Laman

Kamis, 24 Agustus 2017

Arca di Balemong Resort Ungaran : Blusukan di tempat yang nyaman

Arca Nandi di Balemong Resort Ungaran
Kamis, 24 Agustus 2017. Kemisan never stopped!. walau sang partner PHP.. hehehe
Penantian panjang dan saya hanya mengira naskah ini hanya impian saja. Bagaimana tidak, destinasi yang saya inginkan untuk telusuri ada di sebuah lokasi diluar jangkauan kemampuan saya. Walaupun tiap hari saya pulang pergi melewatinya, karena rumah saya di Gunungpati, hanya melirik saja "kapan saya bisa masuk" : begitu angan saya.
Informasi yang saya terima tentang keberadaan arca di lokasi ini sudah sekitar 3 tahun lalu. Salah satunya status dari rekan di facebook sekitar tahun 2015. Mas Andrew, akhirnya saya kesini mas....
Namun baru hari ini, saya bisa menyambanginya. Itupun melalui proses yang tak mudah. Ceritanya begini …..
Ketika tempat kerja, perpustakaan mendapatkan undangan untuk berkegiatan di Balemong oleh perpuseru CCFI, maka perasaan saya saat itu adalah sebuah doa yang terjawab. 
Kegiatan tersebut dimulai pada hari Rabu 23 s/d 24 Agustus 2017. Saking gembiranya, hari Rabu saya berusaha untuk datang lebih awal, namun malang tak dapat saya tolak. Tepat sesampainya di Gerbang masuk perpustakaan Ungaran di Alun Alun Lama. Badan saya terasa ada yang tak beres, mata berkunang-kunang alias blawur tanda meriang.
Singkat cerita, setelah mengeluarkan semua makanan yang saya makan saat sarapan serta yang saya makam dari tadi malam, akhirnya saya pulang diantar rekan kerja. Aneh-nya (maaf agak jorok), tepat didepan Balemong saya muntah lagi di atas mobil.. untungnya sesaat sebelum mengotori dalam mobil tas ransel berhasil saya saut  dan berhasil mutah didalam tas ransel saya.. heheheh… maaf.
Kandaslah hari ini saya ketemu dengan Arca di Balemong resort.
Belum menyerah, saya segera mungkin berusaha memulihkan energi agar hari Kamis, 24 Agustus saya bisa menghadiri hari terakhir kegiatan. Jujur saja motivasi terbelah antara menghadiri kegiatan dan melihat arca tersebut, tentunya prosentase lebih besar yang saya sebut terakhir,… hehehe.
Dan Akhirnya,
Arca Nandi di Balemong Resort Ungaran
“Beberapa patung buatan baru mas, dari perajin seperti di Muntilan, Bali dan Mojokerto. Tapi banyak yang asli seperti Arca Sapi yang ditengah halaman tersebut” jelas seorang OB saat saya tanya. Sang pemilik yang konon adalah warga Negara Belanda (antara heran dan gemas) kok ya lebih merawat… lebih menjaga budaya kita. Dia membuat konsep bangunan jaman kuno dengan mayoritas kayu dan batu sebagai bahan struktur bangunannya yang menjadikan suasana di Balemong sangat njawani, apalagi dibelakangnya berdiri Gunung Suci Ungaran (pada masa itu).
Tentu saja, menyimpan arca untuk kepentingan pribadi bahkan komersial (hiasan) pasti juga bukan tindakan yang bisa dibenarkan, tapi kemungkinan si holander ini pun memperolehnya dari kolektor lokal pribumi. Salah tapi mending-lah menurut saya, daripada di lokasi asli : insitu tapi di-gepuk, dibuat talud, di pasang keramik di cat, dsb, perlakuan kita malah nyatanya memang banyak yang begitu. (contohnya Yoni di Situs Njambon Ungaran ; lokasi yang tak terlalu jauh dari Balemong)
Saya malah apresiasi, atas konsep seperti ini….
Arca Nandi di Balemong Resort Ungaran
Intinya saya tak akan membahas salah atau benar, hanya ingin membagikan cerita saya menjumpai beberapa arca di Balemong Resort Ungaran ini. Itu saja. Karena salah atau benar ada instansi yang berwenang yang menentukan.
Setelah waktu istirahat, saya kemudian memanfaatkan untuk mendokumentasikan beberapa arca yang terlihat pandangan mata.
Arca Nandi
Arca Nandi di Balemong Resort Ungaran
Arca Nanddi dari belakang;
Arca Nandi di Balemong Resort Ungaran
Arca Dewa Brahma, Catur muka





























































Arca  
(Sampai naskah ini saya unggah saya belum ketemu informasi tentang nama arca ini, Saya menunggu informasi tentang arca ini ... dari pembaca yang berkenan )




Di beberapa titik ada batu bata yang berukuran jumbo : banon.
Batu Bata jumbo di Balemong Resort Ungaran


Salam Nyandi
Arca Nandi Balemong Resort Ungaran

Jika bukan kita yang melestarikan, Siapa Lagi…???

Kamis, 10 Agustus 2017

Penelusuran Lingga Kerep Ambarawa : yang terpisah dari Yoni

   
Lingga Situs Kerep, Ambarawa
 Kamis, 10 Agustus 2017. Karena ada kegiatan di ambarawa, selama 7 hari ini saya standby di Kota Ambarawa. Setelah berdiskusi bersama Lek Suryo, mencari kemungkinan penelusuran situs di sekitar area Ambarawa. Ternyata Lek Suryo, partner Kemisan mengajukan usul untuk menelusur Lingga di Makam Kerep.
      Yang ternyata sayapun belum, karena beberapakali menyambangi nya tak berhasil ketemu. (Barangkali belum berjodoh). Entah karena putus asa atau lupa bertahun-tahun menjadi lupa untuk melengkapi naskah Yoni Kerep.  Link Naskah Situs Yoni Kerep : Blusukan tahun 2014 yang lalu
     Info yang saya terima Lingga berpindah tempat menjadi pathok sebuah makam.
     Dari Perpustakaan Ambarawa kami meluncur langsung meuju Makam Kerep yang berada persis dibelakang Wisata Religi Gua Maria Kerep. Dengan jalan aspal yang sama.
    Tak sampai 5 menit kemudian kami sampai. Jika Yoni Kerep ada di pinggir jalan, maka Lingga Kerep harus kami telusuri terlebih dahulu.
Lingga Kerep Ambarawa
    Sekitar 10 menit kemudian, ketemulah. Selamat ya Lek Suryo : berhasil menemukan tanpa bantuan dari siapapun... wkwkwkkw. Saya saja 3 tahun lebih tak berhasil menemukan (Tentunya blusukan beberapakali dalam tahun yang berbeda, saat mengantar beberapa guide tak jua menemukan), Namun Lek Sur TokCer memang.... wkwkwkwk 
    Saya pribadi tak akan mengungkit kenapa dijadikan Pathok, kami menelusuri hanya ingin mendokumentasikan. Merekam jejak peradaban masa lalu di Kota Ambarawa ini.
     Dan akhirnya kelakon juga apa yang tahun mbak derry sampaikan di tahun 2014 (mungkin malah sebelumnya) sampaikan mengenai Lingga Kerep yang masih ada. Walaupun telat lama (sebenernya ga lama, lha wong cuman berubah tingga angka kok...wkwkwk).
      Beginilah Lingga kerep ini sekarang, Penampakannya: 
Situs Lingga, Kerep Ambarawa



     Lingga Kerep masih terlihat jelas bagian bagian simbolisnyaa : Mulai dari bawah Lingga yang bersisi 4, kemudian dibagian atasnya 8 sisi dan dibagian lingga berbentuk bundar serta ujung berbentuk oval.
Lingga Kerep
      Selain digambarkan dalam berbagai wujud antropomorfik, Siwa juga digambarkan dalam wujud an-iconic sebagai lingga. Pada dasarnya lingga adalah pilar cahaya (the column of light), yang merupakan simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal. Lingga semacam ini disebut Joytirlinga. Siwa sendiri merepresentasikan dirinya ke dalam wujud pilar api pada mitologi Linggotbhawa murti.
     Selain Joytirlinga, terdapat juga manusa lingga, yaitu lingga yang merupakan simbol dari organ maskulin. Cirinya adalah mempunyai tiga bagian, terdiri atas bagian yang paling bawah, berbentuk persegi, disebut brahmabhaga; bagian tengah yang berbentuk segi enam yang disebut wisnubhaga; dan bagian yang paling atas, berbentuk silendris, disebut rudrabhaga. Pada bagian rudrabghaga-nya terdapat hiasan garis melengkung yang disebut brahmasutra. (sayangnya sudah tak terlihat karena lapuk)
     Sebagai simbol organ maskulin, lingga mengandung energi penciptaan. Akan tetapi energi tersebut akan berfungsi apabila disatukan dengan energi shakti, yang disimbolkan dalam wujud yoni, untuk memberikan kekuatan bagi energi penciptaan tersebut. Dengan demikian, penyatuan antara lingga sebagai organ maskulin dengan yoni yang merupakan simbol organ feminin akan menghasilkan energi penciptaan, yang merupakan dasar dari semua penciptaan. 

Suryo Dona, Sang Partner Ritual Kemisan :
Suryo Wibowo
Salam Pecinta Situs dan Watu Candi, 
Ketahui dan Lestarikan.....

Minggu, 06 Agustus 2017

Candi Bubrah Jepara : perjalanan lintas batas #4,

Candi Bubrah Jepara
      Minggu, 6 Agustus 2017. Crew Lintas Batas DEWA SIWA kembali berpetualang. Kali keempat bagi divisi lintas batas ini. Sekedar me-refresh kembali ; yang pertama Situs Balekambang - Situs Silurah Batang, yang kedua situs petungkriyono Pekalongan : Tlogopakis dan Gedong, yang ketiga situs Candi Risan dan 4 situs lain di Gunungkidul dan      Tujuan yang keempat adalah Candi Angin & Candi Bubrah Jepara.
Candi Bubrah Jepara
      Berangkat dari titik ketemu terakhir di Mranggen Demak (tempat dimana saya menunggu untuk diboncengkan ... hehehe) jam setengah tujuh, sebenarnya dinihari sebelumnya kami kekeuh sepakat harus jam 5 pagi sudah start, karena informasi yang kami terima perjalanan 4 jam memakai motor kemudian 1 jam selanjutnya jalan kaki. Namun takdir berkehendak lain... Jarak domisili masing masing crew  yang terpencar memang menjadi satu alibi namun memang bukan utama.
      Dari Mranggen, lewat jalur Karangawen tembus ke Pertigaan Buyaran. Mengingatkan saya penelusuran beberapa tahun lalu melewati jalur ini di situs candi sari dan situs pidodo Demak.
Makan Lentog
      Kemudian lewat Jalur Lingkar Demak, saat sampai di pertigaan Trengguli, kami sempat berhenti sejenak untuk meyakinkan rute yang akan kami ambil. Lewat Jalur Pati ; Tayu. Selain jalan yang relatif lebih baik, tak terlalu rumit jalurnya (menurut pertimbangan kami).
      Sesampainya di Kota Kretek Kudus, kami kemudian mencari sarapan, pilihan kami "Lentog" Tanjung. 
     Obrolan kami saat makan, di Kudus ini selain Masjid Menara, ada beberapa tinggalan yang dengan masa yang lebih kuno. 
      Langgar Bubrah adalah salah satunya. Tapi karena tujuan kami masih jauh, kami kemudian memasukkan informasi dari rekan komunitas "lek Wahid" ke agenda kami lintas batas selanjutnya.
      Dari kudus kemudian kami menuju pati, sempat berhenti di salah satu minimarket untuk melengkapi bekal kami (kali ini Lek Suryo membawa kompor portable plus gas untuk membuat kopi panas di lokasi). 
      Setelah Tayu, kemudian kami menuju Keling Jepara. Masalah timbul disini, saat kami mengandalkan panduan dari Google Maps, sudah 2 pembonceng on peta, tapi tanpa kami sadari kami melewatkan  jalan menuju lereng Gunung Muria sisi Utara, sampai hampir 1 jam menuju arah ke kota Jepara - Mlonggo, kami tersadar saat berada di tengah kawasan perkebunan karet.
       Balik lagi, kemudian kami tutup aplikasi peta tersebut, kemudian kami ganti dengan cara tradisional : bertanya kepada warga, cukup ekspresif warga yang kami tanyai. Memakai daun pepaya untuk menggambarkan rute terdekat, Salam hormat kami kepada beliau...
      Kami kemudian mencari petunjuk sesuai arahan beliau, tak berapa lama kami menemukan kembali ke jalan yang benar.
Walaupun, beliau memperingatkan kami tentang jalan yang rusak parah dihadapan kami, alternatif jalan yang lebih mulus namun sangat jauh, kami harus balik lagi.
       Setelah melewati jalan parah, kami kemudian ketemu dengan jalan mulus. Saat bertanya kepada warga yang juga melintas, malah ditawari untuk mengikutinya saja, karena beliaupun akan ke dusun Duplak, dusun terakhir sebelum Candi Bubrah - Candi Angin. Beruntungnya kami...
     Pemandangan sangat indah, disisi kanan kami hamparan bukit dan tebing, sementara sebelah kanan berjejer batuan besar di sungai yang jernih, yang membuat kami melaju dengan pelan menikmati karunia illahi ini.
     Beberapa waktu kemudian, sampailah kami di tikungan yang ada bigletter : "Tempur Village", spot selfie yang sayang unruk dilewatkan.
     Melanjutkan perjalanan, 2km kemudian kami sampai di Gerbang Wisata Dusun Duplak,
     Setelah menulis nama buku tamu dan isi kas sukarela. Kami tak melewatkan bertanya secara detail kepada para pemuda yang ada di pos gerbang desa ini.
      Ternyata selain Candi Bubrah dan Candi Angin ada juga Sumur Batu dan kubur Batu. Selain tentu saja wisata alam seperti bukit, kebun kopi, dll yang ditawarkan kepada para wisatawan.
"Ikuti jalan cor2 an, parkir kemudian jalan sekitar 1 jam", kata pemuda yang kami tanyai. Terbayang di benak kami... jalan kaki 1 jam... kepalang tanggung, tak mundur satu langkah pun.
      "Wingi aku sempet nonton you tube perjalanan ke candi Angin-Bubrah, dewe terus wae. Sampai mentok ", yakin Lek Trist dengan bahasa Jawa, sengaja tak saya translate. 
      Kami mengikutinya, dengan lebar jalan kira-kira hanya 1m saja, masih tanah dan kerikil, semakin keatas ternyata jalan sudah dicor semen.  Namun karena belokan sangat tajam plus nanjak saya akhirnya jalan kaki dari bawah... (=nasib) VR46 saja mesti takut, seloroh Lek Trist...
Video amatir 1 : 


     Tepat di akhir jalan cor2an, motor parkir, kami selfie kemudian segera mempersiapkan menuju puncak dimana Destinasi kami menunggu.
     Tantangan yang pertama kami hadapi adalah tangga dengan kemiringan hampir 50 derajat, untungnya, hanya sekitar 100m saja. Kemudian ada gardu pandang, selain bisa selfie juga istirahat sebentar untuk mengembalikan ritme nafas yang ngos-ngosan.
Video amatir 2 :


     "Ambil kiri nanti sampai, ikuti jalan setapak itu", jelas pemilik warung di dekat gardu pandang.
     Dan petualangan kami sesungguhnya baru dimulai... jalan setapak kami susuri, puluhan tanjakan, ratusan akar yang kami jadikan pijakan, kanan kiri jurang bahkan ada titik jalan setapak dimana sebelah kanan jurang, sebelah kiri tebing padas. Saat kaki menapak, ada kerikil yang menggelinding ke jurang. Adrenalin seketika menyeruak.
     Satu-satunya Pertigaan  yang kami temui, di tengah perjalanan membuat kami ragu. Dengan inisiatifnya sendiri Mas Imam (mungkin merasa saja jika dia paling muda.. Wkwkkwkw), mencoba menelusuri.
      Saat menunggu mas Imam kembali, ada pengunjung yang kembali dari Candi Bubrah Candi Angin. Mereka bertiga dengan salah satunya memakai udeng atau ikat kepala khas Bali. "Dekat kok mas hanya 200 meteran",  kata salah satunya kepada kami. Yang kemudian pada akhirnya bertujuan sangat baik, membangkitkan lagi semangat kami. Itu saja... ga menipu sich...wkwkwkw.
      "Ada kubur batu, persegi dan ditata mirip situs petungkriyono. Tepat di puncak bukit ini", cerita Mas Imam menggambarkan sambil menunjukkan arahnya. (Sayang sekali, Mas Imam HPnya mati, sehingga tak mendokumentasikan Kubur batu ini).
      Setelah berembug kami menjadikan alternatif setelah dari Candi Angin dan Bubrah, lihat waktu dan tenaga yang tersisa nanti.
Beberapa kali melewati jurang...



















Ketika semangat meredup....



Sampailah kami di Candi Bubrah....
Candi Bubrah, Keling Jepara
        Terbayar lunas perjuangan kami naik ke Candi Bubrah ini, secara pribadi saya baru pertama ini semenjak keranjingan dolan di situs, sekitar akhir tahun 2010, disuguhi bangunan suci (=candi) yang unik.
       Susunan batu yang menjadi strukturnya hanya ditata sederhana terdiri dari lempengan lempengan batu datar yang dibentuk sedemikian rupa.
Di bagian pertama yang kami temui, mirip sebuah makam;
Candi Bubrah, jepara : ada bagian seperti makam
       Di sekelilingnya masih nampak bekas reruntuhan yang masih tertumpuk, struktur batu bangunan suci itu.












     Nampaknya dibangun di lereng, sehingga ketinggian bangunan bersandar di lereng. Beberapa susunan batuan candi membentuk ruang yang saya duga menjadi altar ritual suci semacam pemujaan. Barangkali dulu dalam ruangan tersebut ada arca atau manifestasi dewa dalam bentuk lain.
Candi Bubrah Jepara
      Di atas nya ada semacam ratna (puncak candi hindu), tapi entah sejak dulu atau setelah instansi terkait mengkaji Candi Bubrah ini.
Diskusi kami seputar kira kira dimasa kerajaan mana.... kesimpulan sederhana kami, bangunan ini lebih tua daripada kebudayaan kuno di Dieng ataupun lereng Ungaran, jauh lebih kuno dari peradaban kedu dan lereng Merapi.
Candi Bubrah

     Candi Bubrah ini berada di lereng sebelah utara kawasan Gunung Muria, secara administratif masuk Dusun Duplak, Desa Tempur Kec. Keling, Kab. Jepara ini mirip cirik khasnya dengan situs di Petungkriyono Pekalongan yang juga tersusun dari struktur lempengan batu datar.
Relung Bangunan, digunakan untuk ritual : Candi bubrah
      Dari beberapa literatur yang saya dapatkan, banyak ahli yang mengajukan teori tentang peninggalan Kerajaan Kalingga, mungkin dengan keterkaitan pengucapan kalingga = Keling... menjadi nama yang mudah diucapkan oleh para pelaut manca, sehingga lambat laun tak ada yang mengucapkan Kalingga, hanya Keling saja.

     Sementara dari portal berita jaringnews; Diyakini oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Jepara, di kota paling ujung utara pulau Jawa ini pernah berdiri megah kerajaan Kalingga, dengan jejak peninggalan Candi bubrah dan candi Angin yang berdekatan.
Sementara itu, sejarawan asli Kota Ukir Jepara : M Nuh Thabroni menyampaikan, kalau melihat hasil temuan-temuan yang sudah ditemukan sampai saat ini, seperti tembikar, stempel kerajaan, tutup payudara dan mahkota yang terbuat dari emas, kerajaan Kalingga ada di wilayah yang sekarang dikenal dengan Desa Blingoh di Kecamatan Donorojo.
Candi Bubrah, jepara
Dari sebuah tulisan China kuno disebutkan keberadaan kerajaan Kalingga berada di perbukitan yang diapit dua aliran sungai
 "Kalau berdasarkan kabar dari China, kerajaan Kalingga ada di sekitar Candi Angin dan Candi Bubrah di Desa Tempur," terang Thabroni. Masa kejayaan kerajaan Kalingga, disampaikan Thabroni semasa dengan raja Mataram Kuno, Raja Diah Balitung. Yaitu pada tahun 1029 Masehi. "Usia itu berdasarkan penemuan 12 lempeng perunggu yang bertanggal 1029 Masehi. Itu artinya Kalingga seangkatan dengan Raja Diah Balitung Raja Mataram Kuno", tutup Thabroni. (Sumber : jaringnews)


     Crew ekspedisi lintas batas #4 : Kami ingin menyampaikan pesan kepada siapapun:  PERCAYA TEMAN. 
Candi Bubrah : Komunitas Dewa Siwa, Percaya Teman
Salam nyandi


Candi Bubrah : ssdrmk, pengalaman bergharga


 Kunjungi dan Lestarikan Yuuk....
---
Menuju Candi Angin...
Video Amatir


nb : Lek trist, Lek Suryo, Mas Imam : all foto kontribusi noname ya, tapi nggo #lintasbatas...bingun tercampur... tq.