Laman

Kamis, 27 April 2017

Jejak Purbakala Kalisegoro Gunungpati : Watu Lumpang dan legendanya.

Watu Lumpang Kalisegoro
Kamis, 27 April 2017. Hari Kamis tanpa blusukan  sebenarnya membuat ada sesuatu 'hal' yang hilang (#rodoalaykoyokoncone). Namun karena tak ada rekomendasi destinasi penelusuran yang tak terlalu jauh sehingga tawaran sekaligus pertanyaan dari Lek Suryo Wiboyo ku jawab dengan Ngopi di Garasi saja. Saat ngobrol dan Ngopi di garasi perpusda inilah, satu persatu rekan blusukan datang tanpa undangan. Yang pertama (maaf), sebut saja no name. Si no name inilah yang kali ini memprovokatori kami berdua untuk blusukan situs. Apalagi ternyata oknum tersebut jam terbangnya terbatas, sehingga masih banyak situs di sekitar Kota Ungaran yang belum ditelusuri.
Watu Lumpang Kalisegoro
Saat memilah destinasi yang mungkin cocok bagi si no name inilah datang satu lagi pejuang blusukan (kenapa saya menyebutnya demikian? Baca saja cerita saya ini sampai usai) Mbah Eka W Prasetya yang sejujurnya tanpa saya duga karena seribu hari tanpa kabar tiba-tiba muncul batang hidungnya didepan kami. 
Benar-benar tanpa rencana, apalagi datang langsung nawari kami bertiga “Yoh ta terke ning Kalisegoro Gunungpati, watu lumpang kuwalik”, Mbah Eka menawarkan destinasi kepada kami dengan bahasa Jawa medhoknya.
Watu Lumpang kalisegoro
Tak membantah sedikitpun, walaupun dengan susah payah kami urunan beli bensin (maaf ya kawan--). Jadilah meluncur ke Kalisegoro. Secara administratif Kalisegoro adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Gunungpati, dengan letak berdekatan dengan UNNES. Dari nama kalisegoro itulah kami tertarik untuk menelusur jejak sejarah, barangkali Kalisegoro bukan hanya sebuah nama yang diciptakan tanpa arti. Ditambah informasi dari rekan Mahasiswa Sejarah Unnes, Mas Darulelana (Apa Kabar mas?) tentang penemuan genta/ lonceng yang dipakai pemimpin ritual pada masa lalu yang terbuat dari kuningan.
Dan, Mbah Eka W Prasetya lah yang saking penasarannya, kira-kira sudah setahun yang lalu mencoba menelusuri jejak keberadaan peninggalan peradaban masa silam. Setelah kegagalan (bukan sepenuhnya karena ada beberapa titik sejarah--- saat kami menelusuri jejak peradaban di desa kuno Nongkosawit masih di Gunungpati--- maaf karena hanya setitik dan bekasnya samar, penelusuran kami sementara hentikan terlebih dulu sampai memperoleh titik cerah yang lain tentang desa Kuno Nongkosawit) di penelusuran beberapa waktu sebelumnya. Dilanjutkan solo, alias sendirian blusukan ke Kalisegoro. Sayang seribu sayang, penelusuran yang pertama ini tanpa dokumentasi sama sekali.
Pertemuan tak sengaja dengan Bapak Sagimin, perihal keberadaan Dukuh Kenteng Kalisegoro menjadikan petunjuk selanjutnya untuk membuka tabir sejarah purbakala Kalisegoro. Bahkan waktu itu Mbah Eka WP diantar langsung oleh Bapak Sagimin ini langsung ke lokasi.
Terpaut satu tahun kemudian, barulah kisah ini bisa kembali saya ceritakan… Petunjuknya adalah setelah Kantor Kelurahan Kalisegoro 2 kali ambil arah kanan. Sampai ketemu dengan Rumah Bapak Sagimim (yang ternyata posisi paling pojok dan rumah terdekat dengan jalan setapak menuju watu lumpang).  Saat kami kesini bapak Sagimin sedang  pergi, yang menemui kami adalah Bapak beliau, Mbah Sarju.
Setelah minta ijin dan meminjam alat untuk membersihkan kami langsung berjalan kaki, kira-kira 100 m setelah ambil kanan lagi di persimpangan jalan setapak sampailah kami. Batu berbentuk bulat menyambut kami. Yang sesungguhnya adalah bagian Bawah=terbalik.
Watu Kenteng, Watu lumpang adalah beberapa nama yang dikenal warga mengenai Batu ini. Kami mencoba membersihkan longsoran tanah yang menutupi bagian luar Batu Lumpang ini, dan barangkali bisa melihat bentuk bagian atasnya yang saat ini ter(/di)balik. Namun usaha kami berempat tanpa hasil karena batu ini super berat sekali. Setelah kami merasa ingin menyerah, Mbah Sarju dari kejauhan datang dan memberikan cerita kepada kami.
Watu Lumpang Kalisegoro
Kepercayaan warga sini, jika batu ini tengadah, akan banyak malapetaka, panen gagal dan warga congkrah”, ujar Beliau. Ketika kami asyik ngobrol dengan Mbah Sarju, teringat belum lama ini kenalan rekan facebook dengan passion sama yang kebetulan domisili di Kalisegoro. Segera kami hubungi barangkali bisa membantu, jika semakin banyak tenaga mungkin bisa sekedar membalik (sebentar=kemudian dikembalikan ke posisi semula) untuk tahu bentuk bagian atas. Mas Restu (nama beliau, yang teryata masih seumuran = generasi 80an akhir). “Saya tak berani mas”, kata mas Restu saat kami ajak untuk membalik. Yaacchhh…. Angker sekali. (---)
Namun Bapak saya barangkali punya cerita yang semoga bisa berkenan membagikan kepada kita mas”, lanjut mas Restu. Kepalang tanggung bagi kami, walau durasi memanggil seperti terompet sangkakala. Namun informasi yang kami yakini terkait dengan keberadaan watu lumpang ini pasti tersedia di Bapaknya Mas restu. Segera kami mengikuti menuju rumahnya.
Watu Lumpang kalisegoro : bagian atas yang terbalik
Setelah sepatahdua-patah kami memperkenalkan diri siapa kami, kemudian langsung kami kulik sisik melik tentang sejarah Kalisegoro, tak lupa sebelumnya kami tanya tentang Watu Lumpang yang terbalik…
Dan seperti berjodoh…. Cerita mengejutkan mengalir dari Beliau Bapak Sutarno.
Bahwa dulu pernah ditemukan, Arca dan Yoni lingga di sini, Di Kalisegoro, Arca Nandi, Arca Ganesha. “Saya ikut jadi saksi pengangkatan oleh Museum Ranggawasita waktu itu”, urai Bapak Sutarno. “Lokasi persisnya di sekitar SD. Itu sekitar tahun 80-an saat saya masih remaja”, tambah beliau.
Watu Lumpang kalisegoro : Bersama Bapak Sagimin, Lek Suryo, Mbah Eka dan Mas Restu


























Legenda Kalisegoro ini dulu bernama Purwosari, nama kuno Desa Kalisegoro yang jarang diketahui warga desa. Dulu Purwosari ini adalah hutan yang subur, setelah Mbah Purwo mbabat alas, dan banyak pengikutnya yang turut serta tinggal di daerah yang baru ini. Suatu saat  ada mata air dengan debit yang sangat tinggi memancar dari dalam tanah. Para pengikut mbah Purwo merasa kawatir jika daerahnya berubah dari semula hanya kali (sungai) yang melewati daerahnya dan menjadi sumber air berubah Segoro (laut).
Sampai suatu waktu dimana daerah ini kedatangan pengembara bernama Ki Nala yang dengan kesaktian yang dimiliki serta batu kenongnya bisa menutup sumber air tersebut. (Kurang lebih seperti itu yang diceritakan kepada saya oleh Bapak Sutarno).
Saat saya kecil, pusara Mbah Purwo dan Ki Nala (maesan/ Kijing/ makamnya) ditata dari batu candi. Juga ada beberapa arca di makam tersebut. Namun seiring berjalanya waktu dan tak pedulinya masyarakat akhirnya banyak yang hilang. Yang masih terselamatkan dan saat ini sudah disimpan di Museum Ranggawarsita Jateng.”, jelas Bapak Sutarno.
Saat kami tanya, “Adakah Batuan candi yang tersisa atau terpendam?”, Beliau hanya tersenyum dan tak menjawab secara jelas, dan mengaburkan tema ini. Kami kemudian tanggap dan maklum. Namun kami punya kesimpulan : Struktur Batu Candi masih ada!, perkiraan, saat penggalian dulu dikubur kembali untuk keamanan – ditambah saat ini diatasnya sudah dibangun SD. Tentu tak perlu dibahas lagi--- Itu kesimpulan saya.
Bukti penguat Peradaban Kalisegoro adalah ditemukanya beberapa Arca dan Yoni, juga tak jauh ada Watu Lumpang. “Sebenarnya ada beberapa arca lagi, namun karena kondisinya sudah rusak tak berbentuk sehingga arca itu tak dibawa ke Ranggawarsita. Namun di simpan oleh warga. Entah masih ada atau tidak saat ini”, cerita Bapak Sutarno.
Bukti peradaban yang telah berkembang di Kalisegoro ini semakin kuat pak, apalagi saya dapat informasi ditemukanya lonceng perangkat ritual di Kalisegoro ini tepatnya Dukuh Gading”, tambah saya mengamini cerita Bapak Sutarno.
Dengan berbinar Bapak Suratno, “Ya, Benar… Yang menemukan saya dan seorang warga. Saat saya memecah watu ternyata dibawah batu besar itu (jadi 3 truk) ada lonceng itu”, timpal Bapak Sutarno.
Ketika obrolan kami seru dan cukup menarik atensi kami.. Tiba-tiba Ping! suara HP Mbah Eka berteriak histeris. Sekilas setelah membaca pesan di HP nya, raut muka Mbah Eka WP seperti berhadapan dengan regu eksekusi tentara jepang yang membawa samurai. Perasaan itu ternyata merembet ke saya ternyata. Hehehehe. Dengan sekali kode memelas, akhirnya kami pamit dan bersyukur mendapatkan lagi setitik sejarah yang hampir putus.
Cerita saya ini tak ada seujung kuku, semenarik sejarah yang kami dengarkan dari Bapak Sutarno. Tak lain karena kemampuan menulis saya yang kurang tertata. Mohon maaf yang tiada terkira. – Cerita selesai, kami harus segera ‘pulang!’ (satu kata inilah yang ternyata di layar HP Mas Eka)…. Hahahaha. Dan ternyata lebih sadis pesan untuk saya….. --- Tamat! --- Tapi tentu saja Penesurun tetap berlanjut.
Bersama Mbah Sarju : 
Watu Lumpang Kalisegoro

Salam Peradaban
Di Watu Lumpang Kalisegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar