terlintas dalam pikiranku mampir ke Prasasti Plumpungan berada. Letaknya berada di perbatasan Salatiga-Kabupaten Semarang, tepatnya di Kecamatan Pabelan.
      Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
     Rute menuju Prasasti Plumpungan cukup mudah, walau saya dari Salatiga, tapi yang akan ku berikan rute dari Semarang. Jika sahabat dari Salatiga ikuti jalan dari simpanglima salatiga ke arah Bringin, pasti sampai.
     Dari Ungaran, kira-kira 15km ke arah Solo. Kita akan sampai di Jembatan Tuntang, sebelah kanan pemandangannya Rawa Pening, Sobat ambil kiri menuju Bringin. perjalanan kira-kira 4km, melewati jalan berliku... (banyak pula penjual durian di sepanjang jalan).
      Setelah ketemu penunjuk jalan/ tugu Karanglo Bringin, sobat ambil kanan sampai ada petunjuk lebih lanjut. 100m dari petunjuk ini sampailah di Prasasti Plumpungan berada.
Melewati Station Toentang
     Prasasti Plumpungan, merupakan tanda cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5m.
    Berdasar tulisan diprasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu itu Salatiga merupakan daerah perdikan. Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
         Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.


Di depan Prasasti Plumpungan

 Sampai Jumpa di Perjalanan Mencari Batu Selanjutnya......