Laman

Minggu, 06 Agustus 2017

Candi Bubrah Jepara : perjalanan lintas batas #4,

Candi Bubrah Jepara
      Minggu, 6 Agustus 2017. Crew Lintas Batas DEWA SIWA kembali berpetualang. Kali keempat bagi divisi lintas batas ini. Sekedar me-refresh kembali ; yang pertama Situs Balekambang - Situs Silurah Batang, yang kedua situs petungkriyono Pekalongan : Tlogopakis dan Gedong, yang ketiga situs Candi Risan dan 4 situs lain di Gunungkidul dan      Tujuan yang keempat adalah Candi Angin & Candi Bubrah Jepara.
Candi Bubrah Jepara
      Berangkat dari titik ketemu terakhir di Mranggen Demak (tempat dimana saya menunggu untuk diboncengkan ... hehehe) jam setengah tujuh, sebenarnya dinihari sebelumnya kami kekeuh sepakat harus jam 5 pagi sudah start, karena informasi yang kami terima perjalanan 4 jam memakai motor kemudian 1 jam selanjutnya jalan kaki. Namun takdir berkehendak lain... Jarak domisili masing masing crew  yang terpencar memang menjadi satu alibi namun memang bukan utama.
      Dari Mranggen, lewat jalur Karangawen tembus ke Pertigaan Buyaran. Mengingatkan saya penelusuran beberapa tahun lalu melewati jalur ini di situs candi sari dan situs pidodo Demak.
Makan Lentog
      Kemudian lewat Jalur Lingkar Demak, saat sampai di pertigaan Trengguli, kami sempat berhenti sejenak untuk meyakinkan rute yang akan kami ambil. Lewat Jalur Pati ; Tayu. Selain jalan yang relatif lebih baik, tak terlalu rumit jalurnya (menurut pertimbangan kami).
      Sesampainya di Kota Kretek Kudus, kami kemudian mencari sarapan, pilihan kami "Lentog" Tanjung. 
     Obrolan kami saat makan, di Kudus ini selain Masjid Menara, ada beberapa tinggalan yang dengan masa yang lebih kuno. 
      Langgar Bubrah adalah salah satunya. Tapi karena tujuan kami masih jauh, kami kemudian memasukkan informasi dari rekan komunitas "lek Wahid" ke agenda kami lintas batas selanjutnya.
      Dari kudus kemudian kami menuju pati, sempat berhenti di salah satu minimarket untuk melengkapi bekal kami (kali ini Lek Suryo membawa kompor portable plus gas untuk membuat kopi panas di lokasi). 
      Setelah Tayu, kemudian kami menuju Keling Jepara. Masalah timbul disini, saat kami mengandalkan panduan dari Google Maps, sudah 2 pembonceng on peta, tapi tanpa kami sadari kami melewatkan  jalan menuju lereng Gunung Muria sisi Utara, sampai hampir 1 jam menuju arah ke kota Jepara - Mlonggo, kami tersadar saat berada di tengah kawasan perkebunan karet.
       Balik lagi, kemudian kami tutup aplikasi peta tersebut, kemudian kami ganti dengan cara tradisional : bertanya kepada warga, cukup ekspresif warga yang kami tanyai. Memakai daun pepaya untuk menggambarkan rute terdekat, Salam hormat kami kepada beliau...
      Kami kemudian mencari petunjuk sesuai arahan beliau, tak berapa lama kami menemukan kembali ke jalan yang benar.
Walaupun, beliau memperingatkan kami tentang jalan yang rusak parah dihadapan kami, alternatif jalan yang lebih mulus namun sangat jauh, kami harus balik lagi.
       Setelah melewati jalan parah, kami kemudian ketemu dengan jalan mulus. Saat bertanya kepada warga yang juga melintas, malah ditawari untuk mengikutinya saja, karena beliaupun akan ke dusun Duplak, dusun terakhir sebelum Candi Bubrah - Candi Angin. Beruntungnya kami...
     Pemandangan sangat indah, disisi kanan kami hamparan bukit dan tebing, sementara sebelah kanan berjejer batuan besar di sungai yang jernih, yang membuat kami melaju dengan pelan menikmati karunia illahi ini.
     Beberapa waktu kemudian, sampailah kami di tikungan yang ada bigletter : "Tempur Village", spot selfie yang sayang unruk dilewatkan.
     Melanjutkan perjalanan, 2km kemudian kami sampai di Gerbang Wisata Dusun Duplak,
     Setelah menulis nama buku tamu dan isi kas sukarela. Kami tak melewatkan bertanya secara detail kepada para pemuda yang ada di pos gerbang desa ini.
      Ternyata selain Candi Bubrah dan Candi Angin ada juga Sumur Batu dan kubur Batu. Selain tentu saja wisata alam seperti bukit, kebun kopi, dll yang ditawarkan kepada para wisatawan.
"Ikuti jalan cor2 an, parkir kemudian jalan sekitar 1 jam", kata pemuda yang kami tanyai. Terbayang di benak kami... jalan kaki 1 jam... kepalang tanggung, tak mundur satu langkah pun.
      "Wingi aku sempet nonton you tube perjalanan ke candi Angin-Bubrah, dewe terus wae. Sampai mentok ", yakin Lek Trist dengan bahasa Jawa, sengaja tak saya translate. 
      Kami mengikutinya, dengan lebar jalan kira-kira hanya 1m saja, masih tanah dan kerikil, semakin keatas ternyata jalan sudah dicor semen.  Namun karena belokan sangat tajam plus nanjak saya akhirnya jalan kaki dari bawah... (=nasib) VR46 saja mesti takut, seloroh Lek Trist...
Video amatir 1 : 


     Tepat di akhir jalan cor2an, motor parkir, kami selfie kemudian segera mempersiapkan menuju puncak dimana Destinasi kami menunggu.
     Tantangan yang pertama kami hadapi adalah tangga dengan kemiringan hampir 50 derajat, untungnya, hanya sekitar 100m saja. Kemudian ada gardu pandang, selain bisa selfie juga istirahat sebentar untuk mengembalikan ritme nafas yang ngos-ngosan.
Video amatir 2 :


     "Ambil kiri nanti sampai, ikuti jalan setapak itu", jelas pemilik warung di dekat gardu pandang.
     Dan petualangan kami sesungguhnya baru dimulai... jalan setapak kami susuri, puluhan tanjakan, ratusan akar yang kami jadikan pijakan, kanan kiri jurang bahkan ada titik jalan setapak dimana sebelah kanan jurang, sebelah kiri tebing padas. Saat kaki menapak, ada kerikil yang menggelinding ke jurang. Adrenalin seketika menyeruak.
     Satu-satunya Pertigaan  yang kami temui, di tengah perjalanan membuat kami ragu. Dengan inisiatifnya sendiri Mas Imam (mungkin merasa saja jika dia paling muda.. Wkwkkwkw), mencoba menelusuri.
      Saat menunggu mas Imam kembali, ada pengunjung yang kembali dari Candi Bubrah Candi Angin. Mereka bertiga dengan salah satunya memakai udeng atau ikat kepala khas Bali. "Dekat kok mas hanya 200 meteran",  kata salah satunya kepada kami. Yang kemudian pada akhirnya bertujuan sangat baik, membangkitkan lagi semangat kami. Itu saja... ga menipu sich...wkwkwkw.
      "Ada kubur batu, persegi dan ditata mirip situs petungkriyono. Tepat di puncak bukit ini", cerita Mas Imam menggambarkan sambil menunjukkan arahnya. (Sayang sekali, Mas Imam HPnya mati, sehingga tak mendokumentasikan Kubur batu ini).
      Setelah berembug kami menjadikan alternatif setelah dari Candi Angin dan Bubrah, lihat waktu dan tenaga yang tersisa nanti.
Beberapa kali melewati jurang...



















Ketika semangat meredup....



Sampailah kami di Candi Bubrah....
Candi Bubrah, Keling Jepara
        Terbayar lunas perjuangan kami naik ke Candi Bubrah ini, secara pribadi saya baru pertama ini semenjak keranjingan dolan di situs, sekitar akhir tahun 2010, disuguhi bangunan suci (=candi) yang unik.
       Susunan batu yang menjadi strukturnya hanya ditata sederhana terdiri dari lempengan lempengan batu datar yang dibentuk sedemikian rupa.
Di bagian pertama yang kami temui, mirip sebuah makam;
Candi Bubrah, jepara : ada bagian seperti makam
       Di sekelilingnya masih nampak bekas reruntuhan yang masih tertumpuk, struktur batu bangunan suci itu.












     Nampaknya dibangun di lereng, sehingga ketinggian bangunan bersandar di lereng. Beberapa susunan batuan candi membentuk ruang yang saya duga menjadi altar ritual suci semacam pemujaan. Barangkali dulu dalam ruangan tersebut ada arca atau manifestasi dewa dalam bentuk lain.
Candi Bubrah Jepara
      Di atas nya ada semacam ratna (puncak candi hindu), tapi entah sejak dulu atau setelah instansi terkait mengkaji Candi Bubrah ini.
Diskusi kami seputar kira kira dimasa kerajaan mana.... kesimpulan sederhana kami, bangunan ini lebih tua daripada kebudayaan kuno di Dieng ataupun lereng Ungaran, jauh lebih kuno dari peradaban kedu dan lereng Merapi.
Candi Bubrah

     Candi Bubrah ini berada di lereng sebelah utara kawasan Gunung Muria, secara administratif masuk Dusun Duplak, Desa Tempur Kec. Keling, Kab. Jepara ini mirip cirik khasnya dengan situs di Petungkriyono Pekalongan yang juga tersusun dari struktur lempengan batu datar.
Relung Bangunan, digunakan untuk ritual : Candi bubrah
      Dari beberapa literatur yang saya dapatkan, banyak ahli yang mengajukan teori tentang peninggalan Kerajaan Kalingga, mungkin dengan keterkaitan pengucapan kalingga = Keling... menjadi nama yang mudah diucapkan oleh para pelaut manca, sehingga lambat laun tak ada yang mengucapkan Kalingga, hanya Keling saja.

     Sementara dari portal berita jaringnews; Diyakini oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Jepara, di kota paling ujung utara pulau Jawa ini pernah berdiri megah kerajaan Kalingga, dengan jejak peninggalan Candi bubrah dan candi Angin yang berdekatan.
Sementara itu, sejarawan asli Kota Ukir Jepara : M Nuh Thabroni menyampaikan, kalau melihat hasil temuan-temuan yang sudah ditemukan sampai saat ini, seperti tembikar, stempel kerajaan, tutup payudara dan mahkota yang terbuat dari emas, kerajaan Kalingga ada di wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Blingoh di Kecamatan Donorojo.
Candi Bubrah, jepara
Dari sebuah tulisan China kuno disebutkan keberadaan kerajaan Kalingga berada di perbukitan yang diapit dua aliran sungai
 "Kalau berdasarkan kabar dari China, kerajaan Kalingga ada di sekitar Candi Angin dan Candi Bubrah di Desa Tempur," terang Thabroni. Masa kejayaan kerajaan Kalingga, disampaikan Thabroni semasa dengan raja Mataram Kuno, Raja Diah Balitung. Yaitu pada tahun 1029 Masehi. "Usia itu berdasarkan penemuan 12 lempeng perunggu yang bertanggal 1029 Masehi. Itu artinya Kalingga seangkatan dengan Raja Diah Balitung Raja Mataram Kuno", tutup Thabroni. (Sumber : jaringnews)


     Crew ekspedisi lintas batas #4 : Kami ingin menyampaikan pesan kepada siapapun:  PERCAYA TEMAN. 
Candi Bubrah : Komunitas Dewa Siwa, Percaya Teman
Salam nyandi


Candi Bubrah : ssdrmk, pengalaman bergharga


 Kunjungi dan Lestarikan Yuuk....
---
Menuju Candi Angin...
Video Amatir


nb : Lek trist, Lek Suryo, Mas Imam : all foto kontribusi noname ya, tapi nggo #lintasbatas...bingun tercampur... tq.

2 komentar: