Sabtu, 13 November 2010

Kerajaan Kanjuruhan


Kerajaan Kanjuruhan
 

Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah. Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Putri Sima memerintah di Kerajaan Holing; dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuna. Di Jawa Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede KecamatanLowokwaru. Kerajaan itu bernama Kanjuruhan.
Candi Badut
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Sungai Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Budha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 saka atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M. Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Sinta mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.

Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang oleh ayah diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Simha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat besar. Ia disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuna terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuna zaman Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur Gunung Kawi.
Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.
Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
1.      daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
2.      daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3.      daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4.      daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5.      daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6.      daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
7.      dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.
Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno di masa lampau
 Prasasti Dinoyo
Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan.
 Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).
1.      Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut : 
2.      Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
3.      Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
4.      Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
5.      Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
6.      Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
7.      Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
8.      Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
9.      Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
10.  Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok


Rabu, 03 November 2010

Serat Panji Asmara Bangun : Menak Agung


 Menak Agung
 (07)

Saat ini diceritakan tentang raja Bali yang amat berkuasa dan memerintah negerinya dengan baik sekali. Pada suatu kali, ia hendak bersenang-senang dengan berburu. Untuk itu disuruhnya panggil orang-orang besarnya. Menak Agung dan Cau (Sadulumur dan Prasanta) harus mempersiapkan segala sesuatu untuk perburuan. Suatu rombongan besar bergerak menuju hutan, tempat berburu. Perburuan pun dimulai. Banyak perburuan binatang ditangkap.
Sementara sang raja berdiri dibawah payung dekat pohon Tangguli, seekor ular datang mendekatinya, sebesar pohon Tal. Karena ketakutan, orang-orang pada lari kucar-kacir. Sang raja tinggal seorang diri dan dilihatnya ular itu semakin mendekat. Tapi baru saja ular itu sampai di tempat raja, Jaja-asmara pun datang berlari-lari, dipegangnya kepala binatang itu dan diputarnya sehingga putus dalam sekejap, sekalian yang melihatnya terheran-heran. Sang raja menghadiahinya kerajaan Linjangan, dengan hak memakai gelar adipati.
Setelah banyak binatang perburuan terkumpul, diberilah tanda untuk pulang. Sang raja segera tiba di pagelaran (beranda muka)keraton, dimana dibicarakan lagi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang berdekatan (syair 24-26 ada bagian-bagian yang rusak, sehingga tidak dapat dimengerti). Mula-mula direncanakan akan menaklukkan kerajaan Balambangan, setelah itu Tuban dan seterusnya. Sang raja menyetujui rencana itu. Segera orang-orang dikumpulkan untuk bersiap-siap mencari perjalanan penaklukan itu.
Jaja-asmara berangkat dengan tentara yang besar ke Balambangan. Dengan cepat mereka menyeberangi selat Bangawan (Bali) dan mengadakan pertahanan di pelabuhan.
Raja Balambangan duduk dihadap oleh para pembesarnya. Sang Patih, Nila Bangsa memberitahukan tentang kedatangan musuh. Ditulis surat pada Wirasaba dan Sandi-waringin. Dalam pada itu tentara Balambangan dikerahkan. Pertempuran dimulai.
Pertempuran dilanjutkan, raja Balambangan tewas. Keraton diduduki oleh Jaja-asmara. Yang masih hidup menyerah. Seorang keponakan raja yang tewas, diangkat menjadi raja oleh Jaja-asmara. Raja baru ini harus menghadap raja Bali, dengan membawa upeti sebagai bukti penyerahan. Raja-raja Wirasaban Sandipura dan Sandi-waringin  harus melakukan demikian pula. Dikirimsurat edaran ke Bupati lain di Bang Wetan, mengatakan bahwa barangsiapa tidak menyerahkan diri akan dibinasakan.
Setelah menerima pemberitahuan itu para bupati Bang Wetan memutuskan untuk menyerahkan diri kepada Bali. Mereka membawa upeti dan menyerahkan puteri-puterinya kepada raja Bali. Jaja-asmara setelah mendapat kemenangan pulang ke Bali.

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya"Serat selanjutnya : Raja Bauwarna

Serat Panji Asmara Bangun : Raja Bauwarna


Raja Bauwarna
 (08)

Saat ini diceritakan tentang Raja Bauwarna. Sudah empat puluh hari lamanya, bahkan dua bulan dia tidakmuncul-muncul. Ia berhasrat sekali hendak menaklukan Bali. Tapi tidak ada yang berani menaklukan tugas itu, karena Bali amat berkuasa. Kini sang Raja keluar dengan segala kemegahan. Para pembesar hadir semua. Disebutkan para pegawai-pegawai. Astra Miruda dan Astra Wijaya. Yang pertama memakai dodot merah pun hadir. Raja bertanya kepada patih Jaja-singa, siapa yang ingin memikul tugas menaklukan Bali. Patih menjawab “Tidak ada, sudah diminta kepada orang Urawan, tidak ada yang berani. Hanya Jaja-kusuma yang belum diminta pendapatnya tentang itu, Pun dengan Astra Mirusa dan Astra Wijaya. Sang raja menyuruh panggil tumenggung untuk berbicara sendiri dengannya.
Tumenggung datang. Kepada raja mempertanyakan keselamatan kerajaan Urawan. Tapi raja hendak menaklukan Bali ( juga disebut Nusa kembangan. Pulau kembang”. Panji berjanji kepada raja akan melaksanakan tugas itu. Astra Miruda dan Astra Wijaya pun berjanji demikian. Raja puas dan mengundurkan diri. Yang tinggal di paseban mempertanyakan soal penghormatan dan gaji tumenggung yang tidak sesuai dengan jasa-jasanya, orang lain yang belum melakukan apa-apa untuk kerajaan, lebih banyak penghasilannya. Percakapan ini tidak diteruskan. Orang pada bubar. Astra Miruda pulang naik kuda dengan bertudung payung, Astra Wijaya pun juga, bahkan meliputi kerisnya dengan punya kainnya (suatu tanda orang pesolek). Tapi Jaja-kusuma berjalan kaki saja dan tidak pula berpayung. Orang yang melihatnya mengira, bahwa ia pasti habis kena marah raja, tapi mengapa? Orang yang mengetahui lalu menceritakan keadaan yang sebenarnya: ia harus menaklukan Bali.
Sureng-rana, puteri Cemara, ia menyesali Panji (dengan banyak menggunakan wangsalan), sambil menangis. Seorang emban menghibur hatinya dan mengusulkan supaya ia menyongsong suaminya “tapi ia diusir seperti kucing dan puteri itu bertambah keras tangisnya.
Jaja-kusuma duduk di pendapanya. Dikelilingi oleh para sentana dalem. Dikatanaknnya bahwa ia mendapat perintah dari raja. Untukmenaklukan Bali. Para sentana dalem berjanji akan menolongnya.
Dalam pada itu datang emban, mengatakan bahwa istrinya sedang menangis dengan sangat. Panji berdiri dan mendatangi istrinya yang masih marah kepadanya. Dipeluknya istrinya itu, tapi ia coba melepaskan diri.
Panji menghibur hatinya. Dimintanya supaya ia tinggal di rumah, apabila ia pergi berperang, tapi istrinya menjawab bahwa ia ingin ikut serta, diapun seorang satria, katanya. Disuruhnya saudaranya mempersiapkan pakaian perangnya. Adegan kamar. Omong-omong para emban.
Patih sekonyong-konyong datang ke tempat kediaman Panji, mengetuk pintu. Terkejut Panjikeluar dari kamarnya, hanya berbaju dalam. Isterinya pun hanya berbaju tidur. Patih tidak berani memandang Pnanji. Dan membalikkan diri. Surengrana menarik kembali suaminya kedalam, dan memberinya pakaianyang pantas pertemuan.
Ketika ditanyakan, patih menjawab bahwa ia diutus oleh sang raja untuk menyerahkan pusaka kerajaan kepada Panji. Dengan jalan demikian ia menguasai kerajaan.
Selanjutnya patih berkata, bahwa raja marah kepada Astra-wijaya. Apa sebabnya ia tidak tahu. Sang patih pulang. Panji bertanya kepada para Kadejan, apakah ada yang mengetahui kenapa raja marah kepada Astra-wijaya. Salah seorang dari mereka, Jaja-sentika, mengatakan bahwa Astra-wijaya disangka memasuki keraton,hal itu sudah dilakkukannya tiga kali dan sekali sang raja sendiri melihatnya. Raja melemparkannya dengan parang tapi tidak kena. Panji tersenyum.
Surengrana berkata, aneh sekali bahwa raja memberi gajah betina kepada orang yang pergi berperang. Bukankah gajah betina itu hanya bisa dipergunakan untuk mengangkut harta rampasan? Panji memujinya atas pemandangannya yang tepat itu. Lalu disuruhnya Astra-miruda datang kepadanya.
Saat ini diceritakan tentang Astra Miruda, kepala mantra anom. Dia berlaku sebagai don juan, wanita-wanita Singasari menjadi korban kenakalannya. Ia senang sekali menyabung ayam dan permainan taruhan yang lain. Para penjudi dimintanya datang kerumahnya untuk bermain. Kekayaan dan perhiasan yang dibawa istrinya dari Patani, segera tandas. Malahan hamba sahajapria dan perempuan digadaikan kepada orang Cina. Kewajibannya diabaikan. Isterinya sedih karena perbuatannya ini, ditambah lagi karena suaminya bersuka-sukaan dengan Puteri Urawan. Ia menyesalkannya. Ia menangis dengan sedih di tempat tidurnya, bantal dan guling dilemparkannya. Seorang emban mencoba, tapi sang puteri berkata : tutp mulutmu, kalau tidak kulempar kepalamu dengan penumbuk sirih ini. Emban ketakutan oleh ancaman itu dan pergi kepada Astra-miruda yang sedangmemegang burung, emban itu menceritakan halnya. Astra-miruda mendapatkan isterinta dan menghibur hatinya. Tapi ia tetap marah kepadanya dan bertanya kemana suaminya itu pergi malam anu dan malam anu. Suaminya menjawab, “Aku pergi ke Pangeran Sinjanglaga”. Dimajukannya kagi beberapa pertanyaa, mengapa Miruda tidak pulang kerumah. Miruda terus memberikan jawaban mengelak. Sang puteri mengemukakan satu pertanyaan lagi: Mengapa kau pulang tidak berbaju hari Jumat?” suaminya menjawab: “Aku berjudi di kampung cina dan kehabisan segala”.
Sekonyong-konyong datang seorang perempuan dari keraton, diutus oleh Puteri Urawan, untuk mengembalikan pakaian Astra-miruda yang ketinggalan karena terburu-buru, bersama sepucuk surat dalam bungkusan kertas dengan kembang. Dalam surat itu sang Puteri mengatakan, bahwa Miruda tidak memegang janji.
Isterinya mengingatkan Miruda, bahwa perbuatan itu bersahaja, tapi Miruda menenangkan hati istrinya.


Serat selanjutnya : Jaya Kusuma
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi “Nguri-Uri Budaya