Jumat, 06 Mei 2011

Candi Tugu

Satu Batas daerah kekuasaan kerajaan besar Majapahit dan Pajajaran Sebagai sarana perdamaian dua kerajaan besar di tanah jawa yang berdampinan Padjajaran dengan cinta kasihnya Majapahit dengan hegemoni kekuasaannya...


Setelah Makam ada gang masuk....
Candii ini melalui gang ini...
(TANPA ADA PAPAN PETUNJUK---gmn nic pemkot smg??!!)
Candi Tugu ini berada pada Jalan Mangkang KM 11, sekitar 2 km dari IAIN Walisongo, arah Semarang Jakarta berada di sisi kanan jalan, atau beberapa ratus meter saja dari RSUD Tugurejo..  tepatnya di belakang makam. Apabila anda tertarik ke Candi Tugu ini, dari arah Kalibanteng ataupun dari terminal Mangkang sangat mudah dijangkau, kalau dari kalibanteng setelah RSUD Tugu maju lagi 200m, apabila di sebelah kanan makam, maka anda sudah sampai. cari saja tempat untuk memutarbalik....., Kalau dari terminal mangkang langsung saja berhenti di depan makam (jalan yang agak menikung) tepatnya Kuburan Lanji terletak di desa Jrakah Kecamatan Tugu Semarang. Hanya 200m dari jalan raya Jakarta-Semarang. dari Jauh sudah terlihat keberadaan Candi Tugu ini, karena terletak di bukit yang tinggi....menjulang-- Kesan magis, (merinding...) langsung terasa saat melewati jalan di samping makam ini, seperti cerita masyarakat sekitar yang berkembang memang makam ini keramat. Cerita yang turun temurun Makam Lanji ini merupakan makam kuno yang sudah ada sejak zaman majapahit-padjajaran, karena dulu merupakan tapal batas kedua kerajaan yang dimakamkan disini pun para punggawa perbatasan kedua kerajaan yang meninggal saat bertugas di tempat ini. 
        Pada sekitar tahun tujuh puluhan Kuburan Lanji dibongkar untuk pembangunan Pabrik Baja. Sehingga hampir semua tulang belulang dipindahkan. Sebagian ke makam Krajan Jrakah dan yang lainnya dimakam Pelem Kerep Utara. Nah saat pemindahan makam tersebut. Ternyata banyak makam yang tidak bisa dipindah karena masalah non tekhnis. Banyak kuburan yang tidak bisa dibongkar, sampai ada cerita tentang orang tua berjubah putih yang menunggui dan tidak ikhlas untuk dipindahkan.Mbah Lebe (Mbah Syamsudin) adalah perangkat desa Jrakah saat itu yang pernah diserahi tugas oleh almarhum pak H. Rabon Barokah Kepala Desa yang menjabat saat itu ketika proses pemindahan bila ada masalah diluar nalar menuturkan, saat penggalian beliau pernah menemukan beberapa logam kuning layaknya emas dibeberapa makam, seperti kembang pentul rambut, ikat lengat layaknya wayang orang dan lain sebagainya.
Jalan Masuk.... Candi Tugu
halaman candi tugu
Tidak ada tempat parkir disini, tapi ada rumah penduduk yang saat itu bersedia saya titipi parkir sepeda motor, dan tanpa diduga, ada 2 anak kecil yang minta uang parkir... kaget tapi agak lucu juga.... dasar preman junior, minta uang tapi alasan parkir.... (kok bisa?) lha wong buat parkir kok minta didepan bayarnya, suruh jagain ga mau, alasannya mow ngaji... ya sudah.... Rp. 1000,- untuk anak kecil itu...
Setelah kelar parkir motor.... Langsung tancap gas.... tidak sabar untuk 'eskplor' candi ini, disambut 65 anak tangga yang lumayang tinggi (tinggi satu anak tangga 20cm...
Membutuhkan energi ekstra + Sepadan dengan Pemandangan yang tersaji
saran saya untuk membawa bekal terutama air mineral.... (hehehe lumayan 'ngos-ngosan'...
Ada 5 bangunan, yang terpenting adalah Tugu Tapal batas ini, kemudian ada 1 candi utama, 2 candi pintu gerbang dan gua (tempat semedi)
Bagian 1. Watu Tugu, yang tingginya 2x orang dewasa ini, pada era penjajahan belanda, tahun 1938 (atas masukan Sejarawan J Knebel) diadakan pemugaran terhadap situs ini, lalu dibawah situs tersebut dan diletakan prasasti dengan tulisan belanda dan jawa dibawahnya. Dan tahun 80-an, candi ini kembali direnovasi oleh pemkot kota Semarang.... sayangnya saat ini candi ini mulai dilupakan!
Bagian 2. Pintu Gerbang Utara
 Setelah Berjuang cukup keras...(1 botol air mineral kandas) sampailah ke pintu gerbang Candi Tugu sebelah Selatan.... Kekecewaan ata apa yang terlihat langsung menyeruak.... banyak coretan coretan yang tidak bertanggungjawab. Vandalisme modern seakan menjadi budaya, siapapun yang kesini berebutan tidak mau ketinggalan untuk memberikan coretan,.... padahal apa yang di hasilkan dari coretan itu? kenangan? BODOH kalau orang berpikir demikian, yang diakibatkan tentunya adalah Ketidaknyamanan....Candi yang seharusnya menjadi warisan budaya malah menjadi sarana ekspresi ugal-ugalan.... sangat disayangkan perilaku masyarakat kita.....
Kapan ya ada bersih candi Tugu....Pingin Ikut....

Pemandangan dari sini cukup mengagumkan,
sayangnya terganggu tangan tangan  bodoh  tak berguna
Bagian 3. Pintu Gerbang Barat
Uang mengalahkan Segalanya...
Keindahan yang tertumpas oleh kekuasaan
Lebih Tragis...... atas nama kapitalisme, atas nama uang Candi ini dikorbankan, siapapun pemilik tanan di sebelah candi tugu (siapa lagi kalo bukan Pemkot Semarang? kalo memang milik pribadi kenapa tdk di bebaskan untuk kepentingan budaya dan wisata????!!!!), bagaimana tidak.... disebelahnya adalah warisan budaya, sejarah yang bernilai tinggi, di eksploitasi untuk ..pengambilan dan pemecahan batu....
Ironi ditengah perkembangan jaman.....
Kalau melihat kemampuan Pemkot Semarang mengelola Sam Poo Koong.... cukup berhasil, walaupun peran tidak sepenuhnya, akan tetapi saya pikir pemkot juga bisa memaksimalkan potensi sejarah yang ada di candi tugu untuk wisata budaya...
Belum ada 5 menit, sudah terlihat polusi debu yang dihasilkan pabrik pengeruk uang disebelah candi ini, belum lagi polusi suara yang dibunyikan mesin pemecah suara. Kamera yang saya bawa juga bayak menempel debu, 
Masih Diamkah kita??????


Bagian 4. Goa 
Di sebelah timur, candi ada Goa yang dijadikan tempat untuk berSemedi. Kesan tidak terawat langsung terlihat, banyak coret-coretan di dinding goa. Kadang -kadang, Jika Malam jumat kliwon/Malam suro tempat ini masih sering digunakan untuk tempat beribadah, dengnan banyak ditemukannya sisa-sisa pembakaran kemenyan. 


  Bagian 6. Candi Utama

Bila anda telah sampai lokasi situs melalui pintu utara dari arah makam maka perasaan akan bercampur aduk. Indahnya lokasi situs, anggunya bangunan, suasana dan hawa magis menyengat menjadi satu. Watu/ batu tugu bertengger dipondasi prasasti Kolonial berada disebelah paling barat, atau paling depan bila lewat pintu barat. Pondasi prasati sebelah selatan berhurufkan Jawa (Hanacaraka). Sedang bagian timur berbahasa Belanda. Disebelah Watu/ Batu Tugu bertengger Candi Hindu hasil pugaran Pemerintah kota Semarang diawal tahun delapan puluhan. Candi menghadap arah barat menyongsong datangnya sinar matahari tersebut terlihat indah dengan ornamen pahatan batu berbentuk kepala naga pada tangga naik. Pada kanan dan kiri pintu masuk candi ada pahatan dewa-dewi. Dinding utara, barat dan 


selatan juga dihiasi ornament/ pahatan para dewa. Tercium bau kemenyan dan bunga pada dalam candi. Menurut warga sekitar, pada hari-hari tertentu biasanya digunakan untuk ritual kepercayaan oleh orang luar daerah dengan pakaian jubah putih dan kuning ala Saolin.
Arca berbentuk Gajah
Dengan kondisi yang memprihatinkan, Bagian Kepala dibawa oleh tangan penjahat yang tidak beradab....
Tempat  dupa/kemenyan
 Tulisan -tulisan ini menunjukkan orang yang pernah kesini tidak menghardai peradaban manusia...
Sambutan di Pintu Gerbang Candi Tugu....Butho



Beristirahat melepas penat, ditempat ini terasa nyaman, semilir angin yang  sejuk, pemandangan indah terbentang di depan mata, pantai, gunung dan segala aktifitas di jalan raya terlihat disini.....
Sampai ketemu di Tempat tempat lain yang   menyimpan seni budaya leluhur bangsa kita....
wassalam.....

Kamis, 05 Mei 2011

Kolam Segaran

 Kolam Segaran...

Setelah berkeliling di beberapa tempat di Trowulan, tujuan selanjutnya adalah salah satu hasil peradaban dan pemikiran dari orang-orang pada majapahit... Sebuah teknologi yang beragam mafaatnya. yang paling mengagumkan Majapahit sudah memiliki cara untuk mengatur suhu udara, seperti yang diketahui suhu di Majapahit/Trowulan/Mojokerto lumayan panas..

     
Kolam segaran merupakan bangunan kolam kuno terbesar yang mencerminkan kemampuan Kerajaan Mojopahit beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut cerita kolam ini digunakan untuk rekreasi dan menjamu tamu-tamu Kerajaan Mojopahit.
Terletak tidak jauh dari kantor Kecamatan Trowulan, tepatnya di Desa Trowulan Kabupaten Mojokerto, situs yang paling gampang untuk dikunjungi dari semua situs Majapahit yang terdapat di daerah ini, tepatnya 500 meter ke arah selatan dari Jalan Raya Propinsi Mojokerto Jombang. Merupakan kolam purba peninggalan pada masa Kerajaan Majapahit, 7 abad yang silam.
       Kabar burung yang beredar, terkadang diantara para pemancing/penjala ikan di Kolam Segaran ini, pernah menemukan piring dan sendok emas di dalam jaring. Sayangnya, ketika benda itu akan diambil tanpa lambaran ilmu, tiba-tiba lenyap. Mereka yakin, piring dan sendok emas itu benda gaib peninggalan Majapahit masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Kata nelayan setempat, sering sekali jaring yang mereka tebarkan ke kolam menyangkut benda keras. Ketika diangkat, ternyata piring dan sendok emas yang berkilau ditimpa rembulan.Minggu Siang yang terik ini saya berkesempatan berkunjung kesana, terlihat puluhan orang duduk di pinggir kolam raksasa atau yang biasa disebut Kolam Segaran, terlihat pancing yang mengarah ke kolam, dan bungkusan yang berisi umpan ikan, tak jarang diantara mereka rela datang subuh hanya untuk memancing atau menjala, walau ikan yang terdapat dikolam tidak begitu banyak.
Konon, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengadakan pesta besar karena kedatangan duta dari Tiongkok, angkatan perang negeri Tartar. Raja menyuguhkan hidangan dengan perkakas dari emas, mulai nampan, piring sampai sendok. Para tamu puas dan menilai, Majapahit memang negara besar yang patur dihormati. Setelah pesta usai, sebelum para tamu pulang, Hayam Wuruk ingin memperlihatkan kekayaan kerajaan yang terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi. Semua perkakas dari emas itu dibuang ke Kolam Segaran, tempat dimana pesta itu dilangsungkan. Karena benda-benda itu terkubur begitu lama, keberadaannya dikuasai makhluk gaib. Untuk mengangkat harta karun itu bukan persoalan gampang karena harus berhadapan dengan lelembut yang menguasai benda-benda tersebut
Percaya atau tidak itu tergantung dengan anda, daripada pusing mikirin bongkahan atau cuilan emas, memang lebih baik berusaha untuk mendapatkan ikan yang besar, inilah pendapat beberapa pemancing yang dapat anda temui disana.
Jadi ingin Memancing juga....siapa tahu beruntung bisa bawa pulang sendok emas....herhehehe
Menurut buku panduan yang saya beli di Candi Wringin Lawang, KOLAM SEGARAN pertama kali ditemukan oleh Ir. Mac Lain Pont pada tahun 1926 ini yang berukuran panjang 375 meter, lebar 175 meter, tebal tepian 160 centimeter dengan kedalaman 288 centimeter, selalu dipenuhi air ketinggian 150 hingga 200 centimeter selama musim penghujan. Menggunakan konstruksi batu bata sebagai pembatas kolam, dan uniknya batu bata tersebut ditata sedemikian rupa tanpa perekat hanya digosok gosokan satu sama lainnya. Sumber air kolam didapat dari saluran air yang masuk kekolam dan air hujan. Diduga dulunya kolam ini juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air, merupakan wujud kemampuan kerajaan Majapahit akan teknologi bangunan basah, para ahli memperkirakan kolam ini sama dengan kata “Telaga” yang disebutkan dalam kitab Negarakertagama.
Di dekat Kolam Segaran juga ada yang jual "SAMBAL WADER" makanan khas trowulan ini, konon katanya, masyarakat majapahit juga menyukai masakan ini.....
Sambil menikmati pemandangan d sekitar Kolam Segaran, patut dicoba bagaimana rasanya makan Wader di tepi Kolam Segaran..... Benar-Benar Nikmat!

Selasa, 03 Mei 2011

Pendopo Agung Trowulan


Pendopo Agung Trowulan


Berada di Dusun Nglinguk, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan,

Mojokerto, Jawa Timur.
Tidak ada tiket masuk, namun donasi sukarela diharapkan.
Pendopo Agung Trowulan adalah sebuah bangunan pendopo Jawa bergaya Joglo yang dibangun antara tahun 1964 – 1973 oleh Kodam-V Brawijaya, berada di Dusun Nglinguk, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Bangunan itu konon berada di lokasi dimana dahulu berdiri Pendopo Agung Kerajaaan Majapahit, tempat Mahapatih Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa yang terkenal itu.


Patung Gajah Mada yang diresmikan oleh Komando Pusat Polisi Militer pada tanggal 22 Juni 1986. Teks lengkap Sumpah Palapa Gajah Mada, menurut kitabPararaton adalah: : “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Isinya menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan berhenti berpuasa sampai seluruh kerajaan yang namanya disebut dalam sumpah itu dipersatukan dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Patung Raja Brawijaya yang dinaungi sebuah payung kerajaan, dengan struktur bangunan Pendopo Agung terlihat di latar belakang.
Pendopo Agung Trowulan
Sebuah pemandangan di bagian dalam bangunan Pendopo Agung, yang hampir keseluruhannya terbuat dari kayu, kecuali dasar pilar yang menggunakan batu yang berasal dari jaman Majapahit.
Beberapa orang tampak tengah beristirahat di lantai pendopo, sementara beberapa orang lain yang tengah melakukan perawatan terlihat di latar belakang. Di sebelah belakang pendopo terdapat relief yang dipahat pada dinding yang menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit. Ada pula nama-nama Panglima Kodam Brawijaya dipahat di salah satu bagian dinding.
Relief Pengucapan Sumpah : Hamukti Palapa


Petilasan Panggung, bangunan joglo berukuran lebih kecil yang letaknya di belakang Pendopo Agung yang dipisahkan oleh sebuah tembok, adalah lokasi yang dipercaya sebagai tempat dimana Raden Wijaya pernah melakukan semedi sebelum ia membuka pemukiman di hutan Tarik di tepian Sungai Brantas yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Pendopo Agung, karena tempatnya yang luas dan teduh, sering dipergunakan oleh para pengunjung untuk sejenak beristirahat setelah berkeliling mengunjungi situs-situs bersejarah yang banyak dijumpai di daerah Trowulan. Sekali setahun, selama ritual perayaan Tahun Baru Jawa 1 Suro, tempat itu menjadi pusat kegiatan perayaan yang disebut Grebeg Suro Majapahit, yang menyajikan berbagai pertunjukan seni tradisional, ritual pembersihan senjata tradisional, serta pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Hayam Wuruk..... !!!
Sejenak beristirahat di Pendopo Agung Majapahit, angin sejuk cukup membuat semangat berkobar lagi untuk terus berkeliling mengenang Majapahit....



Senin, 02 Mei 2011

Candi Tikus - Trowulan

Kunjungi-nikmati dan membanggakan


Candi Tikus
Candi Tikus terletak di di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600m dari Candi Bajangratu.Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Jangan dirusak...tetap jaga candi ini Kawan
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah 'menara' setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.
Sampah Jangan ditinggal di Candi ini..... 


Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.

Minggu, 01 Mei 2011

Candi Bajang Ratu

Candi Bajang Ratu....
Setelah mengunjungi Pertapaan Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardana, kami lanjutkan perjalanan... yang kami tuju adalah Candi Bajang Ratu..., 
setelah menyebrangi jalan utama ( pindah kawasan...)sedikit waspada dan berhati-hati karena yang kita seberangi jalur utama alias jalan besar, banyak kendaraan besar (BIS dan Truck) yang kencang lajunya... setelah menyebrang kami menyusuri jalan perkampungan, tapi masih di kecamatan Trowulan.. 
kira kira tidak sampai 10 menit sudah sampai di depan Candi Bajang Ratu, dari jalan terlihat Satu karya seni yang mengagumkan....



Candi Bajangratu terletah di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 3,5 km dari Candi Wringinlawang. Candi ini masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti, baik mengenai tahun pembuatannya, raja yang memerintahkan pembangunannya, fungsinya, maupun segi-segi lainnya.
Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan. 
Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 ('sira ta dhinar meng Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan'). Disebutkan juga bahwa Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Menurut Krom, Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa 'dharma' (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan. Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.
Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.



Bajangratu diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14, mengingat: 1) Prakiraan fungsinya sebagai candi peruwatan Prabu Jayanegara yang wafat tahun 1328 M ; 2) Bentuk gapura yang mirip dengan candi berangka tahun di Panataran Blitar; 3) Relief penghias bingkai pintu yang mirip dengan relief Ramayana di Candi Panataran; 4) Bentuk relief naga yang menunjukkan pengaruh Dinasti Yuan. J.L.A. Brandes memperkirakan bahwa Bajangratu dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang, ditilik dari adanya relief singa yang mengapit sisi kiri dan kanan kepala Kala, yang juga terdapat di Candi Jago. Candi Jago sendiri diperkirakan dibangun pada abad ke-13.
Candi Bajangratu menempati area yang cukup luas. Seluruh bangunan candi dibuat dari batu bata merah, kecuali anak tangga dan bagian dalam atapnya. Sehubungan dengan bentuknya yang merupakan gapura beratap, Candi Bajangratu menghadap ke dua arah, yaitu timur-barat. Ketinggian candi sampai pada puncak atap adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Gapura Bajangratu mempunyai sayap di sisi kanan dan kiri. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Pada dinding kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung, sedangkan di kiri dan kanan dinding bagian depan, mengapit pintu, terdapat relief Ramayana. Pintu candi dihiasi dengan relief kepala kala yang terletak tepat di atas ambangnya. Di kaki ambang pintu masih terlihat lubang bekas tempat menancapkan kusen. Mungkin dahulu pintu tersebut dilengkapi dengan daun pintu.

Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke timur. Anak tangga dan lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas.



Candi Bajangratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.Atap candi berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi. Setiap lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola tanaman. Pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon merupakan simbol kerajaan Majapahit. Walaupun candi ini menghadap timur-barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip dengan kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit naga.


( Candi Favorit saya!!!)

Pertapaan Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardana

PINTU MASUK PERTAPAAN RADEN WIJAYA
Di depan petilasan Raden Wijaya
 Setelah Cukup lama di Candi Brahu perjalanan saya lanjutkan, sewaktu menyusur jalan perkampungan menuju jalan utama, ada papan nama yang menunjukkan ada Pertapaan Raja Majapahit I, Raden Wijaya... walaupun matahari cukup panas tetapi di pertapaan ini hawanya cukup sejuk.
Sampai disini banyak orang yang sedang menikmati udara segar dengan semilir angin yang berhembus, ditambah ada pendopo yang cukup luas yang nyamat untuk rehat sejenak, di tiang pendopo ada ornamen2 yang khas majapahit
Di pertapaan ini juga banyak penjual makanan rigan.... ( padahal ada tulisan larangan berjualan loh....), tp dasar lapar ya akhirnya q beli jg siomay.......


Siti Inggil, Makam Raden Wijaya

Makam Siti Inggil merupakan tempat persinggahan dan pertapaan Raja Majapahit ke I (Raden Wijaya Kertajaya Jayawardhana). Dulu ceritanya adalah sebuah punden di Dusun Kedungwulan yang diberi nama “LEMAH GENENG” yang artinya Siti Inggil. Didepan makam Siti Inggil terdapat dua makam, yaitu makam Sapu Angin dan Sapu Jagat sehingga makam ini dikeramatkan dan sering dikunjungi wisatawan lokal maupun asing setiap Jum’at Legi. Lokasinya berada di Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan.

Di dekat Pertapaan Raden Wijaya juga ada Pusat oleh2 Majapahit yang koleksinya lumayan murah dan bagus.Sempat beli Kaos tapi sampai dirumah ukurannya ga pas..... nyeselnya setengah mati.....
jadi pingin balik kesana, pingin beli lagi.......