Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api)yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Urutan Raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa | Nama raja | Julukan | Keterangan |
130-168 M | Dewawarman I | Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara | Pedagang asal Bharata (India) |
168-195 M | Dewawarman II | Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra | Putera tertua Dewawarman I |
195-238 M | Dewawarman III | Prabu Singasagara Bimayasawirya | Putera Dewawarman II |
238-252 M | Dewawarman IV | Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon | |
252-276 M | Dewawarman V | Menantu Dewawarman IV | |
276-289 M | Mahisa Suramardini Warmandewi | Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut | |
289-308 M | Dewawarman VI | Sang Mokteng Samudera | Putera tertua Dewawarman V |
308-340 M | Dewawarman VII | Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati | Putera tertua Dewawarman VI |
340-348 M | Sphatikarnawa Warmandewi | Puteri sulung Dewawarman VII | |
348-362 M | Dewawarman VIII | Prabu Darmawirya Dewawarman | Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara |
Mulai 362 M | Dewawarman IX | Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara |
Referensi
1. Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
Didahului oleh: Tidak ada | Kerajaan Hindu-Budha 150 - 362 | Digantikan oleh: Tarumanagara |
|
Kerajaan Salakanagara
Salakanagara |
Lalu sekitar 280 tahun sebelum masehi, hiduplah seorang bernama asoka yang memimpin kerajaan asoka di india. Dia disebut dalam sejarah dunia sebagai raja yang tercerahkan setelah sebelumnya melakukan peperangan dan agresi. setelah tercerahkan, dia berpaling pada agama, menjadi rahib, dan menitahkan para pengikut kepercayaannya untuk menyebarkan syiwa, wisnu, dan brahmana. salah seorang penyi'ar ajaran itu berasal dari marga warman, dan rombongan marga warman ini sampailah ke salakanagara.
di salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa salakanara diperintah oleh aki tirem. Menurut ayatrohaedi (kakaknya ajip rodisi), anak AKI tirem yang bernama pohaci larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga warman itu, yang bernama dewawarman. dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok salakanagara. dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak india, kerajaan itu diberi nama salakanagara. gelar yang disematkan kepada dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Raja-raja Tarumanagara :
Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)
Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Jaman papajaran
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan roman raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
::Salah satu sumber tulisan ini diambil dari >>::Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
Keturunan Dewawarman (Purwayuga 5)
Kisah keturunan Dewawarman sebagai raja-raja Salakanagara dapat diungkap di antaranya dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 dan parwa III sarga I. Juga dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa-dwipa parwa I sarga 1 dan Pustaka Nagara Kretabhumi parawa I sarga 1 dan tersebar dalam beberapa sarga lain dalam bentuk urutan raja-raja di Jawa Barat.
Ringkasan selanjutnya dari kisah di atas adalah sebagai berikut.
"Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak tertua laki-laki yang setelah menggantikan ke-dudukan ayahnya bernama Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90 sampai taliun 117 Saka atau 168 sampai 195 Masehi. Ia menikah dengan puteri keluarga raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabu Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 - 238 M). Dalam masa pemerintahannya terjadi serangan bajak laut dari negeri Cina yang dapat dihadapi dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan huhunean (painitran) dengan maharaja Cina dan raja-raja India.
Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan raja Ujung Kulon bernama Darma Satya-nagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238 - 252 M). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama Mahisasura-mardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174 - 198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani Mahisa suramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 M). Walau pun gerombolan bajak laut itu dapat ditumpas, Dewawarman V gugur karena serangan panah dari belakang.
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau sang mokteng samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun dari tahun 211 sampai 230 Saka (289 - 308 M). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai beberapa putera dan puteri.
Putera sulungnya yang kemudian sebagai Dewawarman VII memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308 - 340 M) bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua seorang puteri bernama Salaka Kancana Warmandcwi yang menikah dengan menteri kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat laki-laki, bernama Ghopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri kerajaan Calankayana di India.
Yang kelima seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Palawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skandamuka Dewawarman Jayasatru yang menjadi senapati Salakanagara.
Puteri sulung Dewawarman VII bernama Spatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari perkawinan puteri ini dengan Atwangga lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
"Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah di Rajatapura Senapati Krodamaruta dari Calankayana bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Senapati Gopala Jayengrana yaitu putera Dewawarman VI yang keempat yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta ia merajakan diri menjadi penguasa Salakanagara.
Ahli waris tahta yang sah adalah Spatikarnawa Warmandewi puteri sulung Dewawarman VII. la belum bersuami. Karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekali pun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebahagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi Krodamaruta tidak lama berkuasa karena ia tewas tertimpa batu besar ketika berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi penguasa Salakanagara.
Kemudian Spatikarnawa Warmandewi dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya tahun 262 Saka (340 M). Dalam tahun 270 Saka sang rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut (senapati sarwajala) kerajaan Palawa. Lengkaradewi beserta suami dan puteranya datang di Rajatapura dalam tahun 268Saka (346 M) sebagai pengungsi karena negaranya telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.
Setelah pernikahannya, Rani Spatikarnawa Warmandewi memerintah bersama-sama suaminya yang sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya bewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348 -363 M).
Dalam masa pemerintahan Dewawaiman VIII kehidupan penduduk makmur-sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati.
Mata pencaharian penduduk ialah berburu di hutan, berniaga, menangkap ikan di laut dan sungai, beternak, bertanam buah-buahan, bertani dan sebagainya.
Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandra kapala) dan patung Ganesha {Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera, jauh dari kesusahan dan mara bahaya.
"Dewawarman VIII mempunyai putera-puteri beberapa orang. Yang sulung seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Puteri yang amat cantik ini kelak diperisteri oleh Maharesi Jaya singawarman Gurudarmapurusa atau Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.
Yang kedua seorang putera bernama Aswawarman. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga, penguasa Bakulapura. Kemudian dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga.
Yang ketiga seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keturunannya kelak adalah Sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain tinggal di Yawana dan Semananjung.
Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahanda-nya wafat ia menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara. Akan tetapi ia menjadi bawahan raja Tarumanagara karena kerajaan ini telah menjadi besar dan kuat. Demikian pula Sang Aswawarman menjadi raja yang besar kekuasaannya di Bakulapura.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Spatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua bernama Candralocana puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semananjung dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi pcnguasa di Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas selama 233 tahun (130 - 363 M). Dewawarman VIII dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
(Sumber: rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat - Kerta Mukti Gapuraning Rahayu).
di salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa salakanara diperintah oleh aki tirem. Menurut ayatrohaedi (kakaknya ajip rodisi), anak AKI tirem yang bernama pohaci larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga warman itu, yang bernama dewawarman. dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok salakanagara. dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak india, kerajaan itu diberi nama salakanagara. gelar yang disematkan kepada dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Raja-raja Tarumanagara :
Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)
Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Jaman papajaran
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan roman raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
::Salah satu sumber tulisan ini diambil dari >>::Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
Keturunan Dewawarman (Purwayuga 5)
Kisah keturunan Dewawarman sebagai raja-raja Salakanagara dapat diungkap di antaranya dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 dan parwa III sarga I. Juga dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa-dwipa parwa I sarga 1 dan Pustaka Nagara Kretabhumi parawa I sarga 1 dan tersebar dalam beberapa sarga lain dalam bentuk urutan raja-raja di Jawa Barat.
Ringkasan selanjutnya dari kisah di atas adalah sebagai berikut.
"Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak tertua laki-laki yang setelah menggantikan ke-dudukan ayahnya bernama Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90 sampai taliun 117 Saka atau 168 sampai 195 Masehi. Ia menikah dengan puteri keluarga raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabu Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 - 238 M). Dalam masa pemerintahannya terjadi serangan bajak laut dari negeri Cina yang dapat dihadapi dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan huhunean (painitran) dengan maharaja Cina dan raja-raja India.
Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan raja Ujung Kulon bernama Darma Satya-nagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238 - 252 M). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama Mahisasura-mardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174 - 198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani Mahisa suramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 M). Walau pun gerombolan bajak laut itu dapat ditumpas, Dewawarman V gugur karena serangan panah dari belakang.
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau sang mokteng samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun dari tahun 211 sampai 230 Saka (289 - 308 M). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai beberapa putera dan puteri.
Putera sulungnya yang kemudian sebagai Dewawarman VII memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308 - 340 M) bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua seorang puteri bernama Salaka Kancana Warmandcwi yang menikah dengan menteri kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat laki-laki, bernama Ghopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri kerajaan Calankayana di India.
Yang kelima seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Palawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skandamuka Dewawarman Jayasatru yang menjadi senapati Salakanagara.
Puteri sulung Dewawarman VII bernama Spatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari perkawinan puteri ini dengan Atwangga lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
"Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah di Rajatapura Senapati Krodamaruta dari Calankayana bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Senapati Gopala Jayengrana yaitu putera Dewawarman VI yang keempat yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta ia merajakan diri menjadi penguasa Salakanagara.
Ahli waris tahta yang sah adalah Spatikarnawa Warmandewi puteri sulung Dewawarman VII. la belum bersuami. Karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekali pun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebahagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi Krodamaruta tidak lama berkuasa karena ia tewas tertimpa batu besar ketika berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi penguasa Salakanagara.
Kemudian Spatikarnawa Warmandewi dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya tahun 262 Saka (340 M). Dalam tahun 270 Saka sang rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut (senapati sarwajala) kerajaan Palawa. Lengkaradewi beserta suami dan puteranya datang di Rajatapura dalam tahun 268Saka (346 M) sebagai pengungsi karena negaranya telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.
Setelah pernikahannya, Rani Spatikarnawa Warmandewi memerintah bersama-sama suaminya yang sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya bewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348 -363 M).
Dalam masa pemerintahan Dewawaiman VIII kehidupan penduduk makmur-sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati.
Mata pencaharian penduduk ialah berburu di hutan, berniaga, menangkap ikan di laut dan sungai, beternak, bertanam buah-buahan, bertani dan sebagainya.
Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandra kapala) dan patung Ganesha {Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera, jauh dari kesusahan dan mara bahaya.
"Dewawarman VIII mempunyai putera-puteri beberapa orang. Yang sulung seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Puteri yang amat cantik ini kelak diperisteri oleh Maharesi Jaya singawarman Gurudarmapurusa atau Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.
Yang kedua seorang putera bernama Aswawarman. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga, penguasa Bakulapura. Kemudian dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga.
Yang ketiga seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keturunannya kelak adalah Sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain tinggal di Yawana dan Semananjung.
Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahanda-nya wafat ia menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara. Akan tetapi ia menjadi bawahan raja Tarumanagara karena kerajaan ini telah menjadi besar dan kuat. Demikian pula Sang Aswawarman menjadi raja yang besar kekuasaannya di Bakulapura.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Spatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua bernama Candralocana puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semananjung dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi pcnguasa di Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas selama 233 tahun (130 - 363 M). Dewawarman VIII dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
(Sumber: rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat - Kerta Mukti Gapuraning Rahayu).
Artikelnya menarik sob, hehe :) menelusuri jejak-jejak kerajaan di Jawa Barat memang cukup rumit, dari Salakanagara, trus ke Tarumanagara, trus Sunda, sampai dibawah penaklukkan Sriwijaya dst... tp dibalik kerumitan itu, disitulah letak kemenarikkannya, yg slalu menarik2 rasa penasaran saya hingga jauh dan jauh hehe... nice share and thanks :)
BalasHapus