Laman

Jumat, 22 Oktober 2010

Serat Niti Praja : Serat Nitipraja


Serat Nitipraja
(01)

Bagaikan tenggelam dilautan api, perasaan hatiku saat ini, ketika menuliskan serta ini, aku diberi nama Serat Niti Praja, maksudnya ingin menir para Pujangga, membuka pemikiran, setelah tiada nanti, memaksakan diri dengan bahasa indah, mengikuti orang-orang cerdik pandai, agar bisa digunakan teladan dan pedoman.
Diksiahkan dalam tembang ini, hidup ini seperti menempuh jurang yang dalam dan dataran luas, sungguh susah, demikian keras tantangannya. Karena itu, ingatlah segala kejadian wahai Pamong Praja, bulatkanlah tekad bersama rakyat dan para cendekiawan, bermusyawarahlah dengan baik, bersatulah dalam tujuan.
Sudah berubah zaman ini, hilang semua tatanan, orang yang tidak tahu akan nista jasadnya. Bagi yang tahu bagi kebajikan, jasadnya seperti intan, bersinas diatas batu. Karena itu latihlah sehari-hari, jangan pernah menyerah menghadapi bahaya, kuatkanlah jiwa ragamu.
Jika kamu menjadi Bupati, dekat dengan Raja, seperti Surya terangnya, tapi ingatlah selalu, tajamkanlah hatimu, jadilah seperti samudera, yang memuat apa saja dan menjadi muara, rakyatmu dan saudaramu, ketahuilah seperti daun hendak bertunas lagi, dimusim yang keempat.
Pujian, makian dan celaan dari orang lain, tahankan seperti dedaunan menahan air hujan. Sebaliknya buatlah agar mereka bergembira, beri sandang dan pangan, buatlah wanita merasa terhormat, sabdakan hal itu kepengikutmu, berlatih berbelas kasih dan suka berdema supaya manusia taat.
Dalam persidangan di hadapan Raja, jika dihadap dibalai Penangkilan lengkap seluruh menteri, jangan terburu engkau bersabda. Jika kamu tidak tegap duduknya, jalannya tidak mantab, maka akan kurang wibawa di depan punggawa, tatalah pandangan. Pandanglah dengan tegas tapi manis, bersabdalah dengan alunan jiwamu.
Pandanglah semua hadiirin, sebelum berkatapikirkan baik-baik, dari awal hingga akhir, duduklah dengan mantab, telitilah semua perkataan mereka, agar mendapat laporan yangbenar, karena jika tidak satu ketika akan meruntukan wibawamu.


Serat (Serat Nitipraja ) selanjutnya : Laporan Para Menteri

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi peradaban agar bisa terbaca anak-cucu…. Dari buku Kitab Jawa Kuno

Kamis, 14 Oktober 2010

Serat Panji Asmara Bangun : Buah perjuangan



Buah perjuangan
 (04)

Ketika Raja Kadiri  duduk di Sitinggil. Panji datang mempersembahkan kepala raja seberang yang dipenggal. Kepala raja itu kemudian dipertontonkan di atas tiang. Banyak harta rampasan yang dibagi-bagikan kepada orang banyak.
Dalam pada itu tibalah para pangeran dari Jenggala Manik. Disebutkan nama-nama mereka. Mereka itu membawa bermacam-macam kendaraan yang akan dipergunakan Panji dan anak buahnya, karena raja Jenggala Manik ingin melihat Panji kembali. Tapi para Pangeran harus istirahat sebentar.
Sang puteri dalam keraton bertanya kpada  dayang-dayangnya, bagaimana akhir pertempuran. Dijawab : Panji menang. Sang puteri dating kepada Panji. Panji berkasih-kasihan. Sadulumur hendak berkasih-kasihan pula seperti Panji, dipanggilnya seorang emban dan hendak diperkosanya.
Esok paginya Panji hendak bersiap-siap pulang ke Jenggala Manik. Bersama isterinya ia pamitan kepada raja. Serombongan besar rakyat jelata bergerak menuju jurusan Jenggala Manik, dimana raja sudah duduk menunggu diluar, dikelilingi oleh para pembesar. Setelah mendengan berita bahwa Panji dalam perjalanan, sang raja berangkat menyongsongnya. Setelah bertemu, mereka kembali ke paseban dan masuk ke dalam keraton. Seri ratu menyambut puterinya dengan isterinya. Kili-suci pun hadir.
Pada suatu hari, tatkala raja sedang duduk diluar, diperintahkannya Panji pergi ke kakeknya, raja Keling. Untuk itu banyak kapal disediakan. Setelah selesai semua, sang raja mengantarkan puteranya bersama anak buahnya ke pelabuhan, Panji naik kapal beserta isterinya. Setelah sampai di laut luas kapal terserang badai.
Para penumpang kacau balau. Kapal-kapal cerai-berai, bahkan terpisah. Candrakirana terdampar di Bali, sedangkan Panji hanyuk ke tanah Dayak. Di Jenggala Manik tersiar kabar, bahwa Panji beserta anak buahnya tenggelam ke dalam laut. Orang berduka cita di Jenggala Manik.
Narada datang kepada Panji dan menghiburnya. Orang suci itu menyuruh Panji memakai nama lain, yaitu Jayakusuma dan mengabdikan diri pada raja Urawan, ia harus mengatakan ia orang Dayak, Narada menghilang.
Panji member nama Jayaleksana kepada Punta, Jaya Sentika kepada Kertala dan Juda-pati kepada Pamade. Kebetulanketiga saudaranya itu tidak terpisah dari Panji. Atas usul Jayasantika mereka mula-mula akan menakhlukkan kerajaan Cemara. Rencana itu mereka laksanakan. Raja Cemara sedang duduk di Paseban, dikelilingi oleh para pembesar. Sekonyong-konyong dating orang mengamuk. Setelah bertengkar mulut, mulailah perkelahian.
Raja Cemara menyerah kepada Panji. Seorang saudaranya perempuan diserahkannya kepada Panji. Putri itu bernama Sureng-rana. Malam hari Panji berkasih-kasihan dengan isterinya yang baru.


Serat selanjutnya : Bejo-Sengara
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya”

Rabu, 13 Oktober 2010

Serat Nagri Ngurawan : Raden Wijaya

 Raden Wijaya
(02)

Astra Wijaya berjalan di suatu tempat yang bagus pemandangannya, digambarkan tanam-tanaman yang tumbuh disitu. Sambil duduk-duduk, Wijaya teringat pada Puteri Urawan dan kepada isterinya sediri. Mereka meneruskan perjalanan dan sampai di tanah yang datar.
Orang Urawan menyerang Wijaya. Tapi Wijaya dilindungi oleh tenaga-tenaga alam. Tiba-tiba mengamuk badai dan turun hujan. Guntur dan kilat sambung-menyambung. Binatang liar menerkam orang-orang dari Urawan. Semua itu adalah pertolongan dari Wasi curiga. Orang Urawan kocar-kacir. Ketika sampai di sungai Wijaya bertemu dengan isterinya. Setelah bercumbu-cumbuan mereka meneruskan perjalanan mencari Jaya Kusuma.
Saat ini diceritakan tentang raja Bali. Ia amat berkuasa, raja-raja seluruh Bang Wetan membayar upeti kepadanya dan menyerahkan anak gadisnya.
Pada suatu hari ia keluar di penghadapan, dikelilingi oleh orang-orang besarnya: Jaja-asmara, Taju dan Agung. Dilukiskan patih Taju, sifatnya yang serakah dan kekikirannya. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi kanjeng sinuhun raja. Takwil yang diberikan oleh patih Jajasemita tidak memuaskan kanjeng sinuhun.
Kepada Cau dan Agung lalu ditanyakan apa makna mimpi itu. Penjelasan yang diberikan oleh Agung akhirnya memuaskan bagi kanjeng sinuhun. Agung mendapat pujian, Cau iri hati. Untuk menyatakan perasaannya, ia mulai nembang nama burung, dipersambung-sambungkannya menjadi lagu. Saat ini Agung harus berbicara pula tentang sifat utama seorang raja. Agung melakukan yang demikian.
Gubernur pelabuhan datang menghadap tanpa dipanggil dan memberitahukan kepada raja desas-desus, bahawa sebuah tentara besar Urawan sedang dalam perjalanan menuju Bali. Panglimanya Jaja-kusuma, sudah tiba di selat Banyuwangi, tapi belum mempunyai kapal untuk menyeberang. Mungkin mereka akan merampas perahu-perahu.
Kanjeng sinuhun raja menyuruh disiapkan segala sesuatu dan mengundurkan diri ke dalam keraton. Orang pada bubar.
Dalam perjalanannya pulang ke keraton , Kanjeng Sihnuhun Raja lama berhenti di pintu gerbang untuk me;ihat-lihat perhiasannya. Keraton dilukiskan. Kemudian Kanjeng Snuhun menyuruh panggil para isterinya. Isteri-isteri raja berkumpul. Disebutkan nama-nama dan asal-usul mereka, seorang demi seorang. Setelah bberkumpul para isteri itu Tanya-bertanya, siapa yang sudah berkumpul dengan kanjeng sinuhun raja, tidak seorangpun. Para emban kemudian mempertanyakan tentang kenikmatan berkumpul.
Seorang emban yang diutus  oleh Kanjeng Sinuhun raja untuk memanggil para puteri muncul dan semua harus datang menghadapraja. Kanjeng Sinuhun bermain musik gamelan dengan para isterinya.
Musik gamelan ditabuh terus. Kemudian Kanjeng sinuhun bersetubuh seorang demi seorang. Tapi kemudian mendapat juga, yaitu bersama sekaligus.


serat Selanjutnya : Pantai Banyuwangi

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi peradaban agar lestari…. Dari buku Kitab Jawa Kuno

Selasa, 12 Oktober 2010

Serat Nagri Ngurawan : Hubungan Jawa dan Bali


Hubungan Jawa dan Bali
(01)

Pagi hari Raja Urawan keluar ke penghadapan. Para pembesarnya hadir semua. Miruda duduk didepan sekali. Tapi Astra Wijaya duduk di pojok, wajahnya suram. Jaya Kusuma duduk disamping Miruda. Raja berkata kepada Jaya Kusuma bahwa ia juga merestuinya. Tatkala ditanyakan, Surengrana menjawab, bahwa ia ikut dengan suaminya. Kemudian Jaya Kusuma berangkat ke Bali, barang, makanan, hadiah dari sang puteri pun ikut dibawa
Sang raja berkata dengan kiasan kepada patih, bahwa ia harus membinasakan Banteng yang merusak keraton, digambarkan rombongan Jaya Kusuma, yang duduk dalam sebuah kereta disamping istrinya.
Perintah kepada Astra Wijaya untuk pergi ke Bali dibatalkan. Ia diharuskan mengiringi tumenggung hingga ke sungai Batil. Hal ini dikatakannya kepada istrinya, yang memberinya peringatan supaya jangan pergi, sebab malam sebelumnya ia bermimpi buruk. Astra Wijaya tidak menurut perkataan istrinya. Istrinya bersedih hati dan hendak menceritakan, tapi ditinggalkan Astra Wijaya berangkat.
Setelah tiba disungai Batil, para pengiring pamitan dengan tumenggung. Jaya Kusuma pun pamitan dengan Astra Wijaya. Ia memperingatkan kepada Astra Wijaya supaya patuh kepada raja. Astra Wijaya menangis sambil sujud pada kaki Jaya Kusuma. Jaya Kusuma meneruskan perjalanan.
Astra Wijaya diawasi, orang menunggu menyerang, sampai ia menyeberangi sungai. Astra Wijaya membawa 40 orang anak buah, semua berani-berani dan setia kepadanya. Serangan dari pihak kaum Urawan dimulai, menyusul pertempuran hebat, orang-orang Urawan Kalah. Yang masih hidup lari-lari ke kota untuk menyampaikan kabar kekalahan merka kepada raja. Sang raja marah. Astra Miruda diperintahkan berangkat. Setelah tiba di pertahanan Astra Wijaya, ia memulai serangan. Astra Wijaya luka pada pahanya dan melarikan diri kedalam hutan. Miruda dan anak buahnya kembali ke kota.
Raja Urawan keluar di penghadapan. Sag patih dan Miruda menghadap menyampaikan laporan, bahwa Astra Wijaya kena luka dan melarikan diri ke dalam hutan. Sag raja memerintahkan segala hak milik Astra Wijaya kepada Miruda, disamping itu pula Miruda dijadikan Tumenggung.
Isteri Astra Wijaya melarikan diri hanya dengan seorang dayang-dayang dari kediamannya. Dengan penuh kegirangan Puteri Urawan mendengar, bahwa Miruda mendapat kemenangan yang besar. Astra Wijaya dengan ditolong oleh dua orang pembantu, yang masih setia mendampinginya, meneruskan perjalanan dalam hutan dan sampai di suatu pertapaan di gunung Wilis. Pertapa di situ bernama Wasi Curiganata, mereka mencari perlindungan kepadanya. Setelah beberapa minggu lamanya. Luka Astra Wijaya sembuh.wijaya serasa-rasa mengenali dalam diri Wasi saudaranya (sebenarnya keponakannya) yang bernama Raden Wanasari. Taapi pertapa itu tetap dalam penyamarannya. Atas Nasehat, Astra Wijaya harus menggabungkan diri dengan Jaya Kusuma, yang sedang dalam perjalanan ke Bali. Wasi mengajarinya tugas seorang abdi. Pada suatu hari Astra Wijaya minta ijin untuk pergi. Bertiga mereka meninggalkan pertapaan.

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi peradaban agar lestari…. Dari buku Kitab Jawa Kuno

Minggu, 10 Oktober 2010

Serat Nagri Ngurawan : Sureng-rana

Sureng-rana
(06)

Orang berusaha supaya Jayakusuma siuman kembali. Astrawijaya dan Miruda masih terus mengamuk. Diberi tanda untuk menghentikan pertempuran dari perkemahan Jayakusuma.
Astrawijaya dan Miruda mengundurkan diri dan mendapati Jayakusuma sedang dirawat. Puteri-puteri hasil dari rampasan segera jatuh cinta kepada Jayakusumawaktu mereka melihatnya. Sureng-rana menyerahkan mereka kepada Jayakusuma yang menanyakan siapakah perempuan-perempuan itu. Sureng-rana menjawab,”Isteri-isteri Raja Bali” jayakusuma bertanya selanjutnya : Siapa dari mereka yang pernah “melayani” Kanjeng sihuhun? Didapatnya pula jawaban , “Belum seorangpun, karena Kanjeng Sinuhun tidak mau dirapati oleh perempuan itu.”
Perempuan- perempuan itu dibuatkan tempat tinggalnya. Jayakusuma beristirahat di tempat Sureng-rana.
Raja Bali mengundurkan diri ke dalam Keraton, bersedih karena senjata musuh tidak dapat dikalahkan. Hal ini dikatakannya kepada Cau dan Agung. Selanjutnya Kanjeng Sinuhun Raja ining supaya Jayakusumandatang lebih dekat ke keraton, supaya dapat berkelahi dengannya di alun-alun. Cau dan Agung akan mengusahakan hal itu.
Saat ini Kanjeng SInuhun Raja hendak sembahyang. Tiba di sanggar (tempat sembahyang) ia bermeditasi.
Jayakusuma minta izin kepada Sureng-ranauntuk pergi sebentar. Tapi Sutreng-rana hendak turut serta. Jayakusuma lalu menidurkannya dengan sebuah lagu. Wanita-wanita yang lain mendengarnya dan cemburu kepada Surengrana, yang sementara itu tertidur.
Saat ini Jayakusuma pergi memata-matai Raja Bali. Ia tiba di sanggar dan memperhatikan Kanjeng Sinuhun Raja dengan teliti. Ia terpesna oleh keelokannya dan berkata dalam dirinya, “Sekiranya ia seorang perempuan.” Kemudian ditegurnya Kanjeng Sinuhun Raja, yang masih bermeditasi itu, katanya : Hentikanlah meditasi tuan dan katakanlah kepadaku apa mau tuan. Kecantikan? Tuan cantik. Kekuasaan? Tuan pun seorang raja yang berkuasa. Kekayaan? Tuan Kaya.” Kanjeng Sinuhun Raja terkejut dan bertanya, “Siapakah tuan, aku ingin melihat tuan.”
Jayakusuma, “Aku adalah dewa cinta.”
Raja, “Musuhku terlalu kuat, tolonglah aku.”
Jayakusuma, “Tuan harus menyerah saja kepadanya.”
Raja, “Aku malu berbuat demikian.”
Jayakusuma,”Tidak ada yang dapat mengalahkannya.”
Raja, “Siapakah Jayakusuma itu?”
Jayakusuma,”Dia adalah putra raja Dayak, ketika tiba di pulau Jawa, ia  mengabdikan diri kepada Raja Urawan.”
Raja, “Saat ini aku bertanya kepada tuan : Apakah kekasihku Pangeran Jenggala Manik, yangmendapat bahaya di tengah laut masih hidup?” dan seterusnya, dan seterusnya.
Kanjeng Sinuhun Raja menceritakan pengalamannya dan ramalan orang, bahwa ia akan bertemu kembali dengan kekasihnya setelah pertempuran di Bali. Dewa pura-pura itu meminta Kalpika kepada Raja. Dimintanya supaya Kanjeng Sinuhun memandangnya baik-baik dan Kanjeng Sinuhun pun –Candra Kirana- mengenal dewa itu sebagai suaminya.
Apabila Jayakusuma mendesak supaya ia menyerahkan diri, Kanjeng Sinuhun marah, dihunusnya, kerisnya dan ditikamnya. Jayakusuma berkali-kali, tapi ternyata Jayakusuma tidak termakan oleh senjata. Narada datang memisah dan mengakhiri perkelahian itu. Diperintahkannya supaya Kanjeng Sinuhun berpakaian lagi sebagai wanita. Panji dibawa ke keraton dan setelah keluar, ia berjalan bersama isterinya disampingnya. Narada pergi. Panji pulang ke keraton dengan isterinya. Mereka berkasih-kasihan dalam pertempuran kembali itu.
Mereka terus bercumbu-cumbuan.
Dengan cara ini, Candra Kirana ditemukan kembali. Saat ini Panjimenulis surat di daun Pandan dan meletakannya di tempat tidur Raja Bali. Setelah itu ia pergi dengan membawa isterinya, yang sedang tidur lelap, kembali ke perkemahannya. Diletakkannya isterinya ditempat tidur sendiri. setelah tiba diluar, diceritakannya kejadian-kejadian apa yang sudah terjadi. Mereka gembira sekali. Sekaten ditabuh, meriam ditembakkan. Sureng-rana terkejut, dikiranya pertempuran mulai lagi dania pun mengambil panah dan busur. Tapi Jayakusuma menceritakan kepadanya tentang kemenangannya. Sureng-rana marah kepada Jayakusuma,karena tidak meminta pertimbanngannya sebelum pertempuran terakhir. Sureng-rana kini pergi ke perempuan-perempuan lain untuk memberitahukan bahwa Bali sudah takluk. Pun dikatakannya, bahwa Kanjeng Sinuhun Raja adalah seorang perempuan, yaitu Candra Kirana, sekalian wanita itu keheran-heranan. Puteri Purwangga bersungut-sungut, “Kau rasakan saat ini, saat ini kau mendapat saingan yang besar.” Ini ditujukannya ke alamat Sureng-rana.
Dalam pada itu, Ekawarni datang kepada para Puteri, mengatakan bahwa mereka semuanya dipanggil oleh Jayakusuma. Sureng-rana marah : Dalam hal seperti itu semestinya soalnya harus diperiksa dulu baik-baik. “Sambil menangis Ekawarni kembali kepada Candra Kirana yang sedang duduk-duduk dengan Candra Kirana. Candra Kirana menghubur hatinya.
Sureng-rana dan perempuan-perempuan lain datang pada Sekar-Taji, yang tidak mau menyapa lebih dulu, karena keturunannya yang lebih tinggi, Sureng-rana menyampaikan salamnya. Para Puteri mengagumi kecantikan Candra Kirana. Inilah puncak kekuasaan dan kenikmatan Panji.
Kini diceritakan tentang keraton Bali. Orang mencari Kanjeng Sinuhun Raja, tapi tidak bertemu, yang ditemukan mereka ialah surat Jayakusuma, bahwa Kanjeng Sinuhun Raja sudah kutawan mala mini.” Orang Marah mendengar bunti surat itu.
Permudsuhan mulai lagi. Perang Jayakusuma berhadapan dengan Agung dan Cau dalam pertempuran.
Dalam perkelahian Panji mengenali Cau dan Agung sebagai Prasanta dan Sadulumur. Mereka girang semua. Tiga orang dikirim untuk mengambil harta rampasan. Panji mengundurkan diri bersama Candra Kirana.
Pertemuan diceritakan tentang sentanadalem-sentana dalem yang pergi mengambil harta rampasan. Mereka sudah kembali dengan banyak, yangharus dibagi-bagikab. Perempuan-perempuan yang hadir tidak sanggup melakukan pembagian itu. Hanya puteri Purwangga, Yudasmara, bersedia melakukan pekerjaan itu. Puteri Cangcangan memperingatinya, jangan sampai Sureng-rana marah, kalau pembagianitu tidak sesuai dengan kemauannya. Yudasmara menjawab, bahwa ia tidak takut kepada Sureng-rana. Dia mempunyai guna-guna, sumber belum. Jadi dialah yang melakukan pembagian itu. Bagian Sureng-rana disampaikankepadaya oleh Prasanta dan Sadulumur. Sureng-rana marah sekali, karena Puteri Purwangga berani-beraninya melakukan pembagian itu. Sureng-rana menyuruh kembalikan bagiannya, ia tidak mau menerima dan sebentar lagi akan datang sendiri untuk menumpahkan amarahnya kepada Puteri Purwangga. Sadulumur dan Prasanta membawa kembali bagian Surengrana.
Pada suatu temat Puteri Daha sedang dikelilingi oleh dayang-dayangnya. Prasanta dan Sadulumur datang dengan membawa bagiannya. Kepada Prasanta puteri Daha bertanya, “siapa yang melakukan pembagian?” Prasanta menjawab : puteri Purwangga, Candra Kiranapun tidakmau menerima bagiannya dan menyuruh antarkannya kembali. Hanya jika pembagiannya itu diurus oleh Surengrana, ia akan mau menerimanya.
Panji duduk bersama para sentana dalem.prasanta dan Sadulumur datang mengembalikan bagian Sekartaji dan Surengrana. Berkata Cangcangan, “Nah betul tidakkataku.” Entar sundal itu akan datang rebut-ribut lagi.”
Sesungguhnyalah setelah itu Surengrana datang dengan marahnya. Dilemparkannya sepotong barang didepan Panji sambil bertanya, “Mana perempuan sundal Purwangga itu?” akankuhantam dia dengan selopku!” Puteri Purwangga sendiri diancamnya, “Bicaralah kalau kau berani.” Panji dan dan sekalian yang hadir ternganga. Candra Kirana pergi. Seorang emban Surengrana dan seorang emban Purwangga, menyingsingkan kainnya dan saling menantang dalam bahasa melayu (cara lumaywa), “Mari beri sama satu, elu emban guwa emban. Mana rupanya si Anjing , embannya Putri Purwangga, mari sama goco(a)n, tidak takut sama elu, sama anak ki lurah Cakrajaya ang.” Tapi mereka dipisahkan oleh emban Putri Cangcangan, yang berkata, “Jangan gusar encik encong, tidak baik orang gusar, sama-sama saudara, saya ini sudah teluk, sama emban mipro besar.”
Panji minta maaf atas kejadian ini oada candra Kirana, yang memandang embannya. Embanya itu mengerti dan berkata kepada Panji, “Buat Putri kami itu  tidak apa-apa, tuan hibur sajalah tuan Surengrana, kalau dia sudah terhibur putrid kampi pun tidak akan marah lagi.” Lalu Panji pergi menemui Surengrana.
Setelah bertemu,Panji mendapatinya masih terus merengut. Panji memeluknya tapi ia meronta. Panji minta maaf kepadanya. Ia menghiburnya dan memberikan bagiannya. Selanjutnya ia berkata kepada orang yangmembawa bagian itu, bahwa bagian Surengrana tidak boleh disentuh kecuali olehnya sendiri. panji pergi dan menemui Candra Kirana untuk mengatakan Surengrana sudah terhibur hatinya. Saat ini bagian Candra Kirana dijemut pula.
Surengrana duduk seorang diri dirumah. Berturut-turut datang kepadanya para sentana dalem untuk mempersempahkan hadiah-hadiah sahaya perempuan, yaitu pemberian mereka sendiri. surengrana mengucapkan terimakasih dan memberi mereka masing-masing sebuah dodot. Selanjutnya para sentana dalem itu dijamunya dengan makanan yang lezat-lezat.




Serat Selanjutnya : Ekawarni

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi peradaban agar lestari…. Dari buku Kitab Jawa Kuno





Rabu, 06 Oktober 2010

KERAJAAN SUNDA


KERAJAAN SUNDA

Situs peninggalan kerajaan Sunada
 
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang).

 Etimologi
Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda" tersebut itu Banten. Di sekitar tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama "Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan yang letaknya paling barat di pantai utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu ke Banten. Peta Portugis yang paling lama mengenai kawasan ini menyebut "Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda", kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten sekarang.
Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat. Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh". Gambar ini sama dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.
Prasasti Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang "raja Sunda" menduduki kembali tahtanya. Penggunaan bahasa Melayu ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya. Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.
Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Historiografi

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:

Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Prasasti Batu Tulis
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda.
Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Ruguamengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
Ini adalah salah satu makam anggota kerajaan sunda yang bernama kerajaan  Galuh,
terletak di dalam hutan Ciung Wanara, Ciamis, Tasikmalaya. 
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan di masa Pires Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.
Berdiriya kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Federasi antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dariSaunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguhdari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
 Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Prasasti Kawali
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaranruntuh.
Arkeologi
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.


Prasasti Kerajaan Sunda Ada di Ciamis

SITUS Astana Gede Kawali, di Kabupaten Ciamis, merupakan prasasti yang mampu mengungkap Kerajaan Sunda yang sempat berdiri dan berkuasa, terutama di wilayah Priangan Timur.
Nama-nama raja yang sempat berkuasa di Tatar Sunda semuanya sudah terangkum dalam batu bertulis yang kini masih berdiri tegak di Astana Gede.
Terletak di kota Kawali, Situs Astana Gede yang memiliki nilai sejarah kini nyaris terlupakan dan tak terurus. Pemda Kabupaten Ciamis kehilangan rasa untuk mempromosikan obyek wisata ini supaya bisa dikenal pengujung.
Keengganan pemda merias obyek sejarah ini, terbukti dari jumlah pengunjung yang semakin hari terus menurun. Ditambah, tak sedikit masyarakat Tatar Sunda tak mengetahui secara pasti mengenai hubungan Situs Astana Gede dengan kondisi Kerajaan Sunda tempo dulu, termasuk hubungannya dengan Kabupaten Ciamis.
Mahayuna hayuna Kadatuan… Pakena Gawe …. Jaya dina Buana.” Itulah ungkapan kalimat berbahasa Sunda kuno yang kini dijadikan lambang keagungan Kabupaten Ciamis.
Semboyan kalimat yang hingga kini terus menempel di lambang DT II Ciamis merupakan lambang yang diambil dari penggalan kalimat yang ada di Prasasti Astana Gede.
Melihat fakta sejarah seperti itu, sangat pantasn jika Pemda Kabupaten Ciamis terus melakukan promosi mengenai obyek wisata sejarah tersebut.
Berdasarkan sejarah, tahun 1333-1482 Masehi, di kota Kawali berdiri Keraton Kerajaan Sunda yang diberi nama Keraton Surawidesa, dengan Raja Wastu Kancana.
Kabar ini pun tertulis di prasasti Ciaruten Bogor dan prasasti Kebantenen yang menyebut-nyebut nama Rahyang Niskala Wastu Kancana.
Raja ini meninggal di Nusa Larang, yang kini makamnya ada di Nusa Gede di tengah-tengah Situ Panjalu.
LIMA KERAJAAN SUNDA
Dalam sejarah Kasundaan, ditegaskan, ada lima kerajaan Sunda besar di Jawa Barat. Di antaranya Kerajaan Salakanagara di Pandeglang Banten (130-360 M), Kerajaan Prabu Lingga Buana. Raja ini memiliki empat putra, dan yang hidup hanya dua masing-masing seorang putri bernama Dyah Pitaloka atau Citraresmi, sedang seorang lagi bernama Wastu Kencana (bungsu).
Citraresmi, seorang perempuan yang cantik jelita diam-diam akan dipersunting Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit.
Ketika keluarga kerajaan Kawali akan mengantar puterinya ke Majapahit, di luar dugaan ketika tiba di Tuban, Kerajaan Majapahit yang dipimpin langsung Patih Gajah Mada, tiba-tiba menyerang rombongan dari Kawali hingga semuanya tewas.
Selang beberapa hari, abu petinggi kerajaan termasuk Citraresmi dikirim ke Kerajaan Kawali. Sejak itulah, Prabu Lingga Buana bergelar Prabuwangi. Penyerangan yang dilakukan pasukan Majaphit berdasar para ahli sejarah akibat adanya perbedaan budaya.
Rombongan penganten dari Kawali yang akan mengantar pernikahan puteri raja Dyah Pitaloka dalam bentuk seserahan disalahartikan oleh pasukan Majapahit.
Pihak Majapahit menyangka rombongan itu akan menyerang kerajaanya, hingga pasukan dari Kawali pun disikat habis. Saat petinggi kerajaan Kawali meninggal, tampuk pemerintahan diambilalih Mangkubumi Soradipati (1357-1371 M).
Kemudian kursi kerajaan pun diberikan ke Wastu Kancana (1371-1475 M). Raja ini berkuasa hampir 127 tahun. Perjalanan kerajaan Kawali semuanya tersirat dalam prasasti yang kini ada di Astana Gede.
BATU TELAPAK KAKI, Obyek wisata yang bisa dilihat di antaranya dua buah prasasti besar, batu telapak kaki dan tangan, tiga buah batu mahir, tiga makam raja, dan 400 meter ke arah utara terdapat kolam kecil berair bening yang disebutkan dalam sejarah tempat mandinya keluarga raja.
Kolam kecil yang terkenal dengan sebutan Cikawali, dari dulu hingga sekarang debit airnya tak pernah menurun alias tetap.
Merunut perjalanan sejarah, kerajaan Kawali merupakan tempat wisata yang memiliki nilai sejarah cukup besar. Sayang, tempat ini kini nyaris terlupakan dan generasi muda saat ini banyak yang tidak tahu perihal Prasasti Asatana Gede.
Tempat sejarah ini kini nyaris terlupakan dan hanya dikunjungi wisatawan ketika Lebaran tiba. Padahal obyek ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obhek wisata yang berani bersaing dengan objek wisata sejarah lainnya yang ada di Indonesia. Siapa yang bersalah? Wallohu alam.
Yang jelas bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui sejarah termasuk melestarikannya.
Untuk menikmati hutan seluas 4 hektar, pengujung bisa menggunakan kendaraan roda dua dan empat. Setelah tiba di kota Kawali, kita tinggal meneruskan perjalanan menuju Astana Gede yang hanya berjarak 1 km dari kota Kawali ke arah selatan
.

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1)            Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2)            Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3)            Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4)            Rakeyan Banga (739 - 766)
5)            Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6)            Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7)            Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8)            Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9)            Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10)        Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11)        Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12)        Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13)        Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14)        Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15)        Munding Ganawirya (964 - 973)
16)        Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17)        Brajawisésa (989 - 1012)
18)        Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19)        Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20)        Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21)        Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22)        Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23)        Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24)        Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25)        Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26)        Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27)        Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28)        Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29)        Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30)        Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31)        Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32)        Prabu Bunisora (1357-1371)
33)        Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34)        Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35)        Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36)        Prabu Surawisésa (1521-1535)
37)        Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38)        Prabu Sakti (1543-1551)
39)        Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40)        Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

 Hubungan dengan kerajaan lain

Singasari

Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.

Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).




Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang

ADALAH seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Secara luar biasa, ia mencatat lebih kurang 450 nama geografis yang masih banyak dapat dikenal hingga sekarang. Catatan dalam lembar-lembar lontar yang sekarang tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris itu, diakhiri dengan suatu persiapan perjalanan spiritualnya ke Nirwana, di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur.
Dari beberapa penggalan sajaknya, di antaranya ia menulis sebagai berikut,
Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ ser mangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing / padanan deung pakayuan dan seterusnya.
Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu, tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Situs tersebut merupakan suatu "bangunan" yang disusun dari tumpukan kolom-kolom bebatuan yang dibangun berundak-undak, berada di puncak bukit kecil yang dikenal sebagai Gunung Padang.
Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli Arkeologi sebagai situs Megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini, sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari jalan negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi kendala pertama para calon pelancong.
Mendekati lokasi situs, kendala lain sudah menghadang pula, tidak adanya penunjuk arah menuju lokasi situs, dan jalan perkebunan teh yang rusak atau berlapis batu tajam. Menyadari banyaknya kendala pengembangan di balik potensi wisata yang luar biasa ini, Balai Pengelolaan Purbakala dan Nilai-nilai Sejarah Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, pernah mengadakan kegiatan positif berupa "Bakti Wisata" yang diikuti oleh masyarakat dan mahasiswa. Kegiatan itu, diharapkan dapat merintis pengembangan ke arah wisata yang lebih baik dan menarik perhatian serius penanganan situs yang menjadi jalur budaya Megalitik Asia-Pasifik ini (Pikiran Rakyat, 26 Mei 2005).
Tetapi, bagi para pelancong yang ingin mendapatkan nilai lebih dari aktivitas berwisatanya, rasanya kendala tersebut justru menjadi bagian dari perjalanannya yang akan menjadi catatan pengalaman yang mengasyikkan.
Batu Andesit Basaltis
Situs arkeologi ini, sebenarnya sangat menarik pula jika dipandang dari sudut geologi. Hal ini karena batu penyusun konstruksi situs, dari segi geologi mempunyai cara terbentuk yang khusus. Selain itu, secara geografis, posisi Gunung Padang terhadap gunung-gunung lain di sekitarnya, terutama Gunung Gede, mungkin dijadikan kriteria pemilihan bukit oleh arsitek prasejarah pembangun situs ini.
Jika kita telah mencapai situs ini, kesan keagungan dan kehebatan masyarakat purbakala langsung menyergap suasana. Perasaan ini begitu kuat ketika sampai di pelataran pertama setelah mendaki tangga-tangga batu setinggi lebih kurang 30 meter dengan kemiringan hampir 40 derajat. Batu-batu berbentuk kolom poligonal ini, dipasang melintang sebagai tangga sejak kaki bukit. Di puncak bukit, pada pelataran pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri,
Sehingga benar-benar seperti suatu tempat check in.
Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu. Banyak kolom batu mempunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan permukaan yang halus. Orang awam, bisa terkecoh menganggap batu-batu ini adalah buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses alamiah bisa membentuk kolom batu yang berpermukaan halus dengan sendirinya.
Kolom batu poligonal terbentuk ketika aliran magma membeku. Sama halnya dengan terbentuknya retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering. Begitu pula yang terjadi pada cairan magma yang mengalir ke luar permukaan bumi sebagai aliran lava. Ketika membatu, proses-proses fisik akan membentuk suatu retakan-retakan pendinginan berbentuk kolom-kolom poligonal tersebut.
Proses demikian, adalah proses yang sama yang membentuk tangga-tangga segi enam raksasa di Irlandia yang terkenal sebagai The Giant Causeway, atau kolom-kolom tinggi di Devil's Tower di Ohio, Amerika Serikat, atau kolom batu yang menghiasi dinding-dinding galian batu di G. Selacau dan Lagadar, Cimahi Selatan. Semuanya terjadi pada saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya berjenis batu andesit atau basaltis.
Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21 juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Dengan sangat cerdas, arsitek Megalitik yang diperkirakan hidup sekira 2.000 - 1.000 tahun yang lampau, telah memilih tempat yang cocok dari sisi ketersediaan sumber daya batu in-situ.
Mengarah ke Gunung Gede, ketakjuban kita terhadap hasil karya para leluhur masyarakat Jawa Barat purbakala itu, akan semakin bertambah ketika kita terus mengamati susunan batu demi batu, serta lingkungan sekitarnya. Sang arsitek telah memilih bukit ini, mungkin dengan survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh. Pemilihan bukit sedemikian rupa, sehingga selain adanya sumber batu yang tersedia untuk membangun tempat pemujaan ini, arah memanjang situs begitu tepat menghadap ke arah Gunung Gede (elevasi 2.958 m)!
Persis arah 10 derajat utara-barat pada kompas, panjang situs tepat mengarah ke gunung yang memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh masyarakat Kerajaan Pajajaran. Gunung Gede, mungkin juga di anggap sama suci dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Menariknya, dengan latar belakang Gunung Gede yang jauh di utara, situs ini juga menghadap terlebih dahulu pada satu bukit yang bernama Pasir Pogor di depannya.***

Siapa yang menghargai sejarah kalau bukan kita