Laman

Minggu, 27 November 2011

Candi Pawon : Kehebatan Arsitektur Nenek Moyang yang Sering Terlewatkan


Candi Pawon 
Candi Pawon : cantik
 Ketika selesai di Candi Mendut, kembali cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan deras terpaksa membuatku berteduh barang sebentar, siapa tahu seperti tadi yang hanya sebentar, tapi ternyata cukup lama. petunjuk yang saya terima tadi sebenarnya cukup jelas, tapi saya kok ya masih saja kesasar. “Setelah Candi Pawon, terus saja, ketemu jembatan bercabang yang satunya tidak terpakai ambil kiri”, begitu kata bapak penjaga tadi, tapi ku ga teliti, setelah Candi Mendut ada Jembatan dan ada belokan ke kiri….ternyata bukan itu, tapi saat saya kesasar saya jadi melihat keganasan Kali Progo ketika lahar dingin melewati kali itu, jembatannya sampai putus.
Masih dengan hujan yang membasahi jalan2 dan mantol saya, terpaksa balik arah, karena memang salah jurusan, setelah ketemu jembatan yang benar benar bapak penjaga itu maksudkan, saya berjalan pelan-pelan. Ada 3 Cabang jalan, kalau lurus ke arah Candi Borobudur, sementara ke kanan menuju Purworejo/ kota Magelang. Sementara jalan ke kiri (dengan) jalan yang lebih kecil karena masuk perkampungan, ambil ke kiri ini, karena dari jalan pun sudah terlihat stupa Candi Pawon.
Mulaiah......
Sama dengan Candi Mendut, ketika masuk kita musti membayar Rp. 3.300,- selain ada fasilitas asuransi tentunya bea masuk tadi juga sebagai dana untuk perawatan candi ini. Ga salah juga bila kita ga terima uang kembaliannya. Biar Bapak Penjaganya semangat.
Hujan gerimis menyambut saya, seakan Candi Pawon menguji kenekadan saya berkunjung ke Candi Pawon.
Candi Pawon memang lebih “kurus” dari Candi Mendut, tapi bagi saya tidak kalah cantik dari Candi Mendut. Candi Pawon dipugar tahun 1903. (dari berbagai sumber) Asal usul nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya kecuali J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa yaitu Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata  Sansekerta vajra = "halilintar" dan anala = "api".
Di tangga masuk, kita akan disambut arca hewan (kalau saya tidak salah lihat) hewan penjaga candi hmmm mirip anjing, tapi sayangnya hanya tersisa yang sebelah kanan saja, sebelah kirinya raib. 


 
Di pintu masuk Candi Pawon juga dihiasi Kala.






Candi Pawon : di dalam candi
 Di dalam bilik candi ini kosong, sudah tidak ditemukan lagi adanya arca.  Hanya ada tempat menaruh (mungkin) arca di masa lalu. Yang lebih penasaran lagi, di candi ini ada lubang udara di sisi kanan,kiri dan belakangnya, apa mungkin benar dulunya Candi ini menjadi tempat perabuan Raja? Achhh… saya jadi merinding. 
 


 
Banyak orang mengira Candi Pawon merupakan sebuah makam, namun setelah diteliti ternyata merupakan tempat untuk menyimpan senjata Raja Indera yang bernama Vajranala. Candi ini terbuat dari batu gunung berapi. Ditinjau dari seni bangunannya merupakan gabungan seni bangunan Hindu Jawa kuno dan India. Candi Pawon terletak tepat di sumbu garis yang menghubungkan Candi Borobudur dan Candi Mendut
Tidak bermaksud mengada-ada, memang ketika masuk ke dalam bilik candi ada perasaan aneh yang menyergap saya, entah karena saya sendirian, ditambah gelap dan hujan atau ada sesuatu yang ingin menyambut saya entah saya tak mau menyimpulkan, yang pasti saya menikmati suasana di dalam candi ini. 
----Saat saya menenangkan diri, suasana hati benar-benar tenang.----
 Candi pawoni tak kalah mengagumkan, adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).
Kinari merupakan gambaran makhluk setengah manusia setengah burung. Kinari digambarkan berkepala manusia berbadan burung. Tata gerak kinari pada masing-masing sisi berbeda satu dengan yang lain. Melihat ornamen-ornamen yang ada, diduga kuat Candi Pawon merupakan bagian dari candi Borobudur. Hal ini didasarkan pada relief-relief yang terdapat pada Candi Pawon yang merupakan permulaan relief Candi Borobudur.
Letak Candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750m dari candi Borobudur dan 1150 m dari Candi Mendut.  7°36′21.98″S 110°13′10.3″E tepatnya di dusun Brojonalan Desa Wirogunan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai nama lain Candi Brajanalan. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya, kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat bahwa Candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi  Borobudur.




Setelah cukup puas menjelajahi setiap sudut Candi Pawon, akhirnya ku beranjak pulang, karena hujan sudah mulai reda. Tapi ketika saya baru melangkah hujan kembali deras, bahkan sepertinya air dimuntahkan dari khayangan ke Mayapada. Beruntung kedua kalinya saya di persilahkan, berteduh di pos Jaga. 

Bersama Bpk. Kusnadi
Bapak Kusnadi namanya, dengan ramahnya menceritakan suka-dukanya menjadi penjaga Candi Pawon. Ketika ngobrol, saya mendapatkan hal yang cukup menggiriskan, “Yang mengunjungi Candi Pawon ini dari 100 wisatawan luar negeri kurang dari 5 orang wisatawan dalam negeri”….. miris!, saat Merapi bangun dari tidur alias meletus kemarin, kata bapak Kusnadi Candi Pawon ini tertutup abu yang cukup tebal.
Sungguh bangsa yang tidak menghargai bangsanya sendiri…. ♫♪♫itulah Indonesia♫♪♫! Cita2 Gajahmada sia sia…(ups kok jadi ‘gladrah’)
Karena sudah jam 5, hujanpun sudah agak reda akhirnya ku berpamitan. Terimakasih kepada Bapak Kusnadi. Semoga masih semangat…
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya....
(untuk Borobudur---saya masih menunggu Jagad Pramudhita besar : http://www.facebook.com/profile.php?id=100002886269049 ----)

Candi Mendut : Peninggalan bersejarah yang religius


Candi Mendut
Perjalanan kali  ini sungguh beruntung, untuk kedua kalinya ada tugas mengikuti seminar bisa mampir ke candi, kalau saat itu ketika di Solo saya mampir ke prambanan, kali ini seminar di daerah Magelang jadi bisa mampir ke Candi yang berada di kawasan Borobudur.
tepatnya tanggal 23 November 2011, setelah mengikuti seminar di UMM Magelang sedikit kupaksakan untuk mengunjungi Candi di kawasan Borobudur.
Rute yang dilalui sangat mudah, sobat tinggal mengikuti jalur Semarang Jogja, ikuti papan petunjuk ke arah Candi Borobudur, karena Candi Mendut ini berada sebelum Candi Borobudur.
Candi Mendut tujuan pertama saya. Terletak di Desa Mendut, kecamatan Mungkid Kota Mungkid, Kabupaten Magelang,Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur dengan koordinat: 7°36′17.17″S 110°13′48.01″E. Candi Mendut adalah sebuah Candi yang berlatar belakang agama Buddha. 
Setelah membayar tiket masuk Rp. 3.300,-, dan memarkir motor lalu berganti sandal (saya saat sampai disini masih pakai sepatu pantovel, hehehhe) biar nyaman jika nanti bernarzis ria.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Candi Mendut : 48 stupa
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah, sedangkan tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
cerita Pancatantra dan Jantaka




Harītī
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa Dewata Gandarwa dan Apsara atau Bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan Jantaka. Dinding candi dihiasi relief Boddhisatva di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka. 

Di Tangga Candi Mendut, kita akan disambut penjaga Candi, di tangga bagian ataspun ada kepala naga di kanan dan kiri tangga.
 
       Di samping candi disetiap sisinya ada naga yang berlubang yang berfungsi sebagai saluran pembuangan air.
Dhyani Buddha Wairocana
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi. Sekarang di depan arca Buddha diletakkan pedupaan dan keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa menyulut sebuah dupa dan berdoa di sini.

Wajrapāņi

Awalokiteśwara

Boddhisatva Ksitigarbha







 

Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
Brahmana dan seekor kepiting.
Brahmana dan Kepiting
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini: Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan. Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman. Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.” Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka. Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.

Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
Angsa dan kura-kura
Angsa dan Kura-kura
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:
Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru. Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati. Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina. Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya: “Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya: “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian. Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa. Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan. Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu. Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
Dharmabuddhi dan Dustabuddhi
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.
Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

Dua burung betet yang berbeda.
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.

Parade Relief Candi Mendut


























Vihara Buddha Mendut
Arca Buddha sumbangan Jepang.
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
   Di sebelah kanan Candi Mendut, masih ada reruntuhan Candi Mendut, yang tampaknya dulu adalah sebagian atap yang sampai sekarang belum terpasang, juga ornament batuan yang dulu sebagai penghias candi seperti pagar, tempat sesaji dll.



Ditengah tengah suasana Candi yang saya nikmati, tiba tiba cuaca kurang bersahabat, tapi  security-nya baik hati, karena aku diperbolehkan berteduh. Beruntungnya hujan yang cukup deras hanya sebentar saja. Kembali kulanjutkan menikmati keanggunan Candi Mendut ini….
Setelah puas menikmati ekspedisi di Candi Mendut ini, perjalanan saya lanjutkan ke Candi Pawon, yang menurut informasi dari penjaga Candi Mendut tadi kurang dari 2km jaraknya ke Candi Pawon.
Sampai ketemu di Candi Pawon….