Situs Dusun Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan |
Minggu 7
Mei 2017.
Berawal
dari screenshot akun facebook (bukan teman)
tentang keberadaan situs lingga yoni di Petungkriyono Kab. Pekalongan yang
sangat menarik hati dan langsung menjadi prioritas, sampai suatu ketika saat
saya memprovokatori rekan blusukan yang beberapa tahun lalu pernah bertiga
(Saya, Lek Suryo dan Lek Trist) blusukan lintas batas ke Situs Ganesha Silurah
Batang untuk kembali blusukan ekspedisi lintas batas.
Ketertarikan
muncul karena selain keberadaan 2 situs di satu desa, Yoni juga memiliki ciri
yang belum pernah kami temui : penyangga cerat adalah naga---Naga yang
ekspresif sekali---, kemudian juga dalam satu desa banyak curug / air terjun
yang sangat indah, belum lagi pemandangan alamnya.
Setelah
sebulan kami berkoordinasi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kelancaran
seperti ; download offline gmaps, denah lokasi
wisata dan mencoba menghubungi saudara saya : Kang Lukman untuk memperoleh
informasi dan petunjuk arah.
Eh... tanpa dinyana, ternyata kang Lukman rela hati menjadi
pemandu kami. Bertambah semangat-lah kami. Apalagi salah satu rekan tertarik
pula untuk turut serta, Plus saya ngajak istri untuk ikut menikmati keindahan
alam yang sudah menunggu kami.
Kali ini tak
ada dress code khusus, hanya saya meminta rekan2 untuk bawa
bekal nasi dan minum sebanyak-banyaknya. “Blusukan kita ini bukan
foya-foya, tapi menelusuri ulang jejak peninggalan leluhur”, menjadi rule blusukan
kali ini.
Selamat Datang Kota Batang |
Awalnya kami
bersepakat untuk berkumpul di Kaliwungu jam 8, namun karena saya lewat jalur
alternatif Boja-Kaliwungu maka saya putuskan untuk memajukan titik kumpul
kearah Batang, tepatnya di gerbang selamat datang Kota Batang. Sepengginang
lamanya, akhirnya sudah lengkap. Kami kemudian janjian di depan SMPN 13
Pekalongan dengan Kang Lukman, Sang Guide kami.
Setelah
berbasa-basi dan perkenalan singkat, segera kami mengekor dibelakang motor
satria baja hitamnya, tak sabar untuk segera blusukan.
Belum setengah
perjalanan hujan deras menyambut kami. Layaknya ucapan selamat datang bagi
kami. Kang Lukman tiba-tiba berhenti, “Lanjut atau tidak, perjalanan masih
jauh”, tanyanya kepada kami. Kami hanya tertawa dan terus melaju.
Walaupun hujan
deras, namun sambutan keindahan alam Petungkriyono tetap sangat mempesona kami,
apalagi jika hari cerah.
Sejuk, udara
masih alami serta jernihnya air menggoda kami untuk segera merasakan segarnya.
Kondisi jalan yang tak cukup baik memang menjadikan kami merasa perjalanan
menuju Petungkriyono sangat jauh. (Sayang sekali akses jalan tak dibangun, padahal
potensi wisata sangat besar tak kalah dengan puncak bogor).
Curug Bedug |
Saat perjalanan
beberapa kali kami disambut curug kecil (ternyata diakhir perjalanan Mas Imam
menghitungnya berjumlah 18 curug = konon malah lebih) dan di setengah perjalanan
tepat dipinggir jalan (kira-kira 50m) terlihat Air terjun “Curug Sibedug”
namanya. Tapi kami memutuskan Curug Sibedug adalah final destination kami.
Keidahan
suasana sepanjang jalan Petungkriyono ini mengingatkan saya dengan rute jalan
menuju Puncak Bogor, dimana bedanya jika disana jalan lebih baik (=halus), di
Puncak bogor saluran air tersedia sementara di sini tak ada saluran air.
Menurut saya itulah penyebab aspalnya tergerus. Disana pemkab lokal juga sangat
perhatian dengan akses jalan ini karena menjadi modal pariwisata. Kurang lebih
1 jam dari Kota pekalongan, lewati kecamatan Doro akhirnya sampailah juga kami
di Desa Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono.
Bapak Ribut |
Saat kami
bertanya pada warga, ternyata situs ini memang sudah familiar, “Yang
bawa kunci Bapak Ribut mas, rumahnya di ujung gang ini”, jelas warga yang
kami tanyai. Tak sabar kami menemui beliau.
“Masuk dulu mas, hujan masih deras. Jika agak reda nanti saya
damping yang kebetulan saya dioercaya sebagai juru pelihara situs Lingga Yoni
Petungkriyono itu”, urai Bapak Ribut.
Walaupun segan, namun paksaan dari beliau akhirnya membuat kami duduk di kursi
beliau walaupun dengan baju basah (Saking derasnya hujan menembus mantol/jas
hujan kami). Tak lama teh nasgitel dibuatkan oleh istri Bapak
Ribut. Benar-benar keramahan seperti ini adalah juga aset wisata. Berulangkali
kami bersyukur. Karena selain Teh Panas juga dihidangkan aneka camilan,
Matursembahnuwun ibu, "Mungkin beliau tahu wajah kami mencerminkan raut
muka kelaparan". hahahaha.
Setelah kami merasa cukup waktu beristirahat, kemudian kami mohon ijin
kepada Bapak Ribut untuk segera menengok keberadaan Situs. "Ya, mas
saya ambil payung dulu", kata Bapak Ribut sambil memberi kode pada
kami untuk mengikutinya. Apresiasi yang tinggi kami haturkan kepada beliau,
kepada Bapak Ribut walaupun jarinya terluka karena sabit saat mencari rumput
yang masih di perban, juga gerimis masih kompak dengan dinginnya udara mengetes
nyali kami. Tapi Beliau, Bapak Ribut dengan sukarela menemani kami.
Perjalanan menuju lokasi dari rumah Bapak Ribut di video-kan olek Lek
Tris... (Video Amatir): (nunggu proses uplod)
Setelah
menyusuri pematang sawah, diiringi gemercik suara air, melewati jembatan bambu
dan sekali lagi meniti jalan setapak di tengah tanaman padi yang mulai
menguning, mulai terlihat apa yang menjadi tujuan kami. Jagad pramudhita!
Situs Yoni Lingga Dusun Tlogopakis |
Berlatar
landscape pegunungan, jajaran hutan
pinus yang membiru serta awan dan kabut tipis yang menjadi penghias, maka
sempurnalah “beautiful view”di Situs
Lingga Yoni ini.
Setelah dibuka kunci pintu gerbang oleh
Bapak Ribut, jadilah kami bisa melihat secara langsung Situs Lingga-Yoni
Petungkriyono ini. Secara umum kondisinya cukup bagus terutama pagar tembok
yang mengelilinginya serta Situs ini terawat rapi. Sungguh menggembirakan, puas
dan terbayar luas walau perjalanan sangat melelahkan.
Diskusi bareng bersama Bapak Ribut : (kiri) |
“Dulu
ada seorang dermawan yang memberikan dana untuk membebaskan tanah dan membangun
pagar ini. Beliau seorang TNI yang berpangkat”, jelas Bapak Ribut. “Namun karena kendala teknis, hanya seluas
ini yang dibebaskan, padahal beliau ingin membebaskan lebih luas lagi karena
diduga masih ada yang lain”, tambah beliau.
Bagian-bagian Yoni masih
lengkap, bahkan lingga masih bertengger di lubang penampang atas yoni. Lingga
Yoni merupakan satu kesatuan yang melambangkan manifestasi dari Dewa Siwa dan
(istri) shakti-nya.
Yoni
berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, di
bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni
terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat.
Pada
penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi
untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang
berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari
puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi,
dan lubang untuk berdirinya lingga
Lingga Situs Tlogopakis Petungkriyono Kab. Pekalongan. |
Bentuk
lingga menggunakan konsep Tri Murti, bagian
lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian
tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas
berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Yang spesial adanya relief di
bagian bawah lingga.
Situs Yoni - Lingga Petungkriyono Kab. Pekalongan |
Pusat
segala perhatian kami tentu saja naga yang membuka lebar mulutnya, nampak
sangat indah dengan detail pembuatan naga yang juga berfungsi menjadi penyangga
cerat Yoni.
Literatur
tentang penyangga Cerat Yoni, saya olah dari berbagai sumber :
Ular naga
Mahabharata yang menceritakan Arjuna dengan
Ulupi putri Raja Naga dari Himalaya dan perkawinan Arjuna dengan
Chitragada putri Raja ular bernama Chitravahana dari Manipur (Nina Santoso
Pribadi, 1989:151). 2.Menurut Fergusson tahun 1971 berdasarkan Berita Cina Hiu
Oen Thsang bahwa legenda ular atau Naga dihubungkan dengan
pemerintahan atau kerajaan terdapat di sepanjang Kabul sampai Khasmir
(Nina santoso Pribadi, 1989:151). 3.Menurut Briggs tahun 1957 Dalam Mitologi
Negara Kamboja ada kepercayaan turun-temurun bahwa Naga sangat
berhubungan erat dengan keturunan raja-raja di Kamboja, karena Naga
dianggap nenek moyang pelindung kerajaan. Dan kaitan raja-raja dengan
Naga (Nagaraja) yang menguasai bumi (Nina santoso Pribadi,
1989:151). Pengaruh pahatan naga pada seni pahat di Indonesia dipengaruhi dari
seni rupa India sehingga muncul seni pahat naga bermahkota, seperti
halnya pahatan yang terdapat di bangunan candi, keraton, lingga yoni dan
lain-lain. Tetapi Naga dalam seni pahat Indonesia memiliki kekhasan dipengaruhi
seni lokal. Ciri khusus adalah Pola hias Naga lebih raya, indah dan halus
pahatannya. Hiasan yang raya dihubungkan dengan status sosial atau strata
masyarakat.
Ular Naga atau yang dikenal dengan
nama Taksaka, bertugas menjaga candi. Wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena
yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangkar sehingga perlu
penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada yoni tampaknya erat kaitannya
dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.
Sangat spesial relief naga di Yoni
Tlogopakis, Petungkriyono ini. Selain naga yang membuka mulutnya, juga relief
badan naga lengkap dengan sisiknya yang melingkar di sekeliling Yoni. Sementara
Kura-kura berada di keempat sisi pojok Yoni bagian bawah.
Kura-Kura
Kura kura adalah
salah satu, dari sepuluh Dasa Awatara dalam agama hindu. yang diyakini
sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia.
Dalam kitab purana Kurma
Awatara / sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga :
Satyayuga atau Kertayuga,
merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang
berputar seperti roda. Setelah Satyayuga berakhir, untuk sekian lamanya kembali
lagi kepada Satyayuga. Satyayuga berlangsung kurang lebih selama 1.700.000 tahun.
Setelah masa Satyayuga berakhir, disusul oleh masa Tretayuga. Setelah itu masa
Dwaparayuga, lalu diakhiri dengan masa kegelapan, Kaliyuga. Setelah dunia
kiamat pada akhir zaman Kaliyuga, Tuhan yang sudah membinasakan orang jahat dan
menyelamatkan orang saleh memulai kembali masa kedamaian, zaman Satyayuga.
Satyayuga merupakan
zaman keemasan, ketika orang-orang sangat dekat dengan Tuhan. Hampir tidak ada
kejahatan. Pelajaran agama dan meditasi (mengheningkan pikiran) merupakan
sesuatu yang sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat manusia
bisa mencapai 4.000 tahun ketika hidup pada zaman ini. Menurut Nathashastra, di
masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang berbahagia.
Pada masa Satyayuga,
orang-orang tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat berhubungan
langsung dengan Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan tidak
diperlukan, sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan,
sehingga pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun
Relief penyangga cerat, sangat detail. Mulai Mahkota,
Anting, dan Taring. “Dulu pernah ada
penggembala kerbau yang mematahkan salah satu taring, dan kemudian taringdibawa
pulang. Esok harinya penggembala tersebut meninggal mendadak”, cerita Bapak
Ribut. Warga sangat menghormati keberadaan situs Lingga Yoni ini, bahkan sangat
men-sakralkan. “Pernah suatu
ketika,karena tidak percaya dengan kesakralan situs ini, seorang keturunan yang
kebutulan membrorong proyek pembangunan gedung sekolah berkunjung dan
meremehkan situs ini, kemudian orang itu lumpuh tk lama setelah pulang dari
sini”, tambah beliau
Warga rutin mengadakan selamatan serta ritual di situs ini
ketika memulai masa tanam, dengan membawa sesaen berupa ingkung (ayam berbulu
putih bersih), beras hitam dan bunga pakis, dengan maksud adar tanaman tak
terserang hama, subur, panen melimpah. “Beras
hitam khas tanaman Petungkriyono”, jelas Bapak Ribut. (dan salah satu dari
kami beruntung mendapatkan buah tangan padi hitam 3batang).
Cerat yang berfungsi
sebagai aliran keluar air suci (tirta amrta) yang sebelumnya disiramkan ke
Lingga saat ritual tertentu, dibeberapa sumber ada lagi yang menuangkan air sisu dan mentega ke atas lingga.
Di Penampang atas Yoni, terdapat lekukan yang berfungsi menahan air sehingga tak tumpah, melainkan mengalir melalui lubang cerat.
Keunikan lain, (Karena Bapak Ribut berulang kali meyakinkan kami), di atas cerat seperti 2 lingga yang berdiri. (Kami bingung--- fungsinya apa). Mengundang yang tahu bagi ilmunya kepada kami.
Di situs ini ada pula 2 arca yang telah rusak (aus-penuh lumut), menurut Bapak Ribut kedua arca tersebut adalah arca Ganesha.
Namun dalam diskusi kami sempat berdebat yang satu karena bentuk perut yang buncitnya lebih bundar selain Ganesha memungkinkan pula Kinara-kinari.
Yang konon dulunya memang masih insitu, ditemukan disekitar area situs ini. Sayangnya penelitian-eskavasi terkendala pembebasan lahan--- Padahal kami yakin.... masih banyak lagi. Bahkan mungkin sebuah bangunan suci masa lalu(=candi) pernah tegar berdiri di sini.
Setelah kami rasa cukup.... Kami kemudian mohon diri dan sebagian dari kami berjanji "Pergi tapi pasti akan kembali", Saking indahnya alam sini.
Di Penampang atas Yoni, terdapat lekukan yang berfungsi menahan air sehingga tak tumpah, melainkan mengalir melalui lubang cerat.
Diatas Cerat Yoni Tlogopakis |
Ganesha Tlogopakis |
Namun dalam diskusi kami sempat berdebat yang satu karena bentuk perut yang buncitnya lebih bundar selain Ganesha memungkinkan pula Kinara-kinari.
Yang konon dulunya memang masih insitu, ditemukan disekitar area situs ini. Sayangnya penelitian-eskavasi terkendala pembebasan lahan--- Padahal kami yakin.... masih banyak lagi. Bahkan mungkin sebuah bangunan suci masa lalu(=candi) pernah tegar berdiri di sini.
Setelah kami rasa cukup.... Kami kemudian mohon diri dan sebagian dari kami berjanji "Pergi tapi pasti akan kembali", Saking indahnya alam sini.
Perjalanan blusukan lintas
batas di Petungkriyono Pekalongan ini berlanjut ke situs yang kedua, yaitu
Situs Gedong.
Salam Peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar