Raja Bauwarna
(08)
Saat ini
diceritakan tentang Raja Bauwarna. Sudah empat puluh hari lamanya, bahkan dua
bulan dia tidakmuncul-muncul. Ia berhasrat sekali hendak menaklukan Bali. Tapi
tidak ada yang berani menaklukan tugas itu, karena Bali amat berkuasa. Kini
sang Raja keluar dengan segala kemegahan. Para pembesar hadir semua. Disebutkan
para pegawai-pegawai. Astra Miruda dan Astra Wijaya. Yang pertama memakai dodot
merah pun hadir. Raja bertanya kepada patih Jaja-singa, siapa yang ingin
memikul tugas menaklukan Bali. Patih menjawab “Tidak ada, sudah diminta kepada
orang Urawan, tidak ada yang berani. Hanya Jaja-kusuma yang belum diminta pendapatnya
tentang itu, Pun dengan Astra Mirusa dan Astra Wijaya. Sang raja menyuruh
panggil tumenggung untuk berbicara sendiri dengannya.
Tumenggung
datang. Kepada raja mempertanyakan keselamatan kerajaan Urawan. Tapi raja
hendak menaklukan Bali ( juga disebut Nusa kembangan. Pulau kembang”. Panji
berjanji kepada raja akan melaksanakan tugas itu. Astra Miruda dan Astra Wijaya
pun berjanji demikian. Raja puas dan mengundurkan diri. Yang tinggal di paseban
mempertanyakan soal penghormatan dan gaji tumenggung yang tidak sesuai dengan
jasa-jasanya, orang lain yang belum melakukan apa-apa untuk kerajaan, lebih
banyak penghasilannya. Percakapan ini tidak diteruskan. Orang pada bubar. Astra
Miruda pulang naik kuda dengan bertudung payung, Astra Wijaya pun juga, bahkan
meliputi kerisnya dengan punya kainnya (suatu tanda orang pesolek). Tapi
Jaja-kusuma berjalan kaki saja dan tidak pula berpayung. Orang yang melihatnya
mengira, bahwa ia pasti habis kena marah raja, tapi mengapa? Orang yang
mengetahui lalu menceritakan keadaan yang sebenarnya: ia harus menaklukan Bali.
Sureng-rana,
puteri Cemara, ia menyesali Panji (dengan banyak menggunakan wangsalan), sambil
menangis. Seorang emban menghibur hatinya dan mengusulkan supaya ia menyongsong
suaminya “tapi ia diusir seperti kucing dan puteri itu bertambah keras
tangisnya.
Jaja-kusuma
duduk di pendapanya. Dikelilingi oleh para sentana dalem. Dikatanaknnya bahwa
ia mendapat perintah dari raja. Untukmenaklukan Bali. Para sentana dalem
berjanji akan menolongnya.
Dalam pada itu
datang emban, mengatakan bahwa istrinya sedang menangis dengan sangat. Panji
berdiri dan mendatangi istrinya yang masih marah kepadanya. Dipeluknya istrinya
itu, tapi ia coba melepaskan diri.
Panji
menghibur hatinya. Dimintanya supaya ia tinggal di rumah, apabila ia pergi
berperang, tapi istrinya menjawab bahwa ia ingin ikut serta, diapun seorang
satria, katanya. Disuruhnya saudaranya mempersiapkan pakaian perangnya. Adegan
kamar. Omong-omong para emban.
Patih
sekonyong-konyong datang ke tempat kediaman Panji, mengetuk pintu. Terkejut
Panjikeluar dari kamarnya, hanya berbaju dalam. Isterinya pun hanya berbaju
tidur. Patih tidak berani memandang Pnanji. Dan membalikkan diri. Surengrana
menarik kembali suaminya kedalam, dan memberinya pakaianyang pantas pertemuan.
Ketika
ditanyakan, patih menjawab bahwa ia diutus oleh sang raja untuk menyerahkan
pusaka kerajaan kepada Panji. Dengan jalan demikian ia menguasai kerajaan.
Selanjutnya
patih berkata, bahwa raja marah kepada Astra-wijaya. Apa sebabnya ia tidak tahu.
Sang patih pulang. Panji bertanya kepada para Kadejan, apakah ada yang
mengetahui kenapa raja marah kepada Astra-wijaya. Salah seorang dari mereka,
Jaja-sentika, mengatakan bahwa Astra-wijaya disangka memasuki keraton,hal itu
sudah dilakkukannya tiga kali dan sekali sang raja sendiri melihatnya. Raja
melemparkannya dengan parang tapi tidak kena. Panji tersenyum.
Surengrana
berkata, aneh sekali bahwa raja memberi gajah betina kepada orang yang pergi
berperang. Bukankah gajah betina itu hanya bisa dipergunakan untuk mengangkut
harta rampasan? Panji memujinya atas pemandangannya yang tepat itu. Lalu
disuruhnya Astra-miruda datang kepadanya.
Saat ini
diceritakan tentang Astra Miruda, kepala mantra anom. Dia berlaku sebagai don
juan, wanita-wanita Singasari menjadi korban kenakalannya. Ia senang sekali
menyabung ayam dan permainan taruhan yang lain. Para penjudi dimintanya datang
kerumahnya untuk bermain. Kekayaan dan perhiasan yang dibawa istrinya dari
Patani, segera tandas. Malahan hamba sahajapria dan perempuan digadaikan kepada
orang Cina. Kewajibannya diabaikan. Isterinya sedih karena perbuatannya ini,
ditambah lagi karena suaminya bersuka-sukaan dengan Puteri Urawan. Ia
menyesalkannya. Ia menangis dengan sedih di tempat tidurnya, bantal dan guling
dilemparkannya. Seorang emban mencoba, tapi sang puteri berkata : tutp mulutmu,
kalau tidak kulempar kepalamu dengan penumbuk sirih ini. Emban ketakutan oleh
ancaman itu dan pergi kepada Astra-miruda yang sedangmemegang burung, emban itu
menceritakan halnya. Astra-miruda mendapatkan isterinta dan menghibur hatinya.
Tapi ia tetap marah kepadanya dan bertanya kemana suaminya itu pergi malam anu
dan malam anu. Suaminya menjawab, “Aku pergi ke Pangeran Sinjanglaga”.
Dimajukannya kagi beberapa pertanyaa, mengapa Miruda tidak pulang kerumah.
Miruda terus memberikan jawaban mengelak. Sang puteri mengemukakan satu
pertanyaan lagi: Mengapa kau pulang tidak berbaju hari Jumat?” suaminya
menjawab: “Aku berjudi di kampung cina dan kehabisan segala”.
Sekonyong-konyong
datang seorang perempuan dari keraton, diutus oleh Puteri Urawan, untuk
mengembalikan pakaian Astra-miruda yang ketinggalan karena terburu-buru,
bersama sepucuk surat dalam bungkusan kertas dengan kembang. Dalam surat itu
sang Puteri mengatakan, bahwa Miruda tidak memegang janji.
Isterinya
mengingatkan Miruda, bahwa perbuatan itu bersahaja, tapi Miruda menenangkan
hati istrinya.
Serat
selanjutnya : Jaya Kusuma
Diketik
ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar