Gundi Suruh Kab. Semarang |
Kamis, 30 Maret 2017. Ritual Kemisan tetap berlanjut. Kali ini setelah rekan-rekan mundur balik kanan tak jadi karena ‘awan menggumpal hitam dilangit’… ternyata kabar gembira datang dari rumah. Istri saya nawari “blusukan ki ngejak”, Kesempatan tak kan gampang terulang pikir saya. Hehehehehe.
Awalnya
kemisan ini target saya menelusuri informasi keberadaan struktur batuan candi
di lereng timur Gunung ‘Karoengroengan”. Namun Langit hitam sedikit banyak
mempengaruhi tujuan kali ini. Apalagi blusukan special dengan “mbokne cah2”. Mantaplah tekad saya untuk menelusuri
informasi dari kawan FB, maturnuwun mas Sri Widodo, dengan Panduan di
whatshapp-nya. Sampai share lokasi-gmaps dikirim ke saya.
Tujuan nya
adalah ke Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, di sebelah tenggara Kota
Salatiga, Disepanjang perjalanan antara Ungaran-Salatiga kami menerjang hujan,
Melewati JLS-Terminal Tingkir kemudian ambil kanan arah ke Suruh. Untungnya
blusukan dengan istri, karena belum makan siang ndredek juga apalagi di sepanjang jalan hujan dan dingin menusuk
tulang sepanjang JLA (Kabut merbabu turun). Istirahat sebentar di ****mart
tingkir untuk makan siang bekal yang dibawakan istri. Baru kali ini.. hehehe.
Bekal Makan Siang |
Dari Tingkir,
tak sampai 15 menit kami menyusuri petunjuk arah (hasil share lokasi pesan
whatshapp Mas Sri Widodo). Mempermudah perjalanan saya kali ini. Di Suruh
sendiri, saya kebetulan pernah menelusuri jejak peradaban ; Yoni masjid Kauman,
Yoni Masjid Karangasem dan masjid Mplantungan Desa Kradonlor (semuanya di wilayah kecamatan suruh). Awalnya niat saya
saat menuju Suruh kali ini menelusuri 2 informasi, selain dari Mas Sri Widodo,
juga informasi dari Mas Artdie. Namun
bagaimana nanti tergantung situasi.
(Bila butuh
petunjuk arah WA saya, 081805803200+ saya share lokasi) Saya merasakan sendiri…
tanpa sama sekali bertanya sudah sampai ke tujuan.
Berada di
depan Masjid Jami’ Al Huda Klengkong Jl. K. Dasuki No. 56. Desa Gundi Kec.
Suruh.
Watu purbakala di Gundi Suruh |
Awalnya, dari
gambar pemberian mas Sri Widodo saya meyakini peninggalan ini berwujud Yoni.
Namun seketika langsung ragu menggelayuti.
Saat asyik
mendokumentasikan batu peninggalan ini, seorang warga tertarik dan mendekat
penasaran. Kujelaskan sambil bertanya asal muasal dan sejarahnya… dan
kebingungan saya malah bertambah, karena ternyata di bagian atas dulunya ada 2
lubang. Kemudian di semen oleh warga, entah, beliau juga tak tahu alasan kenapa
disemen, dua lubang itu ditutupi. Di penampang atas tersebut ada bagian sedikit
menonjol diatasnya kira-kira 10cm berbentuk persegi mengikuti bagian tubuh batu
peninggalan ini. Namun yang tersisa hanya sedikit.. terlihat usaha perusakan, gompal di beberapa sisi.
Ciri-ciri badan Yoni khas ada di batu ini.
Keberadaan cerat juga menambah bukti itu. Tapi saya masih ragu.
“Jare Mbah buyut, watu ini gaweane wong
kerajaan masa hindu, dek mbiyen panggonane ning pinggir sawah pinggir deso
kono, sawah kui jaman mbiyene akeh omah” beliau menuturkan sambil menujuk arah.
“Aku yo tau krungu, ono warga nemu patung,
nanging naming tugelan sirah, sing duweni rai jumlahe papat, banjur disimpen
ning omah. Mung sayange ndadekake atine warga mau ora tenang, sering keganggu.
Akhire sirah patung mau di balekno, Cerito kui wis suwi awit aku jeh nom.”
Jelas Kakek tersebut dalam bahasa jawa, kurang lebih dan sengaja tak saya
translate.
Bekas Lubang yang di semen |
Desa gundi Kec. Suruh |
Pengetahuan
beliau sungguh mengejutkan bagi saya, ketika umumnya, masyarakat menngikuti
saja apa mitos, legenda dan jarene wong
tuwone, bahwa batu-batu seperti ini banyak orang yang menyebut tinggalane mbah
wali. Beliau malah meyakinkan saya bahwa ini tinggalan masa hindu.
Saat kami
asyik berbincang, beberapa warga yang lewat pun nampaknya tahu ini apa…
walaupun belum tepat… ada yang menyebut prasasti ada yang menyebut watu candi.
Namun itu sudah cukup melegakan… bukan paham kelirumologi dan ikut-ikutan. Semoga dengan mengerti ini apa, tanpa bermaksud menduakan menguri-uri HASIL BUDAYA tidaklah ada ruginya.
Justru bisa menjadi pengalaman hidup.
Namun itu sudah cukup melegakan… bukan paham kelirumologi dan ikut-ikutan. Semoga dengan mengerti ini apa, tanpa bermaksud menduakan menguri-uri HASIL BUDAYA tidaklah ada ruginya.
bersama kakek informan |
Setelah
beberapa waktu, kemudian kami berpamitan.
Sungguh sayang informasi dari mas Artdie belum bisa saya telusuri.
Jejak peninggalan di Suruh memang sungguh meyakinkan hati saya akan adanya sebuah peradaban yang malah mungkin lebih ramai dari Suruh yang sekarang.
Sungguh sayang informasi dari mas Artdie belum bisa saya telusuri.
Jejak peninggalan di Suruh memang sungguh meyakinkan hati saya akan adanya sebuah peradaban yang malah mungkin lebih ramai dari Suruh yang sekarang.
Menguntungkan sekali mendapat pasangan berjiwa penjelajah... hehehhee