edisi: 006
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
SATU
SAMPAI menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah
Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan
meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati
hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati
permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut
mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana
Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan kursi paling depan,
tepat dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana
Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning
Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah
dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana
perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam pesta
perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta
perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulangtulang
sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang.
Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang
tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan
Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal
menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri
masing-masing berdiri dari kursi mereka dan disertai beberapa orang
lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam
rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah,
dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat
ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyibunyian
dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak
pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi
manusia tadi melompat ke atas taron tanpa menimbulkan suara
sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser!
Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi.
Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu
terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal
itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga
menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam
dengan bunga besar-besar berwarna kuning. Pada belakang kain penutup
kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh
seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali.
Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak.
“Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan
batang lehermu!”
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak
suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta membuat liang
telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal
tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang
duduk terhenyak tidur di kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si
jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.
Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri pemuda di atas taron itu
berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka suasana itupun mendadak sontak menjadi gempar penuh
ketegangan. Yang memiliki senjata segera menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke
dalam, cepat!”
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula pada istrinya, “Wiri,
cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”
Rana Wulung yang memang pernah mendengar dan mengetahui
siapa adanya manusia bergelar “Pendekar Pemetik Bunga” itu segera
memegang lengan istrinya lalu membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah
Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.
Namun baru saja mereka bergerak satu langkah, pemuda jubah
hitam di atas taron membentak garang.
“Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti mampus!”
Semua yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah kea rah panggung,
besannya – Rantas Madan – memegang lengannya dan berbisik, “Jangan
tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan
berbahaya. Biar aku yang bicara…”
Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas Madan maju ke depan
panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin.
“Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga.
Kalau kau ke sini hendak memberikan restu ucapan selamat keada puteri
dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima kasih.”
“Ah..,” Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka dada
kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam
karena tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya kedua matanya
memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung
bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang tua, kau sedikit lebih ramah dari besanmu,” kata Pendekar
Pemetik Bunga pula.”Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih
ucapan selamat tapi sebaliknya.”
Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelakgelak.
“Aku datang untuk menjemput puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia
sudah ditakdirkan menjadi milikku!”
Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar
Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan.
Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak dapat lagi menahan hati dan luapan
amarahnya.
“Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan
batok kepala sintingmu itu!”
Pendekar Pemetik Bunga mendengus.
“Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!”
bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Lakilaki
ini tidak memiliki ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu
kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar dia sudah menjajakinya sampai
tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya melompat ke
atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga
menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah
melihat dan mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung hanya memiliki
ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak lantai panggung,
begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu
silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun serangan yang
dilancarkannya menimbulkan angin deras.
“Huh, segala silat picisan. hendak diandalkan!” ejek Pendekar
Pemetik Bunga. “Makan sikutku ini, Ki Lurah!” Manusia ini kelihatan
menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar suara, “ngek!”
Suara itu keluar dari mulut Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini
terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus
jatuh ke bawah panggung bersama alat bunyi-bunyian itu dengan
menimbulkan suara hiruk pikuk.
Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak bangun lagi alias
pingsan. Dua tulang iganya telah hancur remuk di makan sikut Pendekar
Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.
Tapi sebelum dia bergerak, mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat
memegang bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke
panggung tapi di atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadaphadapan
dengan Pendekar Pemetik Bunga!
“Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng Comal dengan mempergunakan pukulan gong menyerbu ke
muka. Pemuda yang diserang rundukkan kepala. Begitu pukulan gong
berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng
Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat serangannya lewat
serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap memiringkan
tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong
pukulan lawan!
Secara ilmu luar, memang walau bagaimanapun kepalan tak akan
menang melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya bagi seorang yang
menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut yang
keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak
menarik pulang serangannya!
“Ageng Comal!! Lekas tarik tanganmu!” teriak seorang dibawah
panggung berteriak memberi peringatan.
Tapi, “Braak!”
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit. Tubuhnya terguling
pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung lututnya hancur, kakinya
sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka pucat den semua mulut melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di atas panggung itu
merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkahpun!
Di lain kejap seorang lain telah melompat pula ke atas panggung.
Orang itu adalah Rantas Madan yang sudah sejak tadi tak dapat lagi
menahan hati panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang
tua itu.
“Kau juga mau cari penyakit hah?!” hardiknya.
“Selagi masih ada waktu berlututlah minta ampun! Hukumanmu
pasti kuperingan!,” kata Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga tertawa
mengekeh.
“Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja
ditantang demikian rupa membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin
berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki ini yang
pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka.
Dalam jarak satu meter saja serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran
yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.
Yang diserang maklum bahwa lawannya yang seorang ini berbeda
dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya tadi,
Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan melambaikan tangan
kirinya ke muka. Setiup angin keras yang menggetarkan panggung bersuit
memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta merta
buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima
tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan cekatan Ki I.urah Rantas Madan jungkir balik di udara
kemudian dengan gerakan kilat menukik dan menghantamkan tangan
kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik Lembah!”
Pemuda bertempang gagah tapi buas garang itu terkejut sekali
sewaktu merasakan angin panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia
rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan pukulan jarak
jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke
atas, melabrak dan membobolkan atap panggung, lenyap dari
pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya sembilan
tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih
dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan
beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten
perempuan itu hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung den
seorang lainnya, menahan mereka.
Rana Wulung seorang pemuda terpelajar yang tak kenal satu jurus
ilmu silatpun! Namun menyaksikan kematian ayah serta mertuanya itu
gelaplah pemandangannya! Keris perhiasan penganten yang tersisip di
pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya
hampir terserandung!
“Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan minta digebuk?!” teriak
Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh kau keparat!” bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di
tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada
Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang
dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah
dan jari telunjuk tangan kanannya!
Suata tertawa Pendekar Pemetik Bunga kernudian terdengar
mengumandang diseantero panggung. Kemarahan dan sakit hati Rana
Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke
muka.
“Edan betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Masih tak melihat
tingginya gunung dalamnya lautan!” Dan manusia ini segera menyongsong
serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang yang mengetahui sedikit ilmu silat,
dalam posisinya seperti saat itu sebenarnya dia masih sanggup dan punya
kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke
samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang persilatan dan
kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin dekat
menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi pasti robeklah perut Rana Wulung. Ning
Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian jatuh
pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun
yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana Wulung bakal
menemui kematiannya pada hari pernilahannya itu!
Tapi....
-- == 0O0 == --
lanjutannya downlod sendiri ya..... Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga-WiroSableng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar