Kanjuruhanadalah sebuah kerajaan bercorakHindu diJawa timur, yang pusatnya berada di dekatKota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman denganKerajaan Taruma di sekitarBekasi danBogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalahGajayana Peninggalan lainnya adalahCandi Badut dan Candi Wurung.
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah. Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Putri Sima memerintah di Kerajaan Holing; dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuna. Di Jawa Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede KecamatanLowokwaru. Kerajaan itu bernama Kanjuruhan.
Candi Badut
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Sungai Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Budha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 saka atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M. Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Sinta mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang oleh ayah diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Simha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat besar. Ia disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuna terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuna zaman Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur Gunung Kawi.
Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.
Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
1.daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan KecamatanPakis),
2.daerah Turryan (sekarang Desa Turen KecamatanTuren),
3.daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
5.daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen KecamatanBlimbing),
6.daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
7.dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.
Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno di masa lampau
Prasasti Dinoyo
Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa(tahun 682 Saka)atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan.
Di desa Dinoyo(barat laut Malang)diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan(sekarang desa Kejuron)dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa(saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda(agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga(mungkin lambang Agastya).
1.Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
2.Adasebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
3.Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
4.Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
5.Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
6.Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
7.Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
8.Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya(disebut Maharesi)menghilangkan penyakit
9.Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
10.Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Kerajaan
Sundaadalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan
1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa
Barat sekarang).
Etimologi
Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah
pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota
dan daerah sekitarnya yang menghasilkanlada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya
daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda"
tersebut itu Banten. Di sekitar tahun 1500,Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama
"Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang
sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan
yang letaknya paling barat di pantai utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu
ke Banten. Peta Portugis yang paling lama mengenai kawasan ini menyebut
"Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai
utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda",
kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten
sekarang.
Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama
menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat.
Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam
perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang
Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian
pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh". Gambar ini sama
dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.
Prasasti
Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan
ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang "raja
Sunda" menduduki kembali tahtanya. Penggunaan bahasa Melayu ini
menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya. MenurutPrasasti Sanghyang Tapakyang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan
Sunda di bawah MaharajaJayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak,
di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.
Menurutnaskah Wangsakerta,
naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan olehTarusbawapada tahun 591Saka Sunda(669M). Menurut sumber
sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang
meliputi wilayah yang sekarang menjadi ProvinsiBanten,Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.
Wilayah
kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga
Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sundayang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di
Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University,Inggrissejak tahun1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci
Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagaiKali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di
Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung
dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda olehSelat Sunda.
Historiografi
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk
memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan
awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II
tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun,
bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya
sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan
Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan
kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti
tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin
Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara
(358-669 AD ).
Prasasti Batu Tulis
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalahPrasasti Sanghyang Tapakyang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah
batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak,Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa
Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta,
dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952
(1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon,
hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri
Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang
Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda.
Dan tidak ada seorang pun
yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober
1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah
selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina
tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur
perdagangan dengan negara-negara asing,Zhao Ruguamengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang
yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang
negara Jauh,Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di
"Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai.
Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka
dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon
kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan
rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain
katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang
tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi
kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu,
tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan CinaShunfeng xiangsongdari sekitar 1430 mengatakan :
Ini adalah salah
satu makam anggota kerajaan sunda yang bernama kerajaan Galuh,
terletak
di dalam hutan Ciung Wanara, Ciamis, Tasikmalaya.
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a,
sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk
mencapaiKalapa, mereka
kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan
187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan
ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewatiKalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda
luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan
Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan
bahwa kerajaan Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan
di masa Pires Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungaiCipakancilandimana di daerah tersebut sungaiCiliwungdan sungaiCisadaneberdekatan dan berjajar, dekatBogorsaat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hariRaditePon, 9Suklapaksa, bulanYista, tahun 519 Saka (kira-kira18 Mei669M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitusungai
Citarum(Sunda di sebelah barat,
Galuh di sebelah timur).
Federasi antara Sunda dan
Galuh
PuteraTarusbawayang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih
muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini
lantas dinikahi oleh Rahyang SanjayadariGaluh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu RatuShimadariKalinggadiJepara. Ayah dari Sanjaya adalahBratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat
Tarusbawa. Sena adalah cucuWretikandayundari putera bungsunya,Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M
dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora.PurbasoradanSenasebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri kePakuan
Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang,Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkanKerajaan GaluhdariTarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk
melengserkan Purbasora.
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak
perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus
(dengan gelarPrabu
Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa
selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus,
kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera
dari Sang Welengan (raja Galuh,806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara
iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus
(dengan gelar Prabhu Gajahkulon)
sampai ia wafat tahun891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh
ke adik iparnya dari Galuh,Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar
dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke
putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera
sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai
Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan
Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan
kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam
orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera
Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada
putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122
tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan
Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya
(Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
DiMuseum Nasional Indonesiadi Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut
"arcaCaringin" karena pernah
menjadi hiasan kebun asisten-residenBelanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan
ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru,GaneshadanBrahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal
abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan
pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang
diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam
reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Prasasti Kerajaan Sunda Ada di
Ciamis
SITUS Astana Gede Kawali, di Kabupaten
Ciamis, merupakan prasasti yang mampu mengungkap Kerajaan Sunda yang sempat
berdiri dan berkuasa, terutama di wilayah Priangan Timur.
Nama-nama raja yang sempat berkuasa di
Tatar Sunda semuanya sudah terangkum dalam batu bertulis yang kini masih
berdiri tegak di Astana Gede.
Terletak di kota Kawali, Situs Astana Gede
yang memiliki nilai sejarah kini nyaris terlupakan dan tak terurus. Pemda
Kabupaten Ciamis kehilangan rasa untuk mempromosikan obyek wisata ini supaya
bisa dikenal pengujung.
Keengganan pemda merias obyek sejarah ini,
terbukti dari jumlah pengunjung yang semakin hari terus menurun. Ditambah, tak
sedikit masyarakat Tatar Sunda tak mengetahui secara pasti mengenai hubungan
Situs Astana Gede dengan kondisi Kerajaan Sunda tempo dulu, termasuk
hubungannya dengan Kabupaten Ciamis.
“Mahayuna
hayuna Kadatuan… Pakena Gawe …. Jaya dina Buana.” Itulah ungkapan kalimat
berbahasa Sunda kuno yang kini dijadikan lambang keagungan Kabupaten Ciamis.
Semboyan kalimat yang hingga kini terus
menempel di lambang DT II Ciamis merupakan lambang yang diambil dari penggalan
kalimat yang ada di Prasasti Astana Gede.
Melihat fakta sejarah seperti itu, sangat
pantasn jika Pemda Kabupaten Ciamis terus melakukan promosi mengenai obyek
wisata sejarah tersebut.
Berdasarkan sejarah, tahun 1333-1482
Masehi, di kota Kawali berdiri Keraton Kerajaan Sunda yang diberi nama Keraton
Surawidesa, dengan Raja Wastu Kancana.
Kabar ini pun tertulis di prasasti
Ciaruten Bogor dan prasasti Kebantenen yang menyebut-nyebut nama Rahyang
Niskala Wastu Kancana.
Raja ini meninggal di Nusa Larang, yang
kini makamnya ada di Nusa Gede di tengah-tengah Situ Panjalu.
LIMA KERAJAAN SUNDA
Dalam sejarah Kasundaan, ditegaskan, ada
lima kerajaan Sunda besar di Jawa Barat. Di antaranya Kerajaan Salakanagara di
Pandeglang Banten (130-360 M), Kerajaan Prabu Lingga Buana. Raja ini memiliki
empat putra, dan yang hidup hanya dua masing-masing seorang putri bernama Dyah
Pitaloka atau Citraresmi, sedang seorang lagi bernama Wastu Kencana (bungsu).
Citraresmi, seorang perempuan yang cantik
jelita diam-diam akan dipersunting Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit.
Ketika keluarga kerajaan Kawali akan
mengantar puterinya ke Majapahit, di luar dugaan ketika tiba di Tuban, Kerajaan
Majapahit yang dipimpin langsung Patih Gajah Mada, tiba-tiba menyerang
rombongan dari Kawali hingga semuanya tewas.
Selang beberapa hari, abu petinggi
kerajaan termasuk Citraresmi dikirim ke Kerajaan Kawali. Sejak itulah, Prabu
Lingga Buana bergelar Prabuwangi. Penyerangan yang dilakukan pasukan Majaphit
berdasar para ahli sejarah akibat adanya perbedaan budaya.
Rombongan penganten dari Kawali yang akan
mengantar pernikahan puteri raja Dyah Pitaloka dalam bentuk seserahan
disalahartikan oleh pasukan Majapahit.
Pihak Majapahit menyangka rombongan itu
akan menyerang kerajaanya, hingga pasukan dari Kawali pun disikat habis. Saat
petinggi kerajaan Kawali meninggal, tampuk pemerintahan diambilalih Mangkubumi
Soradipati (1357-1371 M).
Kemudian kursi kerajaan pun diberikan ke
Wastu Kancana (1371-1475 M). Raja ini berkuasa hampir 127 tahun. Perjalanan
kerajaan Kawali semuanya tersirat dalam prasasti yang kini ada di Astana Gede.
BATU TELAPAK KAKI, Obyek wisata yang bisa
dilihat di antaranya dua buah prasasti besar, batu telapak kaki dan tangan,
tiga buah batu mahir, tiga makam raja, dan 400 meter ke arah utara terdapat
kolam kecil berair bening yang disebutkan dalam sejarah tempat mandinya
keluarga raja.
Kolam kecil yang terkenal dengan sebutan
Cikawali, dari dulu hingga sekarang debit airnya tak pernah menurun alias
tetap.
Merunut perjalanan sejarah, kerajaan
Kawali merupakan tempat wisata yang memiliki nilai sejarah cukup besar. Sayang,
tempat ini kini nyaris terlupakan dan generasi muda saat ini banyak yang tidak
tahu perihal Prasasti Asatana Gede.
Tempat sejarah ini kini nyaris terlupakan
dan hanya dikunjungi wisatawan ketika Lebaran tiba. Padahal obyek ini sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi obhek wisata yang berani bersaing dengan
objek wisata sejarah lainnya yang ada di Indonesia. Siapa yang bersalah?
Wallohu alam.
Yang jelas bangsa yang besar adalah bangsa
yang mau mengakui sejarah termasuk melestarikannya.
Untuk menikmati hutan seluas 4 hektar, pengujung bisa menggunakan kendaraan
roda dua dan empat. Setelah tiba di kota Kawali, kita tinggal meneruskan
perjalanan menuju Astana Gede yang hanya berjarak 1 km dari kota Kawali ke arah
selatan.
40)Prabu Ragamulya atau
Prabu Suryakancana (1567-1579)
Hubungan dengan kerajaan
lain
Singasari
DalamNagarakretagama, disebutkan bahwa setelahKertanagaramenaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak
terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan
Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya
lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat
dalam sumpahnya Gajah Mada.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang
dengan bangsaEropasepertiInggris,PerancisdanPortugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan
politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun1522, Kerajaan Sunda menandatanganiPerjanjian Sunda-Portugisyang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhanSunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi
bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dariDemakdan Cirebon(yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang
ADALAH
seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad
ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat
sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat
melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga
Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang
tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Secara luar biasa, ia mencatat lebih kurang 450 nama geografis yang masih
banyak dapat dikenal hingga sekarang. Catatan dalam lembar-lembar lontar yang
sekarang tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris itu, diakhiri dengan
suatu persiapan perjalanan spiritualnya ke Nirwana, di suatu tempat kebuyutan
yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur.
Dari beberapa penggalan sajaknya, di antaranya ia menulis sebagai berikut,
Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna
dek sri maliput/ ser mangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku
ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap
ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih /
diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing /
padanan deung pakayuan dan seterusnya.
Walaupun belum ada
kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu,
tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya
tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Situs tersebut merupakan suatu
"bangunan" yang disusun dari tumpukan kolom-kolom bebatuan yang
dibangun berundak-undak, berada di puncak bukit kecil yang dikenal sebagai
Gunung Padang.
Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan
Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli Arkeologi sebagai situs
Megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa
Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini,
sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari
jalan negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku
dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi
kendala pertama para calon pelancong.
Mendekati lokasi
situs, kendala lain sudah menghadang pula, tidak adanya penunjuk arah menuju
lokasi situs, dan jalan perkebunan teh yang rusak atau berlapis batu tajam.
Menyadari banyaknya kendala pengembangan di balik potensi wisata yang luar
biasa ini, Balai Pengelolaan Purbakala dan Nilai-nilai Sejarah Tradisional
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, pernah mengadakan kegiatan positif
berupa "Bakti Wisata" yang diikuti oleh masyarakat dan mahasiswa.
Kegiatan itu, diharapkan dapat merintis pengembangan ke arah wisata yang lebih
baik dan menarik perhatian serius penanganan situs yang menjadi jalur budaya
Megalitik Asia-Pasifik ini (Pikiran Rakyat, 26 Mei 2005).
Tetapi, bagi para
pelancong yang ingin mendapatkan nilai lebih dari aktivitas berwisatanya,
rasanya kendala tersebut justru menjadi bagian dari perjalanannya yang akan
menjadi catatan pengalaman yang mengasyikkan.
Batu Andesit Basaltis
Situs arkeologi ini,
sebenarnya sangat menarik pula jika dipandang dari sudut geologi. Hal ini
karena batu penyusun konstruksi situs, dari segi geologi mempunyai cara
terbentuk yang khusus. Selain itu, secara geografis, posisi Gunung Padang
terhadap gunung-gunung lain di sekitarnya, terutama Gunung Gede, mungkin dijadikan
kriteria pemilihan bukit oleh arsitek prasejarah pembangun situs ini.
Jika kita telah
mencapai situs ini, kesan keagungan dan kehebatan masyarakat purbakala langsung
menyergap suasana. Perasaan ini begitu kuat ketika sampai di pelataran pertama
setelah mendaki tangga-tangga batu setinggi lebih kurang 30 meter dengan
kemiringan hampir 40 derajat. Batu-batu berbentuk kolom poligonal ini, dipasang
melintang sebagai tangga sejak kaki bukit. Di puncak bukit, pada pelataran
pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri,
Sehingga benar-benar
seperti suatu tempat check in.
Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa
tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu.
Banyak kolom batu mempunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan
permukaan yang halus. Orang awam, bisa terkecoh menganggap batu-batu ini adalah
buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses
alamiah bisa membentuk kolom batu yang berpermukaan halus dengan sendirinya.
Kolom batu poligonal
terbentuk ketika aliran magma membeku. Sama halnya dengan terbentuknya
retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering. Begitu pula yang terjadi
pada cairan magma yang mengalir ke luar permukaan bumi sebagai aliran lava.
Ketika membatu, proses-proses fisik akan membentuk suatu retakan-retakan
pendinginan berbentuk kolom-kolom poligonal tersebut.
Proses demikian,
adalah proses yang sama yang membentuk tangga-tangga segi enam raksasa di
Irlandia yang terkenal sebagai The Giant Causeway, atau kolom-kolom tinggi di
Devil's Tower di Ohio, Amerika Serikat, atau kolom batu yang menghiasi
dinding-dinding galian batu di G. Selacau dan Lagadar, Cimahi Selatan. Semuanya
terjadi pada saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya
berjenis batu andesit atau basaltis.
Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit
basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada
lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21
juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi
situs, dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu
alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Dengan sangat cerdas,
arsitek Megalitik yang diperkirakan hidup sekira 2.000 - 1.000 tahun yang
lampau, telah memilih tempat yang cocok dari sisi ketersediaan sumber daya batu
in-situ.
Mengarah ke Gunung
Gede, ketakjuban kita terhadap hasil karya para leluhur masyarakat Jawa Barat
purbakala itu, akan semakin bertambah ketika kita terus mengamati susunan batu
demi batu, serta lingkungan sekitarnya. Sang arsitek telah memilih bukit ini,
mungkin dengan survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh. Pemilihan bukit
sedemikian rupa, sehingga selain adanya sumber batu yang tersedia untuk
membangun tempat pemujaan ini, arah memanjang situs begitu tepat menghadap ke
arah Gunung Gede (elevasi 2.958 m)!
Persis arah 10
derajat utara-barat pada kompas, panjang situs tepat mengarah ke gunung yang
memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh
masyarakat Kerajaan Pajajaran. Gunung Gede, mungkin juga di anggap sama suci
dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Menariknya, dengan
latar belakang Gunung Gede yang jauh di utara, situs ini juga menghadap
terlebih dahulu pada satu bukit yang bernama Pasir Pogor di depannya.***