Kerajaan Kendan
Kendan Gunung - salah satu daerah terjal di kendan |
Di Jawa Barat, Kerajaan
Kendan telah eksis sejak tahun 536 sampai dengan 612 M. Kendan berubah nama
menjadi Galuh (permata) ketika masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan
diri melepaskan diri dari Tarumanagara (Sundapura). Karena Terusbawa merubah
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (pura). Sejak tahun 670 M ditatar sunda
dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.
Naman Kendan seolah
tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat
tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat
mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi Kendan tidak dapat
dilepaskan dari Galuh. Kendan danggap cikal bakal Galuh. Bahkan sejarawan
Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh
Kawali.
Situs Peninggalan Kerajaan Kendan di Kp. Kendan Nagreg |
Letak Kendan
Kendan didalam
catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah
Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (Kendan), + 500 meter sebelah timur stasiun kereta api Nagreg.
Terdapat daerah hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan
Nagreg. Namun berdasarkan on the spot,
letak Kendan berada di sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa Nagreg.
Bukit Kendan
yang dimaksud sangat jauh untuk disebutkan memiliki jejak Sejarah, mengingat
perbukitan Kendan saat ini sudah hampir habis akibat tanahnya dieksploitasi
untuk bahan pembuatan bata merah.
Danau Purba di Kendan |
Disekitar Nagreg
dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya
“tempat pamujaan”, Sayang istilah tempat pamujaan dalam paradigma masyarakat
sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan “pamujaan”,
suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan
Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.
Nama Kendan
lebih dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas
neolitik pada jaman purbakala. Batu Kendan sudah lama disebut-sebut dalam dunia
kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak
sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit
Kendan sampai saat ini masih di eksploitasi penduduk setempat, karena
mengandung bahan perekat yang sangat cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang
pemilik bukit itu sekarang, memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan
campuran bata merah. Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji
Atang, pada waktu jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah Kendan untuk
dikirim ke Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan
pembangunan gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir
menggunakan bahan dari bukit Kendan. Mungkin keberadaan setasiun Nagreg pada
awalnya tidak dapat dilepaskan dari Daerah Kendan. Stasiun ini merupakan saksi
bisu dari diangkutnya material Kendan kedaerah lain.
Didaerah Kendan
pernah ditemukan ditemukan sebuah patung kecil. Para akhli sejarah menyebutnya
patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan di museum Jakarta). Sedangkan di dalam
prasasti Jayabupati disebutkan, bahwa : kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib.
Dalam cerita Lutung Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.
Keberadaan
patung Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli
sejarah. Pleyte (1909) mensinyalir daerah tersebut termasuk daerah “Kabuyutan”.
Sama dengan daerah Mandala, atau Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng,
dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.
Kerajaan Kendan
selain dikenal melalui gerabah purbakalanya juga disebut-sebut di dalam Naskah
Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Kedua sumber dianggap duplikasi dari
Pararatwan Parahyangan. Sayangnya Pararatwan Parahyangan saat ini tidak
diketahui rimbanya. Namun karena dijadikan sebagai naskah rujukan maka
Pararatwan Parahyangan dipastikan keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan
dan Naskah Wangsakerta.
Kisah Kerajaan Kendan
Bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta), yang selesai ditulis
tahun 1602 saka (1680 Masehi) di keraton kasepuhan Cirebon. Resiguru Manikmaya,
Raja pertama Kendan Sang Resiguru Manikmaya dating dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan.
Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi
(Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali,
Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan
Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561
M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan
Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru
Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja
Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan
mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja
Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di
Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti
dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung,
yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak
Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan
dihapuskan.
Penerus
tahta Kerajaan Kendan, dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru
Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri.
Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun,
Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat
menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara
(Baladika) Tarumanagara.
Resiguru
Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi).
Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan
ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12
bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M). Sang
Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri
Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi
Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak
sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang
Kandiawati.
Sang
Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang
Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama
suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597
M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja
daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi
gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Material Keraton Kerajaan Kendan |
Setelah
Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak
berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang,
Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu.
Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi
candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan
masa silam Kendan.
Sebagai
penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya
lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah,
Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja
daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir.
Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Pendahulu Kerajaan Galuh.
Sang
Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia
mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang
Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang
Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang
Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret
612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya,
matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak
berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia
mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan
pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu,
yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan,
Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai
Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama
Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan
nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang
putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan
Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di
Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai
Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan
Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah
kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman
(640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika
Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah
mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar
pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang
Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang
Tarusbawa.
Sang
Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota
Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada
Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan
diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang
Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia
berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada
menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan
tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya,
Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan
batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini
dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda
Pajajaran.
Disadur
dari tulisan PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar