Senin, 23 Agustus 2010

Serat Purwa Kanda : Prabu Amiluhur


Prabu Amiluhur
(05)

Raja teringat akan suara yang mengatakan kepadanya, bahwa anaknya akan diperistri oleh seorang Pangeran Jawa. Maka disuruhlanh Pangeran-pangeran itu dibawa kekeratonnya. Dimintanya penjelasan lebih lanjut tentang diri pemenang itu.
Dalam pada itu dari luar diberitahukan, bahwa keempat puluh raja yang datang untuk maksud yang sama, mulai mengamuk. Setelah dimusyawarahkan raja menyerahkan kepada Pangeran-pangeran Jawa untuk memusnahkan mereka. Pangeran-pangeran tersebut keluar dengan beberapa pengiring untuk menghadapi musuh. Sambil menantang, raja-raja itu sudah melakukan persiapan untuk berperang.
Pertempuran dimulai. Karena kekuatan musuh lebih besar, tentara Keling terpaksa mundur. Miluhur lalu teringat akan janji kedua Jati. Disentuhnya bumi tiga  kali dan sekonyong-konyong kedua Jati itu menjelma, diiringoi oleh tentara yang besar, terdiri dari makhluk-makhluk gaib yang mempergunakan jerat sebagai senjata. Keempat puluh raja itu kesemuanya diikat. Prajurit-prajuritnya dihalau kacau-balau. Kedua Jati itu membawa raja-raja yang sudah diikat itu kepada Miluhur dan mereka menyerahkan diri kepadanya. Setelah itu kedua Jati ghaib pula seperti sebelumnya. Bersama patih Pangeran-pangeran Jawa itu membawa raja-raja yang takhluk itu kepada raja Keling, yang karena rasa maturnuwun menjanjikan kerajaan kepada Miluhur. Segera dilangsungkan perkawinan Miluhur dengan putri raja, dengan segala upacara kebesaran.
Diadakanlah pesta yang ramai. Demikianlah Miluhur mendapatkan putri Sangkaningrat dari negeri Keling sebagai istri.
Setelah tujuh hari, raja memperlihatkan diri pula keluar. Miluhur pun hadir.atas pertanyaan raja, apayang kini hendak dilakukan oleh Miluhur kepada empat puluh raja itu, ia menjawab bahwa mereka sebaiknya dikirim kembali ke negerinya. Tapi sekali setahun mereka harus datang berkunjung ke negeri Keling dengan membawa upeti.
Untuk menentramkan hati raja Jawa, raja Keling akan mengirimkan berita kesana, menjelaskan apa yang sudah terjadii di negeri Keling. Atas usul Miluhur untuk itu ditunjuk pedangan yang sudah menolongnya member tempat bernaung, tatkala ia sampai ke negeri Keling. Demikianlah Martawangsa dengan diiringi beberapa pengiring dikirim kepada raja Jenggala Manik untuk menyampaikan berita itu. Raja kembali kedalam keraton, keempat puluh raja pulang kenerinya masing-masing dan martawangsa naik kapal menuju pulau Jawa. Tidak diceritakan kejadian-kejadian dalam perjalanan, Martawangsa segera sampai ke tanah Jawa. Raja Jenggala Manik beserta permaisurinya,semenjak perginya putra-putranya, amat berduka cita. Tapi saat ini sampailah kabar baik. Patih memberitahukan kedatangan pedangang Martawangsa kepada raja. Setelah dipanggil menghadap raja. Martawangsa menyerahkan surat, yang segera dibaca oleh sang raja. Melalui surat itu, kini sang raja dengan girang mengetahui pengalaman-pengalaman ketiga orang puteranya. Martawangsa diterima dengan baik dan tinggal dirumah patih. Bebrapa hari kemudian ia dikirim kembali ke negeri Keling dengan surat balasan. Raja Manik Jenggala Memberinya kecuali hadiah-hadiah balasan juga sejumlah besar orang dengan sebuah kapal untuk membawa putera-puteranya kembali ke tanah Jawa. Sampai di negeri Keling, orang Keling mengagumi orang Jawa yang melakukan segalanya dengan tertib. Raja Keling diberitahu tentang kedatangan Martawangsa, yang baru kembali dari Pulau Jawa. Ia keluar dikelilingi oleh pembesar-pembesar. Kepada Martawangsa diucapkan selamat datang dan ia menceritakan hasil tugas perjalanannya. Dibacalah surat dari Raja Jenggala Manik. Orang merasa girang. Orang-orang Jawa yang baru datang dipanggilah oleh miluhur dan disambut dengan baik.
Pertemuan berakhir. Raja kembali ke keraton. Sejak datangnya orang Jawa di Keling. Setiap senen Miluhur mengadakan senenan seperti dijawa.orang Keling melihat permainan senenan Jawa itu (semacam turnoi) dengan gembira dan kagum.
Setelah enam bulan tinggal di negeri Keling, putera-putera raja ingin pulang ke Jawa. Mereka minta ijin ke raja dan diperkenankan pergi. Orang-orang bersiap-siap untuk perjalanan kembali ke pulau Jawa. Kapal-kapal diselesaikan, dimuat didalamnya barang dan makanan. Setelah selesai semuanya, Miluhur dan istrinya pamitan dengan raja dan permaisuri. Merekapun naik kapal dan berangkat menuju pulau Jawa.Raja dan permaisuri ditinggalkan berduka cita.
Sampai di pulau Jawa, kapal ditujukan ke pelabuhan Jungmara. Adipati kota itu sudah mempersiapkan penginapan dan sebagainya. Orangpun turun kedarat. Pertemuan antara pangeran dipati Jungmara, seorang cucu Sandanggarba, jadi masih keponakan jauh bagi Miluhur. Ketika ditanya, dipati yang bernama Setraprameja menjawab, selama kepergian para pangeran itu, ayahnya meninggal dunia, tapi setelah itu, atas sabda dhawuh raja Jenggala Manik, ia menggantikannya. Ia mempunyai saudara perempuan jelita, bernama Setrawulan, yang padaperjamuan makan bersama melayani para pangeran. Miluhur jatuh cinta kepadanya, tapi tidak menyatakannya. Para pengeran hanya tujuh hari tinggal di Jungmara. Kemudian orang berangkat lagi dengan joli dan naik kuda. Pangeran Singasari dan Lembu Mijaya menyongsong para pangeran itu di tengah jalan. Pertemuan yang hangat. Tiba di kaki gunung Semeru, Miluhur hendak mampir sebentar di tempat kediaman kedua Jati. Ditinggalkannya istrinya, dijaga oleh pangeran Singasari, di jalan besar, dan ia pergi tanpa pengiring mendaki gunung. Tapi kedua saudaranya ikut serta. Setelah sampai diatas mereka bertemu dengan kedua keramat itu. Setelah pertemuan yang mesra, Miluhur mengusulkan supaya mereka melakukan tapa di kota saja dan membantunya dalam urusan Negara.


Serat selanjutnya : Prasanta dan Jati Pitutur
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi kebudayaan





Minggu, 22 Agustus 2010

Serat Purwakanda : Mangarang dan Midadu


Serat Purwakanda : Mangarang dan Midadu

Mangarang dan Midadu
(03)

Dengan berhati sedih berangkatlah Miluhur dari keraton, tidak kembali ketempat tinggalnya sendiri. saudara-saudaranya, Mangarang dan Madidu, juga turut bersama-sama menghadap ayahnya, juga ikut dengan dia. Ketiga putra raja itu masuk hutan keluar hutan, dengan tiada tujuan tentu. Setelah ketiga orang putra raja itu meninggalkan kota, rakyat seluruhnya berduka cita.
Maka tersebutlah pertapaan di gunung Jambangan. Di tempat itu sudah lama tinggal dua orang bersaudara yang sedang tapa. Mereka itu bernama Jati-pitutur dan Pitutur-jati. Keduanya sebenarnya bukan manusia, akan tetapi dewa utama, yang sedang mencari anak angkatnya Wisnudewa. Wisnudewa bersama istrinya menghilang dari keinderaan. Tapi kedua Jati itu mengetahui di mana mereka akan menemui penjelmaan dewa Wisnu, karena itulah mereka menunggunya di Pulau Jawa sebagai pertapa.
Ketiga orang pangeran itu berjalan dalam hutan, tak tahu arah tujuan. Dari jauh mereka lihat suatu cahaya diatas bukit itu, mereka bertemu kedua pertapa itu, yang menyambut mereka dengan ramah.

Serat selanjutnya : Arga-Jambangan
Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi kebudayaan

Sabtu, 21 Agustus 2010

Serat Purwakanda : Keraton Jenggala Manik

Serat Purwakanda : Keraton Jenggala Manik



Keraton Jenggala Manik
(02)

Kanjeng sinuwun pindah ke keratonnya yang baru, yang tetap memakai nama Jenggala Manik seperti nama rimba tempatnya dibangun itu. Orang Kuripan yang mau pindah, pindahlah ke Jenggala Manik yang amat makmur. Keraton Kuripan yang lama lalu dijadikan sebuah taman,yang menimbulkan kesan seakan-akan tempat itu sbuah pertapaan. Dalam keratn yang baru diadakan keramaian.
Kemudian ketiga orang saudara raja itu mangkatlah: panuwun meninggalkan seorang putra, ia menjadi menantu raja lalu menggantikan ayahnya menjadi Bupati Bagelen dengan nama Arumbinang. Juga putra Karungkala menggantikan ayahnya dengan nama Dirajasena. Anak Tunggul-petung juga sudah menggantikan ayahnya, memakai nama Tunggul-seta. Ia harus pindah ke kratonnya yang lama di Panaraga. Prambanan lalu dijadikan tempat pelipur lara.
Sri Gentayu lama memerintah, dari putra mahkota Dewakusuma, ia sudah mempunyai cucu lima orang, tapi masih kecil-kecil. Yang tua sekali seorang perempuan bernama Warakili, yang kedua seorang pria benama Luhur, yang menengah juga seorang pria, Mangarang namanya. Yang dibawah itu pria pula, bernama Midadu dan yang bungsu seorang perempuan Wragilwangsa  namanya, tapi ia dari lain ibu. Ibunya ialah putri dipati Singasari, bernama Sindureja yang sudah meninggal. Sejak itu ia digantikan oleh anaknya, jai ipar Dewakusuma dengan nama Jayasastra krena ia juru tulis Dewakusuma.
Perpindahan raja ke Jenggala-manik terjadi dalam tahun 800M (laja-Boma-sariraning). Raja tidak dapat melihat cucu-cucunya dikawinkan. Sinuwun jatuh lalu mangkat. Tak lama kemudian meninggal pula patihnya. Jakasanagara yang meninggalkan seorang putra bernama Amongtani.
Dengan upacara kebesaran Dewakusuma diangkat menjadi raja Jenggala Manik. Jayasastra membacakan pengumuman itu, sekalian rakyat bersorak gegap gempita atas pengangkatan itu dan dimana-mana rakyat memberi hormat dengan bunyi musik gamelan, tembakan meriam dan sebagainya. Setelah itu diadkan keramaian. Pengangkatan Dewakusuma mejadi Raja Jenggala Manik terjadi pada tahun 811 M (eka tunggal sarira). Sebagai patih lalu diangkat Murdana-sraja.  Oleh kebijaksanaan raja dan kecakapan patihnya negeri menjadi makmur dan sejahtera.
Raja itu mempunyai lima orang anak yang kini sudah dewasa. Yang sulung, Warakili tetap tidak kawin dalam hidup membujang ia selalu melakukan badah. Yang kedua Miluhur jadi anak lak-laki yang tertua, diangkatnya menjadi putra mahkota. Putranya ini sudah kawin dengan putri Bupati Bagelen.
Putri ini yang jadinya istri pertama putra mahkota, bernama Murdaningrum dan agak pencemburu. Suaminya sebenarnya tiada berapa mencintainya. Ia hanya mengawininya karena takut kepada ayahnya. Lagipula ia sudah mempunyai tiga orang selir; yang seorang anak rangga Blora, yang kedua putri Demang Cengkalsewu, dan yang seorang lagi sahaya yang berasal dari negeri Candana laras. Pangeran itu amat mencintai selir-selirnya itu.
Saudaranya, mangarang juga sudah kawin dengan anak seorang Bupati Bandung. Putri itu bernama Candra-ningsih. Mangarang beroleh daerah Kadiri dan selanjutnya bernama Lembu Mangarang. Midadu sudah kawin pula dengan putri Bupati Panaraga, bernama Sumekar. Ia mendapat daerah Gegelang dan seterusnya bernama Lembu Midadu.
Yang bungsu, putri Wragil-wangsa kawin dengan putra Sastrajaya, yang sudah meninggal dan digantikan anaknya sebagai Bupati Singasari dengan nama Lembu Mijaya. Putra Mahkota, Lmbu Miluhur dengan selirnya dari Blora, mendapat anak seorang perempuan yang dinamakan Kenestri (dalam bagian lain: Kanistren). Anak itu dirawat oleh neneknya, yaitu permaisuri.
 Putri mahkota sudah hamil tujuh bulan. Begitu pula kedua selir putra mahkota yang lain, sudah hamil pula. Karena dengki, lalu putri mencari akal. Putri itu pura-pura sakit, merasa sakit kepala dan kedua belah kakinya lumpuh. Pangeran ketika diberitahukan hal itu, lalu menanyakan kepadanya apa sebabnya. Putri itu menerangkan, bahwa ia ketika tidur bermimpi dipukuli oleh kedua orang selirnya itu, yang seorang memukul kepalanya, dan seorang lagi memukul kakinya. Apabila mereka itu tiak disikirkan, pastilah ia akan menemui ajalnya. Kerena marah kepada dua orang selirnya, putra mahkota memerintahkan untuk megasingkannya dan membunuhnya. Tugas itu diserahan kepada lurah (kepala pasukan) Gulang-gulang bernama Sumambita. Kedu selir itu dibawalah kedalam hutan, aka tetapi ketika Sumambita hendak menjalankan perintah itu, selir yang berasal dari Cengkal-sewu direbut oleh Batara Kala dengan cara  yang gaib, serta disembunyikannya didalam sebuah hutan,dimana kala sudah menciptakan baginya sebuah tempat yang dapat didiami. Permpuan itu melahirkan seorang anak pria, yang atas sabda dhawuh Kala, dinamakan Phunta.
Hal yang sama terjadi pula atas diri sahaya keturunan Papua yang tengah mengandung, tapi ia dilarikan oleh Antaboga, raja ular, yang jatuh kasihan kepadanya dan mnyembunyikannya dalam sebuah gua. Setelah sampai waktunya ia melahirkn seorang anak pria, bernama Kertala. Karena disihir oleh kedua Dewa itu, sang lurah mngira bahwa ia sudah membunuh kedua perempuan itu. Karena itu iapun melaporkanbahwa ia sudah melakukan tugasnya.
Dalam pada itu, putri mahkotapun sudah mlahirkan seorang anak pria yang kukuh perawakanya. Ketika dibawa kepada kakeknya ia diberi nama Godeg (yang bercambang). Lagipula raja meramalkan bahwa anak itu tidak akan menjadi raja. Selanjutnya Kanjeng Sinuwun menanyakan bagaimana keadaan kedua orang selir itu. Ketika kanjeng sinuwun mendengar jawaban yang berdasarkan kejadian sebenarnya, kanjeng Sinuhun marah kepada putra mahkota, tapi tidak menampakkan kemarahannya itu. Kemuian kedengaranlah suara, yang mengatakan bahwa Miluhur tidak akan memperoleh anak yang akan menjadi raja, kecuali bila ia kawin dengan seorang Putri Keling (Hindia Depan). Kanjeng sinuwun memerintahkan Miluhur datang menghadap. Ia mendapat marah karena perbuatannya terhadap kedua orang selirnya. Miluhur saat ini harus mencari seorang istri, yang akan melahirkan seorang putra yang berhak menjadi raja.

Naskah selanjutnya : Mangarang dan Midadu
Diketik Ulang untuk sasadaramk.blogspot.com, dari buku Kitab Jawa Kuno




Serat Purwakanda : Guna Rasaning Pandita


Guna Rasaning Pandita

Raja Kuripan, putra Resi Gentayu ingin menjadi maharaja seluruh tanah Jawa. Keluarganya menyetujui keinginan itu. Ia lalu muncul dengan tanda – tanda kebesaran yang lengkap sebagai raja besar, seperti lancang, bokor, bancak-dalang rusa emas, Ardawalika dan sebagainya. Gajah dan kuda dibawa kepada sang raja. Hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Sekalianya ini sudah diadakan oleh Dandang-gendis, karena bakatnya menemukan sesuatu. Akan tetapi musik gamelan lengkap belum ada, musik gamelan itu masih merupakan perangkat bunyi-bunyian menurut tata Seberang, terdiri dari Gong gendang, ketuk dan kecapi. Inilah baru alat-alat bunyi-bunyian yang ada.
    Dandang-gendis bersinar sebagai matahari ditengah-tengah lingkungannya. Dia mempunyai pengetahuan dalam segala hal, dalam ilmu bahasa dan sastra, dan juga dalam ilmu kesenian. Ia cocok benar dengan patihnya yang bernama Jaksanagara, yang juga pecinta kesenian. Patih itu lalu berdiri dan mengumumkan kepada rakyat bahwa raja itu sekarang menjadi maharaja seluruh pulau Jawa yang tiada terbagi-bagi. Untuk selanjutnya ia akan memakai nama Resi Gentayu. Jadi nama ayahnya akan dipakainya. Sekalian rakyat menyetujuinya dengan suara yang gegap gempita, sedangkan musik gamelan ditabuh orang sebagai tanda penghormatan. Tembakan penghormatan dilepaskan. Mereka, yang dalam hubungan kekeluargaan lebih tua dari kanjeng sinuwun, memberi hormat kepadanya, yang muda-muda mencium kakiknya. Setelah itu mereka makan brsama-sama, mereka terus bersukaria sampai larut malam. Penobatan ini terjadi dalam tahun  763 M (Guna-Rasaning-pandita).
Akhirnya orang banyak itu bubar. Raja mengundurkan diri dalam keraton. Raja-raja taklukan sudah pulang ke negerinya masing-masing. Dengan cara inilah Gentayu menjadi raja. Putranya yang tertua bernama Dewakusuma yang bersaudara tida orang putri yang sudah dewasa. Dewakusuma sudah kawin dengan putri raja Panubun dari Bagelen bernama Candrawati.
 Ketia putri itu,saudara-saudara Dewakusuma, sudah bersuami pula. Seorang diantaranya bersuamikan putra raja Sandang-garba di Jungmara, seorng lagi putra raja Krungkala dariiii Bandung danseorang lagi kawin dengan putra Tunggul-petung raja Prambanan.
Raja Gentayu bangga akan putranya, karena ia banyak mempunyai sifat-sifat yang baik dan terutama ia saangat alim. Ia bermaksud hendak mendirikan sebah keraton baru dan untuk itu dipilihnya rimba jenggala manik yang segera diciptakan sebagai kota.

Naskah selanjutnya : Keraton Jenggala Manik
Diketik Ulang untuk sasadaramk.blogspot.com, dari buku Kitab Jawa Kuno

Serat Purwakanda : Arga-Jambangan


Serat Purwakanda : Arga-Jambangan

Arga-Jambangan
(04)

Tatkala ditanyakan kepada tamu-tamu itu siapa mereka, mereka mengelak memberikan jawaban yang tegas. Tapi kedua orang keramat itu sudah tahu sebelumnya siapa mereka itu dan menyebutkan nama dan sebagainya dari tamu-tamu itu. Tatkala ditanya oleh tamu-tamu itu siapa konon nama orang-orang keramat itu, mereka menyebutkan namanya. Juga nama tempat mereka bertapa itu disebutkannya yaitu, Arga-Jambangan, sebagian dari gunung Semeru. Ketiga tamu itu menyerahkan diri sepenuhnya kepada para pertapa, yang berjanji akan berusaha melakukan segala sesuatu bagi mereka. Makananpun dihidangkan. Selama mereka tinggal ditempat pertapaan, anak-anak pangeran itu mendapat pelajaran mengenai tugas kewajiban seorang raja. Selain itu pangeran-pangeran itu diminta menyebut kedua perta itu dengan sebutan kakang (saudara yang lebih tua). Atas pertanyaan Miluhur apa yang saat ini sebaiknya mereka lakukan, orang-orang keramat itu menganjurkan kepadanya supaya pergi ke tanah ageng (negeri besar) di tanah seberang, untuk mencari seorang istri yang pantas. Raja Keling saat ini sedang mengadakan sayembara. Sebuah sada atau lidi ditanam di dalam tanah. Barang siapa yang sanggup mencabutnya dari dalam tanah, akan mempersunting putri raja. Banyak raja-raja yang mencoba kekuatannya, tapi tidak ada yang berhasil. Karena itu Miluhur harus pergi ke Keling untuk mencoba nasibnya. Apabila Miluhur menjawab, bahwa sukar baginya untuk menyeberangi lautan, karena ia tak mempunyai kapal, dan akan lama menunggu sebuah kapal sewaan, maka para keramat memberikan sebuah Kalpika yang harus dipasangnya pada ibu jari kakinya. Dengan Kalpika ia dapat menyeberangi lautan tanpa bahaya. Kedua saudaranya harus dipegang baik-baik supaya tidak tenggelam ke dalam laut.
Apabila Miluhur mendapat kesukaran di negeri asing, maka cukuplah ia menyentuh tanah dengan tangannya, kedua orang keramat itu akan menolongnya.
Berangkatlah ketiga orang pangeran itu, setelah sampai di tepi laut, Miluhur memakai Kalpika dan berjalan dengan kedua orang saudaranya diatas air seperti berjalan diatas tanah. Karena tenaga Kalpika itu, mereka menjalani jarak yang jauh dalam waktu sekejap saja. Dan sampailah mereka di pelabuhan Keling. Tapi disini pun mereka mengalami kesukaran, karena tidak mengenal bahasa dan adat istiadat negeri itu. Tapi diantara pedagang-pedagang di negeri Keling itu, ada juga orang Jawa. Mereka mencarinya untuk menjadi penunjuk jalan diantara mereka. Mereka temukan yang bernaama Martawangsa, seorang Jawa yang sudah lama tinggal lama di Keling. Meeka berkenalan dengannya, anak-anak raja itu memperkenalkan diri sebagai orang yang kapalnya karam. Orang Jawa itu menerima mereka dirumahnya. Dalam waktu dua bulan saja mereka sudah pandai berbicara dalam bahasa Keling. Setiap hari mereka pergi ketempat raja-raja asing itu mengukur tenaga untuk mencabut lidi dari dalam tanah, tak seorangpun juga belum ada yang berhasil melakukannya. Miluhur meminta pertimbangan saudara-saudaranya untuk mencoba nasibnya. Pun pedagang itu diminta pertimbangannya, tapi ia ragu-ragu akan kemampuan pangeran itu. Orang-orang yang tidak berhasil mencabut lidi itu disoraki dan dianiaya. Ia kuatir Miluhur akan mengalami nasib yang serupa pula. Miluhur berkeras hendak mencoba.
Ketiga orang pangeran itu, kini berjalan diantara orang banyak dan pergi menghadap patih. Orang terkejut bukan orang Keling yang dating menghadap itu. Setelah dicari penjelasan mengenai diri mereka itu, jenis bangsanya dan sebagainya, diberilah laporan kepada raja yang menyuruh orang-orang asing itu menghadap. Mereka diperkenalkan, setelah itu ketiga pangeran itu dibawa kembali ke alun-alun untuk mencabut lidi. Dengan disaksikan oleh banyak raja-raja dan penonton, tuamuda laki dan perempuan. Miluhur mencabut lidi itu dari dalam tanah. Orang bersorak-sorai. Patih berlari-lari mendapatkannya dan menyuruh orang memberitahukan kepada raja, bahwa lidi sudah tercabut dari dalam tanah oleh seorang jawa.
 
Serat selanjutnya : Prabu Amiluhur

Diketik ulang oleh sasadaramk.blogspot.com untuk membagi kebudayaan

Senin, 16 Agustus 2010

Kerajaan Salakanagara

Kerajaan Salakanagara

Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api)yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Urutan Raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa
Nama raja
Julukan
Keterangan
130-168 M
Dewawarman I
Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara
Pedagang asal Bharata (India)
168-195 M
Dewawarman II
Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra
Putera tertua Dewawarman I
195-238 M
Dewawarman III
Prabu Singasagara Bimayasawirya
Putera Dewawarman II
238-252 M
Dewawarman IV

Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
252-276 M
Dewawarman V

Menantu Dewawarman IV
276-289 M
Mahisa Suramardini Warmandewi

Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut
289-308 M
Dewawarman VI
Sang Mokteng Samudera
Putera tertua Dewawarman V
308-340 M
Dewawarman VII
Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati
Putera tertua Dewawarman VI
340-348 M
Sphatikarnawa Warmandewi

Puteri sulung Dewawarman VII
348-362 M
Dewawarman VIII
Prabu Darmawirya Dewawarman
Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
Mulai 362 M
Dewawarman IX

Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara
Referensi
1. Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.




Didahului oleh:
Tidak ada
Kerajaan Hindu-Budha
150 - 362
Digantikan oleh:
Tarumanagara



Kerajaan di Jawa


0-600 (Hindu-Buddha pra-Mataram)
Salakanagara · Tarumanagara · Sunda-Galuh · Kalingga · Kanjuruhan


600-1500 (Hindu-Buddha)
Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit ·Pajajaran · Blambangan


1500-sekarang (Islam)
Demak · Pajang · Banten · Cirebon · Sumedang Larang · Mataram Islam ·Kartasura · Surakarta · Yogyakarta · Mangkunagara · Paku Alam


 Sumber yang lain menceritakan :

Kerajaan Salakanagara

Salakanagara

Lalu sekitar 280 tahun sebelum masehi, hiduplah seorang bernama asoka yang memimpin kerajaan asoka di india. Dia disebut dalam sejarah dunia sebagai raja yang tercerahkan setelah sebelumnya melakukan peperangan dan agresi. setelah tercerahkan, dia berpaling pada agama, menjadi rahib, dan menitahkan para pengikut kepercayaannya untuk menyebarkan syiwa, wisnu, dan brahmana. salah seorang penyi'ar ajaran itu berasal dari marga warman, dan rombongan marga warman ini sampailah ke salakanagara.

di salakanagara mereka berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan. sekira 100-an tahun setelah masehi, bangsa salakanara diperintah oleh aki tirem. Menurut ayatrohaedi (kakaknya ajip rodisi), anak AKI tirem yang bernama pohaci larasati, kemudian dinikahkan dengan salah satu dari kelompok marga warman itu, yang bernama dewawarman. dialah yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok salakanagara. dewawarman kemudian mendirikan kerajaan yang lebih bercorak india, kerajaan itu diberi nama salakanagara. gelar yang disematkan kepada dewawarman adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).


Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Raja-raja Tarumanagara :
Jayasingawarman (358-382) | Dharmayawarman (382-395) | Purnawarman (395-434) | Wisnuwarman (434-455) | Indrawarman (455-515) | Candrawarman (515-535) | Suryawarman (535-561) | Kertawarman (561-628) | Sudhawarman (628-639) |Hariwangsawarman (639-640) | Nagajayawarman (640-666) | Linggawarman (666-669)


Kerajaan Tarumanagara pecah menjadi dua
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa. 

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Jaman papajaran
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan roman raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: 

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

::Salah satu sumber tulisan ini diambil dari >>::Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

Keturunan Dewawarman (Purwayuga 5)
Kisah keturunan Dewawarman sebagai raja-raja Salakanagara dapat diungkap di antaranya dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 dan parwa III sarga I. Juga dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa-dwipa parwa I sarga 1 dan Pustaka Nagara Kretabhumi parawa I sarga 1 dan tersebar dalam beberapa sarga lain dalam bentuk urutan raja-raja di Jawa Barat. 

Ringkasan selanjutnya dari kisah di atas adalah sebagai berikut.

"Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak tertua laki-laki yang setelah menggantikan ke-dudukan ayahnya bernama Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la men­jadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90 sampai taliun 117 Saka atau 168 sampai 195 Masehi. Ia menikah dengan puteri keluarga raja Singala (Sri Langka).

Dari perkawinan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi Dewa­warman III dengan gelar Prabu Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 - 238 M). Dalam masa pemerintahannya terjadi serangan bajak laut dari negeri Cina yang dapat dihadapi dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan huhunean (painitran) dengan maharaja Cina dan raja-raja India. 

Permaisuri Dewa­warman III berasal dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan raja Ujung Kulon bernama Darma Satya-nagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238 - 252 M). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama Mahisasura-mardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174 - 198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani Mahisa suramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 M). Walau pun gerombolan bajak laut itu dapat ditumpas, Dewa­warman V gugur karena serangan panah dari belakang.

Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau sang mokteng samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun dari tahun 211 sampai 230 Saka (289 - 308 M). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai beberapa putera dan puteri.

Putera sulungnya yang kemudian sebagai Dewawarman VII memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308 - 340 M) bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua seorang puteri bernama Salaka Kancana Warmandcwi yang menikah dengan menteri kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat laki-laki, bernama Ghopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri kerajaan Calankayana di India.

Yang kelima seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Palawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skandamuka Dewawarman Jayasatru yang menjadi senapati Salakanagara.

Puteri sulung Dewawarman VII bernama Spatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sa­lakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari perkawinan puteri ini dengan Atwangga lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.

"Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah di Rajatapura Senapati Krodamaruta dari Calankayana ber­sama beberapa ratus orang anggota pasukannya bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Senapati Gopala Jayengrana yaitu putera Dewawarman VI yang keempat yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaru­ta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta ia merajakan diri menjadi penguasa Salakanagara.

Ahli waris tahta yang sah adalah Spatikarnawa Warmandewi puteri sulung Dewawarman VII. la belum bersuami. Karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekali pun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebahagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi Krodamaruta tidak lama berkuasa karena ia tewas tertimpa batu besar ketika berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi penguasa Salaka­nagara.

Kemudian Spatikarnawa Warmandewi dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya tahun 262 Saka (340 M). Dalam tahun 270 Saka sang rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut (senapati sarwajala) kerajaan Palawa. Lengkaradewi beserta suami dan puteranya datang di Rajatapura dalam tahun 268Saka (346 M) sebagai pengungsi karena negaranya telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.

Setelah pernikahannya, Rani Spatikarnawa Warmandewi memerintah bersama-sama suaminya yang sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya bewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348 -363 M).

Dalam masa pemerintahan Dewawaiman VIII kehidupan penduduk makmur-sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara pen­duduk ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati.

Mata pencaharian penduduk ialah berburu di hutan, berniaga, menangkap ikan di laut dan sungai, beternak, bertanam buah-buahan, bertani dan sebagainya.

Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandra kapala) dan patung Ganesha {Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera, jauh dari kesusahan dan mara bahaya.

"Dewawarman VIII mempunyai putera-puteri beberapa orang. Yang sulung seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Puteri yang amat cantik ini kelak diperisteri oleh Maharesi Jaya singawarman Gurudarmapurusa atau Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama.

Yang kedua seorang putera bernama Aswawarman. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga, penguasa Bakulapura. Kemudian dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga.

Yang ketiga seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewa­warman VIII yang lainnya tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keturunannya kelak adalah Sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain tinggal di Yawana dan Semananjung.

Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahanda-nya wafat ia menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara. Akan tetapi ia menjadi bawahan raja Tarumanagara karena kerajaan ini telah menjadi besar dan kuat. Demikian pula Sang Aswawarman menjadi raja yang besar kekuasaannya di Bakulapura.

Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Spatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua bernama Candralocana puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semananjung dan Jawa Tengah.

Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi pcnguasa di Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas selama 233 tahun (130 - 363 M). Dewawarman VIII dianggap sebagai raja Salakana­gara terakhir sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.

(Sumber: rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat - Kerta Mukti Gapuraning Rahayu).