Laman

Kamis, 23 Maret 2017

Legenda Gebugan : Mbah Penanggalan, bonus pemandangan lereng gunung Ungaran

    Kamis, 23 Maret 2016. Ritual kemisan berlanjut. Ditengah pengawasan, kami tetep blusukan, haghaghaghag.... i Can't Stop, lah pokoke. 
      Tujuan utama kami, menelusuri jejak peradaban di Bengkle, Gebugan - Lempuyang Mundingan - Bergas. "Apapun hasilnya, ada atau tidak sing penting blusukan", Mbah eka bertekad. Saya meng-amin kan. Lha saya hanya membonceng kok.. wkwkwwkwk.
      Jalur kami melewati beberapa situs peninggalan peradaban masa lalu : Seperti Lingga di Masjid Gebugan dan punden berundak mbah Dul Jalil.
Makam Mbah Penanggalan
Untungnya kami kesasar (tersangka adalah sang driver, soalnya saya membonceng, wkwkwkwk)… jadi bisa singgah dan menulis kisah ini.
Warga menyebut batu yang ada di sisi kanan makam (dari arah pintu masuk) dengan ‘Watu Dakon’, namun tak ada yang mengetahui bagaimana sisik meliknya secara jelas. 
"Hanya Mbah Penanggalan adalah sesepuh Desa Gebugan, atau yang bubakyoso, banyak yang berziarah ke makam beliau, yang dipercaya adalah salah satu penyebar islam di daerah ini."

Makam Mbah Penanggalan Gebugan
 “Mbah Penanggalan adalah salah satu murid dari Mbah Kyai Hasan Munadi yang kesaktianya tersohor. Sebutan mbah penanggalan, karena beliau memiliki kemampuan membuat penanda kapan sebuah acara dilaksanakan”, (sumber wawancara Mbah Eka WP dengan seorang kakek warga sekitar yang dia temui disawah, di blusukan sebelumnya). 
Watu Dakon, Makam Mbah Penanggalan


Kesaktian yang lain, pohon tua dan berukuran besar ‘growang’ di batang bagian bawah, hingga 3 orang dewasa bisa masuk kedalamnya,  di depan makam beliau itu, dulunya adalah tongkat beliau”, tambah kakek tersebut seperti yang diceritakan kepada saya.
Watu Dakon
Yang tersisa memang hanya secuil, namun bagi saya sangat berarti. 
Menjadi sebuah penanda menghadirkan bukti sejarah masa lalu.
Imajinasi saya, ketika ini utuh, seperti membayangkan bola golf, dimana ada cekungan-cekungan jumbo (mirip di depan gerbang golf Jatingaleh) Apakah mungkin cekungan - cekungan tersebut untuk menaruh berbagai macam sesajen? 
Dugaan, rekaan …entahlah….
Setelah mendokumentasikan barang sejenak, kami melanjutkan, walaupun godaan eksotis batuan di sisi kiri dan pohon tua berongga untuk ber-selfie lumayan besar, namun saya lewatkan,  auranya memperingatkan saya.
Kami melaju pelan menyusuri jalan yang tak mulus… tiba-tiba mbah Eka terpekik.
 "Kui Lumpang, kui lho!!!", karena suaranya pula, para muda dan warga yang di pinggir jalan menoleh kepada kami.
Lumpang tersebut didepan rumah seorang warga, karena pekikan tersebut sang empunya kemudian keluar rumah karena penasaran.
Wonten menopo mas”, selidik curiga. 
Setelah berbasa-basi menjelaskan siapa kami, Pecinta Situs dan Watu Candi. 
Kemudian luruh kecurigaan di wajah beliau.
Bahwa didepan rumah beliau ada lumpang kuno, stuktur batu candi dan lain sebagainya”, membuat beliau tambah tercengang. 
Kami juga hubungkan dengan keberadaan masjid Jami' Baitul Muqqorobiin desa Gebugan dimana mempunyai sejarah panjang, beliau tambah berbinar. 
Pesan kami kepada beliau, “Watu-watu candi niki ampun di katutke ndamel pondasi nggeh!”.
Karena hanya edukasi seperti ini yang bisa kami lakukan, kami tak mampu berbuat lebih, siapakah kami?
Rencana kami dari awal, ingin menyusuri pemandangan alam pegunungan dari Desa Gebugan Dusun Bengkle - Dusun Cemanggal - Desa Munding sambil menelusuri jejak purbakala yang barangkali masih tersisa. 
Beberapa warga menggelengkan kepala saat kami tanyai, 'ada atau tidak peninggalan kuno disekitar disini". (hampir semua istilah macam kami gunakan, lumpang, kenteng, lesung, reco, bahkan masjid wurung atau tinggalane mbah wali juga kami utarakan, namun nil. 
Malah di tunjukkan arah dimana ada gua jepang, ada masjid keramat, ada tempat mistis…. "Oh no!.." bukan itu yang kami cari. 
Ada juga Curug Selawe, curug yang masih jarang orang tahu di ceritakan kepada kami… 
Namun bagi kami blusuker… lokasi wisata seperti itu hanyalah bonus. Walaupun tanpa informasi pasti, kepalang tanggung, kami tetap melaju. Niat awal memang blusukan menikmati alam pegunungan, sambil merekontruksi kemungkinan sebaran situs sekitar area ini.
Gua Jepang Mundingan
Jalan berliku, naik turun sepadan dengan indahnya alam serta sejuknya udara segar yang kami hirup.
Kami mampir pula di Gua Jepang yang menunggu entah dengan kesabaran atau tidak, untuk dibangkitkan kejayaan sejarahnya; posisi Gua Jepang Mundingan ada di pinggir jalan.
Kami disuguhi pemandangan yang alangkah aduhainya, sangat jelita dan mempesona bisa diibaratkan seorang gadis.
 Benar-benar belum terjamah, masih asri. Alam yang indah… gugusan bukit, awan yang berlomba dengan puncak beberapa gunung nampak menakjubkan. Gunung Ungaran, juga Gunung Merbabu dikejauhan adalah puncak dari kebisuan saya untuk mengomentari begitu indahnya. Surga bagi penikmat alam raya. Saya yakin, penatnya kesibukan di perkotaan akan langsung lenyap melihat bentangan alam yang tak tergambarkan ini.

eka Wp : Partner in crime
Sayangnya akses jalan sangat parah… terutama di bagian turunan maupun tanjakan, kami berseloroh, “Gulo kacang ae ra separah iki…”

Pemandangan Indah : Telaga Melik Munding Bergas.
Penyiksaan selama perjalanan, terbayar lunas dengan bayaran keagungan ilahi seperti ini… dan yang sangat saya sesali, saya menangis batin membawa kamera SLR, tanpa memori card nya.
 Sesungguhnya, keindahan yang ada difoto-foto saya tadi tak ada 1% nya dibandingkan kondisi sebenarnya!!!

Salam peradaban.



Mari ketahui, lestarikan....










*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang diselengarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar